Cahaya matahari yang lembut merayap masuk melalui celah tirai, menyentuh wajah Kaisar yang masih setengah terlelap. Ia terbangun dengan perasaan nyaman, meresapi hadirnya pagi yang begitu menenangkan. Namun, pria itu merasakan ada sesuatu yang aneh— kasur di sebelahnya dalam keadaan kosong.Kaisar meraba tempat tidur dengan mata setengah terbuka, mencari keberadaan Almeera. Sekarang baru pukul enam pagi. Biasanya sang istri masih terlelap di sisinya, apalagi semalam mereka sempat memadu kasih. Tak disangka, Almeera malah terbangun lebih dahulu daripada dirinya. Dengan perlahan, Kaisar bangkit dari tempat tidur dan mengenakan piyama yang tergeletak di sofa dekat ranjang. Terdorong oleh rasa penasaran yang menghampirinya, Kaisar buru-buru keluar dari kamar. Ketika ia melangkah ke dapur, aroma wangi dari nasi goreng yang baru saja dimasak menyapa hidungnya. Kaisar tersenyum, melihat Almeera yang sedang sibuk di depan kompor. Wanita itu tampak cantik meski masih mengenakan gaun tidur,
Berusaha tak lagi memikirkan percakapannya dengan Reval, Almeera mencoba untuk menonton televisi sambil membaca buku tentang desain. Namun, ia hanya bisa bertahan satu jam dengan aktivitas tersebut. Merasa jenuh, Almeera memutuskan untuk kembali ke kamar.Gadis itu duduk di lantai kamar tidur, dikelilingi oleh pakaian yang telah ia pilih dengan cermat. Meski ia dan Kaisar baru akan bertolak ke kampung minggu depan, tak ada salahnya ia mulai berkemas dari sekarang. Ia ingin memastikan barang bawaannya siap, tak ada yang terlupa. Terlebih, ini adalah pertama kalinya Kaisar akan bertemu dengan neneknya. Ada semacam keinginan kuat di dalam diri Almeera untuk membuat semuanya berjalan sempurna.Jari Almeera dengan lembut merapikan lipatan gaun putih kesayangannya, sebelum memasukkannya ke dalam koper yang terbuka. Kemudian, ia melipat kemeja dan celana panjang Kaisar dengan teliti, memastikan semua tersusun rapi. Aroma bunga dari pewangi pakaian yang lembut tercium samar, memberikan rasa n
Almeera pun menelan saliva, perasaan canggung mulai menguasainya. Pikirannya sedang berputar dengan berbagai kemungkinan. Meskipun merasa tak nyaman dengan situasi ini, ia mencoba untuk tetap tenang.“Aku harus mempertemukan kamu dengan dia … harus,” lirih Nyonya Diana dengan suara tersendat. "Saya tidak mengerti maksud Anda," Almeera memandang Nyonya Diana dengan tatapan penuh pertanyaan. Ia merasa bingung dengan arah percakapan ini. “Mempertemukan saya dengan siapa, Nyonya?”Perempuan paruh baya itu menghela napas, seolah mempertimbangkan bagaimana cara terbaik untuk melanjutkan. Secara refleks, ia mengulurkan tangan untuk menyentuh pipi Almeera.“Seseorang yang sangat berarti bagiku,” jawab Nyonya Diana dengan tatapan yang penuh haru. "Almeera, aku ingin bertanya sesuatu padamu. Mungkin ini terdengar agak pribadi, tapi penting,” lanjut Nyonya Diana berusaha menguasai diri. "Tentu, Nyonya. Apa yang ingin Anda tanyakan?" balas Almeera mengerutkan dahi.Nyonya Diana mencondongkan
