"Aduuuh ... lewat mana ini?" Perempuan pendek yang baru turun dari bus itu meringis bingung.
Masih sambil menyusuri trotoar jalan yang padat sore ini, Aileen menggaruk pipinya. Tidak tahu harus pergi ke mana.Lagipula, Aileen hanya asal menaiki bus saja. Tidak peduli kendaraan umum itu akan membawanya kemana. Yang jelas dia hanya perlu untuk kabur dari rumah; menghindari sang ayah."Aku cari dia dulu. Mama enggak perlu khawatir."Suara seorang pria lumayan dewasa yang tengah menelepon membuat Aileen menoleh ragu. Ingin bertanya takut dimarahi. Tidak bertanya takut semakin nyasar."Permisi, Om!" Pada akhirnya, perempuan pendek itu berani menyapa lebih dulu.Tapi, lirikan pria dewasa itu membuat Aileen mengerjap takut. Apa dia sudah salah memilih orang untuk ditanyai?Pria tadi mengangkat sebelah alisnya. Seolah tengah bertanya 'kenapa?' dengan raut tidak sabaran. Aileen mendadak gugup."Eung ... a-anu ... itu, Om. Mau nanya--""Cepetan! Saya nggak punya banyak waktu," tekan pria jangkung itu membuat Aileen semakin tergagap."Enggak jadi deh, Om. Maaf ganggu," jawab Aileen akhirnya sebelum kemudian berlari menjauh.Pria bernama Arsen itu memandangi kepergian Aileen dengan kernyitan tidak mengerti. Ada apa dengan remaja aneh itu? Di jam empat sore begini, bagaimana bisa juga dia berkeliaran dengan baju tidur?Entah dia diusir dari rumahnya saat baru bangun tidur atau bagaimana, yang jelas Arsen tidak mau tahu. Hal yang penting sekarang, putranya menghilang kemana?"Ck ... seharusnya aku sewain dia perawat pengganti sejak awal," decak pria jangkung itu kesal.***Aileen menyerah. Di antara beberapa orang yang ia tanyai sepanjang jalan, tidak ada yang mampu perempuan itu dapatkan. Bahkan hanya untuk satu petak kamar kontrakan.Memilih duduk di tepi trotoar bak orang gila yang lupa tempat tinggal, Aileen menggaruk rambut berantakannya semakin keras."Gimana ini?" bingung perempuan 19 tahun itu hampir menangis.Kalau saja bukan karena Adimas yang ingin menikahkan Aileen dengan seorang duda, mungkin dia tidak akan sampai di sini sekarang. Ketimbang menjadi istri kesekian juragan beras tua itu, tentu saja Aileen lebih baik menjadi gelandangan atau paling tidak babu.Di tengah kebingungannya, netra cokelat madu perempuan itu menangkap keberadaan seorang bocah di tengah jalan raya sore yang padat. Manik bulat dengan bulu mata lentik itu kontan mendelik terkejut."Eh! Itu anak siapa sendirian di tengah jalan?!" panik Aileen sambil bangkit berdiri.Lalu, begitu menemukan sebuah sedan berwarna silver melaju dari arah kanan jalan, tanpa pikir panjang Aileen segera berlari sekuat tenaga. Begitu berhasil menjangkau bocah laki-laki itu, Aileen memeluknya kemudian menghempaskan tubuh mereka ke sisi jalan.Beruntung saja, keduanya selamat. Meski nyatanya siku Aileen tergores cukup parah oleh aspal jalan."Ya Ampun! Hampir aja," lirih Aileen penuh syukur. Suara perempuan itu bahkan gemetaran saking terkejutnya.Sedangkan bocah di dalam dekapannya tidak mengatakan apa-apa sama sekali. Dia hanya mendongak menatap wajah orang yang menolongnya dengan pelongoan takjub."Orang tua kamu kemana? Kenapa jalan di sini sendiri? Bahaya loh!" tegur Aileen mulai mengomel sambil membantu bocah laki-laki itu berdiri.Ketimbang menyahuti omelan Aileen, dia malah memegangi perutnya yang sedari