Entah karena terlalu lelah atau mungkin belum terbiasa terpapar AC, Aileen yang sering merasa tidak enak badan sejak tinggal di rumah Arsen kini mulai tidak bisa bangkit dari tempat tidur. Seluruh tubuhnya terasa remuk redam, badannya terasa panas namun perempuan itu menggigil kedinginan.
Ayres yang menyadari sang Bibi tidak kunjung keluar kamar dan menyiapkannya sarapan seperti biasa, tentu saja mencari Aileen ke kamarnya. Lalu, begitu melihat Aileen masih berbaring di ranjangnya dengan gulungan selimut tebal, bocah sipit itu segera naik ke atas kasur."Bibi kenapa? Sakit? Mau disuntik Dokter? Aku kira orang hebat enggak butuh obat," gumam Ayres sambil mengguncang-guncangkan bahu Aileen.Perempuan itu kontan membuka mata. Manik cokelat madunya yang terlihat berair menatap Ayres sayu."Bibi lagi enggak hebat, makanya sakit. Kamu minta Bi Rindi siapin sarapan dulu, ya?" pinta Aileen yang diangguki bocah yang biasanya keras kepala itu patuh."Bentar, ya?" ucap Ayres sebelum kemudian melompat turun dari kasur dan berlari keluar kamar.Aileen hendak protes. Tapi, perempuan itu bahkan tidak punya cukup tenaga untuk bicara."Dingin banget, ya ampun," ringis Aileen sambil mempererat selimut yang melingkupi tubuh mungilnya.Dia jadi menyesal karena tidak menuruti perintah Namira untuk tidur sebelum jam 12 malam. Kadang, karena takut Arsen lapar atau butuh sesuatu ketika pulang kerja, Aileen selalu terjaga menunggu hingga tengah malam.Tidak heran sekarang kepalanya terasa berdenyut nyeri. Sepertinya, Aileen juga terlalu banyak begadang."Kamu sakit apa?" Beberapa menit setelah kepergian Ayres, Arsen masuk ke kamar Aileen dengan wajah cemas.Aileen menoleh kemudian bangkit duduk. Tapi, karena kepalanya yang terasa berputar hebat, perempuan itu memilih bersandar di sandaran ranjang."Baring aja kalau emang nggak sanggup. Jangan maksain diri!" tegur Arsen sambil membantu perempuan itu berbaring lagi.Ayres mengekori di belakang sang Ayah. Dua sipit itu terlihat sama-sama memasang wajah khawatir membuat perasaan Aileen tanpa sadar sedikit menghangat.Bahkan, Ayahnya yang sudah tinggal sejak kecil dengannya tidak pernah terlihat secemas itu pada Aileen. Saat Aileen sempat di-opname selama seminggu di rumah sakit karena typus pun, pria itu justru lebih banyak marah karena biaya rumah sakit yang mahal.Tapi Ayres dan Arsen ... mereka bahkan baru bertemu terhitung hari. Bagaimana bisa mereka sepeduli ini padanya?Menyadari itu, tanpa sadar Aileen mulai menangis. Saat sakit begini, perasaannya memang lebih sensitif. Perempuan itu juga cengeng dan begitu perasa."Eh ... kamu kenapa? Sakit banget, ya? Bentar lagi Dokter dateng kok, saya udah teleponin tadi." Arsen bertanya panik begitu melihat asisten kesayangan putranya mulai menangis dalam diam.Aileen menggeleng panik. Tapi, air matanya justru merembes semakin banyak. Itu membuat Arsen berpikir bahwa kali ini sakit perempuan itu memang sudah lumayan parah."Enggak. Enggak pa-pa," jawab Aileen singkat. Suara perempuan itu bahkan gemetar membuat Arsen meringis tidak tega.Begitu Dokter sampai, pria berkaca mata dengan jas putih itu kemudian memeriksa Aileen. Namira yang mengetahui bahwa perempuan itu sakit, pada akhirnya menemani sang pembantu---atau bisa disebut cucu angkatnya tanpa mau meninggalkan Aileen barang sejenak.Kehadiran Namira justru semakin menambah kecengengan Aileen. Perempuan itu tidak bisa berhenti menangis membuat Arsen berangkat kerja dengan perasaan gelisah. Tentu saja juga Ayres yang berangkat sekolah sambil menangis keras karena tidak mau meninggalkan Bibinya yang sedang sakit.