Hana menaiki lift, menuju lantai paling atas di gedung perkantoran PT. Tunjung Biru, di mana ruangan Kaisar berada. Hak sepatunya mengeluarkan bunyi ketukan yang ritmis di lantai marmer yang mengilap. Sebagai CEO, Kaisar memang memiliki ruangan terbesar dan paling mewah di gedung itu. Ketika tiba di lantai sepuluh, Hana keluar dari lift dan bergegas menuju ke ruangan Kaisar. Matanya memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. Sebelum ia dapat membuka pintu, Akbar -- asisten pribadi Kaisar --- muncul seraya membungkukkan badan. “Selamat pagi, Nyonya Hana,” sapanya dengan hormat. Ia sangat mengenali semua anggota keluarga Syailendra.“Kaisar ada di dalam, kan? Aku ingin bertemu dengannya,” pungkas Hana dengan tatapan angkuh. Namun, Akbar segera bergeser ke pintu untuk menghalangi langkahnya. "Maaf, Nyonya Hana, Tuan Kaisar sedang berdiskusi dengan manajer marketing. Mohon Anda untuk menunggu dulu."Hana memutar bola matanya, kesal dengan interupsi yang dilakukan oleh Akbar. Namun, ia tah
Almeera masih duduk termenung di sofa. Pikirannya masih terngiang-ngiang oleh kata-kata yang diucapkan oleh Nyonya Diana. Ada sesuatu yang berbeda dalam gerak-gerik dan ekspresi wanita paruh baya itu. Nyonya Diana, dengan sikapnya yang keibuan dan penuh perhatian, memberi petunjuk yang samar-samar. Namun, perempuan itu tidak benar-benar menjelaskan kebenaran apa yang harus diketahui mengenai dirinya dan Tuan Biantara. Nyonya Diana telah meninggalkan kesan mendalam, sekaligus rasa penasaran yang sulit untuk diabaikan begitu saja. Tanpa sadar, Almeera meremas-remas tangan di pangkuannya, mencoba mengusir rasa gelisah. Dia butuh udara segar saat ini. Akhirnya, gadis itu memutuskan untuk menghubungi Pak Wahyu agar mengantarnya ke mall. Mungkin, dengan berjalan-jalan di pusat perbelanjaan, dia bisa mengalihkan pikirannya dari segala kerisauan yang melanda. Almeera meraih ponselnya dan menekan nomor Pak Wahyu. "Halo, Pak, bisa jemput saya di apartemen? Saya ingin ke mall sebentar," katan
Sudah lebih dari satu jam Almeera menunggu. Keheningan memenuhi setiap sudut kamar. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan, seolah-olah ikut menghitung waktu menunggu kepulangan Kaisar. Almeera berdiri di depan cermin, memoles bibirnya dengan lipstik merah muda lembut. Ia memandangi pantulan dirinya sejenak. Memastikan setiap helai rambutnya tersisir rapi, dan gaun sifon berwarna toska yang ia kenakan terlipat sempurna. Aroma parfum vanila yang ia kenakan pun menguar di udara, memberikan nuansa segar dan romantis di dalam kamar itu. Hati Almeera berdebar tak karuan, bukan karena keraguan, melainkan oleh rasa gugup yang mendalam. Setiap kali teringat akan pesan Kaisar di ponselnya, denyut jantungnya berdentum lebih kencang. Di atas tempat tidur, sebuah kotak kado berukuran sedang telah ia siapkan, dihiasi dengan pita merah yang menjuntai. Cahaya lampu yang redup menciptakan suasana yang intim dan penuh kehangatan. Almeera memilih untuk duduk di tepi ranjang, menunggu sang suami
Melihat perubahan ekspresi di wajah Almeera, Kaisar meraih kedua tangan istrinya dan menggenggamnya erat. "Kamu kenapa, Sayang? Katakan saja apa yang sedang mengganggu pikiranmu," tanyanya dengan nada penuh kelembutan.Almeera menelan ludah, irama jantungnya berpacu cepat. Namun, dia akhirnya memberanikan diri untuk bicara. "Hubby, sebenarnya tadi siang … aku bertemu dengan Wati dan Nyonya Diana," ucapnya dengan suara hampir berbisik, seolah berharap kata-kata itu tidak terlalu terdengar.Kaisar yang tadinya tersenyum hangat, seketika wajahnya berubah. Kedua alisnya berkerut, dan dia menatap Almeera dengan mata menyipit. "Kamu bertemu mereka? Di sini, di apartemen kita?" tanyanya dengan nada yang sulit ditebak, antara marah dan heran.Almeera mengangguk perlahan, merasa takut melihat reaksi Kaisar yang mulai tegang. "Iya, Hubby, mereka bertamu ke sini tadi siang. Tapi, aku menemuinya di lobi apartemen.”Wajah Kaisar semakin mengeras. "Bukankah sudah aku bilang semalam, kamu tidak pe