tadi terus berbunyi."Aku lapar, Bibi." Bocah itu mengadu sambil mendongak menatap Aileen dengan ekspresi cemberut.Seketika, perempuan pendek itu mendadak 'speechless'. Matanya mengerjap sebelum kemudian mengangkat bocah itu ke dalam gendongan."Kasih tau aku nama kamu dulu. Baru kubeliin makan," ucap Aileen bernegosiasi sambil membawa bocah mungil itu ke tepi trotoar."Ayres, Bibi. Tadi ke sini sama Papa. Tapi karena kabur, jadinya nyasar," jawab bocah itu apa adanya.Sejenak, Aileen merenung. Tangannya merogoh saku piyama hitam satin dan menemukan uang sepuluh ribu. Sisa uangnya hanya itu saja. Dia juga lapar. Sejak kabur dari rumah subuh tadi, dia belum menyentuh air apalagi nasi bahkan sampai detik ini.Tapi ... sepertinya bocah di depannya ini lebih lapar. Terbukti dari bunyi perutnya yang sampai pada telinga Aileen."Yaudah, ayo Bibi beliin makanan! Kamu mau makan apa?" tanya Aileen sambil mengangkat bocah tampan itu lagi ke dalam gendongan."Ayam goreng!" jawab Ayres semangat.Aileen mendadak meringis. "Kayaknya uangnya enggak cukup. Uang Bibi cuma segini. Nasi bungkus aja, ya? Biar dapet minumnya juga," tawar Aileen sambil membuka lebar-lebar uang berwarna merahnya yang sudah lusuh.Seingatnya, uang ini sudah tinggal di sakunya sejak dua minggu yang lalu. Aileen bahkan lupa sudah berapa kali uang itu ikut tercuci."Iyadeh," jawab bocah itu pasrah.Berikutnya, Aileen membawa Ayres ke warung nasi terdekat. Mereka mendapatkan sebungkus nasi dengan harga lima ribu, sebotol air seharga dua ribu setengah, juga beberapa permen yang diminta Ayres sebagai kembaliannya.Uang Aileen tentu saja habis. Tapi, perempuan itu tidak merasa menyesal sama sekali. Justru, begitu melihat bagaimana lahapnya bocah tampan itu makan, perempuan itu malah tersenyum senang."Umur kamu berapa?" tanya Aileen penasaran."Kata Papa, baru masuk lima tahun, Tante. Sekarang udah sekolah dong," jawab bocah itu bangga.Aileen mengangguk-angguk. "Sekolah di mana?" tanya perempuan itu basa-basi. Sekedar mengalihkan perhatian dari rasa laparnya yang semakin menjadi begitu melihat cara Ayres makan."Di TK Asmaul Husna. Deket dari rumah loh, di sana banyak bunga Gerbera. Kami yang tanam, bibitnya dikasih sama Papa," oceh bocah itu yang membuat Aileen melongo.Bukan karena serius mendengarkan, tapi terlalu fokus melihat bagaimana cara mulut Ayres mengoceh sambil makan dengan ekspresi menggemaskan. Aileen bahkan tidak bisa menahan kekehan gelinya begitu mendapati bocah tampan itu tersedak."Makanya jangan makan sambil ngomong!" tegur Aileen sambil membukakan tutup botol air mineral untuk Ayres.Selesai minum, bocah itu menyorot Aileen protes. "Tadi Bibi yang ngajak aku ngomong duluan!" sanggah Ayres yang semakin membuat Aileen tertawa.Perempuan itu seolah lupa bahwa sekarang dia harus mencari rumah. Harus mendapat uang untuk makan. Harus punya pekerjaan.Dia tidak akan kembali ke rumah Ayahnya. Pria itu sudah berniat menjualnya pada juragan di desa mereka. Seharusnya, jika memang Adimas masih menganggapnya seorang anak, dia tidak akan melakukan itu, kan?"Bibi, punya hp? Pinjem dong!" tanya sekaligus pinta bocah itu yang tanpa Aileen sadari sudah selesai makan.Aileen menoleh linglung sebelum kemudian mengangguk. "Punya. Mau dipake buat apa?" tanya Aileen balik."Mau telepon Papa. Biar dia