"Pa, Bibi Ai enggak akan mati, kan?" tanya Ayres untuk kesekian kalinya.
Tapi, sama seperti sebelumnya, pria sipit itu hanya diam termenung sambil memeluk erat Ayres yang ada di pangkuan. Bahkan untuk memastikan bahwa Aileen masih bisa selamat kepada putranya saja, Arsen tidak berani."Papa jangan diem aja. Aku takut," rengek Ayres yang kini mulai menangis.Untuk pertama kalinya, Arsen bahkan tidak mampu menyadari kehadiran Ayres. Jiwa pria itu seolah masih tertinggal di suatu tempat.Namira yang baru saja sampai tentu saja langsung mengambil alih sang cucu dari gendongan putranya. Tanpa berucap apa-apa, Namira membawa Ayres menjauh dan mengantar bocah itu pulang dengan beberapa bujukan.Karena lebih daripada Ayres, Arsen lebih butuh untuk ditolong. Untuk pertama kalinya, Namira melihat lagi ketakutan di mata pria itu. Antara lega sekaligus sedih, perempuan tua itu akhirnya duduk di samping Arsen."Arsen," panggil Namira sambil menyentuh sisi bahu Arsen.Seketika, Arsen yang baru tersadar dari lamunan langsung terlonjak kaget. Begitu menyadari kehadiran sang mama sekaligus tidak menemukan Ayres di gendongannya, pria itu menoleh kanan kiri panik."Ayres mana, Ma? Kok dia bisa ilang?" tanya Arsen linglung yang hanya dibalas Namira dengan senyum getir."Saking khawatirnya, kamu bahkan sampai enggak sadar kalau Mama udah bawa anak kamu pulang," gumam Namira. Arsen hanya meringis merasa bersalah.Tidak tahu harus merespon apa."Gimana Aileen? Dia enggak pa-pa, kan?" tanya Namira yang seketika membuat wajah Arsen berubah murung."Belum tahu, Ma. Dokternya belum keluar juga," jawab Arsen sambil menunduk lesu.Namira menepuk pundak sang putra menenangkan. "Jangan khawatir. Aileen itu cucunya Mama yang kuat banget. Dia pasti enggak pa-pa." Namira berucap meyakinkan. Arsen mengangguk mencoba mempercayai ucapan sang Mama."Saya juga berharapnya gitu," gumam Arsen lirih.Sejenak, ingatan duda tampan itu terlempar pada kejadian beberapa waktu lalu. Karena Aileen yang tidak kunjung terlihat di lantai dua mall, Arsen dan Ayres kembali turun ke lantai satu guna mencari perempuan itu.Takut-takut jika sampai Aileen malah tersesat dan bingung mencari keduanya kemana di tempat yang lumayan luas itu. Tapi, begitu melihat perempuan itu tengah berlari panik di tengah kerumunan orang-orang, Ayres spontan mengejar sang Bibi.Arsen yang lengah akhirnya ikut mengejar Ayres sampai halaman depan mall. Siapa yang sangka dari sana, Arsen dan Ayres justru dapat melihat secara langsung bagaimana tubuh Aileen terpental hingga terpelanting di trotoar yang lumayan jauh.Kejadiannya terlalu cepat dan tiba-tiba. Sampai Arsen tidak sempat memikirkan apa-apa selain bekas darah Aileen yang melekat di telapak tangan juga sebagian bajunya.Rasanya ... masih tidak percaya saja begitu menyadari perempuan itu tengah terluka separah itu sekarang. Apa Aileen benar-benar bisa selamat dengan luka separah itu?"Kenapa kamu sekhawatir ini sama Aileen?" tanya Namira tiba-tiba.Arsen menggeleng tidak tahu. Tidak mengerti juga dengan perasaannya yang terasa berantakan acapkali mendapati perempuan pendek itu terluka."Kamu cinta sama dia, kan?" tanya Namira lagi yang justru terdengar lebih menjurus ke pernyataan.Arsen berpikir sejenak. Tapi, pria itu tidak menemukan jawaban sama sekali."Enggak tahu, Ma." Mendengar jawaban Arsen, Namira tersenyum simpul."Kalau gitu cari tahu. Yakinin diri kamu sendiri sebelum dia enggak ada di sisi kamu." Namira berucap ambigu yang membuat Arsen mengernyit semakin bingung."Intinya Mama enggak cukup kalau dia cuma jadi cucunya Mama. Kalau emang bisa, Mama mau dia jadi istri kamu. Jadi Ibu buat Ayres juga. Ngerti, kan?"