Sudah lebih dari satu jam Almeera menunggu. Keheningan memenuhi setiap sudut kamar. Hanya suara jam dinding yang berdetak pelan, seolah-olah ikut menghitung waktu menunggu kepulangan Kaisar. Almeera berdiri di depan cermin, memoles bibirnya dengan lipstik merah muda lembut. Ia memandangi pantulan dirinya sejenak. Memastikan setiap helai rambutnya tersisir rapi, dan gaun sifon berwarna toska yang ia kenakan terlipat sempurna. Aroma parfum vanila yang ia kenakan pun menguar di udara, memberikan nuansa segar dan romantis di dalam kamar itu. Hati Almeera berdebar tak karuan, bukan karena keraguan, melainkan oleh rasa gugup yang mendalam. Setiap kali teringat akan pesan Kaisar di ponselnya, denyut jantungnya berdentum lebih kencang. Di atas tempat tidur, sebuah kotak kado berukuran sedang telah ia siapkan, dihiasi dengan pita merah yang menjuntai. Cahaya lampu yang redup menciptakan suasana yang intim dan penuh kehangatan. Almeera memilih untuk duduk di tepi ranjang, menunggu sang suami
Melihat perubahan ekspresi di wajah Almeera, Kaisar meraih kedua tangan istrinya dan menggenggamnya erat. "Kamu kenapa, Sayang? Katakan saja apa yang sedang mengganggu pikiranmu," tanyanya dengan nada penuh kelembutan.Almeera menelan ludah, irama jantungnya berpacu cepat. Namun, dia akhirnya memberanikan diri untuk bicara. "Hubby, sebenarnya tadi siang … aku bertemu dengan Wati dan Nyonya Diana," ucapnya dengan suara hampir berbisik, seolah berharap kata-kata itu tidak terlalu terdengar.Kaisar yang tadinya tersenyum hangat, seketika wajahnya berubah. Kedua alisnya berkerut, dan dia menatap Almeera dengan mata menyipit. "Kamu bertemu mereka? Di sini, di apartemen kita?" tanyanya dengan nada yang sulit ditebak, antara marah dan heran.Almeera mengangguk perlahan, merasa takut melihat reaksi Kaisar yang mulai tegang. "Iya, Hubby, mereka bertamu ke sini tadi siang. Tapi, aku menemuinya di lobi apartemen.”Wajah Kaisar semakin mengeras. "Bukankah sudah aku bilang semalam, kamu tidak pe
Usai seharian penuh mengantarkan undangan, Hana pulang ke mansion dengan senyum cerah. Ia duduk di atas sofa berbahan kulit dengan sorot mata penuh kepuasan. Jemarinya yang memakai cincin berlian, menggenggam secangkir teh madu penuh kehati-hatian. Selesai menikmati minuman hangat, perempuan paruh baya itu menuju ke kamar sang keponakan. Tanpa mengetuk pintu, ia masuk dan mendapati Karenina sedang bermain ponsel di atas tempat tidur. Kedatangannya pun disambut senyuman manis oleh Karenina. Ia tahu bahwa sang tante telah membawa kabar baik. “Nina, Sayang.” Hana memulai dengan nada lembut namun penuh arti. “Aku sudah mengirimkan undangan pertunangan Reval kepada Kaisar.”Karenina segera meletakkan ponselnya dan mengangkat kepala. Ia sangat penasaran dengan kelanjutan kisah yang akan disampaikan oleh Hana.“Kaisar?” ulangnya, memastikan. “Tante menemuinya di kantor?”Hana mengangguk, bibirnya membentuk senyum tipis yang mengandung banyak arti.“Iya, aku ingin mencelikkan kedua matanya
