Setiap detik langkahnya, jantung Tuan Biantara berdegup semakin kencang. Ada sesuatu yang membuncah di dadanya, seperti gelombang kenangan yang datang begitu tiba-tiba. Di kepalanya, berputar jelas wajah Suci, cinta pertamanya yang dulu menghilang tanpa jejak.Kenangan tentang Suci seperti rekaman tua yang masih diputar berulang-ulang. Tak pernah hilang meski puluhan tahun telah berlalu. Suci adalah seorang gadis muda yang bekerja sebagai pembantu di rumahnya, sehingga kedua orang tuanya tidak menyetujui hubungan mereka. Malam ini, ia merasa tak kuat lagi menahan kerinduan. Kehadiran Almeera, gadis yang ia yakini sebagai putri kandungnya, membuat lelaki paruh baya itu sulit menahan rasa bersalah. Ia tahu bahwa satu-satunya cara untuk menghadapi semua ini adalah dengan mengungkapkan kebenaran, meski itu berarti harus mengguncang kehidupan Almeera. Namun sebelum itu, ia harus menunjukkan pada Almeera bahwa ia memiliki hubungan dengan ibu kandungnya. Tuan Biantara sampai di depan pintu
Meskipun dalam hatinya, kebencian yang telah terpendam selama bertahun-tahun hampir tidak dapat dikendalikan, Tuan Biantara berusaha untuk bersikap sesuai dengan etika yang seharusnya. Kaisar, yang duduk di hadapannya, tidak menyadari bahwa pria paruh baya ini menyimpan rasa dendam yang diwariskan oleh ayahnya. Dendam ini berasal dari perselisihan lama antara keluarga Syailendra dan Biantara."Sebagai pimpinan PT. Tunjung Biru pasti kamu sangat sibuk, Kaisar. Apalagi, aku mendengar kalau perusahaanmu berkembang pesat dan memiliki cabang di luar negri," kata Tuan Biantara dengan suara halus, berusaha mengendalikan perasaan yang berkecamuk di dadanya. "Aku berpikir, mungkin aku bisa berkontribusi pada perusahaanmu sebagai investor."Kaisar tersenyum sopan, tetapi ada kilatan kehati-hatian di matanya. Dia menghargai tawaran itu, tetapi nalurinya berkata bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar niat baik di baliknya. "Terima kasih atas tawaran Anda, Tuan Biantara. Namun, saat ini, kami
Almeera dan Kaisar tiba di apartemen mereka setelah menghadiri makan malam yang panjang. Lampu-lampu kota yang berpendar di kejauhan, tampak samar-samar di luar jendela besar apartemen mereka. Kaisar melepaskan jasnya dan menggantungnya di belakang kursi makan, sementara Almeera duduk di sofa, masih mengenakan gaun malamnya.Kaisar menghampirinya, duduk di sebelahnya, dan dengan lembut mengambil tangannya. Dia merasakan ketegangan dalam genggamannya, sesuatu yang tidak bisa diabaikan."Bagaimana menurutmu, Sayang?" Almeera tiba-tiba bertanya, suaranya pelan, hampir seperti bisikan yang dibawa angin malam.Kaisar mengerutkan kening, sedikit bingung dengan pertanyaan yang tiba-tiba. "Tentang apa, Sayang?"Almeera menarik napas dalam-dalam, seolah sedang mempersiapkan diri untuk mengatakan sesuatu yang sulit. "Apakah menurutmu wajahku mirip dengan Tuan Biantara?"Keheningan mendadak mengisi ruangan itu. Kaisar menatap sorot mata Almeera yang gelisah, mencari kata-kata yang tepat di dalam
Sebagai pelengkap untuk memanas-manasi Violetta, Karenina pun menghela napas panjang, seolah sangat prihatin dengan nasib gadis itu."Kamu perlu mengetahui hal ini, Violetta. Almeera akan hadir bersama Kaisar di acara pertunanganmu."Sontak, Violetta langsung menyahut dengan suara melengking dari balik telepon."Apa yang harus aku lakukan, Kak Nina? Aku tidak mau kehadirannya di pesta tersebut akan merusak segalanya," kata Violetta, suaranya bergetar antara marah dan ketakutan.Karenina berpikir sejenak, lalu sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. "Kita akan mengungkapkan aibnya di depan semua tamu undangan. Kita akan memastikan bahwa Almeera mendapatkan pembalasan yang setimpal atas segala perbuatannya. Tapi, kita harus cerdas, tidak boleh melakukannya dengan cara yang kasar.""Bagaimana caranya, Kak Nina?" Violetta bertanya, terdengar lebih tenang setelah mendengar bahwa Karenina memiliki rencana. Namun, ia merasa penasaran dan juga sedikit khaw