bisa jemput aku ke sini," jawab Ayres sambil mengeluarkan sesuatu dari manik kalungnya.Ternyata ada nomor telepon yang tergulung rapi di sana."Ini, Bi." Bocah itu menyodorkan nomor tersebut pada Aileen.Aileen segera mengeluarkan ponsel di saku piyamanya sebelum kemudian menelepon Papa Ayres. Tidak butuh waktu satu menit untuk mendapati panggilannya diangkat."Halo." Aileen menyapa cepat."Siapa?" tanya pria di seberang sana to the point.Sejenak, Aileen merasa deja vu. Suaranya seperti seseorang yang pernah Aileen dengar."Eung ... Papanya Ayres, ya?" tanya Aileen agak gugup."Dia di mana? Saya ke sana sekarang," tanya pria itu cepat."Aku enggak tau tepatnya. Intinya kami lagi di warung nasi dekat lampu merah. Yang spanduknya warna hijau," jawab Aileen sambil memperhatikan sekeliling.Tut!Tidak ada jawaban lagi. Pria di seberang sana langsung memutuskan panggilan secara sepihak. Aileen jadi bingung apakah pria itu akan menjemput putranya atau tidak.Tapi, begitu beberapa saat kemudian Aileen menemukan seorang pria berjas menghampiri keduanya, perempuan itu melongo. Apalagi begitu pria jangkung itu segera menggendong Ayres."Ketemu juga kamu, huh?!" kesal Arsen sambil menggeplak pelan lengan putranya."Eh, Om yang tadi," gumam Aileen terkejut membuat Arsen menoleh."Kamu?" tanya Arsen begitu mengenali remaja dengan piyama satin hitam itu."Dia Bibi yang nolongin aku, Papa. Tadi aku hampir ketabrak mobil. Terus juga aku dikasih makan sama dibeliin permen," cerita Ayres apa adanya membuat raut wajah Arsen berubah lebih bersahabat."Makasih sudah nolongin dan kasih makan anak saya. Ini buat kamu," ucap Arsen sambil mengeluarkan beberapa uang merah muda dari saku jasnya.Aileen menggeleng cepat. "Enggak perlu, Om.""Yasudah," jawab Arsen sambil memasukkan kembali uangnya ke dalam saku.Baru saja akan berbalik hendak pergi, suara perut Aileen justru menghentikan gerakan pria jangkung itu. Aileen menunduk sambil meringis malu.Dasar perut kurang ajar!"Kamu ... mau kemana? Kenapa jam segini malah kelayapan pakai baju begitu?" tanya Arsen tiba-tiba.Aileen mendongak. "Eung ... gimana, ya? Aku kabur dari rumah, Om." Perempuan pendek itu menggaruk tengkuknya sambil terkekeh hambar."Karena apa---eh, lupain. Bukan hak saya nanya hal kayak gitu," potong Arsen cepat. "Nama kamu siapa?" lanjut pria itu bertanya."Aileen, Om. Aileen Nayara." Arsen mengangguk-angguk sejenak."Jadi kamu lagi butuh tempat tinggal sementara, ya?" tanya Arsen memastikan.Aileen mengangguk jujur."Yasudah, kalau gitu tinggal di rumah saya aja." Pria jangkung itu menjawab enteng."Hah?" Aileen masih tidak mengerti."Kamu tinggal di rumah saya. Tapi enggak gratis. Jadi ART deh. Mau nggak?" tawar Arsen yang semakin membuat Aileen bingung.Kira-kira, lebih baik hidup mewah tapi menjadi istri duda tua bangka atau hidup apa adanya sebagai pembantu di rumah orang?“Ini rumahnya Om?” tanya Aileen takjub begitu mobil Arsen yang membawa dirinya juga Ayres memasuki gerbang tinggi dan megah kediaman duda tampan itu.“Menurut kamu rumah siapa? Tetangga?” tanya Arsen sewot.Aileen menggeleng panik. Sedangkan Ayres yang berada di pangkuan perempuan itu tertawa cekikikan. Arsen yang melihat puteranya tidak beralih dari pangkuan ART baru mereka itu sejak pertama kali masuk mobil, sejenak melongo takjub.Bagaimana bisa Arsen baru menyadari bahwa Ayres lumayan ‘jinak’ oleh orang baru semacam Aileen? Apa sebelumnya perempuan remaja itu sudah mangancam atau memaksa putranya agar patuh padanya?