Begitu merasa sedikit membaik dan pulih, Aileen memutuskan untuk bekerja lagi. Perempuan itu bahkan mulai membantu Bi Rindi di dapur juga menyiapkan segala kebutuhan Ayres di sekolah maupun di rumah.
Arsen dan Namira yang melihat betapa keras kepala perempuan 19 tahun itu akhirnya cuma bisa menghela berat. Bingung harus mencegah seorang Aileen Nayara bagaimana lagi. Perempuan itu terlalu keras kepala."Aileen." Panggilan bernada dingin itu dibalas Aileen dengan deheman.Perempuan yang siang ini tengah mengepel lantai rumah dengan setelan baju tidur yang masih melekat di tubuh bahkan tidak berniat memandang Arsen sama sekali. Seolah wajah tampan majikannya kalah menarik dari lantai keramik yang basah."Lepas alat pelnya!" titah Arsen tegas yang dibalas Aileen dengan gelengan."Enggak bisa. Aku harus kerja, biar enggak dikira makan gaji buta," jawab perempuan itu sambil kembali melanjutkan kegiatan mengepelnya.Arsen mendengkus sebal. Kemudian, tanpa aba-aba, pria itu merebut alat pel di tangan Aileen dan segera melemparnya ke sembarang arah.PLETAK!Gagang pel beserta ember air pel itu terpelanting kemudian tumpah di dekat sofa ruang tengah. Tepat di atas karpet persia super tebal yang baru Aileen cuci dengan susah payah beberapa hari lalu.Benda itu malah kotor lagi."Santai aja dong, Om! Kalau mau marah ya marah aja. Dikira gampang apa nyuci karpet setebel dan segede ini?" tanya Aileen yang untuk pertama kalinya mengomeli sang majikan.Arsen yang diomeli kontan mengerjap terkejut. Tidak menyangka reaksi Aileen akan semarah itu hanya karena sebuah karpet yang basah."Kok kamu jadi marah ke saya? Kamu lupa saya siapa? Jangan mentang-mentang anak saya suka sama kamu terus kamu bisa seenaknya bersikap lancang kayak gitu ke saya, ya!" peringat Arsen malah ikutan mengomel.Aileen yang entah karena masih sakit atau memang sedang sensitif, justru malah terbawa suasana. Perempuan itu sampai lupa bahwa dia bekerja di rumah Arsen hanya sebagai pembantu saja."Emang kenapa kalau aku marah? Emang cuma majikan aja yang punya hak marah? Pembantu enggak punya hak apa-apa gitu?!" tanya Aileen balik ngegas."Lah siapa suruh kamu mau-mau aja jadi pembantu saya. Giliran soal hak, baru protes sekarang," komentar Arsen tidak mau kalah.Ayres yang mendengar keributan antara sang Papa dan pembantu kesayangannya, kontan berlari mendekat dan menarik ujung baju kedua orang itu. Aileen dan Arsen kompak menoleh."Enggak boleh bertengkar! Kata Ibu Guruku enggak boleh!" cegah Ayres yang akhirnya membuat Aileen diam.Beberapa saat kemudian, perempuan yang hari ini terlihat aneh itu memandang Arsen tajam."Dasar majikan sombong!" maki Aileen sebelum kemudian menghentakkan kaki sambil berjalan menjauh.Ayres bahkan mengerjap terkejut melihat perubahan sikap Aileen. Tidak menyangka perempuan itu bisa marah juga."Papa ngapain Bibi Ai? Kok dia marah gitu? Tumben loh," tanya Ayres yang hanya dibalas Arsen dengan angkatan bahu acuh.Sebenarnya, Arsen juga sedikit bingung dengan perempuan itu sejak pagi tadi. Setelah sembuh dari sakitnya, sepertinya kewarasan perempuan itu tertinggal di ranjang kamarnya.Aileen memang berbahaya jika dibiarkan berdiam diri terlalu lama."Mana Papa tahu. Kamu bujuk deh sana, Ibumu!" suruh Arsen sebelum kemudian melenggang menuju kamar.Ini hari minggu. Ayres libur. Arsen juga libur. Dan sepertinya ... kewarasan Aileen juga sedang berlibur.