***Sudah sekitar dua hari Aileen belum membuka mata. Selama itu juga lah Arsen terus menunggunya tanpa mau digantikan oleh Namira.Setelah penyelidikan lebih lanjut, rupanya penyebab Aileen berlari sepanik itu hingga tertabrak adalah seorang pria tua yang mengejarnya. Pria itu adalah orang yang sudah membeli Aileen melalui perantara Ayahnya.Pria itu juga lah alasan Aileen nekad kabur dari rumah. Ia hanya tidak mau menikah dengan pria semacam itu. Mengingat seberapa takut perempuan itu padanya membuat Arsen tidak tenang dan memilih menemani Aileen hingga saat ini.Bagaimana jika Aileen terbangun dan ketakutan begitu tidak menemukan siapapun di sampingnya?"Ssh ...." Ringisan dari bibir pucat Aileen membuat Arsen yang tengah membaringkan kepala di sisi ranjang langsung duduk tegak.Begitu melihat perempuan itu yang perlahan-lahan mulai membuka mata, Arsen tanpa sadar tersenyum senang."Gimana perasaan kamu? Ada yang masih sakit?" tanya Arsen beruntun.Aileen tidak menjawab tapi perempuan itu terus memegangi kepalanya yang terasa berdenyut sakit. Begitu merasakan perutnya bergejolak, perempuan itu juga mencoba bangkit duduk.Tapi, karena tidak memiliki cukup tenaga, Aileen akhirnya jatuh berbaring lagi. Arsen segera membantunya duduk kemudian menyelipkan sebuah bantal di punggung Aileen sebagai penyangga."Pengen muntah," adu Aileen serak sambil menutup mulutnya yang mulai terasa mual.Arsen dengan panik mencari sesuatu yang bisa menampung isi perut Aileen. Tapi, belum sempat menemukannya, Aileen sudah lebih dulu muntah ke sisi ranjang.Arsen segera membantu memijat tengkuk perempuan itu. Wajah Aileen tampak begitu pucat. Bibir perempuan itu bahkan mengering dan pecah-pecah."Udah mendingan?" tanya Arsen cemas sambil menyodorkan segelas air yang langsung diminum Aileen sedikit.Sejenak, Aileen menelengkan kepalanya sambil menatap Arsen lamat-lamat. Tatapan perempuan itu seolah kebingungan dan baru pertama kali melihat sosok Arsen."Om siapa?" tanya Aileen yang seketika membuat Arsen mengerjap terkejut.Bagaimana bisa baru terbangun begini perempuan itu sudah bisa bercanda?"Apaan sih. Saya nanya serius. Kamu udah mendingan atau belum? Saya lagi nggak mau bercanda," tanya Arsen lagi yang hanya dibalas perempuan pendek itu dengan garukan di pipi; tanda Aileen benar-benar sedang bingung."Aku enggak bercanda, Om.""Kamu beneran enggak kenal saya?" tanya Arsen memastikan.Aileen mengangguk jujur.Kali ini, Arsen terdiam. Pria itu kemudian segera memencet tombol di sisi ranjang guna memanggil Dokter.Begitu menjalani beberapa pemeriksaan lagi, lagi-lagi Arsen harus menghela napas berat. Aileen dinyatakan mengidap amnesia retrograde karena cidera keras di bagian dinding otaknya."Jadi sebenernya Om siapa? Kok aku juga bisa ada di sini?" tanya Aileen untuk kesekian kalinya setelah menjalani serangkaian pemeriksaan dan wawancara dari Dokter sebelumnya.Arsen memandang perempuan itu sebentar sebelum kemudian menunduk lagi. Ia sebenarnya sedang berpikir harus mengaku sebagai siapa kepada Aileen."Sebenernya ... saya calon suami kamu. Kita udah pacaran 2 tahun, dan bentar lagi mau nikah. Tapi karena kecelakaan, kamu jadi