Tuan Arjuna mundur selangkah, terkejut dengan intensitas kemarahan Karenina. Namun demikian, ia tetap tenang, mencoba menenangkan situasi.“Nyonya Karenina, saya memahami perasaan Anda, tetapi ini adalah keputusan yang telah dibuat oleh Tuan Kaisar. Saya di sini untuk memastikan bahwa proses ini berjalan sesuai dengan hukum.”Seketika Karenina merasa tanah di bawahnya runtuh. Pikirannya berputar, mencari-cari alasan, mencoba mencari cara untuk menghentikan bencana ini.“Tuan Arjuna, kumohon,” suaranya melembut, penuh dengan nada memohon yang jarang terdengar. “Katakan pada Kaisar bahwa dia tidak boleh melakukan ini. Katakan padanya bahwa saya mencintainya... bahwa saya tidak bisa hidup tanpanya.”Tuan Arjuna menghela napas. Matanya menunjukkan kesedihan yang tulus, tetapi dia tetap teguh.“Nyonya, saya mengerti bahwa situasi ini sangat sulit bagi Anda. Namun, keputusan ini sudah final. Tuan Kaisar tel
Ketika Kaisar berpamitan untuk berangkat ke kantor, Almeera mengantar suaminya hingga pintu depan. Dia memeluk Kaisar erat, seolah-olah tidak ingin melepaskannya pergi. "Hati-hati di jalan, Hubby," bisik Almeera.Kaisar membalas pelukan itu dengan penuh kelembutan, menanamkan ciuman hangat di bibir Almeera sebelum beranjak pergi. "Kamu juga jaga diri, Sayang. Panggil Pak Wahyu atau Willy jika kamu ingin pergi. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku."Almeera hanya bisa mengangguk, menatap Kaisar dengan penuh cinta dan sedikit kekhawatiran. Dengan perasaan campur aduk, Almeera menutup pintu. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan, tetapi dia percaya penuh kepada Kaisar. Apa pun yang akan terjadi, mereka akan menghadapinya bersama, seperti yang selalu mereka lakukan.Di dalam hati Almeera, ada doa yang terucap dalam diam. Doa agar semuanya berjalan lancar, dan agar mereka bisa terus bersama. Dengan keyakinan itu, Almeera melanjutkan harinya, berharap bahwa semuanya akan baik-b
"Selamat pagi, Rico," sapa Kaisar dengan nada yang terlalu tenang, tetapi justru terasa misterius bagi Jerico. Kaisar berjalan mendekat, tatapannya begitu dingin dan datar sehingga membuat Jerico gugup.Jerico bergegas bangkit dari kursinya, mencoba menampilkan senyuman kaku. "Selamat pagi, Kaisar, Mr. Tanawat, senang sekali bisa bertemu lagi. Saya kira Anda sudah terbang ke Thailand pagi ini.”Tak ada balasan ramah dari Mr. Tanawat maupun asistennya. Hanya tatapan dingin penuh tuduhan yang diterima oleh Jerico. Hawa di ruangan itu tiba-tiba terasa lebih dingin, lebih menyesakkan. Suara detik jam yang terus berjalan terdengar semakin jelas di telinga."Rico," kata Kaisar perlahan, berjalan mendekati meja Jerico. "Ada masalah penting yang perlu kita bicarakan. Ini sangat mendesak dan aku perlu penjelasan darimu."Jerico menelan ludah, perasaan tak nyaman mulai menyelimuti tubuhnya. "Apa... apa yang terjadi, Kaisar?"Kaisar mengambil sebuah ber
Kalimat yang diucapkan Jerico bergema dalam pikiran Kaisar. Saat mobil polisi perlahan menjauh, Kaisar masih tegak berdiri di tempatnya. Tubuhnya kaku, pikirannya dalam kekacauan. Jerico jelas mengancam dengan sesuatu yang lebih besar. Sebuah rasa takut perlahan merayap masuk ke dalam benaknya—Almeera--- itulah yang terlintas pertama kali. Tanpa menunggu lebih lama, Kaisar segera mengeluarkan ponselnya dan menelepon Almeera. Detik-detik terasa lambat, saat ia menunggu suara sang istri terdengar di ujung sana.“Halo, Hubby,” suara Almeera terdengar lembut, seperti biasa.“Sayang, kamu di mana sekarang?” tanya Kaisar buru-buru, nada suaranya lebih tegang dari biasanya.“Aku berada di apartemen, Hubby. Aku sedang merapikan kamar, lalu akan memasak untuk makan siang,” jawab Almeera santai. Ia terdengar riang, seolah tidak ada yang keliru.Kaisar menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Sayang, aku ingin kita makan siang bersama hari ini. Aku akan menyuruh Pak Wahyu untuk