“Erica, maaf. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita!”
Malam itu langit cerah, tapi hati Erika dilanda mendung hebat usai mendengar ucapan Kenzo, pria yang sudah menjadi kekasihnya sejak SMA tersebut. Air mata gadis itu menetes.
Mereka tengah berada di sebuah taman tempat hiburan malam.
Dan di bawah lampu-lampu taman yang berkerlap-kerlip, Erica diputuskan!
“Kenapa?” tanya Erica dengan suara bergetar menatap kekasihnya.
Kenzo menghela napas, kemudian mengalihkan pandangannya, menatap langit malam.
”Kedua orang tuaku sudah mengatur perjodohan. Bulan depan kami akan bertunangan. Maaf!”
Air mata Erica kembali tumpah. Hubungan yang dia bina sejak duduk di bangku SMA akhirnya tetap kandas, karena perbedaan kasta!
Erica tahu dia tidak sebanding dengan keluarga Kenzo yang berada, karenanya Erica hanya bisa meremas tangannya. Perasaan menyesakkan di dadanya kemudian membuatnya ingin segera pergi dari sana.
“Selamat atas pertunanganmu,” ucap Erica.
Usai mengucapkan itu, Erica memutar tubuhnya, hendak meninggalkan taman hiburan.
Namun, Kenzo mencekalnya.
“Lalu bagaimana denganmu?” tanya Kenzo. Matanya memerah. “Aku tidak tega.”
Erica menghela napas dan tersenyum miring.
”Tidak tega katamu?” ulang gadis itu tidak percaya. “Sebelum mengatakan semua ini, apa kamu sudah mempertimbangkannya? Apa kamu benar memikirkan perasaanku? Kurasa tidak!”
Tidak ada tanggapan dari Kenzo. Karenanya, Erica melanjutkan, “Semoga kamu bahagia dengan wanita yang dianggap setara oleh keluargamu itu. Tenang, aku pun akan bahagia.”
Erica menarik tangannya, melepaskan cekalan Kenzo.
“Di masa depan, jika aku bertemu dengan pria yang mencintaiku, kupastikan lelaki itu adalah lelaki terakhir yang akan menjadi kekasihku. Aku akan menikahinya, tidak peduli dia duda sekalipun!”
Kenzo tercengang mendengar kata-kata Erica. Namun, ia tidak sempat bereaksi hingga akhirnya Erica melangkah pergi.
Gadis itu menangis sepanjang jalan tanpa suara. Malam itu adalah malam yang menyakitkan bagi Erica, selama ini Kenzo yang menjadi penyemangatnya malah membuat hatinya terluka.
Erica menghentikan langkah kakinya, dia berjongkok memeluk lututnya di tengah keramaian lalu-lalang kendaraan di jalanan di malam minggu.
“Kenapa nasibku seperti ini? Aku juga ingin bahagia.”
Sejak kematian ibunya. Erica Stephanie Daphne, 21 tahun menjadi tulang punggung keluarga. Ayahnya sudah menikah lagi dan pria itu tidak lagi membiayai dia serta adiknya.
Erica pun harus ke sana kemari, dari magang, sampai kerja paruh waktu di berbagai tempat. Saat ini, dia bekerja di sebuah restoran demi membiayai sekolah adiknya.
Setelah menangis selama beberapa waktu, akhirnya Erica bangkit untuk melanjutkan perjalanan pulang.
Namun, saat ia hendak menyeberang jalan, Erica tidak menyadari kalau lampu lalu lintas sudah hijau. Karenanya, sebuah mobil dari arah berlawanan tiba-tiba harus mengerem mendadak.
Erica terkejut dan terjatuh karena syok.
Tak lama kemudian, seorang sopir keluar dari dalam mobil menghampiri Erica.
Seorang sopir keluar dari dalam mobil menghampiri Erica.
“Non, baik-baik saja?” tanya sopir.
“Saya baik-baik saja. Maaf atas keteledoran saya,” ucap Erica karena dia yang salah.
