Tuan Arjuna mundur selangkah, terkejut dengan intensitas kemarahan Karenina. Namun demikian, ia tetap tenang, mencoba menenangkan situasi.
“Nyonya Karenina, saya memahami perasaan Anda, tetapi ini adalah keputusan yang telah dibuat oleh Tuan Kaisar. Saya di sini untuk memastikan bahwa proses ini berjalan sesuai dengan hukum.”
Seketika Karenina merasa tanah di bawahnya runtuh. Pikirannya berputar, mencari-cari alasan, mencoba mencari cara untuk menghentikan bencana ini.
“Tuan Arjuna, kumohon,” suaranya melembut, penuh dengan nada memohon yang jarang terdengar. “Katakan pada Kaisar bahwa dia tidak boleh melakukan ini. Katakan padanya bahwa saya mencintainya... bahwa saya tidak bisa hidup tanpanya.”
Tuan Arjuna menghela napas. Matanya menunjukkan kesedihan yang tulus, tetapi dia tetap teguh.
“Nyonya, saya mengerti bahwa situasi ini sangat sulit bagi Anda. Namun, keputusan ini sudah final. Tuan Kaisar tel
Ketika Kaisar berpamitan untuk berangkat ke kantor, Almeera mengantar suaminya hingga pintu depan. Dia memeluk Kaisar erat, seolah-olah tidak ingin melepaskannya pergi. "Hati-hati di jalan, Hubby," bisik Almeera.Kaisar membalas pelukan itu dengan penuh kelembutan, menanamkan ciuman hangat di bibir Almeera sebelum beranjak pergi. "Kamu juga jaga diri, Sayang. Panggil Pak Wahyu atau Willy jika kamu ingin pergi. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku."Almeera hanya bisa mengangguk, menatap Kaisar dengan penuh cinta dan sedikit kekhawatiran. Dengan perasaan campur aduk, Almeera menutup pintu. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan, tetapi dia percaya penuh kepada Kaisar. Apa pun yang akan terjadi, mereka akan menghadapinya bersama, seperti yang selalu mereka lakukan.Di dalam hati Almeera, ada doa yang terucap dalam diam. Doa agar semuanya berjalan lancar, dan agar mereka bisa terus bersama. Dengan keyakinan itu, Almeera melanjutkan harinya, berharap bahwa semuanya akan baik-b
"Selamat pagi, Rico," sapa Kaisar dengan nada yang terlalu tenang, tetapi justru terasa misterius bagi Jerico. Kaisar berjalan mendekat, tatapannya begitu dingin dan datar sehingga membuat Jerico gugup.Jerico bergegas bangkit dari kursinya, mencoba menampilkan senyuman kaku. "Selamat pagi, Kaisar, Mr. Tanawat, senang sekali bisa bertemu lagi. Saya kira Anda sudah terbang ke Thailand pagi ini.”Tak ada balasan ramah dari Mr. Tanawat maupun asistennya. Hanya tatapan dingin penuh tuduhan yang diterima oleh Jerico. Hawa di ruangan itu tiba-tiba terasa lebih dingin, lebih menyesakkan. Suara detik jam yang terus berjalan terdengar semakin jelas di telinga."Rico," kata Kaisar perlahan, berjalan mendekati meja Jerico. "Ada masalah penting yang perlu kita bicarakan. Ini sangat mendesak dan aku perlu penjelasan darimu."Jerico menelan ludah, perasaan tak nyaman mulai menyelimuti tubuhnya. "Apa... apa yang terjadi, Kaisar?"Kaisar mengambil sebuah ber
Kalimat yang diucapkan Jerico bergema dalam pikiran Kaisar. Saat mobil polisi perlahan menjauh, Kaisar masih tegak berdiri di tempatnya. Tubuhnya kaku, pikirannya dalam kekacauan. Jerico jelas mengancam dengan sesuatu yang lebih besar. Sebuah rasa takut perlahan merayap masuk ke dalam benaknya—Almeera--- itulah yang terlintas pertama kali. Tanpa menunggu lebih lama, Kaisar segera mengeluarkan ponselnya dan menelepon Almeera. Detik-detik terasa lambat, saat ia menunggu suara sang istri terdengar di ujung sana.“Halo, Hubby,” suara Almeera terdengar lembut, seperti biasa.“Sayang, kamu di mana sekarang?” tanya Kaisar buru-buru, nada suaranya lebih tegang dari biasanya.“Aku berada di apartemen, Hubby. Aku sedang merapikan kamar, lalu akan memasak untuk makan siang,” jawab Almeera santai. Ia terdengar riang, seolah tidak ada yang keliru.Kaisar menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Sayang, aku ingin kita makan siang bersama hari ini. Aku akan menyuruh Pak Wahyu untuk