“Bibi sekarang tinggal di sini, ya? Pasti dikasih makan sama Papa kok, tenang aja. Papaku baik banget meski kadang suka marah,” jelas Ayres panjang lebar yang dibalas Arsen dengan putaran bola mata malas.“Papa mau masuk dulu. Nanti kamu suruh dia ketemu Nenek, biar nenek yang kasih tau ruangan dia di mana,” pesan Arsen pada Ayres begitu pria jangkung itu sudah memarki
“Aku ngapain lagi, Om?”Arsen memandang perempuan pendek di depannya dengan helaan napas berat. Sebenarnya ART barunya ini manusia atau bagaimana? Kenapa sejak pagi tadi dia terus bekerja dan menanyakan pekerjaan lainnya? Apa Aileen itu tidak mengenal kata lelah? “Ini minggu, Aileen. Pembantu di sini kalau hari minggu ya libur juga,” jelas Arsen masih dengan jawaban yang sama sedari pagi tadi.“Tapi aku bingung harus ngapain kalau enggak ada pekerjaan, Om.” Aileen menjawab jujur sambil menggaruk tengkuk.Arsen segera melepas sepatu kerjanya kemudian memandangi perempuan yang sore ini hanya mengenakan celana training semata kaki juga kaus oblong. Meski begitu, penampilan sederhana Aileen justru semakin menambah kecantikan alami perempuan 19 tahun itu. “Yaudah kalau kamu suka banget kerja. Sana, bikinin kopi!” suruh Arsen akhirnya.Aileen mengangguk semangat sebelum kemudian melangkah cepat menuju dapur. Arsen yang melihat kelakuan perempuan itu, hanya menggeleng tidak habis pikir. Ba
Entah karena terlalu lelah atau mungkin belum terbiasa terpapar AC, Aileen yang sering merasa tidak enak badan sejak tinggal di rumah Arsen kini mulai tidak bisa bangkit dari tempat tidur. Seluruh tubuhnya terasa remuk redam, badannya terasa panas namun perempuan itu menggigil kedinginan. Ayres yang menyadari sang Bibi tidak kunjung keluar kamar dan menyiapkannya sarapan seperti biasa, tentu saja mencari Aileen ke kamarnya. Lalu, begitu melihat Aileen masih berbaring di ranjangnya dengan gulungan selimut tebal, bocah sipit itu segera naik ke atas kasur."Bibi kenapa? Sakit? Mau disuntik Dokter? Aku kira orang hebat enggak butuh obat," gumam Ayres sambil mengguncang-guncangkan bahu Aileen.Perempuan itu kontan membuka mata. Manik cokelat madunya yang terlihat berair menatap Ayres sayu. "Bibi lagi enggak hebat, makanya sakit. Kamu minta Bi Rindi siapin sarapan dulu, ya?" pinta Aileen yang diangguki bocah yang biasanya keras kepala itu patuh."Bentar, ya?" ucap Ayres sebelum kemudian m
Begitu merasa sedikit membaik dan pulih, Aileen memutuskan untuk bekerja lagi. Perempuan itu bahkan mulai membantu Bi Rindi di dapur juga menyiapkan segala kebutuhan Ayres di sekolah maupun di rumah.Arsen dan Namira yang melihat betapa keras kepala perempuan 19 tahun itu akhirnya cuma bisa menghela berat. Bingung harus mencegah seorang Aileen Nayara bagaimana lagi. Perempuan itu terlalu keras kepala."Aileen." Panggilan bernada dingin itu dibalas Aileen dengan deheman.Perempuan yang siang ini tengah mengepel lantai rumah dengan setelan baju tidur yang masih melekat di tubuh bahkan tidak berniat memandang Arsen sama sekali. Seolah wajah tampan majikannya kalah menarik dari lantai keramik yang basah."Lepas alat pelnya!" titah Arsen tegas yang dibalas Aileen dengan gelengan."Enggak bisa. Aku harus kerja, biar enggak dikira makan gaji buta," jawab perempuan itu sambil kembali melanjutkan kegiatan mengepelnya.Arsen mendengkus sebal. Kemudian, tanpa aba-aba, pria itu merebut alat pel d