amnesia gini sampai lupa sama saya," jawab Arsen akhirnya berbohong. Padahal, mereka hanya baru mengenal dua bulan.Pikir Arsen, setidaknya untuk saat ini, biarkan saja begini. Nanti jika ingatan Aileen sudah kembali, perempuan itu hanya tinggal menyangkalnya, kan?Lagipula ... ini kesempatan bagus. Sebelum perempuan itu mengingat semua sepenuhnya, setidaknya Arsen harus sudah menikahi Aileen dalam waktu dekat.Rasanya, Aileen masih terlalu bingung dengan semua yang terjadi. Perempuan itu merasa linglung dan telah kehilangan banyak hal. Seolah ... ada sesuatu yang ia harus ingat tapi terus Aileen lupakan."Apa kabar?" Sapaan singkat berikut pintu ruang rawat yang terbuka membuat perempuan pendek itu menoleh.Rupanya, pria yang sebelumnya memperkenalkan diri dengan nama Arsen itu sudah kembali. Pria yang mengaku sebagai calon suaminya itu tampak tersenyum hangat begitu Aileen terus memandangnya lekat.Rasanya ... seperti terlalu tiba-tiba. Apa benar pria di depannya ini adalah calon suaminya? Pasalnya, Aileen terlihat jauh lebih muda dari Arsen.Ketimbang disebut pasangan suami istri, teman-temannya pasti akan mengira bahwa Arsen adalah pamannya."Saya beli ini tadi di jalan. Siapa tau aja kamu mau. Lagian ... makanan di rumah sakit enggak ada yang enak, kan?" Arsen mulai mengeluarkan isi dari kresek belanja bawaannya.Di dalam sana, ada ayam geprek, pop ice rasa cokelat, beberapa snack dan c
"Kalian habis kemana?" Aileen bertanya bingung begitu mendapati Ayres dan Arsen baru kembali dengan banyak tas belanjaan di tangan.Kedua orang yang katanya Ayah dan anak itu tampak tersenyum cerah. Aileen sebenarnya masih bingung kenapa dia bisa menjadi pembantu sang duda sekaligus calon istrinya.Kapan mereka menjalin hubungan? Di ingatannya ... dia bahkan masih merasa berumur 17 tahun. Siapa yang sangka kata Arsen sekarang dia sudah menginjak 19 tahun hampir 20."Mereka Bunda suruh buat beliin kamu pakaian dan keperluan kamu lainnya. Bentar lagi kan kalian nikah, jadi dari sekarang putranya Bunda harus menuhin semua kebutuhan dan keinginan kamu." Namira yang tengah duduk di samping Aileen menjelaskan sambil tersenyum menggoda.Dengan alasan yang entah, Aileen tersipu malu. Meski perasaannya pada Arsen masih terasa abu---mungkin akibat amnesia yang dideritanya, tetap saja Aileen tidak bisa berbohong kalau Arsen itu tipe calon suami idaman.Tampan, iya. Kaya, tidak perlu ditanyakan
Setelah seluruh rangkaian acara usai, Ayres sudah kembali tidur ke kamarnya, dan Aileen pindah ke kamar suaminya, barulah Arsen menyadari bahwa mereka sudah sah menjadi suami-istri. Pria itu tidak mengharapkan apa-apa di malam pertama mereka. Apalagi mengingat kondisi Aileen yang drop karena dipaksa banyak berinteraksi sejak semalam.Tidak terjadi apa-apa di antara keduanya. Tapi ... melihat Aileen tidur di sampingnya untuk pertama kali, sudah cukup membuat perasaan bahagia membuncah di dada Arsen.Dia tidak tahu sejak kapan perempuan ini mengisi lubang kosong di hatinya. Tapi, bagaimana cara Aileen merawat Ayres dengan baik serta memenangkan hati Namira di pertemuan pertama, membuat Arsen tanpa sadar malah jatuh cinta.Sesederhana itu."Saya seharusnya ketemu Ayah dia, kan?" gumam Arsen sambil membelai pipi Aileen pelan. Takut perempuan itu terbangun dari tidurnya yang lelap sekali.Sebenarnya, Arsen merasa bersalah karena secara tidak langsung telah menikahi Aileen secara terpaksa.