Sopir itu membantu Erica bangun. Tubuh Erica masih gemetar karena terkejut.
Meskipun kedua kakinya terasa sangat lemas, Erika berusaha berjalan ke sisi jalan dengan bantuan sopir tadi. Banyak orang yang memperhatikan mereka.
“Non, yakin baik-baik saja? Apa tidak mau saya bantu bawa periksa ke dokter?”
Saat katup bibir Erica terbuka dan hendak terucap, seseorang keluar dari mobil itu.
Erica melihat sepatu lelaki itu milik brand ternama. Ia bisa menebak kalau pria itu pasti orang kaya, dengan tubuh tegak, gagah, dan dada bidang tampak sempurna. Lelaki itu melangkahkan kakinya dari cahaya jalanan yang sedikit redup. Hingga suaranya terdengar menyapa.
“Pak Yuda, bagaimana kondisinya?” tanya lelaki itu yang perlahan mulai terlihat semakin jelas wajahnya.
Tampan adalah kalimat pertama yang terucap di hati Erica. Namun, Erica terkejut saat menyadari kalau orang itu adalah orang yang sangat dikenalinya.
Pria itu adalah Leonel Jonathan Winston, 39 tahun, pelanggan setia di restorannya. Dia juga dijuluki customer killer! Karena, dia sangat memperhatikan kebersihan di restoran.
Selain itu, Erica tadi pagi tidak sengaja menumpahkan kopi di pakaiannya!
‘Sial! Kenapa harus om killer ini, sih!” rutuknya dalam hati.
Manik mata Leonel melihat Erica dari atas hingga ujung kaki. Tatapannya tidak bersahabat dan nyaris tidak enak dipandang.
“Kamu lagi!” ucap Leonel dengan suara pelan nan dingin.
Erica langsung menunduk takut kalau pria itu akan memperpanjang masalah.
“Pak, maafkan saya! Sekali lagi maaf,” ucapnya seraya membungkuk kepada Leonel yang saat ini berdiri di hadapannya, dengan satu tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.
Pak Yuda menatap Leonel dan berkata, “Pak, gadis ini baik-baik saja.”
Leonel melihat orang-orang mulai penasaran dengan apa yang terjadi. Jadi, dia tidak ingin ambil pusing. Leonel mengambil sesuatu dari balik jas yang dikenakannya, dan menyodorkan kartu nama.
“Jika kamu merasa sakit dan butuh pertanggungjawaban, kamu bisa menghubungi saya di nomor ini,” ucapnya.
Erica menggelengkan kepalanya. “Tidak usah, Pak, saya baik-baik saja, kok.”
Namun, Leonel tetap menyodorkannya hingga suara Pak Yuda terdengar.
”Sudah, Non, ambil saja buat jaga-jaga.”
Erica merasa takut dengan tatapan Leonel yang saat itu juga menatapnya dingin dengan satu alis terangkat. Erica tidak berdaya dan hanya bisa menerimanya seraya membungkuk meminta maaf lagi.
“Kita pergi sekarang,” ucap Leonel.
Saat itu juga mobil mewah keluaran Eropa berwarna merah itu menjauh dari Erica.
Erica pun menghela napas, jantungnya masih berdebar. Hampir saja malaikat maut memanggilnya!
Gadis itu kemudian melihat kartu nama di tangannya.
“Leonel Jonathan Wingston, jadi ini adalah nama dia,” gumam Erica, sebelum kemudian menarik napas dalam-dalam.
“Hampir saja,” gumamnya pada diri sendiri. “Aku tidak boleh berakhir di sini.”
Erica ingin membuktikan kepada keluarga dan saudaranya yang suka sekali menyinyir dan merendahkannya. Kalau masa depannya pasti cerah.
Malam itu Erica naik angkot pulang ke rumah.
Baru saja ia tiba di rumah di rumah, bibi Erica yang bernama Catalina sudah memasang wajah masam.
“Dari mana saja kamu!?” bentak wanita paruh baya itu. “Jam segini baru pulang ke rumah.”
“Baru pulang kerja, Bi.” Erica terpaksa berbohong.