***"Udah agak mendingan, Sayang?" Pertanyaan Namira siang ini membuat Aileen yang tengah berbaring gelisah menoleh.Perempuan itu kemudian mengangguk. Meski pada nyatanya tidak. Setelah dipikir-pikir, dia sudah terlalu banyak merepotkan orang-orang baik di rumah ini sejak pagi tadi."Katanya Arsen bentar lagi pulang. Dia beli bubur ayam buat kamu. Jadi makan siangnya nanti dulu, ya?" tawar Namira yang diangguki Aileen sekali lagi.Sebenarnya, dia cukup terkejut begitu mengetahui Arsen pulang secepat ini. Biasanya, pria itu paling cepat pulang sore. Itupun hanya pernah sekali. Tapi, Aileen tidak punya cukup tenaga untuk berbicara dan menanyakan alasan sang majikan pulang secepat itu."Arsen pulang katanya karena nggak tenang. Soalnya calon istrinya di rumah lagi sakit," cerita Namira yang tidak terlalu didengar Aileen dengan jelas karena dengungan nyeri di kepala.Tapi, sentuhan lembut Namira di punggung tangannya membuat Aileen mendongak. "Arsen kelihatan seneng banget sejak kamu tinggal di sini. Karena Ayres akhirnya bisa lebih penurut dan bisa diatur. Dia nggak tau kamu pakai sihir atau apa, tapi katanya dia bersyukur banget karena putranya bisa kenal kamu. Makasih ya, Aileen?"Aileen tidak tahu cerita panjang lebar Namira sebenarnya mengarah kemana, tapi, di mata perempuan tua itu, ia dapat melihat tatapan penuh harap di sana. Hanya saja, Aileen tidak tahu perempuan itu mengharapkan apa darinya."Kalau aja bisa, Nenek juga pasti seneng banget kalau kamu bisa bener-bener jadi Ibunya Ayres. Jadi istrinya Arsen, bukan hal yang buruk juga, kan?" tanya Namira yang seketika membuat Aileen menoleh tidak santai."Hah?" tanya perempuan itu tidak mengerti."Gimana? Kamu udah ngerasa mendingan?" Pertanyaan dari Arsen yang tahu-tahu sudah berdiri di ambang pintu kamar membuat fokus Aileen mendadak buyar.Perempuan itu menoleh kemudian mengangguk saja. Tapi, pria itu sepertinya tidak percaya. Jadi, Arsen berjalan mendekat kemudian menempelkan punggung tangannya pada kening sang ART."Apaan? Masih panas gini juga," gumam Arsen kesal sambil mendelik tajam pada Aileen.Aileen meringis tidak enak hati karena ketahuan berbohong. Namira yang melihat interaksi putranya dengan Aileen hanya terkekeh geli sebelum kemudian pamit keluar."Ini, ada bubur. Ayo makan!" suruh Arsen sambil meletakkan bubur di atas nakas.Aileen bangkit duduk kemudian bersandar di sandaran ranjang. Perempuan itu kemudian menerima bubur yang disodorkan Arsen beserta sendoknya."Kan udah saya bilang berapa kali sih, Aileen? Makan yang banyak, karena kamu kerjanya banyak. Tidur yang cukup, jangan nungguin saya yang pulang kerja larut malem. Kalau udah waktunya istirahat, jangan kerja mulu. Sakit kan sekarang jadinya!" omel Arsen panjang lebar yang hanya dibalas Aileen dengan tundukan menyesal."Sekarang ayo habisin buburnya! Setelah itu minum obat. Kamu harus cepet sembuh, kasihan juga si Ayres nangis terus gara-gara ngira kamu bakalan pergi kayak Mamanya dulu," titah pria sipit itu lagi yang seketika membuat Aileen mengernyit bingung."Emang Mamanya Ayres pergi kemana, Om?" tanya perempuan itu penasaran.Sejenak, Arsen terdiam. Beberapa saat