***Arsen terlonjak kaget begitu Aileen tiba-tiba menyembul dari kolong meja dapur. Perempuan yang siang ini masih dengan wajah masamnya, menatap Arsen sambil memutar bola mata jengah."Mau ngapain ke dapur? Masak belum azan zuhur udah lapar sih, Om? Aku belum masak!" tanya Aileen jutek.Arsen mendelik tidak suka. Kenapa semakin lama perempuan ini semakin menjengkelkan saja? Sebenarnya apa masalah hidupnya?"Lah suka-suka saya dong mau ke dapur atau lapar kapan aja. Emang masalah buat kamu?" tanya Arsen sewot.Aileen mengendikkan bahu acuh sebelum kemudian melangkah meninggalkan dapur. Arsen semakin mengernyit tidak mengerti. Mata pria sipit itu memandangi sekitar dapur yang sudah bersih.Tapi, anehnya, di jam dua belas siang ini, perempuan itu bahkan belum memasak apapun sama sekali. Biasanya, dialah yang paling semangat menyuruh Bi Rindi untuk memasak lebih awal sekalian membantu agar Ayres tidak perlu menunggu lama untuk makan siang.Segera mengambil air dingin di kulkas kemudian menenggaknya hingga tandas, Arsen kembali berjalan menuju kamar kalau saja Ayres tidak menarik ujung bajunya dengan panik. Bocah lima tahun itu menatap sang Ayah linglung."A-Ayah ... Bibi Ai berdarah!" cerita Ayres yang seketika membuat Arsen tertegun.Berdarah? Memangnya perempuan itu kenapa?"Berdarah gimana maksud kamu? Dia jatuh? Atau gimana? Kok bisa sih?" tanya Arsen beruntun. Kini, dia malah ikut-ikutan panik."Liat sendiri aja, Papa," jawab Ayres sambil menarik-narik sang Ayah agar melihat keadaan sang Bibi.Arsen berjalan cepat mengikuti langkah pendek sang putra. Begitu sampai di lantai bawah, pria itu semakin terperangah begitu mendapati banyak bercak merah di bagian belakang rok selutut yang dikenakan Aileen."Aileen!" Arsen memanggil cepat.Aileen menoleh masih dengan wajah jengkelnya. Perempuan itu menatap Arsen tidak sabaran. Sepertinya sangat tidak suka karena kegiatan menyapunya diganggu oleh sang majikan."Apa? Mau sesuatu?" tanyanya ketus yang membuat Arsen malah menggaruk tengkuk salah tingkah."Itu!" Arsen menunjuk ke bagian bawah.Aileen mengernyit tidak mengerti. "Kenapa, Om?" tanya perempuan pendek itu lagi."Kamu ... k-kamu lagi datang bulan, ya? Kayaknya kamu tembus tuh," tanya sekaligus jawab Arsen yang seketika membuat perempuan itu mengerjap.Kepalanya menoleh ke belakang sambil meraba bagian belakang tubuhnya panik. Lalu, begitu menyadari bercak darah di sana, perempuan itu membalikkan tubuh malu.Tanpa menunggu lama, Aileen melempar asal sapu di tangannya kemudian berlari kembali ke kamar. Ayres memandangi kepergian sang Bibi dengan pelongoan tidak mengerti."Itu Bibi Ai beneran berdarah loh, Pa. Kok dibiarin bukannya dibantuin? Nanti kalau dia mati kehabisan darah gimana?" tanya Ayres yang hanya dibalas Arsen dengan kerjapan bingung."Eung ... itu bukan darah. Bibi kamu cuma enggak sengaja dudukin saus tomat tadi. Tenang aja, ya?" alibi Arsen yang tentu saja dipercayai saja oleh Ayres."AAA MALU!" Teriakan menggelegar dari dalam kamar Aileen membuat Arsen dan Ayres lagi-lagi harus terlonjak kaget.Mendengar itu, Arsen tanpa sadar tidak bisa mengendalikan senyum gelinya. Jadi, itu alasan mood perempuan itu begitu berantakan sejak pagi tadi?Aileen hanya sedang PMS, ya?"Itu kenapa Bibi Ai teriak, Pa?" tanya Ayres lagi."Enggak pa-pa. Biarin aja," jawab Arsen asal sambil menahan kekehan gelinya.Dipikir-pikir, Aileen menggemaskan juga kalau sedang marah seperti sejak