“Alah, kerja-kerja tapi gajimu kecil. Buat makan sebulan saja susah! Jika suamiku tidak membawamu dan adikmu itu, pasti kalian sudah jadi gembel di jalan!”
Erica tidak menyahut, dia hanya bisa menunduk dan masuk ke dalam kamarnya. Selama ini dia tidur bersama dengan saudara perempuannya, saudaranya pun sering kali membuat masalah.
“Ck! Enggak tahu diri. Berangkat pagi pulang malam, dasar lo udah kaya lonte aja!” cibirnya.
“Aku kerja, Sis. Aku bukan perempuan seperti itu.”
Namun, Siska enggan peduli dengan ucapan Erica. Teriakan dari luar kamar sudah terdengar.
“Erica, cuci piring. Piring kotor sudah menumpuk di dapur!” teriak Catalina.
Erica melirik ke arah pintu kamar. Sedangkan Siska hanya asyik memainkan ponselnya. Suara teriakan itu terdengar lagi membuat Erica berlarian keluar kamar.
“Tunggu sebentar Bi.”
Malam itu Erica pergi ke dapur, dia melihat tumpukkan piring kotor di atas wastafel. Erica tidak mengeluh dan langsung mencuci piring, selain itu masih ada tugas lain ya itu mencuci pakaian milik tante dan sepupunya.
“Kak, biar Cio bantu.”
Erica menoleh dan menggelengkan kepala.”Kamu tidur saja, kakak sudah mau selesai kok.”
Lucio menatap kakaknya dengan tatapan sedih. Namun, Erica berusaha untuk gigih.
“Apa yang kamu pikirkan?”
“Cio, sedih saja. Sejak Ibu meninggal, kakak harus kerja banting tulang. Sedangkan Bapak sama sekali tidak peduli,” ucap adiknya sedih. “Kak, apa Cio tidak usah lanjut SMA saja?!”
Erica langsung menggenggam tangan adiknya menggelengkan kepala.
“Tidak boleh. Pendidikan sangat penting. Tugasmu hanya sekolah yang benar, mengenai biaya sekolah biar kakak yang pikirkan.”
“Tapi, kita tidak punya uang sama sekali. Kakak kan juga harus membayar uang semester?”
Erica pun sebenarnya bingung dari mana ia akan mendapatkan uang. Namun, ia tidak boleh menampakkan itu di depan adiknya.
“Tenang. Jangan cemaskan Kakak.” Pada akhirnya, hanya itu yang terucap dari bibir Erica sebelum bibinya berteriak nyaring sekali.
“Erica! Ke sini kamu!”
Hallo, salam kenal saya Caramelly. Ini buku pertama saya di GN. Semoga kalian suka, ya. Terima kasih, sudah mau menyempatkan membaca karya saya. Jangan lupa sapa saya di kolom komentar, juga. Love you all.
“Erica! Ke sini kamu!” Dengan segera, Erica pergi ke dapur, dia melihat tumpukkan piring kotor di atas wastafel. Erica tidak mengeluh dan langsung mencuci piring, selain itu masih ada tugas lain ya itu mencuci pakaian milik tante dan sepupunya. “Cuci yang bersih!” kata Bibi dengan nada yang cukup tinggi. Erica tidak membantah dan langsung mengerjakannya, walaupun dirinya sangat lelah. Karena jika tidak, tubuhnya akan menjadi sasaran amukan bibinya. *** Erica melihat jam tangannya, dia langsung meninggalkan kampus. Pada sore harinya, ia akan bekerja di sebuah restoran sebagai waitress. Namun, sayangnya hari ini dia harus datang terlambat. Karena harus terjebak macet, bentrok dengan para pegawai pabrik yang baru saja keluar. Sesampainya di restoran, Erica bergegas pergi ke loker dan berganti pakaian sebagaimana seorang waitress Erica mengamati restoran yang sedang ramai. Ia merasa ada sosok pria yang mengawasinya. Dan ketika dia memutar kepala ke arah meja no. 28, di sisi kaca.
