Sebagai pelengkap untuk memanas-manasi Violetta, Karenina pun menghela napas panjang, seolah sangat prihatin dengan nasib gadis itu."Kamu perlu mengetahui hal ini, Violetta. Almeera akan hadir bersama Kaisar di acara pertunanganmu."Sontak, Violetta langsung menyahut dengan suara melengking dari balik telepon."Apa yang harus aku lakukan, Kak Nina? Aku tidak mau kehadirannya di pesta tersebut akan merusak segalanya," kata Violetta, suaranya bergetar antara marah dan ketakutan.Karenina berpikir sejenak, lalu sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. "Kita akan mengungkapkan aibnya di depan semua tamu undangan. Kita akan memastikan bahwa Almeera mendapatkan pembalasan yang setimpal atas segala perbuatannya. Tapi, kita harus cerdas, tidak boleh melakukannya dengan cara yang kasar.""Bagaimana caranya, Kak Nina?" Violetta bertanya, terdengar lebih tenang setelah mendengar bahwa Karenina memiliki rencana. Namun, ia merasa penasaran dan juga sedikit khaw
Tuan Arjuna mundur selangkah, terkejut dengan intensitas kemarahan Karenina. Namun demikian, ia tetap tenang, mencoba menenangkan situasi.“Nyonya Karenina, saya memahami perasaan Anda, tetapi ini adalah keputusan yang telah dibuat oleh Tuan Kaisar. Saya di sini untuk memastikan bahwa proses ini berjalan sesuai dengan hukum.”Seketika Karenina merasa tanah di bawahnya runtuh. Pikirannya berputar, mencari-cari alasan, mencoba mencari cara untuk menghentikan bencana ini.“Tuan Arjuna, kumohon,” suaranya melembut, penuh dengan nada memohon yang jarang terdengar. “Katakan pada Kaisar bahwa dia tidak boleh melakukan ini. Katakan padanya bahwa saya mencintainya... bahwa saya tidak bisa hidup tanpanya.”Tuan Arjuna menghela napas. Matanya menunjukkan kesedihan yang tulus, tetapi dia tetap teguh.“Nyonya, saya mengerti bahwa situasi ini sangat sulit bagi Anda. Namun, keputusan ini sudah final. Tuan Kaisar tel
Ketika Kaisar berpamitan untuk berangkat ke kantor, Almeera mengantar suaminya hingga pintu depan. Dia memeluk Kaisar erat, seolah-olah tidak ingin melepaskannya pergi. "Hati-hati di jalan, Hubby," bisik Almeera.Kaisar membalas pelukan itu dengan penuh kelembutan, menanamkan ciuman hangat di bibir Almeera sebelum beranjak pergi. "Kamu juga jaga diri, Sayang. Panggil Pak Wahyu atau Willy jika kamu ingin pergi. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku."Almeera hanya bisa mengangguk, menatap Kaisar dengan penuh cinta dan sedikit kekhawatiran. Dengan perasaan campur aduk, Almeera menutup pintu. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan, tetapi dia percaya penuh kepada Kaisar. Apa pun yang akan terjadi, mereka akan menghadapinya bersama, seperti yang selalu mereka lakukan.Di dalam hati Almeera, ada doa yang terucap dalam diam. Doa agar semuanya berjalan lancar, dan agar mereka bisa terus bersama. Dengan keyakinan itu, Almeera melanjutkan harinya, berharap bahwa semuanya akan baik-b