tadi pagi. Seharusnya perempuan itu PMS setiap hari saja.Untuk kesekian kalinya, Aileen menyembunyikan wajahnya di balik bantal kamar. Menyadari bahwa Arsen melihat darah haidnya justru membuat perempuan pendek itu semakin badmood dan malu.Pasti sekarang duda menyebalkan itu tengah menertawai seberapa jorok dirinya. Aish ... memikirkannya malah membuat Aileen semakin malas keluar dari kamar.Tidak peduli bahwa pekerjaan rumah belum ia kerjakan pagi ini."Bibi Ai ... laper," keluh Ayres dari depan pintu kamarnya.Aileen bangkit duduk. Perempuan pendek itu kemudian berdiri dan segera berlari membuka pintu kamar."Kamu mau makan apa? Maaf, Bibi lupa seduhin susu hangat sama masakin sarapan," ucap Aileen penuh sesal begitu menemukan wajah lesu putra sang majikan di depan kamarnya."Kata Papa, aku enggak boleh ganggu Bibi Ai. Katanya Bibi Ai masih sakit, buktinya kemarin berdarah gitu. Tapi kan aku lapar, Bibi. Kalau Bibi Rindi yang masakin, rasanya kurang enak," adu Ayres polos yang hanya dibalas Aileen dengan wajah cemberut."Yaudah, ayo kita
"Pa, Bibi Ai enggak akan mati, kan?" tanya Ayres untuk kesekian kalinya.Tapi, sama seperti sebelumnya, pria sipit itu hanya diam termenung sambil memeluk erat Ayres yang ada di pangkuan. Bahkan untuk memastikan bahwa Aileen masih bisa selamat kepada putranya saja, Arsen tidak berani."Papa jangan diem aja. Aku takut," rengek Ayres yang kini mulai menangis.Untuk pertama kalinya, Arsen bahkan tidak mampu menyadari kehadiran Ayres. Jiwa pria itu seolah masih tertinggal di suatu tempat.Namira yang baru saja sampai tentu saja langsung mengambil alih sang cucu dari gendongan putranya. Tanpa berucap apa-apa, Namira membawa Ayres menjauh dan mengantar bocah itu pulang dengan beberapa bujukan.Karena lebih daripada Ayres, Arsen lebih butuh untuk ditolong. Untuk pertama kalinya, Namira melihat lagi ketakutan di mata pria itu. Antara lega sekaligus sedih, perempuan tua itu akhirnya duduk di samping Arsen."Arsen," panggil Namira sambil menyentuh sisi bahu Arsen.Seketika, Arsen yang baru ters
Rasanya, Aileen masih terlalu bingung dengan semua yang terjadi. Perempuan itu merasa linglung dan telah kehilangan banyak hal. Seolah ... ada sesuatu yang ia harus ingat tapi terus Aileen lupakan."Apa kabar?" Sapaan singkat berikut pintu ruang rawat yang terbuka membuat perempuan pendek itu menoleh.Rupanya, pria yang sebelumnya memperkenalkan diri dengan nama Arsen itu sudah kembali. Pria yang mengaku sebagai calon suaminya itu tampak tersenyum hangat begitu Aileen terus memandangnya lekat.Rasanya ... seperti terlalu tiba-tiba. Apa benar pria di depannya ini adalah calon suaminya? Pasalnya, Aileen terlihat jauh lebih muda dari Arsen.Ketimbang disebut pasangan suami istri, teman-temannya pasti akan mengira bahwa Arsen adalah pamannya."Saya beli ini tadi di jalan. Siapa tau aja kamu mau. Lagian ... makanan di rumah sakit enggak ada yang enak, kan?" Arsen mulai mengeluarkan isi dari kresek belanja bawaannya.Di dalam sana, ada ayam geprek, pop ice rasa cokelat, beberapa snack dan c