Catalina yang mendengar itu terkejut, dia langsung diseret keluar dari kantor lurah. Meskipun dia berteriak dan memohon. Pak Kades meminta maaf kepada Leonel atas perilaku Catalina yang buruk. “Pak, ini dokumen tanahnya yang Bapak minta,” kata Pak kades. Leonel melihatnya sekilas dan memberikannya langsung kepada Thomas. “Saya ingin tanah itu juga. Karena tanah itu strategis dengan perumahan yang sedang saya bangun,” kata Leonel. “Pak, mengenai rumah Bu Catalina, apa Anda ingin menggusurnya juga?” tanya Pak kades. Leonel menatap dingin Pak kades dengan senyuman miring, dia tidak menjawabnya. “Tuan kami tidak butuh rumah itu. Beliau hanya ingin memberikan pelajaran,” kata Thomas. Pak kades hanya mangut-mangut saja. Leonel melihat pesan dari mamanya. [Mama sudah mengatur kencan buta untukmu besok malam. Jangan sampai tidak datang, jika kamu menolak pergi, Mama akan mogok makan dan minum obat!] Leonel yang melihat pesan itu, tiba-tiba mendadak sakit kepala dan menghela napas.
“Jangan jodohkan aku dengan pria tua!” kata Erica dengan nada yang sedikit tinggi. Usai mengatakan itu, Erica langsung berbalik dan berjalan pergi, membuat Catalina berteriak. “Heh, siapa yang menyuruhmu pergi!?” Namun, Erica mengabaikannya. Akan tetapi, rupanya keributan tersebut didengar hingga jalanan depan rumah, tempat para tetangga berkumpul sepagian ini sembari bergosip. Seorang ibu-ibu bertanya kepada Erica saat gadis itu keluar rumah. ”Mau ke mana sepagi ini?” tanya ibu-ibu yang membawa sapu. “Mau berangkat ngampus, Bu.” Erica melihat jam tangannya bahkan tidak bisa dikatakan pagi. Terdengar suara yang tidak mengenakkan. ”Anak zaman sekarang bilangnya ngampus. Mana ada ngampus pulang malam, berangkat pagi. Jangan-jangan bukan perempuan baik-baik!” cibir seorang ibu yang saat ini berdiri di depan pagar rumah. “Ih, bener banget, Buuu.” Ibu-ibu yang lainnya menimpali. “Mana ada sekolah pulangnya tengah malam. Mana tiap hari lagi.” Ibu yang lainnya menyahuti dan menga
Erica mengangkat tangan hendak menampar wajahnya sendiri, tetapi langsung ditahan oleh Leonel. Sontak Erica menatap tajam kepada Leonel. “Ini bukan mimpi? Aku benar-benar akan menikahi customer killer?!” gumamnya. Sebuah senyuman manis tampak pada wajah tampan Leonel. Namun, bagi Erica senyuman itu sangat mengerikan. Bagaimana tidak, bisa-bisanya lelaki yang dinikahinya adalah pria arogan seperti Leonel. Ini lebih dari sekadar mimpi buruk. “Ayo, kita selesaikan prosesi pernikahan kita,” ucap Leonel. “Anda tahu ini saya?” tanya Erica. Namun, Leonel tidak menyahut, sebelum Erica berpikir panjang, tangan Leonel sudah membawanya ke altar dan dihadapkan pada pendeta. Keduanya mengucap janji suci pernikahan, meskipun Erica sempat tidak fokus karena masih terkejut mengetahui lelaki yang dinikahinya adalah Leonel. Leonel memasangkan cincin dijari Erica yang kini sudah menjadi istrinya, begitu juga dengan Erica memasangkan cincin di jari Leonel. Setelah itu, Leonel mengangkat veil yang