Usai seharian penuh mengantarkan undangan, Hana pulang ke mansion dengan senyum cerah. Ia duduk di atas sofa berbahan kulit dengan sorot mata penuh kepuasan. Jemarinya yang memakai cincin berlian, menggenggam secangkir teh madu penuh kehati-hatian. Selesai menikmati minuman hangat, perempuan paruh baya itu menuju ke kamar sang keponakan. Tanpa mengetuk pintu, ia masuk dan mendapati Karenina sedang bermain ponsel di atas tempat tidur. Kedatangannya pun disambut senyuman manis oleh Karenina. Ia tahu bahwa sang tante telah membawa kabar baik. “Nina, Sayang.” Hana memulai dengan nada lembut namun penuh arti. “Aku sudah mengirimkan undangan pertunangan Reval kepada Kaisar.”Karenina segera meletakkan ponselnya dan mengangkat kepala. Ia sangat penasaran dengan kelanjutan kisah yang akan disampaikan oleh Hana.“Kaisar?” ulangnya, memastikan. “Tante menemuinya di kantor?”Hana mengangguk, bibirnya membentuk senyum tipis yang mengandung banyak arti.“Iya, aku ingin mencelikkan kedua matanya
Begitu Kaisar tiba di lobi, sopir sudah menunggu di depan, membuka pintu mobil secepatnya agar Kaisar bisa langsung masuk.Ketika mobil melaju kencang, Kaisar mengeluarkan ponsel dan menelepon kakeknya, Tuan Barata. “Bagaimana keadaan Meera, Opa?” tanya Kaisar cemas.Di ujung sana, Tuan Barata segera menjawab, “Kami sudah dalam perjalanan ke rumah sakit. Perut Almeera masih mengalami kontraksi.”Kaisar menoleh ke sopirnya. “Lebih cepat, Pak. Cari jalan pintas kalau perlu. Kalau masih macet, saya akan naik ojek saja,” desaknya tak sabar.Sementara itu, di rumah sakit, Almeera baru saja tiba dan langsung dibawa oleh tim perawat ke ruang bersalin. Nenek Gayatri dan Bi Yuli mendampingi, wajah mereka penuh kekhawatiran sekaligus antusiasme. Saat perawat memeriksa Almeera, ternyata pembukaan jalan lahir hampir lengkap. Perawat bergegas menghubungi dokter kandungan yang menangani Almeera.Almeera meringis, menahan nyeri yang semakin kuat dan bergelombang, datang seperti badai yang tak dapat
Dengan mata yang masih berat, Almeera mengerjap sambil menyibakkan selimut, menyingkapkan perutnya yang sudah besar dan bulat—memasuki bulan kesembilan. Saat ini, ia tidak leluasa lagi bergerak seperti dulu. Ia harus berjalan lebih pelan serta membatasi kegiatan sehari-hari, karena pinggang dan kakinya mudah pegal. Meski begitu, Almeera menikmati semua perubahan ini sebagai bagian dari perjuangannya menjadi seorang ibu.Kaisar sudah terbangun lebih dulu, lalu duduk di tepi ranjang. Ia memandangi sang istri dengan penuh kasih.Kaisar tersenyum lembut sambil meraih kaki Almeera dan mulai memijat perlahan, membebaskan beban dari telapak kaki yang menahan berat tubuh istrinya.“Enak, Sayang?” bisik Kaisar sambil melanjutkan pijatannya.Almeera mengangguk kecil, matanya masih setengah terpejam. “Enak sekali. Kamu tidak perlu memijatku setiap hari, Hubby.”“Justru aku senang melakukannya. Ini mungkin satu-satunya cara supaya aku merasa berguna untukmu,” kata Kaisar dengan sorot mata berbina