"Selamat pagi, Rico," sapa Kaisar dengan nada yang terlalu tenang, tetapi justru terasa misterius bagi Jerico. Kaisar berjalan mendekat, tatapannya begitu dingin dan datar sehingga membuat Jerico gugup.Jerico bergegas bangkit dari kursinya, mencoba menampilkan senyuman kaku. "Selamat pagi, Kaisar, Mr. Tanawat, senang sekali bisa bertemu lagi. Saya kira Anda sudah terbang ke Thailand pagi ini.”Tak ada balasan ramah dari Mr. Tanawat maupun asistennya. Hanya tatapan dingin penuh tuduhan yang diterima oleh Jerico. Hawa di ruangan itu tiba-tiba terasa lebih dingin, lebih menyesakkan. Suara detik jam yang terus berjalan terdengar semakin jelas di telinga."Rico," kata Kaisar perlahan, berjalan mendekati meja Jerico. "Ada masalah penting yang perlu kita bicarakan. Ini sangat mendesak dan aku perlu penjelasan darimu."Jerico menelan ludah, perasaan tak nyaman mulai menyelimuti tubuhnya. "Apa... apa yang terjadi, Kaisar?"Kaisar mengambil sebuah ber
Kalimat yang diucapkan Jerico bergema dalam pikiran Kaisar. Saat mobil polisi perlahan menjauh, Kaisar masih tegak berdiri di tempatnya. Tubuhnya kaku, pikirannya dalam kekacauan. Jerico jelas mengancam dengan sesuatu yang lebih besar. Sebuah rasa takut perlahan merayap masuk ke dalam benaknya—Almeera--- itulah yang terlintas pertama kali. Tanpa menunggu lebih lama, Kaisar segera mengeluarkan ponselnya dan menelepon Almeera. Detik-detik terasa lambat, saat ia menunggu suara sang istri terdengar di ujung sana.“Halo, Hubby,” suara Almeera terdengar lembut, seperti biasa.“Sayang, kamu di mana sekarang?” tanya Kaisar buru-buru, nada suaranya lebih tegang dari biasanya.“Aku berada di apartemen, Hubby. Aku sedang merapikan kamar, lalu akan memasak untuk makan siang,” jawab Almeera santai. Ia terdengar riang, seolah tidak ada yang keliru.Kaisar menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Sayang, aku ingin kita makan siang bersama hari ini. Aku akan menyuruh Pak Wahyu untuk
Di sisi lain, Almeera berusaha mengesampingkan percakapan dengan Nyonya Diana. Ia menatap keluar jendela apartemen, menanti kedatangan Pak Wahyu. Meski begitu, pikirannya terus melayang pada Tuan Biantara dan undangan makan siang sebelumnya.Mengapa pasangan paruh baya itu selalu menunjukkan perhatian berlebihan, bahkan ingin memperkenalkannya kepada sahabat-sahabat mereka? Terlihat seolah mereka menganggapnya seperti putri sendiri. Namun, hingga saat ini, Almeera belum mampu memastikan apapun.Beberapa saat kemudian, dering ponsel menggema di ruangan. Nama Pak Wahyu berkedip di layar. Dengan tenang, Almeera menjawab telepon tersebut, meski rasa gelisah tiba-tiba menyelinap tanpa alasan yang jelas."Nyonya Almeera, saya sudah tiba di depan lobi. Anda bisa turun sekarang," suara Pak Wahyu terdengar seperti biasa, tanpa keanehan.Almeera mengangguk, meski ia sadar Pak Wahyu tak akan melihat gerakan itu. "Baik, saya akan turun segera."Dengan cekatan, Almeera meraih tas tangannya dan mem
Suasana di mansion terasa begitu tenang dan hangat. Karenina menikmati sarapan paginya dengan semangat, sesekali menyuap potongan kecil buah segar ke mulutnya. Meski kondisi fisik dan hatinya sedang tak baik-baik saja, penampilannya tetap harus sempurna.Rambut panjangnya terurai indah, dan wajahnya berseri-seri setelah berdandan dengan teliti. Ia harus memperlihatkan kepada semua orang bahwa kecantikannya tak akan pernah pudar. Di dalam hatinya, Karenina sangat yakin bila Kaisar tidak akan berhasil mengakhiri pernikahan mereka.Hari ini adalah hari yang spesial bagi Karenina. Ia akan pergi bersama Hana untuk memilih gaun pesta bagi pertunangan Reval, anak kesayangan Hana. Meskipun hati kecilnya sedikit terusik memikirkan pesta itu—terutama dengan kehadiran Almeera, istri kedua Kaisar yang ia benci—Karenina berusaha mengabaikannya. Dia lebih tertarik untuk tampil sempurna dan mencuri perhatian di acara itu. Lagipula, ini adalah momen langka bagi