Leonel kembali menyalakan lampu dan menatap Erica yang kini terduduk menatapnya dengan keringat bercucuran. Mata mereka bertemu, lalu Erica langsung buru-buru masuk ke dalam selimut dengan posisi membelakangi suaminya. “Kamu takut gelap, apa kamu yakin tidak kepanasan?” tanya Leonel. “Ya!” jawab Erica singkat. Leonel menatap punggung istrinya. Dia menaikkan sebelah alisnya seraya menghembuskan udara ke atas keningnya. ‘Sepertinya yang dia takutkan bukan gelap, tapi aku!’ Sebenarnya Leonel juga merasa canggung berbaring di ranjang yang sama dengan orang asing, karena selama ini dia selalu tidur sendirian. Keduanya juga masih tidak percaya akan menikah secepat ini. Namun, semua ia lakukan untuk membuat ibunya bahagia dan tidak lagi berada dalam kekhawatiran. Mengingat dia sudah mau memasuki kepala empat. Leonel kembali berbaring seraya menatap langit-langit kamar hotel, sebelum akhirnya dia tertidur dengan posisi tubuh yang sama-sama membelakangi. Erica membuka matanya, keri
“Sepakat,” jawab Erica. Mereka berdua akhirnya saling menandatangani perjanjian pernikahan yang memang menguntungkan Erica. “Ingat ini jangan ganggu kedamaian saya.Karena saya datang ke sini bukan untuk bulan madu, tapi untuk bekerja.” Erica tercengang.”Bekerja? Lalu kenapa Anda membawa saya bersama Anda?” Jika Leonel tidak membawa Erica, Eleanor pasti akan mengomelinya karena meninggalkan istrinya. Leonel memilih untuk tidak menyahutinya. “Jika kamu mau jalan-jalan, kamu bisa pergi sendiri. Kamu juga bisa berbelanja sesukamu,”kata Leonel mengeluarkan sebuah kartu. Erica terbelalak terkejut melihat kartu di depannya. “Ini—” “Untukmu. Sekarang kamu adalah istri saya, maka semua kebiasaan burukmu harus diubah. Disiplin waktu,” kata Leonel. “Baik, Pak, saya mengerti.” “Satu lagi berhenti saya memanggil Bapak.” “Loh, Bapakkan memang lebih dewasa dari saya. Jadi. sepertinya sapaan Bapak cukup umum.” “Dari pada saya panggil om tuwir!” gumam Erica pelan dengan mata yang menat
“Belum, Pak, terima kasih untuk makan malamnya.” “Bagaimana dengan perutmu?” tanya Leonel dengan suara pelan. “Sudah membaik. Sekali lagi terima kasih,” kata Erica. Leonel pun memutar tubuhnya menghadap Erica. “Berbalik, saya tidak sedang berbicara dengan tembok.” Dengan jantung berdebar, akhirnya Erica memberanikan diri menoleh dan melihat sepasang mata lembut yang kini sedang menatapnya. Entah mengapa Erica merasa kalau Leonel yang berada di atas tempat tidur adalah lelaki yang hangat. “Apa kalian dua saudara?” tanya Leonel. “Ya, hanya Lucio yang saya miliki saat ini.” Leonel memejamkan matanya. “Besok aku akan pergi bertemu rekan bisnis sebentar. Setelah itu aku akan mengajakmu jalan-jalan.” “Benarkah?” tanya Erica. Leonel tidak menyahut. Erica tersenyum, dia menatap wajah tampan suaminya. ‘Saat tidur pun masih terlihat tampan.’ Erica memejamkan matanya dan tertidur begitu saja. *** Entah sudah berapa lama mereka tertidur. Erica merasa tubuhnya hangat,
Erica tertegun, melihat Leonel mengulurkan tangannya. Namun, sebelum Erica menjawab, Leonel sudah lebih dulu meraih tangannya. Erica merasa ada sedikit kehangatan di dalam hati kecilnya. Dia merasa diperhatikan, dan dijaga. Setelah membeli tiket, mereka masuk ke area kuil. Keduanya berjalan-jalan dengan santai, dan berhenti di sebuah kuil di tengah-tengah danau. “Indah sekali. Apa benar kuilnya terbuat dari emas murni?” tanya Erica. “Ya,” jawab Leonel kembali melangkah. “Eh, Pak, tunggu. Kita foto bersama dulu,” ajak Erica. “Saya tidak suka berfoto,”jawab Leonel. Erica yang mendengar itu tercengang. Namun, dia tidak tinggal diam saja dia memotret keindahan tempat itu. Dan dengan paksa, dia menarik Leonel. “Pak, ayo, nanti Mama Bapak tanya, loh.” Leonel terdiam dan menatap Erica, dia berpikir kalau ucapan Erica memang ada benarnya juga. Akhirnya Leonel mau berfoto bersama. Namun, tatapannya sangat dingin dalam potret itu. “Pak, senyum dikit, kek. Jangan kaya es batu begitu.”