“Violetta, tolong ...” Reval berusaha keras menahan emosi. Ia tahu sifat keras Violetta. Jika wanita itu sudah bertekad untuk melakukan sesuatu, maka tidak ada yang bisa menghentikannya.Namun, Violetta tidak mendengarkan. “Kamu pikir aku akan duduk diam sementara dia terus mencuri perhatianmu? Tidak, Reval. Aku akan menunjukkan padanya, bahwa dia tidak lebih dari seorang wanita yang tidak tahu diri.”Reval memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Ia merasa terjebak dalam situasi yang tak bisa ia kendalikan. Violetta telah berjanji untuk memberikan pelajaran kepada Almeera, dan Reval tahu bahwa kata-kata Violetta bukanlah ancaman kosong. Ia mengenal Violetta sebagai gadis manja yang tak mau tersaingi oleh siapapun. “Violetta, jangan lakukan sesuatu yang akan kamu sesali. Almeera itu calon kakak iparmu, dia istri dari Kak Kaisar,” ucap Reval berusaha memperingatkan. Biarpun, ia tahu betapa tipis harapan untuk mengubah pikiran Violetta yang keras kepala. “Aku t
Almeera berdiri dengan cepat dan melangkah keluar dari taman, berharap bisa segera kembali ke unit apartemennya. Beruntung, lelaki itu tidak mengikutinya sehingga Almeera bisa mencapai pintu lobi apartemen dengan selamat. Lekas saja, ia menekan tombol lift. Jantungnya berdegup kencang, seolah ia sedang dikejar oleh seseorang.Ketika pintu lift terbuka, Almeera segera masuk dan menekan tombol lantai tempat unitnya berada.Di dalam lift, ia menghela napas panjang. Entah mengapa hatinya masih risau, padahal belum tentu pria tadi berniat jahat. Namun, satu hal yang pasti, ia harus tetap waspada dalam menjaga keselamatannya sendiri. Begitu tiba di unit apartemennya, Almeera segera mengunci pintu dan menyandarkan tubuhnya ke dinding. Matanya menatap ke arah pintu, berharap pria itu tidak akan mengikutinya hingga ke sini. Sepertinya, ia telah mengalami gejala fobia yang membuatnya ketakutan tanpa alasan yang jelas. ‘Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Mungkin, lebih baik aku melakukan kegi
Di depan pintu besar itu, Wati dan satu orang pelayan berdiri menyambut Almeera dengan senyuman hangat. "Selamat datang, Mbak Almeera," sapa Wati dengan suara ramahnya. Ia juga membungkuk hormat kepada Kaisar, merasa bahwa lelaki tampan itu sangat serasi dengan Almeera. "Selamat datang, Tuan. Silakan masuk,” ucap Wati sebelum membuka pintu.Sebelum Almeera dan Kaisar melangkahkan kaki, Nyonya Diana sudah keluar terlebih dulu dari dalam rumah. Ia menatap Almeera dengan tatapan haru, seperti ada perasaan mendalam yang tertahan di balik mata wanita paruh baya tersebut."Almeera, terima kasih telah datang," ujar Nyonya Diana dengan suara yang terdengar sedikit serak, seolah ia baru saja menahan tangis.Almeera dan Kaisar saling bertukar pandang, merasa aneh dengan sikap Nyonya Diana yang berlebihan. Detik berikutnya, wanita itu melangkah maju dan memeluk Almeera erat-erat. Pelukan itu begitu tiba-tiba dan emosional, membuat Almeera terdiam sejenak, tidak tahu harus berbuat apa. Ia dapat
Setiap detik langkahnya, jantung Tuan Biantara berdegup semakin kencang. Ada sesuatu yang membuncah di dadanya, seperti gelombang kenangan yang datang begitu tiba-tiba. Di kepalanya, berputar jelas wajah Suci, cinta pertamanya yang dulu menghilang tanpa jejak.Kenangan tentang Suci seperti rekaman tua yang masih diputar berulang-ulang. Tak pernah hilang meski puluhan tahun telah berlalu. Suci adalah seorang gadis muda yang bekerja sebagai pembantu di rumahnya, sehingga kedua orang tuanya tidak menyetujui hubungan mereka. Malam ini, ia merasa tak kuat lagi menahan kerinduan. Kehadiran Almeera, gadis yang ia yakini sebagai putri kandungnya, membuat lelaki paruh baya itu sulit menahan rasa bersalah. Ia tahu bahwa satu-satunya cara untuk menghadapi semua ini adalah dengan mengungkapkan kebenaran, meski itu berarti harus mengguncang kehidupan Almeera. Namun sebelum itu, ia harus menunjukkan pada Almeera bahwa ia memiliki hubungan dengan ibu kandungnya. Tuan Biantara sampai di depan pintu