Wendi menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. Seperti terdapat beban berat yang membuatnya sulit untuk bercerita."Yang pertama ... Pak Jerico, Bu. Dia ... dia ditangkap polisi pagi ini."Secara refleks, mata Karenina membelalak lebar, jantungnya serasa hampir berhenti. "Apa?! Jerico ditangkap?" suaranya meninggi. "Kamu yakin?!""Pasti, Bu. Saya melihat sendiri ketika para polisi membawanya keluar dari kantor tadi pagi. Mereka bilang ada laporan... bahwa Pak Jerico terlibat dalam kasus penggelapan dana perusahaan."Kata-kata Wendi seolah menghantam dada Karenina dengan keras. Denyut jantungnya terasa seperti tertahan di rongga dada. Mustahil, pikirnya.Rasanya tidak mungkin Jerico bisa sampai dipenjara. Pria itu selalu cerdas dan tahu bagaimana menjaga dirinya dari masalah. Dia terlatih untuk bersikap licik tanpa meninggalkan jejak.Karenina merasa kepalanya mulai berputar. Napasnya terasa berat, seolah-olah udara di sekel
Begitu Kaisar tiba di lobi, sopir sudah menunggu di depan, membuka pintu mobil secepatnya agar Kaisar bisa langsung masuk.Ketika mobil melaju kencang, Kaisar mengeluarkan ponsel dan menelepon kakeknya, Tuan Barata. “Bagaimana keadaan Meera, Opa?” tanya Kaisar cemas.Di ujung sana, Tuan Barata segera menjawab, “Kami sudah dalam perjalanan ke rumah sakit. Perut Almeera masih mengalami kontraksi.”Kaisar menoleh ke sopirnya. “Lebih cepat, Pak. Cari jalan pintas kalau perlu. Kalau masih macet, saya akan naik ojek saja,” desaknya tak sabar.Sementara itu, di rumah sakit, Almeera baru saja tiba dan langsung dibawa oleh tim perawat ke ruang bersalin. Nenek Gayatri dan Bi Yuli mendampingi, wajah mereka penuh kekhawatiran sekaligus antusiasme. Saat perawat memeriksa Almeera, ternyata pembukaan jalan lahir hampir lengkap. Perawat bergegas menghubungi dokter kandungan yang menangani Almeera.Almeera meringis, menahan nyeri yang semakin kuat dan bergelombang, datang seperti badai yang tak dapat
Dengan mata yang masih berat, Almeera mengerjap sambil menyibakkan selimut, menyingkapkan perutnya yang sudah besar dan bulat—memasuki bulan kesembilan. Saat ini, ia tidak leluasa lagi bergerak seperti dulu. Ia harus berjalan lebih pelan serta membatasi kegiatan sehari-hari, karena pinggang dan kakinya mudah pegal. Meski begitu, Almeera menikmati semua perubahan ini sebagai bagian dari perjuangannya menjadi seorang ibu.Kaisar sudah terbangun lebih dulu, lalu duduk di tepi ranjang. Ia memandangi sang istri dengan penuh kasih.Kaisar tersenyum lembut sambil meraih kaki Almeera dan mulai memijat perlahan, membebaskan beban dari telapak kaki yang menahan berat tubuh istrinya.“Enak, Sayang?” bisik Kaisar sambil melanjutkan pijatannya.Almeera mengangguk kecil, matanya masih setengah terpejam. “Enak sekali. Kamu tidak perlu memijatku setiap hari, Hubby.”“Justru aku senang melakukannya. Ini mungkin satu-satunya cara supaya aku merasa berguna untukmu,” kata Kaisar dengan sorot mata berbina