Tiara terbelalak mendengarnya. Dia tidak menyangka kalau Leonel akan bersikap keras terhadapnya. Hingga membentaknya di hadapan Kenzo, saat itu juga Tiara tidak bisa menyembunyikan air matanya. Dia menangis di hadapan Kenzo.“Sejak menikahi Erica, Paman sudah banyak berubah. Bahkan sekarang membentakku hanya untuk orang asing seperti dia. Jangan-jangan anak yang dikandung Erica bukan anak Paman, tapi anak dia!” tuduh Tiara kepada Kenzo.Kenzo terkejut mendengarnya.”Kau! … Tiara, aku memang masih mencintai Erica, tetapi tuduhanmu terhadapku sangat keterlaluan.”Leonel mengepal tangannya. Darahnya mendidih, jika saja bukan keponakannya. Mungkin Tiara sudah mendapatkan tamparan dari Leonel.“Tiara, saya peringatkan padamu sekali lagi. Jangan membuat masalah dengan Erica, kedua jangan membuat ulah yang merugikan Erica, ketiga Erica bukan orang asing, dia istri saya. Keluarga saya, ibu anak saya. Saya lebih tahu anak siapa yang dikandung Erica, karena saya yang menghamilinya!” dengus Leon
Leonel terkejut mendengarnya. Melihat reaksi suaminya Erica tertawa, perlahan kedua tangannya menyentuh kedua pipi Leonel.“Leonel, aku bercanda. Aku mencintaimu!” ucap Erica dengan wajah tersenyum.Tanpa sebuah kalimat Leonel langsung mencium bibir Erica dengan sangat lembut dan penuh kehangatan. Tidak ada sebuah kalimat yang bisa menggambarkan kebahagiaan Leonel saat ini. Kalimat pun tidak cukup, kalimat yang begitu sederhana, tetapi membuatnya sangat bahagia.Lalu kecupan hangat itu terlepas dan keduanya sama-sama mengukir sebuah senyuman yang hangat.“Erica, saya sangat-sangat mencintaimu dan juga anak kita. Akhirnya aku akan menjadi seorang ayah, kamu harus sehat. Mulai sekarang jangan pikirkan apapun lagi, apapun yang kamu inginkan, kamu hanya perlu memberitahu saya. Anak kita dan kamu tidak boleh kekurangan apapun.”“Aku tahu. Sejak kecil aku hidup penuh dengan kekurangan, sekarang aku tidak akan lagi seperti itu. Terutama anakku dan Lucio, masa depan mereka harus cerah. Dan ti
Erica meraih tangan Leonel sembari mengukir sebuah senyuman.“Tidak apa-apa,” sahutnya yang kemudian meraih tubuh Leonel dan memeluknya.Erica menepuk-nepuk pundak Leonel. Dan keduanya saling memeluk satu sama lain.“Kamu tidak ingin bertanya siapa perempuan tadi?”Erica menghela napas secara perlahan dan menghembuskannya.“Masa lalu tidak perlu diungkit. Semua orang memiliki masa lalu, termasuk aku. Kisah kita memang terlalu pelik, tetapi kita berdua berjalan untuk masa depan. Dan aku tidak mau sedih terus menerus, aku tidak ingin kehamilanku juga terganggu.”“Aku sudah melupakannya. Apa kamu percaya?”“Kamu sudah dengar tadi, kalau aku percaya padamu. Jadi, aku juga berharap kamu juga percaya dengan masa laluku. Saat ini yang aku cintai hanyalah kamu, Leonel.”Pelukan itu melonggar, mata-mata yang sayu menyapu kesedihan. Tatapan hangat pada malam penuh ujian. Keduanya berusaha bersikap kuat, Leonel mengelus rambut Erica lalu mengecup keningnya.“Caca, saya berjanji. Saya tidak akan