Meskipun dalam hatinya, kebencian yang telah terpendam selama bertahun-tahun hampir tidak dapat dikendalikan, Tuan Biantara berusaha untuk bersikap sesuai dengan etika yang seharusnya. Kaisar, yang duduk di hadapannya, tidak menyadari bahwa pria paruh baya ini menyimpan rasa dendam yang diwariskan oleh ayahnya. Dendam ini berasal dari perselisihan lama antara keluarga Syailendra dan Biantara."Sebagai pimpinan PT. Tunjung Biru pasti kamu sangat sibuk, Kaisar. Apalagi, aku mendengar kalau perusahaanmu berkembang pesat dan memiliki cabang di luar negri," kata Tuan Biantara dengan suara halus, berusaha mengendalikan perasaan yang berkecamuk di dadanya. "Aku berpikir, mungkin aku bisa berkontribusi pada perusahaanmu sebagai investor."Kaisar tersenyum sopan, tetapi ada kilatan kehati-hatian di matanya. Dia menghargai tawaran itu, tetapi nalurinya berkata bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar niat baik di baliknya. "Terima kasih atas tawaran Anda, Tuan Biantara. Namun, saat ini, kami
Begitu Kaisar tiba di lobi, sopir sudah menunggu di depan, membuka pintu mobil secepatnya agar Kaisar bisa langsung masuk.Ketika mobil melaju kencang, Kaisar mengeluarkan ponsel dan menelepon kakeknya, Tuan Barata. “Bagaimana keadaan Meera, Opa?” tanya Kaisar cemas.Di ujung sana, Tuan Barata segera menjawab, “Kami sudah dalam perjalanan ke rumah sakit. Perut Almeera masih mengalami kontraksi.”Kaisar menoleh ke sopirnya. “Lebih cepat, Pak. Cari jalan pintas kalau perlu. Kalau masih macet, saya akan naik ojek saja,” desaknya tak sabar.Sementara itu, di rumah sakit, Almeera baru saja tiba dan langsung dibawa oleh tim perawat ke ruang bersalin. Nenek Gayatri dan Bi Yuli mendampingi, wajah mereka penuh kekhawatiran sekaligus antusiasme. Saat perawat memeriksa Almeera, ternyata pembukaan jalan lahir hampir lengkap. Perawat bergegas menghubungi dokter kandungan yang menangani Almeera.Almeera meringis, menahan nyeri yang semakin kuat dan bergelombang, datang seperti badai yang tak dapat
Dengan mata yang masih berat, Almeera mengerjap sambil menyibakkan selimut, menyingkapkan perutnya yang sudah besar dan bulat—memasuki bulan kesembilan. Saat ini, ia tidak leluasa lagi bergerak seperti dulu. Ia harus berjalan lebih pelan serta membatasi kegiatan sehari-hari, karena pinggang dan kakinya mudah pegal. Meski begitu, Almeera menikmati semua perubahan ini sebagai bagian dari perjuangannya menjadi seorang ibu.Kaisar sudah terbangun lebih dulu, lalu duduk di tepi ranjang. Ia memandangi sang istri dengan penuh kasih.Kaisar tersenyum lembut sambil meraih kaki Almeera dan mulai memijat perlahan, membebaskan beban dari telapak kaki yang menahan berat tubuh istrinya.“Enak, Sayang?” bisik Kaisar sambil melanjutkan pijatannya.Almeera mengangguk kecil, matanya masih setengah terpejam. “Enak sekali. Kamu tidak perlu memijatku setiap hari, Hubby.”“Justru aku senang melakukannya. Ini mungkin satu-satunya cara supaya aku merasa berguna untukmu,” kata Kaisar dengan sorot mata berbina