"Seharusnya kamu enggak perlu nurutin kemauan dia. Istirahat aja di rumah. Kemarin aja habis tepar sok-sok'an mau nganter anak saya ke sekolah," tegur Arsen setelah keduanya menjauh dari TK tempat Ayres bersekolah selama dua tahun belakangan.Aileen menoleh sejenak sebelum kemudian memilin ujung bajunya sambil menunduk. "Lagian ... bosen." Perempuan itu menjawab apa adanya.Semenjak pulang dari rumah sakit, Aileen tidak pernah dibiarkan menyentuh pekerjaan rumah selain sedikit menyapu kamar dan membereskan tempat tidur. Arsen terus melarang dan memberikannya peringatan lewat tatapan tajam yang membuat nyali perempuan itu ciut seketika."Kamu mau sesuatu?" tanya Arsen begitu menyadari wajah suntuk dan murung istrinya.Aileen menggeleng. Dia sebenarnya juga tidak tahu sedang menginginkan apa. Semua hal terasa membosankan belakangan ini. Hal itu juga mempengaruhi mood Aileen yang tidak beraturan selepas datang bulan."Setelah check-up ke dokter, kamu ada mau kemana kek gitu?" tanya Arsen
Sejak kejadian di jalan pagi tadi, sampai siang ini Aileen mendadak keki. Mungkin karena sebelumnya Aileen hampir kehilangan nyawa karena kecelakaan, oleh karena itu Arsen begitu takut saat Aileen hendak menyeberang tadi.Tapi ... tetap saja Aileen merasa malu luar biasa. Pelukan hangat Arsen dengan aroma maskulin parfumnya, bahkan masih terasa melekat di baju Aileen.Rasanya seperti jatuh cinta untuk pertama kalinya pada Arsen. Padahal, kata pria itu, mereka sudah menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih selama dua tahun."Kamu enggak mau ikut jemput Ayres?" tanya Arsen yang siang ini baru keluar kamar dan turun dari lantai dua.Aileen menoleh sekilas sebelum kemudian menggeleng keras. Tapi, begitu menyadari jawaban spontannya, perempuan pendek itu mengangguk tak kalah keras."Ayo! Tadi pagi Ayres udah minta biar aku juga ikut jemput dia," jawab Aileen sambil bangkit berdiri.Sejenak, dilupakannya fakta bahwa saat ini Aileen tengah menahan salah tingkah kala bertemu dengan suaminya
Aileen tidak tahu kejadian seperti tadi akan terjadi. Perempuan itu benar-benar tidak pernah membayangkannya.Akibat kelalaiannya, Ayres---putranya sendiri hampir saja celaka. Tadi, Aileen hanya pergi sebentar untuk mencari perahu kertas buatan Ayres.Siapa yang sangka begitu kembali ke belakang rumah tempat kolam berada, bocah itu hampir mati tenggelam. Padahal, Aileen juga sudah memperingatkannya untuk tidak mendekati kolam sebelum ia kembali.Karena Aileen juga tidak bisa berenang. Mana mungkin perempuan pendek itu bisa menolong orang lain?"Biar aku aja yang kompres, Mas." Aileen menawarkan bantuan sambil mengambil handuk basah kecil di tangan sang suami.Tapi, Arsen segera menarik benda itu keras hingga terlepas dari genggaman Aileen. Untuk pertama kalinya, Aileen melihat bentuk kemarahan Arsen yang lebih menyakitkan ketimbang omelan pria sipit itu.Arsen menolaknya."Kamu pergi aja! Saya bisa urus dia sendiri," jawab Arsen dingin dan ketus.Dengan berat hati, karena masih khawat