kemudian, pria itu memasang wajah galak lagi. "Enggak perlu tau! Enggak usah banyak tanya, makan aja!" kesal Arsen yang membuat Aileen cemberut.Dia kan hanya bertanya. Mana Aileen tahu bahwa Arsen akan menjawab seketus itu. Memangnya salah jika Aileen hanya ingin tahu?Melihat wajah tersinggung Aileen atas responnya yang tidak menyenangkan, Arsen sedikit gelagapan. Pria itu kemudian bangkit berdiri secara tiba-tiba membuat Aileen mendongak kaget."Maksud saya, kamu emang nggak perlu tau. Sekarang kan, yang saya anggep Mamanya Ayres itu kamu."Setelah mengatakan itu, Arsen melangkah cepat keluar kamar. Bahkan, tanpa sadar pria sipit itu malah membanting pintu.Aileen menggeleng tidak habis pikir. Duda galak itu ... kenapa suka sekali mengejutkannya?Begitu merasa sedikit membaik dan pulih, Aileen memutuskan untuk bekerja lagi. Perempuan itu bahkan mulai membantu Bi Rindi di dapur juga menyiapkan segala kebutuhan Ayres di sekolah maupun di rumah.Arsen dan Namira yang melihat betapa keras kepala perempuan 19 tahun itu akhirnya cuma bisa menghela berat. Bingung harus mencegah seorang Aileen Nayara bagaimana lagi. Perempuan itu terlalu keras kepala."Aileen." Panggilan bernada dingin itu dibalas Aileen dengan deheman.Perempuan yang siang ini tengah mengepel lantai rumah dengan setelan baju tidur yang masih melekat di tubuh bahkan tidak berniat memandang Arsen sama sekali. Seolah wajah tampan majikannya kalah menarik dari lantai keramik yang basah."Lepas alat pelnya!" titah Arsen tegas yang dibalas Aileen dengan gelengan."Enggak bisa. Aku harus kerja, biar enggak dikira makan gaji buta," jawab perempuan itu sambil kembali melanjutkan kegiatan mengepelnya.Arsen mendengkus sebal. Kemudian, tanpa aba-aba, pria itu merebut alat pel d
Untuk kesekian kalinya, Aileen menyembunyikan wajahnya di balik bantal kamar. Menyadari bahwa Arsen melihat darah haidnya justru membuat perempuan pendek itu semakin badmood dan malu.Pasti sekarang duda menyebalkan itu tengah menertawai seberapa jorok dirinya. Aish ... memikirkannya malah membuat Aileen semakin malas keluar dari kamar.Tidak peduli bahwa pekerjaan rumah belum ia kerjakan pagi ini."Bibi Ai ... laper," keluh Ayres dari depan pintu kamarnya.Aileen bangkit duduk. Perempuan pendek itu kemudian berdiri dan segera berlari membuka pintu kamar."Kamu mau makan apa? Maaf, Bibi lupa seduhin susu hangat sama masakin sarapan," ucap Aileen penuh sesal begitu menemukan wajah lesu putra sang majikan di depan kamarnya."Kata Papa, aku enggak boleh ganggu Bibi Ai. Katanya Bibi Ai masih sakit, buktinya kemarin berdarah gitu. Tapi kan aku lapar, Bibi. Kalau Bibi Rindi yang masakin, rasanya kurang enak," adu Ayres polos yang hanya dibalas Aileen dengan wajah cemberut."Yaudah, ayo kita
"Pa, Bibi Ai enggak akan mati, kan?" tanya Ayres untuk kesekian kalinya.Tapi, sama seperti sebelumnya, pria sipit itu hanya diam termenung sambil memeluk erat Ayres yang ada di pangkuan. Bahkan untuk memastikan bahwa Aileen masih bisa selamat kepada putranya saja, Arsen tidak berani."Papa jangan diem aja. Aku takut," rengek Ayres yang kini mulai menangis.Untuk pertama kalinya, Arsen bahkan tidak mampu menyadari kehadiran Ayres. Jiwa pria itu seolah masih tertinggal di suatu tempat.Namira yang baru saja sampai tentu saja langsung mengambil alih sang cucu dari gendongan putranya. Tanpa berucap apa-apa, Namira membawa Ayres menjauh dan mengantar bocah itu pulang dengan beberapa bujukan.Karena lebih daripada Ayres, Arsen lebih butuh untuk ditolong. Untuk pertama kalinya, Namira melihat lagi ketakutan di mata pria itu. Antara lega sekaligus sedih, perempuan tua itu akhirnya duduk di samping Arsen."Arsen," panggil Namira sambil menyentuh sisi bahu Arsen.Seketika, Arsen yang baru ters