"Kalian habis kemana?" Aileen bertanya bingung begitu mendapati Ayres dan Arsen baru kembali dengan banyak tas belanjaan di tangan.Kedua orang yang katanya Ayah dan anak itu tampak tersenyum cerah. Aileen sebenarnya masih bingung kenapa dia bisa menjadi pembantu sang duda sekaligus calon istrinya.Kapan mereka menjalin hubungan? Di ingatannya ... dia bahkan masih merasa berumur 17 tahun. Siapa yang sangka kata Arsen sekarang dia sudah menginjak 19 tahun hampir 20."Mereka Bunda suruh buat beliin kamu pakaian dan keperluan kamu lainnya. Bentar lagi kan kalian nikah, jadi dari sekarang putranya Bunda harus menuhin semua kebutuhan dan keinginan kamu." Namira yang tengah duduk di samping Aileen menjelaskan sambil tersenyum menggoda.Dengan alasan yang entah, Aileen tersipu malu. Meski perasaannya pada Arsen masih terasa abu---mungkin akibat amnesia yang dideritanya, tetap saja Aileen tidak bisa berbohong kalau Arsen itu tipe calon suami idaman.Tampan, iya. Kaya, tidak perlu ditanyakan
Setelah seluruh rangkaian acara usai, Ayres sudah kembali tidur ke kamarnya, dan Aileen pindah ke kamar suaminya, barulah Arsen menyadari bahwa mereka sudah sah menjadi suami-istri. Pria itu tidak mengharapkan apa-apa di malam pertama mereka. Apalagi mengingat kondisi Aileen yang drop karena dipaksa banyak berinteraksi sejak semalam.Tidak terjadi apa-apa di antara keduanya. Tapi ... melihat Aileen tidur di sampingnya untuk pertama kali, sudah cukup membuat perasaan bahagia membuncah di dada Arsen.Dia tidak tahu sejak kapan perempuan ini mengisi lubang kosong di hatinya. Tapi, bagaimana cara Aileen merawat Ayres dengan baik serta memenangkan hati Namira di pertemuan pertama, membuat Arsen tanpa sadar malah jatuh cinta.Sesederhana itu."Saya seharusnya ketemu Ayah dia, kan?" gumam Arsen sambil membelai pipi Aileen pelan. Takut perempuan itu terbangun dari tidurnya yang lelap sekali.Sebenarnya, Arsen merasa bersalah karena secara tidak langsung telah menikahi Aileen secara terpaksa.
"Seharusnya kamu enggak perlu nurutin kemauan dia. Istirahat aja di rumah. Kemarin aja habis tepar sok-sok'an mau nganter anak saya ke sekolah," tegur Arsen setelah keduanya menjauh dari TK tempat Ayres bersekolah selama dua tahun belakangan.Aileen menoleh sejenak sebelum kemudian memilin ujung bajunya sambil menunduk. "Lagian ... bosen." Perempuan itu menjawab apa adanya.Semenjak pulang dari rumah sakit, Aileen tidak pernah dibiarkan menyentuh pekerjaan rumah selain sedikit menyapu kamar dan membereskan tempat tidur. Arsen terus melarang dan memberikannya peringatan lewat tatapan tajam yang membuat nyali perempuan itu ciut seketika."Kamu mau sesuatu?" tanya Arsen begitu menyadari wajah suntuk dan murung istrinya.Aileen menggeleng. Dia sebenarnya juga tidak tahu sedang menginginkan apa. Semua hal terasa membosankan belakangan ini. Hal itu juga mempengaruhi mood Aileen yang tidak beraturan selepas datang bulan."Setelah check-up ke dokter, kamu ada mau kemana kek gitu?" tanya Arsen
Sejak kejadian di jalan pagi tadi, sampai siang ini Aileen mendadak keki. Mungkin karena sebelumnya Aileen hampir kehilangan nyawa karena kecelakaan, oleh karena itu Arsen begitu takut saat Aileen hendak menyeberang tadi.Tapi ... tetap saja Aileen merasa malu luar biasa. Pelukan hangat Arsen dengan aroma maskulin parfumnya, bahkan masih terasa melekat di baju Aileen.Rasanya seperti jatuh cinta untuk pertama kalinya pada Arsen. Padahal, kata pria itu, mereka sudah menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih selama dua tahun."Kamu enggak mau ikut jemput Ayres?" tanya Arsen yang siang ini baru keluar kamar dan turun dari lantai dua.Aileen menoleh sekilas sebelum kemudian menggeleng keras. Tapi, begitu menyadari jawaban spontannya, perempuan pendek itu mengangguk tak kalah keras."Ayo! Tadi pagi Ayres udah minta biar aku juga ikut jemput dia," jawab Aileen sambil bangkit berdiri.Sejenak, dilupakannya fakta bahwa saat ini Aileen tengah menahan salah tingkah kala bertemu dengan suaminya