Setelah Arsen mengantar Ayres ke sekolah sekalian berangkat kerja, Aileen bermain ayunan di tepi kolam belakang rumah. Untuk pertama kalinya, perempuan itu merasa pekerjaan rumah bahkan tidak bisa meredakan kegelisahannya.Aileen hanya ingin Ayres tidak bergantung padanya lagi. Oleh karena itu pagi tadi ia menjauh dan menolak mengantarnya ke sekolah. Aileen hanya masih terlalu takut dan malu pada Arsen. Padahal, sekarang Ayres adalah anaknya juga, kan?"Pengen ketemu Ayah," gumam Aileen pada dirinya sendiri begitu teringat bagaimana khawatirnya Arsen ketika Ayres sakit.Ayahnya dulu juga begitu. Adimas menyayangi Aileen seolah perempuan itu adalah satu-satunya orang yang pantas ia sayangi di bumi.Tapi, kematian sang Mama membuat semuanya berubah. Hidup Adimas mulai berantakan. Perlahan, pria itu juga mulai mengacaukan kehidupan Aileen; putrinya sendiri.Meski kata Dokter terkena amnesia, tapi sebagian ingatan Aileen masih ada. Termasuk tentang Ayahnya yang begitu menyayanginya. Dul
Arsen mengepalkan tangan hingga buku-buku jemarinya memutih. Lagi, benak pria itu diliputi amarah. Apalagi begitu melihat bekas-bekas pukulan juga lebam di tubuh Aileen."Ayres, ayo kita cari makan dulu! Kamu mau nemenin Mama kamu sampai besok di sini, kan?" ajak Namira yang baru saja membuka pintu ruang rawat.Sama seperti Arsen, Ayres juga tidak menoleh pada sang nenek sama sekali. Bocah sipit itu hanya terus duduk diam sambil menggenggam erat tangan Mamanya."Ayres ... ayo makan!" Namira memanggil sekali lagi. Kali ini sambil menghampiri bocah itu dan menepuk bahunya lembut.Tapi, jawaban Ayres hanyalah sebuah gelengan. Matanya bahkan tidak berkedip barang sedetik menatap wajah terpejam sang Mama."Enggak mau, Nenek. Nanti kalau aku pergi makan, Mama Ai diculik penjahat terus dipukul lagi. Aku nggak mau," tolak Ayres dengan spekulasi polos di kepalanya.Namira menghela napas berat. Manik perempuan tua itu kemudian beralih pada sang putra yang sepertinya jauh lebih mencemaskan ketim
"Apa aku sebaiknya pergi dari rumah aja, ya?" Aileen bertanya pada Arsen.Arsen yang malam ini hampir terlelap karena sudah luar biasa mengantuk, kontan saja terbangun dan melotot galak. "Kamu gila?!" bentak Arsen sebal.Aileen menggeleng yakin. "Enggak. Seharusnya aku emang pergi sejak awal. Kalau kayak gitu, mungkin Ayres enggak bakal diteror lagi. Dia juga enggak mungkin takutin apapun lagi setelah ini," jelas Aileen memaparkan spekulasinya jika sampai ia benar-benar pergi dari rumah ini."Kamu pikir cuma Ayres aja yang bisa butuh kamu? Saya juga bisa! Apa selama ini kamu tinggal di rumah ini buat Ayres aja?" tanya Arsen tidak habis pikir.Mendengar omelan suaminya, Aileen jadi merasa bersalah. Perempuan itu kemudian berbaring membelakangi Arsen sambil mengusap air mata yang diam-diam mengalir dari sudut mata."Bukan gitu. Aku cuma enggak tahan liat Ayres ketakutan di rumahnya sendiri. Aku enggak bisa liat dia nangis terus-terusan kayak gitu gara-gara aku. Dia keliatan takut banget
Aileen tidak tahu apa yang salah dengan putranya. Tapi, sejak ia menemukan bocah itu sudah kembali di rumah mereka, kenapa Ayres malah jadi takut padanya?Ada apa? Apa sebelumnya Aileen sempat melakukan kesalahan? Apa Ayres hanya sedang marah pada Aileen karena semalam Aileen berhenti mencarinya dan memilih tidur di rumah?"Sayang ... kamu enggak mau makan? Mau Mama bikinin atau beliin sesuatu?" tanya Aileen untuk kesekian kalinya.Mencoba mengajak bocah sipit berbicara. Tapi, lagi dan lagi, bocah itu tetap tidak mau menyahutinya. Yang dilakukan Ayres hanya bersembunyi di pelukan Papanya. Ayres seolah tidak berani dekat-dekat dengan Aileen."Udah, kamu balik aja sana ke kamar dulu. Ntar kalau udah tenang dan mau cerita, mungkin dia mau bicara sama kamu. Kamu istirahat aja, kalau saya butuh sesuatu nanti saya panggil Bi Rindi." Arsen menegur sambil mengelus punggung tangan istrinya.Pada akhirnya, Aileen menjawab dengan satu anggukan. Perempuan itu juga kasihan dengan Ayres yang terus