Untuk kesekian kalinya, Aileen menyembunyikan wajahnya di balik bantal kamar. Menyadari bahwa Arsen melihat darah haidnya justru membuat perempuan pendek itu semakin badmood dan malu.Pasti sekarang duda menyebalkan itu tengah menertawai seberapa jorok dirinya. Aish ... memikirkannya malah membuat Aileen semakin malas keluar dari kamar.Tidak peduli bahwa pekerjaan rumah belum ia kerjakan pagi ini."Bibi Ai ... laper," keluh Ayres dari depan pintu kamarnya.Aileen bangkit duduk. Perempuan pendek itu kemudian berdiri dan segera berlari membuka pintu kamar."Kamu mau makan apa? Maaf, Bibi lupa seduhin susu hangat sama masakin sarapan," ucap Aileen penuh sesal begitu menemukan wajah lesu putra sang majikan di depan kamarnya."Kata Papa, aku enggak boleh ganggu Bibi Ai. Katanya Bibi Ai masih sakit, buktinya kemarin berdarah gitu. Tapi kan aku lapar, Bibi. Kalau Bibi Rindi yang masakin, rasanya kurang enak," adu Ayres polos yang hanya dibalas Aileen dengan wajah cemberut."Yaudah, ayo kita
"Pa, Bibi Ai enggak akan mati, kan?" tanya Ayres untuk kesekian kalinya.Tapi, sama seperti sebelumnya, pria sipit itu hanya diam termenung sambil memeluk erat Ayres yang ada di pangkuan. Bahkan untuk memastikan bahwa Aileen masih bisa selamat kepada putranya saja, Arsen tidak berani."Papa jangan diem aja. Aku takut," rengek Ayres yang kini mulai menangis.Untuk pertama kalinya, Arsen bahkan tidak mampu menyadari kehadiran Ayres. Jiwa pria itu seolah masih tertinggal di suatu tempat.Namira yang baru saja sampai tentu saja langsung mengambil alih sang cucu dari gendongan putranya. Tanpa berucap apa-apa, Namira membawa Ayres menjauh dan mengantar bocah itu pulang dengan beberapa bujukan.Karena lebih daripada Ayres, Arsen lebih butuh untuk ditolong. Untuk pertama kalinya, Namira melihat lagi ketakutan di mata pria itu. Antara lega sekaligus sedih, perempuan tua itu akhirnya duduk di samping Arsen."Arsen," panggil Namira sambil menyentuh sisi bahu Arsen.Seketika, Arsen yang baru ters
Rasanya, Aileen masih terlalu bingung dengan semua yang terjadi. Perempuan itu merasa linglung dan telah kehilangan banyak hal. Seolah ... ada sesuatu yang ia harus ingat tapi terus Aileen lupakan."Apa kabar?" Sapaan singkat berikut pintu ruang rawat yang terbuka membuat perempuan pendek itu menoleh.Rupanya, pria yang sebelumnya memperkenalkan diri dengan nama Arsen itu sudah kembali. Pria yang mengaku sebagai calon suaminya itu tampak tersenyum hangat begitu Aileen terus memandangnya lekat.Rasanya ... seperti terlalu tiba-tiba. Apa benar pria di depannya ini adalah calon suaminya? Pasalnya, Aileen terlihat jauh lebih muda dari Arsen.Ketimbang disebut pasangan suami istri, teman-temannya pasti akan mengira bahwa Arsen adalah pamannya."Saya beli ini tadi di jalan. Siapa tau aja kamu mau. Lagian ... makanan di rumah sakit enggak ada yang enak, kan?" Arsen mulai mengeluarkan isi dari kresek belanja bawaannya.Di dalam sana, ada ayam geprek, pop ice rasa cokelat, beberapa snack dan c