Tiara menggelengkan kepala seraya menyeka air matanya.“Tidak Ma, Tiara sedikit sedih saja melihat Paman terlihat bahagia. Aku harap Erica perempuan baik, dan bukan perempuan matre yang hanya menginginkan uang dari Paman!”Natalie terkejut mendengarnya. Biasanya Tiara tidak akan memanggil Erica dengan sebutan nama langsung. Natalie merasa ada yang aneh, di sisi lain dia tidak melihat keberadaan Kenzo dan Dahlia.Saat ini Dahlia sedang menarik Kenzo yang sudah mabuk. Dia berada di balkon.“Bisa-bisanya kamu mabuk di saat seperti ini. Ayo pulang dengan Mama, jangan sampai kamu berkata yang tidak-tidak.”Saat itu juga Dahlia menyuruh ajudannya untuk membawa paksa Kenzo yang sudah mulai melantur. Sementara Erica dan Leonel menikmati pesta resepsi mereka, berbagai acara terus berlangsung.Teman-teman yang bekerja di restoran juga datang ke pesta, mereka masih tidak percaya karena Erica memang menikahi Leonel. Bahkan saat ini sedang mengandung putra dari Leonel.Pesta resepsi pun selesai. K
Erica yang sama sekali tidak mengenali Jasmine tersenyum dengan begitu ramah. Mauren langsung berjalan menarik gaunnya dan buru-buru mengarah ke arah pelaminan. Namun, semua itu terlambat. Karena Jasmine sudah lebih dulu mengulurkan tangannya kepada Leonel dengan wajah tersenyum.“Leo, selamat atas pernikahan dan kehamilan istrimu!” kata Jasmine yang perlahan tatapan matanya berubah menjadi sorot kesedihan, kerinduan.Leonel meraih tangan Jasmine, keduanya berjabat tangan. Tatapan Leonel datar, lalu Jasmine mendekatkan tubuhnya ke wajah Leonel.“Biarkan aku memelukmu untuk terakhir kalinya,” bisik Jasmine memeluk Leonel tanpa ragu. Dia juga mencium pipi Leonel di hadapan Erica, setelah itu dia langsung memutar tubuhnya dan turun dari pelaminan.Erica yang melihat semua itu tertegun. Dia tidak bisa berkata-kata, beberapa tamu yang melihatnya juga tercengang.“Erica, nanti aku akan menjelaskan padamu.”Erica mengangguk pelan.”Aku percaya padamu!”Jawaban Erica mengejutkan Leonel, karena
Mendengar kabar bahagia itu membuat Eleanor dan Philip terkejut dalam kebahagiaan. Karena pada akhirnya yang diinginkan mereka terkabul. Tiara juga tampak bahagia, begitu juga dengan sang ayah Archer, Sarah dan Henry benar-benar terkejut dalam kebahagiaan.“Ternyata benar Erica sedang hamil, sejak awal Mama curiga kalau Erica hamil,” kata Eleanor seraya memegang tangan suaminya.“Baguslah. Keinginanmu sekarang sudah tercapai,” kata Philip dengan wajah tersenyum.Namun, tidak dengan Natalie yang terdiam bersama dengan Dahlia dan juga Kenzo. Sedangkan Jasmine yang mendengar kabar itu benar-benar syok, sampai gelas di tangannya terjatuh ke lantai, saat itu juga dia langsung membalikkan badan meneteskan air mata.“Kita pulang saja, yuk.” Mauren mengelus punggungnya.Jasmine menggelengkan kepalanya.“Aku masih ingin melihatnya di sini. Aku ingin melihat kebahagiaan mereka,”jawab Jasmine yang saat itu pergi ke toilet.Mauren menghela napas, dia tahu tidak akan mudah membujuk Jasmine Mauren