Rasanya, Aileen masih terlalu bingung dengan semua yang terjadi. Perempuan itu merasa linglung dan telah kehilangan banyak hal. Seolah ... ada sesuatu yang ia harus ingat tapi terus Aileen lupakan."Apa kabar?" Sapaan singkat berikut pintu ruang rawat yang terbuka membuat perempuan pendek itu menoleh.Rupanya, pria yang sebelumnya memperkenalkan diri dengan nama Arsen itu sudah kembali. Pria yang mengaku sebagai calon suaminya itu tampak tersenyum hangat begitu Aileen terus memandangnya lekat.Rasanya ... seperti terlalu tiba-tiba. Apa benar pria di depannya ini adalah calon suaminya? Pasalnya, Aileen terlihat jauh lebih muda dari Arsen.Ketimbang disebut pasangan suami istri, teman-temannya pasti akan mengira bahwa Arsen adalah pamannya."Saya beli ini tadi di jalan. Siapa tau aja kamu mau. Lagian ... makanan di rumah sakit enggak ada yang enak, kan?" Arsen mulai mengeluarkan isi dari kresek belanja bawaannya.Di dalam sana, ada ayam geprek, pop ice rasa cokelat, beberapa snack dan c
"Kalian habis kemana?" Aileen bertanya bingung begitu mendapati Ayres dan Arsen baru kembali dengan banyak tas belanjaan di tangan.Kedua orang yang katanya Ayah dan anak itu tampak tersenyum cerah. Aileen sebenarnya masih bingung kenapa dia bisa menjadi pembantu sang duda sekaligus calon istrinya.Kapan mereka menjalin hubungan? Di ingatannya ... dia bahkan masih merasa berumur 17 tahun. Siapa yang sangka kata Arsen sekarang dia sudah menginjak 19 tahun hampir 20."Mereka Bunda suruh buat beliin kamu pakaian dan keperluan kamu lainnya. Bentar lagi kan kalian nikah, jadi dari sekarang putranya Bunda harus menuhin semua kebutuhan dan keinginan kamu." Namira yang tengah duduk di samping Aileen menjelaskan sambil tersenyum menggoda.Dengan alasan yang entah, Aileen tersipu malu. Meski perasaannya pada Arsen masih terasa abu---mungkin akibat amnesia yang dideritanya, tetap saja Aileen tidak bisa berbohong kalau Arsen itu tipe calon suami idaman.Tampan, iya. Kaya, tidak perlu ditanyakan
Setelah seluruh rangkaian acara usai, Ayres sudah kembali tidur ke kamarnya, dan Aileen pindah ke kamar suaminya, barulah Arsen menyadari bahwa mereka sudah sah menjadi suami-istri. Pria itu tidak mengharapkan apa-apa di malam pertama mereka. Apalagi mengingat kondisi Aileen yang drop karena dipaksa banyak berinteraksi sejak semalam.Tidak terjadi apa-apa di antara keduanya. Tapi ... melihat Aileen tidur di sampingnya untuk pertama kali, sudah cukup membuat perasaan bahagia membuncah di dada Arsen.Dia tidak tahu sejak kapan perempuan ini mengisi lubang kosong di hatinya. Tapi, bagaimana cara Aileen merawat Ayres dengan baik serta memenangkan hati Namira di pertemuan pertama, membuat Arsen tanpa sadar malah jatuh cinta.Sesederhana itu."Saya seharusnya ketemu Ayah dia, kan?" gumam Arsen sambil membelai pipi Aileen pelan. Takut perempuan itu terbangun dari tidurnya yang lelap sekali.Sebenarnya, Arsen merasa bersalah karena secara tidak langsung telah menikahi Aileen secara terpaksa.