"Kalian habis kemana?" Aileen bertanya bingung begitu mendapati Ayres dan Arsen baru kembali dengan banyak tas belanjaan di tangan.Kedua orang yang katanya Ayah dan anak itu tampak tersenyum cerah. Aileen sebenarnya masih bingung kenapa dia bisa menjadi pembantu sang duda sekaligus calon istrinya.Kapan mereka menjalin hubungan? Di ingatannya ... dia bahkan masih merasa berumur 17 tahun. Siapa yang sangka kata Arsen sekarang dia sudah menginjak 19 tahun hampir 20."Mereka Bunda suruh buat beliin kamu pakaian dan keperluan kamu lainnya. Bentar lagi kan kalian nikah, jadi dari sekarang putranya Bunda harus menuhin semua kebutuhan dan keinginan kamu." Namira yang tengah duduk di samping Aileen menjelaskan sambil tersenyum menggoda.Dengan alasan yang entah, Aileen tersipu malu. Meski perasaannya pada Arsen masih terasa abu---mungkin akibat amnesia yang dideritanya, tetap saja Aileen tidak bisa berbohong kalau Arsen itu tipe calon suami idaman.Tampan, iya. Kaya, tidak perlu ditanyakan
"Karena kamu udah bahagia sama Kanaya, ceraiin aku aja!"Teriakan bernada amarah yang Aileen layangkan mendadak membuat Arsen terpaku di tempat. Tidak menyangka Aileen akan berani mengatakan itu padanya."Kamu serius bilang gitu sama saya?" tanya Arsen begitu beberapa lama hanya diam.Aileen tidak menjawab lagi. Perempuan itu memilih mengusap air matanya dan bangkit dari ranjang.Perempuan pendek itu kemudian berlari keluar kamar dan masuk ke kamar mereka. Arsen mengekori dalam diam. Berharap semuanya berakhir baik-baik saja.Tapi, melihat sang istri yang mulai mengeluarkan tas kemudian mengemasi barang-barangnya, Arsen mendengkus frustasi. Arsen pikir Aileen sudah menyerah dan memilih berbaikan."Kamu bakal nyesel kalau udah keluar dari sini, Aileen! Karena kamu enggak bakal bisa balik lagi," ancam Arsen sambil menahan tangan Aileen yang memindahkan baju-bajunya.Seketika, Aileen terdiam. Arsen pikir perempuan itu akan berhenti. Tapi, perempuan itu hanya melempar tas di depannya ke s
"Papa kamu kira-kira pergi kemana ya, Res?" tanya Aileen sore ini pada putranya.Ayres yang tengah bermain mobil-mobilan di samping bawah ranjang sang Mama hanya mengangkat bahu. Pertanda tidak tahu. Aileen cemberut.Padahal tadi Arsen hanya bilang akan pergi sebentar; ada urusan. Tapi pria itu bahkan tidak memberitahukan Aileen urusannya apa, dimana dan dengan siapa."Kayaknya Papa ketemu Mama, Ma." Ayres menjawab sekali lagi sambil membongkar bagian baterai di mobil-mobilannya. Padahal, benda berukuran sedang itu baru dibelikan Arsen kemarin."Mama siapa maksud kamu?" tanya Aileen merasa janggal dengan jawaban Ayres."Ya Mama Aya. Tiap hari minggu Papa pasti ngajak aku buat ketemu dia. Kata Papa, dia Mama kandung aku." Ayres menjawab polos tanpa mengalihkan pandangan dari mainannya.Berbanding terbalik dengan reaksi Aileen yang mendadak termenung di tempatnya. Perempuan itu memandang Ayres sekali lagi."Jadi selama ini ... tiap hari minggu kamu sama Papa kamu ketemu dia?" tanya Aile