Aileen tidak tahu kejadian seperti tadi akan terjadi. Perempuan itu benar-benar tidak pernah membayangkannya.Akibat kelalaiannya, Ayres---putranya sendiri hampir saja celaka. Tadi, Aileen hanya pergi sebentar untuk mencari perahu kertas buatan Ayres.Siapa yang sangka begitu kembali ke belakang rumah tempat kolam berada, bocah itu hampir mati tenggelam. Padahal, Aileen juga sudah memperingatkannya untuk tidak mendekati kolam sebelum ia kembali.Karena Aileen juga tidak bisa berenang. Mana mungkin perempuan pendek itu bisa menolong orang lain?"Biar aku aja yang kompres, Mas." Aileen menawarkan bantuan sambil mengambil handuk basah kecil di tangan sang suami.Tapi, Arsen segera menarik benda itu keras hingga terlepas dari genggaman Aileen. Untuk pertama kalinya, Aileen melihat bentuk kemarahan Arsen yang lebih menyakitkan ketimbang omelan pria sipit itu.Arsen menolaknya."Kamu pergi aja! Saya bisa urus dia sendiri," jawab Arsen dingin dan ketus.Dengan berat hati, karena masih khawat
Sejak pulang dari tempat kursus jahit, Arsen lebih banyak marah-marah pada Aileen. Aileen yang tidak tahu alasannya apa tentu saja bertanya-tanya.Lebih dari Almarhumah Bundanya, sang suami terus mengomeli setiap hal yang sebenarnya tidak perlu. Padahal biasanya, Arsen paling malas berbicara."Mas mau ngopi?" tawar Aileen berniat meredakan sensitifitas pria sipit itu.Arsen yang tengah mengetik sesuatu entah apa di laptopnya, hanya membalas dengan lirikan tajam. Aileen mendadak tergagap melihat sikap galak suaminya yang terlalu mendadak."Mau kopi nggak? Kalau enggak aku lanjut bantu Bi Rindi di dapur nih," tanya Aileen sekali lagi sedikit takut."Tadi siang kamu bikinin Tama kopi tanpa nanya dulu di sana. Kok sekarang kamu tanya saya? Ya mau lah! Ga liat mata saya ini udah ngantuk berat?" tanya Arsen sewot yang akhirnya membuat Aileen menyimpulkan satu hal.Arsen ingin minum kopi.Beberapa saat kemudian, Aileen segera berlalu ke dapur. Tidak butuh waktu lama untuk membuat perempuan p
"Udah siap?" tanya Arsen begitu melihat sang istri masih sibuk berdandan di depan meja rias.Aileen menggeleng. Sebelum kemudian kembali mengolesi krim siang ke wajahnya. Arsen yang melihat kelakuan perempuan pendek itu hanya mendengkus tidak suka.Kenapa Aileen harus berdandan hanya untuk pergi ke kursus jahit saja? Lagaknya seolah akan pergi kencan dan bertemu pacarnya saja."Kamu kalau di rumah mana pernah dandan kayak gitu buat saya. Giliran keluar rumah aja, baru rapi dan cantik." Arsen mengomentari dengan niat menyindir.Aileen mendelik kesal. "Berarti selama ini aku berantakan dan jelek kalau di rumah?!" tanya Aileen galak yang seketika membuat Arsen berhenti berkomentar.Jika sudah memasang wajah sejudes itu, berarti Arsen harus diam. Atau jika tidak, perang dunia ke sekian kali akan terjadi. Terlebih sekarang istrinya tengah PMS."Udah selesai belum?" tanya Arsen beberapa saat kemudian.Aileen hanya membalasnya dengan gelengan dan gerutuan. "Belum juga apa-apa. Masih aja nan