"Seharusnya kamu enggak perlu nurutin kemauan dia. Istirahat aja di rumah. Kemarin aja habis tepar sok-sok'an mau nganter anak saya ke sekolah," tegur Arsen setelah keduanya menjauh dari TK tempat Ayres bersekolah selama dua tahun belakangan.Aileen menoleh sejenak sebelum kemudian memilin ujung bajunya sambil menunduk. "Lagian ... bosen." Perempuan itu menjawab apa adanya.Semenjak pulang dari rumah sakit, Aileen tidak pernah dibiarkan menyentuh pekerjaan rumah selain sedikit menyapu kamar dan membereskan tempat tidur. Arsen terus melarang dan memberikannya peringatan lewat tatapan tajam yang membuat nyali perempuan itu ciut seketika."Kamu mau sesuatu?" tanya Arsen begitu menyadari wajah suntuk dan murung istrinya.Aileen menggeleng. Dia sebenarnya juga tidak tahu sedang menginginkan apa. Semua hal terasa membosankan belakangan ini. Hal itu juga mempengaruhi mood Aileen yang tidak beraturan selepas datang bulan."Setelah check-up ke dokter, kamu ada mau kemana kek gitu?" tanya Arsen
Sejak kejadian di jalan pagi tadi, sampai siang ini Aileen mendadak keki. Mungkin karena sebelumnya Aileen hampir kehilangan nyawa karena kecelakaan, oleh karena itu Arsen begitu takut saat Aileen hendak menyeberang tadi.Tapi ... tetap saja Aileen merasa malu luar biasa. Pelukan hangat Arsen dengan aroma maskulin parfumnya, bahkan masih terasa melekat di baju Aileen.Rasanya seperti jatuh cinta untuk pertama kalinya pada Arsen. Padahal, kata pria itu, mereka sudah menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih selama dua tahun."Kamu enggak mau ikut jemput Ayres?" tanya Arsen yang siang ini baru keluar kamar dan turun dari lantai dua.Aileen menoleh sekilas sebelum kemudian menggeleng keras. Tapi, begitu menyadari jawaban spontannya, perempuan pendek itu mengangguk tak kalah keras."Ayo! Tadi pagi Ayres udah minta biar aku juga ikut jemput dia," jawab Aileen sambil bangkit berdiri.Sejenak, dilupakannya fakta bahwa saat ini Aileen tengah menahan salah tingkah kala bertemu dengan suaminya
"Karena kamu udah bahagia sama Kanaya, ceraiin aku aja!"Teriakan bernada amarah yang Aileen layangkan mendadak membuat Arsen terpaku di tempat. Tidak menyangka Aileen akan berani mengatakan itu padanya."Kamu serius bilang gitu sama saya?" tanya Arsen begitu beberapa lama hanya diam.Aileen tidak menjawab lagi. Perempuan itu memilih mengusap air matanya dan bangkit dari ranjang.Perempuan pendek itu kemudian berlari keluar kamar dan masuk ke kamar mereka. Arsen mengekori dalam diam. Berharap semuanya berakhir baik-baik saja.Tapi, melihat sang istri yang mulai mengeluarkan tas kemudian mengemasi barang-barangnya, Arsen mendengkus frustasi. Arsen pikir Aileen sudah menyerah dan memilih berbaikan."Kamu bakal nyesel kalau udah keluar dari sini, Aileen! Karena kamu enggak bakal bisa balik lagi," ancam Arsen sambil menahan tangan Aileen yang memindahkan baju-bajunya.Seketika, Aileen terdiam. Arsen pikir perempuan itu akan berhenti. Tapi, perempuan itu hanya melempar tas di depannya ke s
"Papa kamu kira-kira pergi kemana ya, Res?" tanya Aileen sore ini pada putranya.Ayres yang tengah bermain mobil-mobilan di samping bawah ranjang sang Mama hanya mengangkat bahu. Pertanda tidak tahu. Aileen cemberut.Padahal tadi Arsen hanya bilang akan pergi sebentar; ada urusan. Tapi pria itu bahkan tidak memberitahukan Aileen urusannya apa, dimana dan dengan siapa."Kayaknya Papa ketemu Mama, Ma." Ayres menjawab sekali lagi sambil membongkar bagian baterai di mobil-mobilannya. Padahal, benda berukuran sedang itu baru dibelikan Arsen kemarin."Mama siapa maksud kamu?" tanya Aileen merasa janggal dengan jawaban Ayres."Ya Mama Aya. Tiap hari minggu Papa pasti ngajak aku buat ketemu dia. Kata Papa, dia Mama kandung aku." Ayres menjawab polos tanpa mengalihkan pandangan dari mainannya.Berbanding terbalik dengan reaksi Aileen yang mendadak termenung di tempatnya. Perempuan itu memandang Ayres sekali lagi."Jadi selama ini ... tiap hari minggu kamu sama Papa kamu ketemu dia?" tanya Aile