Aileen menggigit kuku jemarinya gusar. Perempuan itu terus memandangi sekitar jalanan panik. Sedangkan Arsen, hanya menggenggam sebelah tangan Aileen erat. Berniat menenangkan sang istri sekaligus dirinya sendiri."Apa kita balik ke kebun binatang aja ya, Mas? Kita cari di sana sekali lagi. Mungkin aja dia masih di sana cuma kita belum cari yang bener aja," pinta Aileen yang dibalas Arsen dengan gelengan."Di sana udah ada yang jaga. Lagian gerbang kebun binatangnya juga udah dikunci, biar enggak ada yang bisa keluar masuk lagi. Kalau emang Ayres ketemu di sana, pasti mereka hubungin kita." Arsen menjelaskan yang dalam hati dibenarkan Aileen.Perempuan itu kemudian menatap jalan yang mereka lewati lagi. Takut jika sampai sang putra malah tidak tertangkap matanya."Kita pulang dulu, ya? Ini udah larut banget. Kamu juga belum makan, kan?" tanya Arsen yang ditanggapi Aileen dengan gelengan."Enggak," jawab Aileen final. Terdengar tidak ingin dibantah atau bernegosiasi lagi."Kalau gitu k
"Udah bawa botol minumnya, kan?" Aileen bertanya sekali lagi.Ayres mengangguk. "Udah, Mama. Udah bawa bekal juga. Terus aku juga bawa wortel mentah," jawab bocah sipit itu tanpa mau melunturkan senyumnya.Aileen mengernyit bingung. "Kamu buat apa bawa wortel mentah? Kalau mau lauk wortel, Mama masakin aja." Perempuan pendek itu bertanya heran."Emang kapan aku suka wortel, Mama? Aku kan mau kasih makan kelinci. Pasti di kebun binatang ada kelinci," sahut Ayres yang dibalas Aileen dengan cubitan gemas di pipi gembul putranya."Yaudah sana! Berangkat sama Papa ke sekolah. Inget loh ya, jangan jauh-jauh dari Bu Guru!" peringat Aileen sambil mengaitkan tas bocah itu di punggungnya.Ayres menempelkan tangan di pelipis; memasang posisi hormat. Berikutnya, bocah itu berlari keluar diikuti Aileen dari belakang.Tapi, begitu sudah membuka pintu mobil, bocah itu malah berbalik dan berlari lagi menuju sang Mama. Aileen mengernyit. Apa lagi?"Kamu ketinggalan sesuatu?" tanya Aileen begitu Ayres
"Mama Ai Mama Ai!" Ayres memanggil begitu pagi ini Aileen bahkan belum bangun dari tempat tidurnya."Kenapa, Sayang?" jawab Aileen lembut dengan suara serak khas bangun tidurnya."Besok aku udah bagi raport. Mau sekolah SD dooong. Mama Ai sama Papa pergi ambilin, ya? Kata Bu Guru, harus diambilin sama orang tua. Eh, tapi Mama Ai kan masih muda." Bocah itu bercerita panjang lebar."Yaudah, suruh aja Nenek. Nenek kan udah tua tuh. Berarti dia orang tua," sahut Arsen malah semakin menyesatkan teori yang diyakini sang putra.Aileen mencubit pinggang suaminya begitu pria itu duduk di sisi ranjang. "Kamu ini!" kesal Aileen yang hanya dibalas Arsen dengan kekehan geli."Ntar Papa yang ambilin raport kamu. Jangan Mama, dia lagi sakit. Gara-gara semalam main hujan kayak anak kecil. Beneran bukan orang tua banget kan, Res?" ucap Arsen yang dibalas bocah itu dengan anggukan setuju."Kenapa Mama boleh main hujan? Aku kan juga mau tapi selalu dilarang," tanya Ayres protes.Arsen terkekeh geli begi