Percakapan di meja makan berlanjut dengan penuh tawa. Tuan Barata sesekali membuat lelucon yang membuat Nenek Gayatri tertawa malu-malu, hingga suasana di mansion menjadi begitu akrab. Tak ada lagi jejak perselisihan maupun kesedihan yang tersisa. Selepas makan siang, Tuan Barata menawarkan Nenek Gayatri untuk beristirahat di kamar yang telah disiapkan. “Bi Yuli akan mengantarkan Anda ke kamar, Bu Gayatri. Istirahatlah dulu, setelah perjalanan panjang pasti Anda lelah.”Nenek Gayatri mengangguk, mengucapkan terima kasih kepada Tuan Barata dan mengikuti Bi Yuli. Langkah perempuan tua itu diiringi oleh Rifki yang melompat-lompat kegirangan karena bisa kembali ke mansion besar itu.Sementara itu, Kaisar melingkarkan tangannya di pinggang Almeera. Mengajak sang istri untuk meninggalkan ruang makan.“Kita juga istirahat, ya? Nanti malam, kita akan membawa Nenek Gayatri serta Rifki ke rumah Tuan Marco.”Almeera mengangguk setuju. Perjalanan mereka cukup panjang dan menguras tenaga, dan ia
Almeera mengangguk pelan, tahu betapa pentingnya kehadiran Mirza bagi sang nenek. Walaupun ia merasa tak enak hati sesudah pertemuan terakhir mereka di Jakarta, tetapi ia memang perlu berterima kasih kepada Mirza. Terlebih, Mirza adalah teman masa kecil sekaligus sosok yang pernah dekat dengan hidupnya. Ketika Nenek Gayatri menyampaikan niatnya pada Kaisar, Almeera melihat kekhawatiran di mata suaminya. Kaisar berdiri di samping mereka dengan rahang mengeras, seperti mencoba menyembunyikan perasaan cemburu yang samar. “Hubby, temani aku ke rumah Kak Mirza, ya,” pinta Almeera lembut, ingin memastikan Kaisar tidak salah paham. Setelah beberapa detik terdiam, Kaisar akhirnya mengangguk. Mereka pun berjalan bersama menuju rumah Mirza, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal Nenek Gayatri. Setibanya di sana, Mirza membuka pintu dan tampak terkejut melihat kedatangan Almeera. Lebih terkejut lagi ketika melihat bahwa Almeera datang bersama Kaisar, seorang pria asing yang belum pernah i
“Hubby, kita menginap satu malam di sini, ya? Aku ingin istirahat, sekalian membantu Nenek berkemas,” pinta Almeera sambil memandang Kaisar dengan harap-harap cemas. Kaisar memandangi sekeliling kamar yang sederhana, hanya ada dipan kayu tua dan lemari usang. Namun, tanpa ragu, ia tersenyum hangat dan mengangguk. “Asalkan bersama kamu, aku rela tidur di mana saja, Sayang. Lagi pula, aku juga lelah. Aku akan memberitahu Pak Wahyu dulu supaya dia mencari penginapan di sekitar sini,” ucap Kaisar sambil mengusap lembut punggung tangan Almeera.Mendengar itu, hati Almeera menghangat. Kemudian ia menggandeng neneknya menuju kamar, siap membantu Nenek Gayatri mengemasi barang-barangnya. Sambil memasukkan baju-baju ke dalam tas kecil, Nenek Gayatri memandang Almeera dengan mata berkaca-kaca.“Akhirnya kamu bisa bertemu ayah kandungmu, Meera. Dan sekarang kamu punya suami yang bisa menjagamu,” ujar Nenek Gayatri dengan suara bergetar, penuh keharuan.Almeera tersenyum dan menepuk tangan nene
Nenek Gayatri menoleh cepat, dan sapu di tangannya langsung terjatuh begitu melihat Rifki. Matanya yang sedikit kabur seolah berbinar dengan kegembiraan, saat melihat cucu kesayangannya kembali ke rumah. Namun, bukan hanya Rifki yang membuatnya terkejut. Di belakang Rifki, terlihat Almeera yang berjalan pelan, digandeng oleh seorang pria tampan dengan sosok tinggi dan gagah.“Nenek, aku pulang!” Rifki memeluk neneknya erat-erat, hampir membuat Nenek Gayatri terhuyung ke belakang. Ia tertawa kecil, menepuk-nepuk punggung Rifki dengan penuh sayang.“Rifki... sudah lama sekali Nenek tidak melihatmu, Nak,” kata Nenek Gayatri penuh haru. Lalu pandangannya beralih ke Almeera dan Kaisar, terutama ke Kaisar yang berdiri di samping Almeera dengan senyum ramah.Almeera pun mendekati sang nenek dengan langkah pelan. Seakan tak mampu membendung rasa rindu, Nenek Gayatri menarik Almeera ke dalam pelukannya, erat dan penuh kelegaan. Tubuh rapuhnya bergetar, dan air mata mengalir di pipinya.“Alham