Pagi ini, Ayres bangun terlalu cepat. Padahal bocah itu bahkan hanya baru beberapa jam tertidur. Arsen tidak tahu sang putra akan melakukan apa. Tapi, begitu melihat Ayres berjalan cepat menuju rumah lama Mamanya, ia mulai mengerti akan kemana bocah itu pergi."Enggak sarapan dulu?" tanya Arsen begitu melihat bocah itu hanya meminum susu kemudian turun dari kursi meja makan yang tinggi.Ayres menggeleng yakin. Bocah itu menengok ke lantai atas sekali lagi sebelum kemudian berlari menaiki undakan tangga.Mendadak, begitu sampai di tengah-tengah, bocah itu berhenti. Beberapa saat kemudian ia berbalik dan berlari turun menuju meja makan lagi."Aku mau bawa ini," ucap bocah sipit itu sambil membawa sepiring makanan beserta lauk bagiannya.Ayres kemudian berlari menuju lantai atas lagi. Begitu sampai di depan pintu kamar lama sang Mama, Ayres menggeleng-gelengkan kepala. Kentara sekali kalau ia tengah mencoba menghalau gugup."Mama ... aku boleh masuk?" tanya Ayres setengah berteriak yang
Aileen tidak tahu sejak kapan ingatannya kembali seperti semula. Tapi, yang membuat perempuan itu sedikit tidak senang, adalah kebohongan yang selama ini ditutupi Arsen rapat-rapat.Sadar tidak sadar, sekarang Aileen mengetahui semua. Tentang tabrakan di mall, juga status Aileen yang sebenarnya.Dia bukan kekasih Arsen. Mereka tidak pernah berpacaran selama dua tahun, apalagi sampai merencanakan pernikahan. Aileen murni hanya seorang ART yang selama kurang lebih dua bulan tinggal di rumah pria itu sebelum akhirnya tragedi tabrakan itu terjadi.Yang menjadi pertanyaan di benak Aileen, kenapa Arsen harus berbohong sampai sejauh itu? Apa hanya karena pria itu ingin menikahinya dan menjadikan Aileen Mama untuk Ayres? Tapi ... karena kebohongan itu, mereka akhirnya menikah.Dan tanpa Aileen sadari, ia sudah terperangkap terlalu dalam pada dunia Arsen. Dia sudah terlalu menyayangi Ayres, juga suaminya sendiri.Jadi ketika fakta itu mulai diketahuinya, Aileen kehilangan makian yang sudah ber
Sejak Ayres ngambek setelah sang Mama lupa mengantarnya berangkat sekolah, bocah sipit itu sudah tidak banyak berbicara dengan Aileen lagi. Dia hanya akan meminta bantuan dan bermain bersama Arsen saja.Tentu saja Aileen merasa kesepian. Karena selama ini, jika bukan mengurus Ayres, dia tidak punya kegiatan lain. Aileen benar-benar merasa sendirian di rumah besar ini.Apalagi beberapa hari belakangan, Arsen juga banyak berubah. Pria itu jadi lebih banyak diam dan tidak pernah memulai pembicaraan dengan Aileen lebih dulu kecuali jika memang sedang perlu."Mas, ini kan hari minggu." Aileen memberi kode sambil membantu Arsen memasang kemejanya.Tapi, Arsen tidak merespon apa-apa. Pria sipit itu hanya diam sambil terus memandang penampilannya lewat cermin besar di depan.Aileen yang merasa diabaikan akhirnya hanya bisa menghela kecewa. Dia tidak tahu kesalahannya apa sehingga sepasang ayah dan anak ini bersikap seolah tidak menginginkan Aileen berada di sampingnya.Seingat Aileen, dia tid
"Seharusnya kamu cerai saja sama dia! Rumah aja dia masih numpang sama Mamanya. Gimana mau kasih tempat tinggal buat anak saya?" sindir Almira---mertua Arsen tepat di depan pria itu.Meski tersinggung dengan ucapan sang Mama mertua, Arsen tetap menunduk dalam. Pria itu tidak mengatakan apapun kecuali memasang senyum terbaiknya.Tapi, Kanaya terlalu memahami suaminya. Masalahnya, memarahi orang tuanya juga bukan pilihan yang benar. Karena Almira memang ada benarnya juga.Sejak dinyatakan mengandung anak pertama mereka, Kanaya yang kandungannya cukup lemah jadi lebih sering keluar masuk rumah sakit. Karena Arsen tidak punya cukup biaya juga rumah yang terbilang sangat sempit, Almira memilih membawa sang anak ke rumahnya dan meninggalkannya sementara di sana.Ayah Kanaya---Gio sebenarnya tidak menyetujui hal itu. Karena pria itu tahu menantunya tampak keberatan. Dia juga yakin Arsen bisa merawat putrinya dengan baik. Tapi, pada akhirnya Gio hanya mengalah karena tidak ingin berdebat pan