Sejak menikah dengan Arsen, kesehariab Aileen hanya diisi oleh membantu Bi Rindi bersih-bersih dan memasak atau mengurus keperluan penghuni rumah saja. Tidak ada yang lain.Sesekali di hari libur kantor juga sekolah, Arsen akan mengajaknya liburan. Atau paling tidak sekedar berbelanja bulanan ke supermarket.Setelah dipikir-pikir, selama ini kehidupan Aileen hanya berputar di itu-itu saja. Tanpa sadar, perempuan itu mulai merasa bosan dengan kegiatannya sendiri."Bikinin kopi dong!" pinta Arsen sambil merangkul leher sang istri dari belakang.Aileen yang sore ini tengah duduk di ruang tengah sambil menonton TV hanya mengangguk dan tersenyum manis sebagai jawaban. Begitu berjalan ke dapur, Arsen malah mengikutinya.Padahal pria sipit itu bisa mengganti baju atau membersihkan diri terlebih dahulu. "Kapan kamu pulang?" tanya Aileen begitu sampai dapur sambil mengeluarkan toples gula juga kopi bubuk di dalam lemari.Arsen memang pecinta kopi hitam asli yang diracik. Jadilah Aileen selalu
Begitu terbangun, Arsen mendapati sapu tangan kecil bertengger di kening. Tapi, kepalanya yang terasa nyeri dan berputar-putar membuat pria itu diam di tempat.Tidak berniat bertanya siapa yang melakukan ini untuknya. Mungkin saja Bi Rindi. Karena sebelumnya, memang hanya perempuan itu yang ada di rumah.Meraih ponsel di sisi kasur dan melihat jam, mata pria sipit itu mendadak melotot (meski terlihat sama saja karena matanya yang kecil). Ini sudah jam 12 malam! Bagaimana bisa Arsen malah tidur selama itu?Kriettt ....Pintu kamar yang terbuka membuat Arsen menoleh. Begitu menemukan Aileen berdiri di sana, pria sipit itu mengerjap terkejut."Loh ... kamu kapan pulang?" tanya Arsen heran yang hanya dibalas Aileen dengan senyum tipis."Udah dari jam 8 tadi. Cuma Mas Arsen aja yang tidur kelamaan," jawab Aileen sambil duduk di ranjang samping suaminya.Arsen mendongak menatap perbedaan sikap sang istri. Sejak kapan Aileen mau mengajaknya berbicara begini?"Kamu ... udah enggak marah?" tan
Karena terlalu banyak begadang ketika malam, dan bekerja dari pagi hingga sore bahkan kadang maghrib, Arsen mulai kelelahan. Terbukti dari tubuhnya yang terasa meriang sejak semalam.Tapi, pagi ini pria itu tetap memaksakan diri untuk berangkat kerja. Lagipula, dia malas berdiam diri di rumah sakit. Aileen masih belum juga mau mengajaknya berbicara. Di dalam hati, Arsen sebenarnya sudah berteriak frustasi. Kalau tahu kemarahan Aileen bisa selama dan sesusah ini mereda, mungkin Arsen akan selalu berhati-hati dengan tindakan juga perkataannya.Tapi, semuanya sudah terlanjur. Dan Arsen belum juga menemukan cara meredakan amarah perempuan itu hingga detik ini. Menyebalkan sekali."Pak Sakya kenapa masuk kerja? Kelihatan lagi kurang enak badan," tanya seorang perempuan dengan tubuh tinggi semampai juga sepasang lesung pipit itu.Arsen menoleh sejenak kemudian hanya membalas dengan deheman. Moodnya sedang luar biasa berantakan, jangan tanyakan tubuhnya yang sekarang mulai terasa menggigil
“Makanan kayak gini ... dia suka nggak, ya?” tanya Arsen pada dirinya sendiri begitu melihat beberapa jenis makanan yang ia beli di supermarket tadi.Niatnya, Arsen ingin menyenangkan hati Aileen agar perempuan itu tidak lagi marah padanya. Tapi, begitu sampai di supermarket, Arsen malah kebingungan akan membeli apa. Karena baru ia sadari kalau dirinya bahkan tidak tahu makanan kesukaan istrinya apa saja.Padahal ... mereka sudah menikah sekian bulan, kan? sebelumnya, perempuan itu juga sudah tinggal di rumahnya menjadi asisten rumah tangga. Kenapa Arsen baru menyadari bahwa selama ini hanya Aileen yang memperhatikan setiap kebutuhan dan keinginan Arsen juga Ayres?“Bodo amat deh. Yang penting saya udah beli banyak. Terserah dia mau yang mana,” gumam Arsen sambil membuka pintu ruang rawat Kanaya. Dia juga membelikan beberapa makanan kesukaan Kanaya. Seperti bakso dan es krim strawberry. Jadi dia akan mengantarkan ini ke Kanaya terlebih dahulu.“Lah ... dia kemana?” tanya Arsen pada d