Pagi ini, Ayres bangun terlalu cepat. Padahal bocah itu bahkan hanya baru beberapa jam tertidur. Arsen tidak tahu sang putra akan melakukan apa. Tapi, begitu melihat Ayres berjalan cepat menuju rumah lama Mamanya, ia mulai mengerti akan kemana bocah itu pergi."Enggak sarapan dulu?" tanya Arsen begitu melihat bocah itu hanya meminum susu kemudian turun dari kursi meja makan yang tinggi.Ayres menggeleng yakin. Bocah itu menengok ke lantai atas sekali lagi sebelum kemudian berlari menaiki undakan tangga.Mendadak, begitu sampai di tengah-tengah, bocah itu berhenti. Beberapa saat kemudian ia berbalik dan berlari turun menuju meja makan lagi."Aku mau bawa ini," ucap bocah sipit itu sambil membawa sepiring makanan beserta lauk bagiannya.Ayres kemudian berlari menuju lantai atas lagi. Begitu sampai di depan pintu kamar lama sang Mama, Ayres menggeleng-gelengkan kepala. Kentara sekali kalau ia tengah mencoba menghalau gugup."Mama ... aku boleh masuk?" tanya Ayres setengah berteriak yang
Aileen tidak tahu sejak kapan ingatannya kembali seperti semula. Tapi, yang membuat perempuan itu sedikit tidak senang, adalah kebohongan yang selama ini ditutupi Arsen rapat-rapat.Sadar tidak sadar, sekarang Aileen mengetahui semua. Tentang tabrakan di mall, juga status Aileen yang sebenarnya.Dia bukan kekasih Arsen. Mereka tidak pernah berpacaran selama dua tahun, apalagi sampai merencanakan pernikahan. Aileen murni hanya seorang ART yang selama kurang lebih dua bulan tinggal di rumah pria itu sebelum akhirnya tragedi tabrakan itu terjadi.Yang menjadi pertanyaan di benak Aileen, kenapa Arsen harus berbohong sampai sejauh itu? Apa hanya karena pria itu ingin menikahinya dan menjadikan Aileen Mama untuk Ayres? Tapi ... karena kebohongan itu, mereka akhirnya menikah.Dan tanpa Aileen sadari, ia sudah terperangkap terlalu dalam pada dunia Arsen. Dia sudah terlalu menyayangi Ayres, juga suaminya sendiri.Jadi ketika fakta itu mulai diketahuinya, Aileen kehilangan makian yang sudah ber
Sejak Ayres ngambek setelah sang Mama lupa mengantarnya berangkat sekolah, bocah sipit itu sudah tidak banyak berbicara dengan Aileen lagi. Dia hanya akan meminta bantuan dan bermain bersama Arsen saja.Tentu saja Aileen merasa kesepian. Karena selama ini, jika bukan mengurus Ayres, dia tidak punya kegiatan lain. Aileen benar-benar merasa sendirian di rumah besar ini.Apalagi beberapa hari belakangan, Arsen juga banyak berubah. Pria itu jadi lebih banyak diam dan tidak pernah memulai pembicaraan dengan Aileen lebih dulu kecuali jika memang sedang perlu."Mas, ini kan hari minggu." Aileen memberi kode sambil membantu Arsen memasang kemejanya.Tapi, Arsen tidak merespon apa-apa. Pria sipit itu hanya diam sambil terus memandang penampilannya lewat cermin besar di depan.Aileen yang merasa diabaikan akhirnya hanya bisa menghela kecewa. Dia tidak tahu kesalahannya apa sehingga sepasang ayah dan anak ini bersikap seolah tidak menginginkan Aileen berada di sampingnya.Seingat Aileen, dia tid