Sejak kembali dari kolam renang, Aileen menyadari Arsen lebih banyak diam. Suaminya terlihat seolah tengah memikirkan sesuatu yang begitu berat. Aileen beberapa kali bertanya apa ia butuh sesuatu, akan tetapi Arsen terus diam dan hanya membalas sekenanya saja."Mama nggak asik ah, masak pas di kolam malah tidur. Aku kan jadi pulang cepet karena disuruh Papa," protes Ayres cemberut begitu siang ini mereka tengah duduk sambil nonton TV di ruang tengah.Aileen meringis merasa bersalah. Perempuan itu menggaruk tengkuk. "Ya maaf, Sayang. Lagian kan kamu punya kolam di belakang, kenapa harus ke kolam renang di luar segala?" tanya Aileen tidak mengerti."Beda, Mama! Di rumah kolamku enggak ada perosotannya. Jadi enggak seru," sanggah Ayres yang hanya diangguki saja oleh perempuan itu.Pikirnya, yang penting bocah sipit itu senang."Mama Ai, aku lapar." Ayres merengek lagi begitu channel televisi yang kerap menayangkan kartun favoritnya malah dijeda iklan.Ketika bosan menunggu iklan yang lum
Sejak semalam, Aileen tidak bisa tidur karena menemani Arsen begadang. Karena tidak ingin terlalu lama lembur dan meninggalkan rumah, pria itu membawa pekerjaan kantornya ke rumah.Lalu, demi mengosongkan jadwalnya di esok hari agar bisa liburan full time bersama sang istri dan putranya, Arsen memutuskan menyelesaikannya malam tadi. Tentu saja Aileen menemaninya sambil sesekali berbincang, meminum kopi juga sambil menonton TV.Sampai pekerjaan kantor Arsen selesai tepat pukul 3 malam, Aileen terlanjur tidak bisa tidur di saat suaminya bahkan sudah mendengkur. Perempuan pendek itu kemudian memilih mengeksekusi dapur.Lalu, setelah pukul 5 pagi, selesai sholat subuh dan menyiapkan sarapan, Aileen malah baru bisa terlelap. Arsen yang berniat akan pergi liburan pagi ini jadi tidak tega membangunkan istrinya."Aileen belum keluar kamar juga, Ma?" tanya Arsen untuk kesekian kalinya dari ruang tengah begitu melihat Namira turun dari tangga.Namira menggeleng sebagai jawaban. Kemudian, peremp
Aileen tidak tahu di masa lalu ia sudah melakukan hal baik macam apa. Seingatnya, perempuan itu hanya terus mengeluh dan meminta mati lebih cepat saja kepada Tuhan setelah kepergian sang Mama.Aileen sudah terlalu banyak menanggung lelah. Bertahan hingga lulus SMA adalah pencapaian luar biasa yang sudah dimilikinya. Dalam ingatannya yang mulai membaik meski samar, Aileen dapat mengingat bagaimana Adimas terus meremehkan juga menentangnya karena ingin sekolah.Bagi pria itu, perempuan yang berpendidikan tinggi adalah dosa. Bukan kodratnya sama sekali. Maka tidak heran ketika akan berangkat sekolah, Ayahnya terus menyuruhnya mengerjakan pekerjaan rumah, mengantar koran di pagi buta, menjajakan jualan ke pasar sebelum fajar, atau pekerjaan apa saja yang bisa membuat ia lelah hingga malas berangkat sekolah.Tapi, Aileen tetap berangkat sekolah. Tidak peduli tubuhnya yang pegal bukan main, teman-temannya yang punya tas, sepatu dan buku bagus sedangkan dia tidak, juga banyaknya pekerjaan la