"Pakaian Bunda udah dibawa?" tanya Aileen sambil menggelar tikar tipis di lantai dekat ranjang Namira.Arsen menoleh linglung. "Hah? Eh ... iya. Udah udah." Pria sipit itu menjawab cepat.Aileen mengangguk. Tanpa menatap wajah suaminya lagi. Perempuan itu kembali meraih bantal di atas sofa panjang yang diduduki Arsen.Dua bantal ia letakkan di bawah. Sedang satu bantal lainnya ia biarkan di atas sofa. Hari ini, mereka akan menginap di sini. Menunggu Namira bangun sekaligus menjaganya.Tidak banyak percakapan antara Aileen dan Arsen selepas Namira dilarikan ke rumah sakit. Arsen lebih banyak panik dan bingung. Aileen melakukan apa saja yang bisa ia lakukan tanpa banyak bicara.Orang-orang yang melihatnya mungkin mengira mereka baik-baik saja. Tapi, siapa yang tahu di dalam benak Aileen masih ada banyak amarah yang ingin ia keluarkan sekarang juga."Kamu lapar? Mau saya beliin makan malam ke kantin rumah sakit?" tanya juga tawar Arsen yang tidak ditanggapi Aileen sama sekali.Beberapa s
"Karena kamu udah bahagia sama Kanaya, ceraiin aku aja!"Teriakan bernada amarah yang Aileen layangkan mendadak membuat Arsen terpaku di tempat. Tidak menyangka Aileen akan berani mengatakan itu padanya."Kamu serius bilang gitu sama saya?" tanya Arsen begitu beberapa lama hanya diam.Aileen tidak menjawab lagi. Perempuan itu memilih mengusap air matanya dan bangkit dari ranjang.Perempuan pendek itu kemudian berlari keluar kamar dan masuk ke kamar mereka. Arsen mengekori dalam diam. Berharap semuanya berakhir baik-baik saja.Tapi, melihat sang istri yang mulai mengeluarkan tas kemudian mengemasi barang-barangnya, Arsen mendengkus frustasi. Arsen pikir Aileen sudah menyerah dan memilih berbaikan."Kamu bakal nyesel kalau udah keluar dari sini, Aileen! Karena kamu enggak bakal bisa balik lagi," ancam Arsen sambil menahan tangan Aileen yang memindahkan baju-bajunya.Seketika, Aileen terdiam. Arsen pikir perempuan itu akan berhenti. Tapi, perempuan itu hanya melempar tas di depannya ke s
"Papa kamu kira-kira pergi kemana ya, Res?" tanya Aileen sore ini pada putranya.Ayres yang tengah bermain mobil-mobilan di samping bawah ranjang sang Mama hanya mengangkat bahu. Pertanda tidak tahu. Aileen cemberut.Padahal tadi Arsen hanya bilang akan pergi sebentar; ada urusan. Tapi pria itu bahkan tidak memberitahukan Aileen urusannya apa, dimana dan dengan siapa."Kayaknya Papa ketemu Mama, Ma." Ayres menjawab sekali lagi sambil membongkar bagian baterai di mobil-mobilannya. Padahal, benda berukuran sedang itu baru dibelikan Arsen kemarin."Mama siapa maksud kamu?" tanya Aileen merasa janggal dengan jawaban Ayres."Ya Mama Aya. Tiap hari minggu Papa pasti ngajak aku buat ketemu dia. Kata Papa, dia Mama kandung aku." Ayres menjawab polos tanpa mengalihkan pandangan dari mainannya.Berbanding terbalik dengan reaksi Aileen yang mendadak termenung di tempatnya. Perempuan itu memandang Ayres sekali lagi."Jadi selama ini ... tiap hari minggu kamu sama Papa kamu ketemu dia?" tanya Aile