Percakapan di meja makan berlanjut dengan penuh tawa. Tuan Barata sesekali membuat lelucon yang membuat Nenek Gayatri tertawa malu-malu, hingga suasana di mansion menjadi begitu akrab. Tak ada lagi jejak perselisihan maupun kesedihan yang tersisa. Selepas makan siang, Tuan Barata menawarkan Nenek Gayatri untuk beristirahat di kamar yang telah disiapkan. “Bi Yuli akan mengantarkan Anda ke kamar, Bu Gayatri. Istirahatlah dulu, setelah perjalanan panjang pasti Anda lelah.”Nenek Gayatri mengangguk, mengucapkan terima kasih kepada Tuan Barata dan mengikuti Bi Yuli. Langkah perempuan tua itu diiringi oleh Rifki yang melompat-lompat kegirangan karena bisa kembali ke mansion besar itu.Sementara itu, Kaisar melingkarkan tangannya di pinggang Almeera. Mengajak sang istri untuk meninggalkan ruang makan.“Kita juga istirahat, ya? Nanti malam, kita akan membawa Nenek Gayatri serta Rifki ke rumah Tuan Marco.”Almeera mengangguk setuju. Perjalanan mereka cukup panjang dan menguras tenaga, dan ia
Almeera mengangguk pelan, tahu betapa pentingnya kehadiran Mirza bagi sang nenek. Walaupun ia merasa tak enak hati sesudah pertemuan terakhir mereka di Jakarta, tetapi ia memang perlu berterima kasih kepada Mirza. Terlebih, Mirza adalah teman masa kecil sekaligus sosok yang pernah dekat dengan hidupnya. Ketika Nenek Gayatri menyampaikan niatnya pada Kaisar, Almeera melihat kekhawatiran di mata suaminya. Kaisar berdiri di samping mereka dengan rahang mengeras, seperti mencoba menyembunyikan perasaan cemburu yang samar. “Hubby, temani aku ke rumah Kak Mirza, ya,” pinta Almeera lembut, ingin memastikan Kaisar tidak salah paham. Setelah beberapa detik terdiam, Kaisar akhirnya mengangguk. Mereka pun berjalan bersama menuju rumah Mirza, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal Nenek Gayatri. Setibanya di sana, Mirza membuka pintu dan tampak terkejut melihat kedatangan Almeera. Lebih terkejut lagi ketika melihat bahwa Almeera datang bersama Kaisar, seorang pria asing yang belum pernah i
“Hubby, kita menginap satu malam di sini, ya? Aku ingin istirahat, sekalian membantu Nenek berkemas,” pinta Almeera sambil memandang Kaisar dengan harap-harap cemas. Kaisar memandangi sekeliling kamar yang sederhana, hanya ada dipan kayu tua dan lemari usang. Namun, tanpa ragu, ia tersenyum hangat dan mengangguk. “Asalkan bersama kamu, aku rela tidur di mana saja, Sayang. Lagi pula, aku juga lelah. Aku akan memberitahu Pak Wahyu dulu supaya dia mencari penginapan di sekitar sini,” ucap Kaisar sambil mengusap lembut punggung tangan Almeera.Mendengar itu, hati Almeera menghangat. Kemudian ia menggandeng neneknya menuju kamar, siap membantu Nenek Gayatri mengemasi barang-barangnya. Sambil memasukkan baju-baju ke dalam tas kecil, Nenek Gayatri memandang Almeera dengan mata berkaca-kaca.“Akhirnya kamu bisa bertemu ayah kandungmu, Meera. Dan sekarang kamu punya suami yang bisa menjagamu,” ujar Nenek Gayatri dengan suara bergetar, penuh keharuan.Almeera tersenyum dan menepuk tangan nene
Nenek Gayatri menoleh cepat, dan sapu di tangannya langsung terjatuh begitu melihat Rifki. Matanya yang sedikit kabur seolah berbinar dengan kegembiraan, saat melihat cucu kesayangannya kembali ke rumah. Namun, bukan hanya Rifki yang membuatnya terkejut. Di belakang Rifki, terlihat Almeera yang berjalan pelan, digandeng oleh seorang pria tampan dengan sosok tinggi dan gagah.“Nenek, aku pulang!” Rifki memeluk neneknya erat-erat, hampir membuat Nenek Gayatri terhuyung ke belakang. Ia tertawa kecil, menepuk-nepuk punggung Rifki dengan penuh sayang.“Rifki... sudah lama sekali Nenek tidak melihatmu, Nak,” kata Nenek Gayatri penuh haru. Lalu pandangannya beralih ke Almeera dan Kaisar, terutama ke Kaisar yang berdiri di samping Almeera dengan senyum ramah.Almeera pun mendekati sang nenek dengan langkah pelan. Seakan tak mampu membendung rasa rindu, Nenek Gayatri menarik Almeera ke dalam pelukannya, erat dan penuh kelegaan. Tubuh rapuhnya bergetar, dan air mata mengalir di pipinya.“Alham