Percakapan di meja makan berlanjut dengan penuh tawa. Tuan Barata sesekali membuat lelucon yang membuat Nenek Gayatri tertawa malu-malu, hingga suasana di mansion menjadi begitu akrab. Tak ada lagi jejak perselisihan maupun kesedihan yang tersisa. Selepas makan siang, Tuan Barata menawarkan Nenek Gayatri untuk beristirahat di kamar yang telah disiapkan. “Bi Yuli akan mengantarkan Anda ke kamar, Bu Gayatri. Istirahatlah dulu, setelah perjalanan panjang pasti Anda lelah.”Nenek Gayatri mengangguk, mengucapkan terima kasih kepada Tuan Barata dan mengikuti Bi Yuli. Langkah perempuan tua itu diiringi oleh Rifki yang melompat-lompat kegirangan karena bisa kembali ke mansion besar itu.Sementara itu, Kaisar melingkarkan tangannya di pinggang Almeera. Mengajak sang istri untuk meninggalkan ruang makan.“Kita juga istirahat, ya? Nanti malam, kita akan membawa Nenek Gayatri serta Rifki ke rumah Tuan Marco.”Almeera mengangguk setuju. Perjalanan mereka cukup panjang dan menguras tenaga, dan ia
Almeera mengangguk pelan, tahu betapa pentingnya kehadiran Mirza bagi sang nenek. Walaupun ia merasa tak enak hati sesudah pertemuan terakhir mereka di Jakarta, tetapi ia memang perlu berterima kasih kepada Mirza. Terlebih, Mirza adalah teman masa kecil sekaligus sosok yang pernah dekat dengan hidupnya. Ketika Nenek Gayatri menyampaikan niatnya pada Kaisar, Almeera melihat kekhawatiran di mata suaminya. Kaisar berdiri di samping mereka dengan rahang mengeras, seperti mencoba menyembunyikan perasaan cemburu yang samar. “Hubby, temani aku ke rumah Kak Mirza, ya,” pinta Almeera lembut, ingin memastikan Kaisar tidak salah paham. Setelah beberapa detik terdiam, Kaisar akhirnya mengangguk. Mereka pun berjalan bersama menuju rumah Mirza, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal Nenek Gayatri. Setibanya di sana, Mirza membuka pintu dan tampak terkejut melihat kedatangan Almeera. Lebih terkejut lagi ketika melihat bahwa Almeera datang bersama Kaisar, seorang pria asing yang belum pernah i
“Hubby, kita menginap satu malam di sini, ya? Aku ingin istirahat, sekalian membantu Nenek berkemas,” pinta Almeera sambil memandang Kaisar dengan harap-harap cemas. Kaisar memandangi sekeliling kamar yang sederhana, hanya ada dipan kayu tua dan lemari usang. Namun, tanpa ragu, ia tersenyum hangat dan mengangguk. “Asalkan bersama kamu, aku rela tidur di mana saja, Sayang. Lagi pula, aku juga lelah. Aku akan memberitahu Pak Wahyu dulu supaya dia mencari penginapan di sekitar sini,” ucap Kaisar sambil mengusap lembut punggung tangan Almeera.Mendengar itu, hati Almeera menghangat. Kemudian ia menggandeng neneknya menuju kamar, siap membantu Nenek Gayatri mengemasi barang-barangnya. Sambil memasukkan baju-baju ke dalam tas kecil, Nenek Gayatri memandang Almeera dengan mata berkaca-kaca.“Akhirnya kamu bisa bertemu ayah kandungmu, Meera. Dan sekarang kamu punya suami yang bisa menjagamu,” ujar Nenek Gayatri dengan suara bergetar, penuh keharuan.Almeera tersenyum dan menepuk tangan nene
Nenek Gayatri menoleh cepat, dan sapu di tangannya langsung terjatuh begitu melihat Rifki. Matanya yang sedikit kabur seolah berbinar dengan kegembiraan, saat melihat cucu kesayangannya kembali ke rumah. Namun, bukan hanya Rifki yang membuatnya terkejut. Di belakang Rifki, terlihat Almeera yang berjalan pelan, digandeng oleh seorang pria tampan dengan sosok tinggi dan gagah.“Nenek, aku pulang!” Rifki memeluk neneknya erat-erat, hampir membuat Nenek Gayatri terhuyung ke belakang. Ia tertawa kecil, menepuk-nepuk punggung Rifki dengan penuh sayang.“Rifki... sudah lama sekali Nenek tidak melihatmu, Nak,” kata Nenek Gayatri penuh haru. Lalu pandangannya beralih ke Almeera dan Kaisar, terutama ke Kaisar yang berdiri di samping Almeera dengan senyum ramah.Almeera pun mendekati sang nenek dengan langkah pelan. Seakan tak mampu membendung rasa rindu, Nenek Gayatri menarik Almeera ke dalam pelukannya, erat dan penuh kelegaan. Tubuh rapuhnya bergetar, dan air mata mengalir di pipinya.“Alham