"Seharusnya kamu cerai saja sama dia! Rumah aja dia masih numpang sama Mamanya. Gimana mau kasih tempat tinggal buat anak saya?" sindir Almira---mertua Arsen tepat di depan pria itu.Meski tersinggung dengan ucapan sang Mama mertua, Arsen tetap menunduk dalam. Pria itu tidak mengatakan apapun kecuali memasang senyum terbaiknya.Tapi, Kanaya terlalu memahami suaminya. Masalahnya, memarahi orang tuanya juga bukan pilihan yang benar. Karena Almira memang ada benarnya juga.Sejak dinyatakan mengandung anak pertama mereka, Kanaya yang kandungannya cukup lemah jadi lebih sering keluar masuk rumah sakit. Karena Arsen tidak punya cukup biaya juga rumah yang terbilang sangat sempit, Almira memilih membawa sang anak ke rumahnya dan meninggalkannya sementara di sana.Ayah Kanaya---Gio sebenarnya tidak menyetujui hal itu. Karena pria itu tahu menantunya tampak keberatan. Dia juga yakin Arsen bisa merawat putrinya dengan baik. Tapi, pada akhirnya Gio hanya mengalah karena tidak ingin berdebat pan
Sejak kembali dari kolam renang, Aileen menyadari Arsen lebih banyak diam. Suaminya terlihat seolah tengah memikirkan sesuatu yang begitu berat. Aileen beberapa kali bertanya apa ia butuh sesuatu, akan tetapi Arsen terus diam dan hanya membalas sekenanya saja."Mama nggak asik ah, masak pas di kolam malah tidur. Aku kan jadi pulang cepet karena disuruh Papa," protes Ayres cemberut begitu siang ini mereka tengah duduk sambil nonton TV di ruang tengah.Aileen meringis merasa bersalah. Perempuan itu menggaruk tengkuk. "Ya maaf, Sayang. Lagian kan kamu punya kolam di belakang, kenapa harus ke kolam renang di luar segala?" tanya Aileen tidak mengerti."Beda, Mama! Di rumah kolamku enggak ada perosotannya. Jadi enggak seru," sanggah Ayres yang hanya diangguki saja oleh perempuan itu.Pikirnya, yang penting bocah sipit itu senang."Mama Ai, aku lapar." Ayres merengek lagi begitu channel televisi yang kerap menayangkan kartun favoritnya malah dijeda iklan.Ketika bosan menunggu iklan yang lum
Sejak semalam, Aileen tidak bisa tidur karena menemani Arsen begadang. Karena tidak ingin terlalu lama lembur dan meninggalkan rumah, pria itu membawa pekerjaan kantornya ke rumah.Lalu, demi mengosongkan jadwalnya di esok hari agar bisa liburan full time bersama sang istri dan putranya, Arsen memutuskan menyelesaikannya malam tadi. Tentu saja Aileen menemaninya sambil sesekali berbincang, meminum kopi juga sambil menonton TV.Sampai pekerjaan kantor Arsen selesai tepat pukul 3 malam, Aileen terlanjur tidak bisa tidur di saat suaminya bahkan sudah mendengkur. Perempuan pendek itu kemudian memilih mengeksekusi dapur.Lalu, setelah pukul 5 pagi, selesai sholat subuh dan menyiapkan sarapan, Aileen malah baru bisa terlelap. Arsen yang berniat akan pergi liburan pagi ini jadi tidak tega membangunkan istrinya."Aileen belum keluar kamar juga, Ma?" tanya Arsen untuk kesekian kalinya dari ruang tengah begitu melihat Namira turun dari tangga.Namira menggeleng sebagai jawaban. Kemudian, peremp
Aileen tidak tahu di masa lalu ia sudah melakukan hal baik macam apa. Seingatnya, perempuan itu hanya terus mengeluh dan meminta mati lebih cepat saja kepada Tuhan setelah kepergian sang Mama.Aileen sudah terlalu banyak menanggung lelah. Bertahan hingga lulus SMA adalah pencapaian luar biasa yang sudah dimilikinya. Dalam ingatannya yang mulai membaik meski samar, Aileen dapat mengingat bagaimana Adimas terus meremehkan juga menentangnya karena ingin sekolah.Bagi pria itu, perempuan yang berpendidikan tinggi adalah dosa. Bukan kodratnya sama sekali. Maka tidak heran ketika akan berangkat sekolah, Ayahnya terus menyuruhnya mengerjakan pekerjaan rumah, mengantar koran di pagi buta, menjajakan jualan ke pasar sebelum fajar, atau pekerjaan apa saja yang bisa membuat ia lelah hingga malas berangkat sekolah.Tapi, Aileen tetap berangkat sekolah. Tidak peduli tubuhnya yang pegal bukan main, teman-temannya yang punya tas, sepatu dan buku bagus sedangkan dia tidak, juga banyaknya pekerjaan la