Di sisi lain, Almeera berusaha mengesampingkan percakapan dengan Nyonya Diana. Ia menatap keluar jendela apartemen, menanti kedatangan Pak Wahyu. Meski begitu, pikirannya terus melayang pada Tuan Biantara dan undangan makan siang sebelumnya.Mengapa pasangan paruh baya itu selalu menunjukkan perhatian berlebihan, bahkan ingin memperkenalkannya kepada sahabat-sahabat mereka? Terlihat seolah mereka menganggapnya seperti putri sendiri. Namun, hingga saat ini, Almeera belum mampu memastikan apapun.Beberapa saat kemudian, dering ponsel menggema di ruangan. Nama Pak Wahyu berkedip di layar. Dengan tenang, Almeera menjawab telepon tersebut, meski rasa gelisah tiba-tiba menyelinap tanpa alasan yang jelas."Nyonya Almeera, saya sudah tiba di depan lobi. Anda bisa turun sekarang," suara Pak Wahyu terdengar seperti biasa, tanpa keanehan.Almeera mengangguk, meski ia sadar Pak Wahyu tak akan melihat gerakan itu. "Baik, saya akan turun segera."Dengan cekatan, Almeera meraih tas tangannya dan mem
Suasana di mansion terasa begitu tenang dan hangat. Karenina menikmati sarapan paginya dengan semangat, sesekali menyuap potongan kecil buah segar ke mulutnya. Meski kondisi fisik dan hatinya sedang tak baik-baik saja, penampilannya tetap harus sempurna.Rambut panjangnya terurai indah, dan wajahnya berseri-seri setelah berdandan dengan teliti. Ia harus memperlihatkan kepada semua orang bahwa kecantikannya tak akan pernah pudar. Di dalam hatinya, Karenina sangat yakin bila Kaisar tidak akan berhasil mengakhiri pernikahan mereka.Hari ini adalah hari yang spesial bagi Karenina. Ia akan pergi bersama Hana untuk memilih gaun pesta bagi pertunangan Reval, anak kesayangan Hana. Meskipun hati kecilnya sedikit terusik memikirkan pesta itu—terutama dengan kehadiran Almeera, istri kedua Kaisar yang ia benci—Karenina berusaha mengabaikannya. Dia lebih tertarik untuk tampil sempurna dan mencuri perhatian di acara itu. Lagipula, ini adalah momen langka bagi
Wendi menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. Seperti terdapat beban berat yang membuatnya sulit untuk bercerita."Yang pertama ... Pak Jerico, Bu. Dia ... dia ditangkap polisi pagi ini."Secara refleks, mata Karenina membelalak lebar, jantungnya serasa hampir berhenti. "Apa?! Jerico ditangkap?" suaranya meninggi. "Kamu yakin?!""Pasti, Bu. Saya melihat sendiri ketika para polisi membawanya keluar dari kantor tadi pagi. Mereka bilang ada laporan... bahwa Pak Jerico terlibat dalam kasus penggelapan dana perusahaan."Kata-kata Wendi seolah menghantam dada Karenina dengan keras. Denyut jantungnya terasa seperti tertahan di rongga dada. Mustahil, pikirnya.Rasanya tidak mungkin Jerico bisa sampai dipenjara. Pria itu selalu cerdas dan tahu bagaimana menjaga dirinya dari masalah. Dia terlatih untuk bersikap licik tanpa meninggalkan jejak.Karenina merasa kepalanya mulai berputar. Napasnya terasa berat, seolah-olah udara di sekel
Karenina memutuskan untuk menghubungi teman mendiang ayahnya, Tuan Mario, yang berprofesi sebagai pengacara. Tuan Mario sudah lama membantu keluarganya dalam berbagai urusan hukum. Namun kali ini, persoalannya jauh lebih serius daripada sebelumnya.Setelah beberapa dering, suara lembut dan tegas pengacara tersebut terdengar dari ujung telepon."Karenina," katanya tanpa basa-basi. "Ada yang bisa kubantu?"Karenina menelan ludah, mencoba mengendalikan suaranya agar tidak terdengar terlalu cemas. "Saya butuh bantuan Om Mario ... segera.""Apa masalahnya?" tanya sang pengacara dengan nada waspada, tampak menangkap getaran ketegangan dalam suara Karenina."Jerico... Jerico ditangkap polisi hari ini, Om. Dia adalah sahabat baik saya," kata Karenina, suaranya hampir berbisik."Rico ... terlibat masalah korupsi di PT. Tunjung Biru. Saya ingin tahu kondisinya sekarang, tapi saya tidak bisa muncul di kantor polisi. Ini... terlalu berisiko bagi s
Reval maupun Violetta sama-sama terkejut. Mereka tidak menyangka Kaisar akan mengatakan tentang perceraiannya di tempat umum. Mata Violetta melebar, dan bibirnya bergetar sejenak, seolah ingin memaki Almeera.Namun, dia menahan diri karena takut melawan Kaisar secara langsung. Bagaimanapun juga, posisi Kaisar di keluarga Syailendra dan di dunia bisnis sangat kuat, dan Violetta tahu dia tidak boleh mempermalukan dirinya sendiri."Perceraian?" Violetta akhirnya berucap, mencoba menahan iri hati dan cemburu yang sudah membakar hatinya. "Kenapa, Kak Kaisar ...?""Ini keputusanku," potong Kaisar cepat. "Karenina tidak lagi menjadi bagian dari hidupku, dan aku harap kamu bisa menghormati itu."Violetta terdiam, menundukkan kepalanya sejenak, mencoba mengendalikan emosi. Reval menyentuh lengan Violetta, sebagai isyarat agar perempuan itu menjaga percakapan mereka tetap netral. Namun, usahanya itu ternyata tidak membuahkan hasil.Tanpa basa-bas