Berusaha tak lagi memikirkan percakapannya dengan Reval, Almeera mencoba untuk menonton televisi sambil membaca buku tentang desain. Namun, ia hanya bisa bertahan satu jam dengan aktivitas tersebut. Merasa jenuh, Almeera memutuskan untuk kembali ke kamar.Gadis itu duduk di lantai kamar tidur, dikelilingi oleh pakaian yang telah ia pilih dengan cermat. Meski ia dan Kaisar baru akan bertolak ke kampung minggu depan, tak ada salahnya ia mulai berkemas dari sekarang. Ia ingin memastikan barang bawaannya siap, tak ada yang terlupa. Terlebih, ini adalah pertama kalinya Kaisar akan bertemu dengan neneknya. Ada semacam keinginan kuat di dalam diri Almeera untuk membuat semuanya berjalan sempurna.Jari Almeera dengan lembut merapikan lipatan gaun putih kesayangannya, sebelum memasukkannya ke dalam koper yang terbuka. Kemudian, ia melipat kemeja dan celana panjang Kaisar dengan teliti, memastikan semua tersusun rapi. Aroma bunga dari pewangi pakaian yang lembut tercium samar, memberikan rasa n
Almeera pun menelan saliva, perasaan canggung mulai menguasainya. Pikirannya sedang berputar dengan berbagai kemungkinan. Meskipun merasa tak nyaman dengan situasi ini, ia mencoba untuk tetap tenang.“Aku harus mempertemukan kamu dengan dia … harus,” lirih Nyonya Diana dengan suara tersendat. "Saya tidak mengerti maksud Anda," Almeera memandang Nyonya Diana dengan tatapan penuh pertanyaan. Ia merasa bingung dengan arah percakapan ini. “Mempertemukan saya dengan siapa, Nyonya?”Perempuan paruh baya itu menghela napas, seolah mempertimbangkan bagaimana cara terbaik untuk melanjutkan. Secara refleks, ia mengulurkan tangan untuk menyentuh pipi Almeera.“Seseorang yang sangat berarti bagiku,” jawab Nyonya Diana dengan tatapan yang penuh haru. "Almeera, aku ingin bertanya sesuatu padamu. Mungkin ini terdengar agak pribadi, tapi penting,” lanjut Nyonya Diana berusaha menguasai diri. "Tentu, Nyonya. Apa yang ingin Anda tanyakan?" balas Almeera mengerutkan dahi.Nyonya Diana mencondongkan
Hana menaiki lift, menuju lantai paling atas di gedung perkantoran PT. Tunjung Biru, di mana ruangan Kaisar berada. Hak sepatunya mengeluarkan bunyi ketukan yang ritmis di lantai marmer yang mengilap. Sebagai CEO, Kaisar memang memiliki ruangan terbesar dan paling mewah di gedung itu. Ketika tiba di lantai sepuluh, Hana keluar dari lift dan bergegas menuju ke ruangan Kaisar. Matanya memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. Sebelum ia dapat membuka pintu, Akbar -- asisten pribadi Kaisar --- muncul seraya membungkukkan badan. “Selamat pagi, Nyonya Hana,” sapanya dengan hormat. Ia sangat mengenali semua anggota keluarga Syailendra.“Kaisar ada di dalam, kan? Aku ingin bertemu dengannya,” pungkas Hana dengan tatapan angkuh. Namun, Akbar segera bergeser ke pintu untuk menghalangi langkahnya. "Maaf, Nyonya Hana, Tuan Kaisar sedang berdiskusi dengan manajer marketing. Mohon Anda untuk menunggu dulu."Hana memutar bola matanya, kesal dengan interupsi yang dilakukan oleh Akbar. Namun, ia tah
Almeera masih duduk termenung di sofa. Pikirannya masih terngiang-ngiang oleh kata-kata yang diucapkan oleh Nyonya Diana. Ada sesuatu yang berbeda dalam gerak-gerik dan ekspresi wanita paruh baya itu. Nyonya Diana, dengan sikapnya yang keibuan dan penuh perhatian, memberi petunjuk yang samar-samar. Namun, perempuan itu tidak benar-benar menjelaskan kebenaran apa yang harus diketahui mengenai dirinya dan Tuan Biantara. Nyonya Diana telah meninggalkan kesan mendalam, sekaligus rasa penasaran yang sulit untuk diabaikan begitu saja. Tanpa sadar, Almeera meremas-remas tangan di pangkuannya, mencoba mengusir rasa gelisah. Dia butuh udara segar saat ini. Akhirnya, gadis itu memutuskan untuk menghubungi Pak Wahyu agar mengantarnya ke mall. Mungkin, dengan berjalan-jalan di pusat perbelanjaan, dia bisa mengalihkan pikirannya dari segala kerisauan yang melanda. Almeera meraih ponselnya dan menekan nomor Pak Wahyu. "Halo, Pak, bisa jemput saya di apartemen? Saya ingin ke mall sebentar," katan