Almeera merasa senang melihat Kaisar kini tampak akrab dengan Rifki. Hubungan antara suaminya dan adiknya yang selama ini kaku mulai mencair. Kaisar bahkan melontarkan beberapa lelucon yang membuat Rifki tertawa. Almeera tahu betapa pentingnya momen ini bagi Rifki, yang dulu sering merasa takut terhadap Kaisar. Setelah barang-barang selesai dimuat ke dalam mobil, mereka bertiga berpamitan kepada kepala asrama dan kepala sekolah Rifki. Kepala sekolah Rifki, seorang wanita berumur dengan rambut yang sudah memutih, sempat berbincang singkat dengan Kaisar, yang dengan ramah menjawab pertanyaan dan memberi penghormatan. Almeera melihat Kaisar tidak hanya bersikap sopan, tetapi juga menunjukkan ketulusan. Seolah Kaisar ingin memperlihatkan bahwa ia tidak hanya peduli pada Almeera, tapi juga pada Rifki, yang telah dianggapnya sebagai keluarga sendiri.Usai berpamitan, mereka bertiga pun naik ke mobil, siap melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman Almeera. Sepanjang perjalanan, Rifki t
Ponsel nyaris terjatuh dari genggaman Almeera. Tubuhnya menegang, dan ia menahan napas, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “A-apa maksudmu, Hubby?” bisiknya, berusaha mengatasi keterkejutannya.“Nina meninggal, Sayang. Dia pergi begitu mendadak,” suara Kaisar terdengar parau dan penuh kesedihan. Almeera menelan ludah, perasaannya berkecamuk, antara terkejut, tak percaya, dan juga rasa iba yang mendalam untuk Kaisar. Karenina, meskipun telah banyak menyakiti dan penuh tipu daya, tetaplah seseorang yang pernah menjadi pasangan hidup Kaisar. Almeera mencoba menenangkan diri, tetapi air mata mulai menggenang di sudut matanya.“Sabar ya, Hubby. Aku akan segera menyusulmu ke Bogor,” jawabnya pelan, suaranya bergetar menahan emosi.“Tidak perlu, Meera. Kami akan membawa Nina pulang ke Jakarta untuk dimakamkan. Kamu tunggu saja di mansion bersama Opa Barata.”Setelah menutup telepon, Almeera berdiri di sana, menatap kosong ke lantai kamar rumah sakit. Hatinya terasa berat,
Raut wajah Kaisar berubah kaku, rahangnya mengeras mendengar pengakuan dari Karenina. Hana yang berada di dekatnya pun menutup mulutnya dengan tangan, matanya terbuka lebar tak percaya. Mereka terdiam, tersentak oleh kenyataan mengejutkan yang terungkap pada detik-detik terakhir ini.Dengan suara bergetar dan pandangan yang samar, Karenina berbisik, "Maafkan aku, Kaisar… Maafkan aku… Aku hanya ingin… meninggal dalam status sebagai istrimu."Kaisar terdiam, matanya memancarkan kegetiran yang dalam. Karenina memandangnya untuk terakhir kali dengan tatapan sendu, lalu menutup matanya perlahan.Kepala Karenina terkulai, dan tangan yang semula menggenggam tangan Kaisar pun perlahan terlepas. Semua terasa berhenti, seakan waktu tak lagi bergerak untuk sesaat.Dokter yang sudah berada di samping tempat tidur Karenina, segera memeriksa detak jantungnya. Dengan cepat, ia memerintahkan Kaisar, Hana, dan Akbar keluar dari kamar rawat untuk membe