Jasmine mengulas senyum kepada Leonel, dia juga tidak segan-segan mengangkat gelasnya mengajak Leonel bersulang. Di waktu yang sama manik mata Erica dan Jasmine bertemu.‘Perempuan itu sangat cantik.’Erica sama sekali tidak mengenali Jasmine, dan beberapa tamu Leonel. Natalie dan Archer menyadari kehadiran Jasmine bersama dengan Mauren.“Sekarang kamu sudah melihat wanita yang dinikahi Leonel, apa kamu sudah puas?” kata Mauren.“Cantik dan masih muda. Tapi, tetap saja aku yang lebih mengenal Leo dari dia, aku juga yang pertama kali bertemu dengannya. Dia hanyalah gadis kecil yang beruntung dinikahi pria yang aku cintai.”Mauren menghela napas.”Jangan berulah di pernikahan mereka.”“Aku tidak sebodoh itu. Meskipun hatiku tidak rela, apa yang bisa aku perbuat saat ini. Menghancurkan pesta pernikahan mereka tidak akan membuat Leonel kembali kepadaku, bukan?”Mauren mengelus punggung Jasmine dengan wajah tersenyum.Kini Leonel dan Erica berada di kursi pernikahan mereka tersenyum kepada
“Ca, tenangkan dirimu. Hari ini, hari baik. Tidak boleh berpikiran yang tidak-tidak, oke.”Erica mangut-mangut. Dia duduk di sofa.“Kamu pergi saja temui Mama dan yang lainnya, aku ingin istirahat sebentar. Jam berapa penata rias mulai meriasku?”“Saya meminta merias kamu jam 6 saja, acaranya jam 7. Cukup untuk merias kamu,” kata Leonel.“Oke. Aku tidur sebentar,” kata Erica.Leonel mengecup kening Erica.”Jika kamu butuh sesuatu hubungi aku langsung.”Leonel pergi menemui orang tuanya yang berada di kamar khusus. Mereka semua berkumpul di sofa, di sana juga ada Lucio yang cukup canggung berada di tengah-tengah keluarga dari Leonel.“Jadi, ini Lucio. Akhirnya aku melihatmu juga, selama ini kita tidak berkesempatan bertemu. Cukup tampan juga, tetapi pemalu. Wajar saja masih SMA, kalau dipoles sedikit pasti lebih menarik.”Lucio tersenyum tipis.“Kamu juga pas awal masuk SMA masih buluk,” kata Sarah.“Bibi —” Tiara mengerutkan keningnya dan menghela napas.Natalie tersenyum dan menggoda
“Tidak. Saya sangat bersyukur bisa menemukanmu di tengah keramaian wanita di luar sana, meskipun usia kita jauh berbeda. Tapi, saya tidak pernah menyesal bertemu denganmu. Karena saya tahu, ini jalan hidup saya.”Erica menatap mata suaminya yang tampak teduh. Dia memeluk Leonel, dalam hati kecilnya, ia berharap kalau Leonel tidak pernah mengecewakannya. Bagaimanapun, dia sudah mengorbankan masa mudanya untuk sebuah pernikahan dan rela hamil di saat dia sedang kuliah.“Bagaimana, apa kamu sudah siap? Jika kamu sudah siap kita akan pergi ke hotel, acaranya jam 7 malam. Kamu bisa istirahat sampai sore di sana,” kata Leonel.“Ayo kita pergi sekarang. Keluarga kita sudah berada di sana,” kata Erica.Leonel mengangguk, dia meraih tangan Erica mereka menuruni lift dan menaiki mobil menuju hotel milik keluarganya. Di seberang sana, Catalina saat ini sedang membeli sayur di tukang sayur yang ada di mobil. Dia melihat ibu-ibu seperti biasa tengah berkerumun bersama dengan ibu penjual sayur.“E