Almeera merasa senang melihat Kaisar kini tampak akrab dengan Rifki. Hubungan antara suaminya dan adiknya yang selama ini kaku mulai mencair. Kaisar bahkan melontarkan beberapa lelucon yang membuat Rifki tertawa. Almeera tahu betapa pentingnya momen ini bagi Rifki, yang dulu sering merasa takut terhadap Kaisar. Setelah barang-barang selesai dimuat ke dalam mobil, mereka bertiga berpamitan kepada kepala asrama dan kepala sekolah Rifki. Kepala sekolah Rifki, seorang wanita berumur dengan rambut yang sudah memutih, sempat berbincang singkat dengan Kaisar, yang dengan ramah menjawab pertanyaan dan memberi penghormatan. Almeera melihat Kaisar tidak hanya bersikap sopan, tetapi juga menunjukkan ketulusan. Seolah Kaisar ingin memperlihatkan bahwa ia tidak hanya peduli pada Almeera, tapi juga pada Rifki, yang telah dianggapnya sebagai keluarga sendiri.Usai berpamitan, mereka bertiga pun naik ke mobil, siap melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman Almeera. Sepanjang perjalanan, Rifki t
Ponsel nyaris terjatuh dari genggaman Almeera. Tubuhnya menegang, dan ia menahan napas, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “A-apa maksudmu, Hubby?” bisiknya, berusaha mengatasi keterkejutannya.“Nina meninggal, Sayang. Dia pergi begitu mendadak,” suara Kaisar terdengar parau dan penuh kesedihan. Almeera menelan ludah, perasaannya berkecamuk, antara terkejut, tak percaya, dan juga rasa iba yang mendalam untuk Kaisar. Karenina, meskipun telah banyak menyakiti dan penuh tipu daya, tetaplah seseorang yang pernah menjadi pasangan hidup Kaisar. Almeera mencoba menenangkan diri, tetapi air mata mulai menggenang di sudut matanya.“Sabar ya, Hubby. Aku akan segera menyusulmu ke Bogor,” jawabnya pelan, suaranya bergetar menahan emosi.“Tidak perlu, Meera. Kami akan membawa Nina pulang ke Jakarta untuk dimakamkan. Kamu tunggu saja di mansion bersama Opa Barata.”Setelah menutup telepon, Almeera berdiri di sana, menatap kosong ke lantai kamar rumah sakit. Hatinya terasa berat,
Raut wajah Kaisar berubah kaku, rahangnya mengeras mendengar pengakuan dari Karenina. Hana yang berada di dekatnya pun menutup mulutnya dengan tangan, matanya terbuka lebar tak percaya. Mereka terdiam, tersentak oleh kenyataan mengejutkan yang terungkap pada detik-detik terakhir ini.Dengan suara bergetar dan pandangan yang samar, Karenina berbisik, "Maafkan aku, Kaisar… Maafkan aku… Aku hanya ingin… meninggal dalam status sebagai istrimu."Kaisar terdiam, matanya memancarkan kegetiran yang dalam. Karenina memandangnya untuk terakhir kali dengan tatapan sendu, lalu menutup matanya perlahan.Kepala Karenina terkulai, dan tangan yang semula menggenggam tangan Kaisar pun perlahan terlepas. Semua terasa berhenti, seakan waktu tak lagi bergerak untuk sesaat.Dokter yang sudah berada di samping tempat tidur Karenina, segera memeriksa detak jantungnya. Dengan cepat, ia memerintahkan Kaisar, Hana, dan Akbar keluar dari kamar rawat untuk membe