"Saya anter sampai sini aja. Udah sana masuk!" usir Arsen begitu mobilnya sudah terparkir di parkiran butik melati.Aileen menoleh aneh. Tumben sekali Arsen tidak mengantarnya sampai dalam. Apa pria sipit ini sedang sibuk?"Kamu lagi sibuk, ya? Seharusnya kan aku dianter sama supir aja," ucap Aileen merasa bersalah.Arsen menoleh bingung. "Kapan aku bilang aku sibuk?" tanya pria itu heran."Buktinya kamu mau langsung pergi. Biasanya nganter aku dulu sampai dalem," jawab Aileen polos.Arsen terkekeh geli sambil menjawil sebelah pipi Aileen gemas. "Enggak sibuk kok. Cuma lagi belajar percaya aja. Jangan curigaan terus sama istri sendiri. Dikira begini begitulah. Bosen saya marahan cuma karena hal kekanakan kayak gitu," jelas Arsen yang dibalas Aileen dengan 'ooo' yang panjang."Kamu enggak mau turun nih? Biar saya culik terus jadiin pajangan di ruangan saya," tanya Arsen yang dibalas Aileen dengan delikan."Nanti kalau aku jadi pajangan, bukan cuma kamu doang yang liat dong?" jawab Aile
Aileen cemberut. Begitu sampai rumah, Arsen malah tidak ingin berbicara dengannya. Pria itu benar-benar marah hanya karena Aileen lupa meminta izin untuk pergi dengan Tama."Mas, mau kopi?" Aileen bertanya sambil merangkul pundak sang suami dari belakang.Pria sipit itu mendengkus kemudian menepis lengan Aileen yang melingkar di lehernya. "Saya lagi sibuk! Jangan ganggu," tegur Arsen ketus yang tentu saja tidak membuat Aileen menyerah untuk membujuknya."Aku lapar, belum masak. Pesenin sesuatu di go food dong!" Di saat Arsen tengah marah begitu, Aileen malah sempat-sempatnya meminta dibelikan makanan.Tentu saja Arsen mengabaikan sambil terus melanjutkan pekerjaannya di laptop. "Kamu marah banget, ya?" tanya Aileen begitu tidak mendapat respon apapun dari sang suami."Yaudah deh, terserah kamu aja! Aku juga enggak ngapa-ngapain kok sama Tama. Kalau kamu enggak percaya ya terserah. Intinya aku udah jujur." Kali ini, Aileen malah ikut-ikutan sensi.Tapi, meski sudah mengomel sepanjang
"Wah ... Aileen udah masuk lagi ya, sekarang? Kemarin kemana aja? Kok enggak dateng?" tanya Tama menyapa begitu perempuan pendek itu sampai di tempat kursus.Aileen yang baru saja akan menjawab, langsung diam begitu melihat pelototan Arsen di sampingnya. Jadi demi menghindari Arsen mengomel season dua, perempuan itu hanya diam saja. Membiarkan sang suami menjawabnya."Dia lagi sibuk. Dia kan bukan remaja kemarin sore. Yang kerjaannya kalau enggak belajar atau ekskul, ya main hp." Arsen menjawab dengan nada sedikit sewot.Aileen mendelik protes sekaligus tidak terima. "Aku dulu enggak main hp kok! Dulu aku enggak punya hp soalnya," sanggah perempuan pendek itu tidak tahu suasana yang dibalas Tama dengan kekehan geli."Kabarin saya lagi kalau saya peduli," balas Arsen yang semakin membuat Aileen menghentakkan kaki sebal."Yaudah, saya berangkat dulu. Kamu yang serius belajarnya, jangan malah kebanyakan bercanda sama Tama!" tegur Arsen yang niatnya menyindir pria berkaca mata itu.Tama
Sejak pulang dari tempat kursus jahit, Arsen lebih banyak marah-marah pada Aileen. Aileen yang tidak tahu alasannya apa tentu saja bertanya-tanya.Lebih dari Almarhumah Bundanya, sang suami terus mengomeli setiap hal yang sebenarnya tidak perlu. Padahal biasanya, Arsen paling malas berbicara."Mas mau ngopi?" tawar Aileen berniat meredakan sensitifitas pria sipit itu.Arsen yang tengah mengetik sesuatu entah apa di laptopnya, hanya membalas dengan lirikan tajam. Aileen mendadak tergagap melihat sikap galak suaminya yang terlalu mendadak."Mau kopi nggak? Kalau enggak aku lanjut bantu Bi Rindi di dapur nih," tanya Aileen sekali lagi sedikit takut."Tadi siang kamu bikinin Tama kopi tanpa nanya dulu di sana. Kok sekarang kamu tanya saya? Ya mau lah! Ga liat mata saya ini udah ngantuk berat?" tanya Arsen sewot yang akhirnya membuat Aileen menyimpulkan satu hal.Arsen ingin minum kopi.Beberapa saat kemudian, Aileen segera berlalu ke dapur. Tidak butuh waktu lama untuk membuat perempuan p