Almeera merasa senang melihat Kaisar kini tampak akrab dengan Rifki. Hubungan antara suaminya dan adiknya yang selama ini kaku mulai mencair. Kaisar bahkan melontarkan beberapa lelucon yang membuat Rifki tertawa. Almeera tahu betapa pentingnya momen ini bagi Rifki, yang dulu sering merasa takut terhadap Kaisar. Setelah barang-barang selesai dimuat ke dalam mobil, mereka bertiga berpamitan kepada kepala asrama dan kepala sekolah Rifki. Kepala sekolah Rifki, seorang wanita berumur dengan rambut yang sudah memutih, sempat berbincang singkat dengan Kaisar, yang dengan ramah menjawab pertanyaan dan memberi penghormatan. Almeera melihat Kaisar tidak hanya bersikap sopan, tetapi juga menunjukkan ketulusan. Seolah Kaisar ingin memperlihatkan bahwa ia tidak hanya peduli pada Almeera, tapi juga pada Rifki, yang telah dianggapnya sebagai keluarga sendiri.Usai berpamitan, mereka bertiga pun naik ke mobil, siap melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman Almeera. Sepanjang perjalanan, Rifki t
Ponsel nyaris terjatuh dari genggaman Almeera. Tubuhnya menegang, dan ia menahan napas, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “A-apa maksudmu, Hubby?” bisiknya, berusaha mengatasi keterkejutannya.“Nina meninggal, Sayang. Dia pergi begitu mendadak,” suara Kaisar terdengar parau dan penuh kesedihan. Almeera menelan ludah, perasaannya berkecamuk, antara terkejut, tak percaya, dan juga rasa iba yang mendalam untuk Kaisar. Karenina, meskipun telah banyak menyakiti dan penuh tipu daya, tetaplah seseorang yang pernah menjadi pasangan hidup Kaisar. Almeera mencoba menenangkan diri, tetapi air mata mulai menggenang di sudut matanya.“Sabar ya, Hubby. Aku akan segera menyusulmu ke Bogor,” jawabnya pelan, suaranya bergetar menahan emosi.“Tidak perlu, Meera. Kami akan membawa Nina pulang ke Jakarta untuk dimakamkan. Kamu tunggu saja di mansion bersama Opa Barata.”Setelah menutup telepon, Almeera berdiri di sana, menatap kosong ke lantai kamar rumah sakit. Hatinya terasa berat,
Raut wajah Kaisar berubah kaku, rahangnya mengeras mendengar pengakuan dari Karenina. Hana yang berada di dekatnya pun menutup mulutnya dengan tangan, matanya terbuka lebar tak percaya. Mereka terdiam, tersentak oleh kenyataan mengejutkan yang terungkap pada detik-detik terakhir ini.Dengan suara bergetar dan pandangan yang samar, Karenina berbisik, "Maafkan aku, Kaisar… Maafkan aku… Aku hanya ingin… meninggal dalam status sebagai istrimu."Kaisar terdiam, matanya memancarkan kegetiran yang dalam. Karenina memandangnya untuk terakhir kali dengan tatapan sendu, lalu menutup matanya perlahan.Kepala Karenina terkulai, dan tangan yang semula menggenggam tangan Kaisar pun perlahan terlepas. Semua terasa berhenti, seakan waktu tak lagi bergerak untuk sesaat.Dokter yang sudah berada di samping tempat tidur Karenina, segera memeriksa detak jantungnya. Dengan cepat, ia memerintahkan Kaisar, Hana, dan Akbar keluar dari kamar rawat untuk membe