Sudah lebih dari satu jam Almeera menunggu. Keheningan memenuhi setiap sudut kamar. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan, seolah-olah ikut menghitung waktu menunggu kepulangan Kaisar. Almeera berdiri di depan cermin, memoles bibirnya dengan lipstik merah muda lembut. Ia memandangi pantulan dirinya sejenak. Memastikan setiap helai rambutnya tersisir rapi, dan gaun sifon berwarna toska yang ia kenakan terlipat sempurna. Aroma parfum vanila yang ia kenakan pun menguar di udara, memberikan nuansa segar dan romantis di dalam kamar itu. Hati Almeera berdebar tak karuan, bukan karena keraguan, melainkan oleh rasa gugup yang mendalam. Setiap kali teringat akan pesan Kaisar di ponselnya, denyut jantungnya berdentum lebih kencang. Di atas tempat tidur, sebuah kotak kado berukuran sedang telah ia siapkan, dihiasi dengan pita merah yang menjuntai. Cahaya lampu yang redup menciptakan suasana yang intim dan penuh kehangatan. Almeera memilih untuk duduk di tepi ranjang, menunggu sang suami
Melihat perubahan ekspresi di wajah Almeera, Kaisar meraih kedua tangan istrinya dan menggenggamnya erat. "Kamu kenapa, Sayang? Katakan saja apa yang sedang mengganggu pikiranmu," tanyanya dengan nada penuh kelembutan.Almeera menelan ludah, irama jantungnya berpacu cepat. Namun, dia akhirnya memberanikan diri untuk bicara. "Hubby, sebenarnya tadi siang … aku bertemu dengan Wati dan Nyonya Diana," ucapnya dengan suara hampir berbisik, seolah berharap kata-kata itu tidak terlalu terdengar.Kaisar yang tadinya tersenyum hangat, seketika wajahnya berubah. Kedua alisnya berkerut, dan dia menatap Almeera dengan mata menyipit. "Kamu bertemu mereka? Di sini, di apartemen kita?" tanyanya dengan nada yang sulit ditebak, antara marah dan heran.Almeera mengangguk perlahan, merasa takut melihat reaksi Kaisar yang mulai tegang. "Iya, Hubby, mereka bertamu ke sini tadi siang. Tapi, aku menemuinya di lobi apartemen.”Wajah Kaisar semakin mengeras. "Bukankah sudah aku bilang semalam, kamu tidak pe
Usai seharian penuh mengantarkan undangan, Hana pulang ke mansion dengan senyum cerah. Ia duduk di atas sofa berbahan kulit dengan sorot mata penuh kepuasan. Jemarinya yang memakai cincin berlian, menggenggam secangkir teh madu penuh kehati-hatian. Selesai menikmati minuman hangat, perempuan paruh baya itu menuju ke kamar sang keponakan. Tanpa mengetuk pintu, ia masuk dan mendapati Karenina sedang bermain ponsel di atas tempat tidur. Kedatangannya pun disambut senyuman manis oleh Karenina. Ia tahu bahwa sang tante telah membawa kabar baik. “Nina, Sayang.” Hana memulai dengan nada lembut namun penuh arti. “Aku sudah mengirimkan undangan pertunangan Reval kepada Kaisar.”Karenina segera meletakkan ponselnya dan mengangkat kepala. Ia sangat penasaran dengan kelanjutan kisah yang akan disampaikan oleh Hana.“Kaisar?” ulangnya, memastikan. “Tante menemuinya di kantor?”Hana mengangguk, bibirnya membentuk senyum tipis yang mengandung banyak arti.“Iya, aku ingin mencelikkan kedua matanya
“Violetta, tolong ...” Reval berusaha keras menahan emosi. Ia tahu sifat keras Violetta. Jika wanita itu sudah bertekad untuk melakukan sesuatu, maka tidak ada yang bisa menghentikannya.Namun, Violetta tidak mendengarkan. “Kamu pikir aku akan duduk diam sementara dia terus mencuri perhatianmu? Tidak, Reval. Aku akan menunjukkan padanya, bahwa dia tidak lebih dari seorang wanita yang tidak tahu diri.”Reval memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Ia merasa terjebak dalam situasi yang tak bisa ia kendalikan. Violetta telah berjanji untuk memberikan pelajaran kepada Almeera, dan Reval tahu bahwa kata-kata Violetta bukanlah ancaman kosong. Ia mengenal Violetta sebagai gadis manja yang tak mau tersaingi oleh siapapun. “Violetta, jangan lakukan sesuatu yang akan kamu sesali. Almeera itu calon kakak iparmu, dia istri dari Kak Kaisar,” ucap Reval berusaha memperingatkan. Biarpun, ia tahu betapa tipis harapan untuk mengubah pikiran Violetta yang keras kepala. “Aku t