“Nggak… nggak mungkin… dia nggak mungkin….” Alina gagap dan gugup secara bersamaan ketika matanya terus tertuju ke lantai.Di bawah sana, berceceran foto-foto dia bersama Bruno, baik itu ketika mereka masih menjadi mahasiswa maupun ketika dewasa dan Alina menikah dengan Arvan.Pegangan tangan Alina semakin ketat pada tepian kursi di dekatnya. Tubuhnya gemetaran tanpa bisa dikendalikan.Bruno merupakan orang yang paling menjadi momok baginya, sekaligus yang kerap membantunya.“Dania… kenapa si jalang brengsek itu tau aku… aku dan Bruno….”Mata Alina bergerak gelisah ke sekeliling ruangan, seakan sedang mencari jalan keluar—sesuatu yang sangat dia butuhkan.“Nggak! Siapa pun nggak boleh tau!” Alina lekas memunguti foto-foto di lantai dan bergegas mengambil gunting.Dia potong semua foto sampai ke potongan paling kecil.Namun, dia belum puas. Dia menyalakan perapian. Mumpung suaminya sedang pergi, dia bisa leluasa melakukannya.“Cepat… cepat! Ayo cepat hangus!” Alina gugup.Tangannya ber
“Baik, Nona. Kami akan memetakan aset dan mitra Zenith di bidang real estate.”Sebastian dan Melody langsung tanggap. Mereka saling bertukar pandang, mengerti bahwa apa yang Dania maksud bukan sekadar permainan biasa.Ini adalah langkah strategis, untuk menghancurkan Hizam dan Zenith Group dari dalam, menggunakan jaringan dan informasi yang sudah mereka miliki.“Kita akan mulai dari mana, Nona?” tanya Sebastian yang selalu bersemangat ketika tiba saatnya untuk menjalankan misi penuh risiko.Dania berjalan perlahan ke meja di ruang kerja mereka yang nyaman.“Kita akan mulai dengan yang paling lemah,” jawabnya. “Aku ingin tau siapa mitra terbesar Zenith di proyek real estate yang sedang berjalan, dan seberapa terhubung mereka. Cari tau celah apa pun yang bisa kita manfaatkan.”Melody yang selalu sigap dan tangkas, sudah mengambil laptopnya dan mulai membuka beberapa file terkait proyek-proyek real estate Zenith Group yang mereka curi datanya beberapa waktu lalu.Dia mengetik cepat, meme
“Jangan!” Alina langsung menahan tangan putrinya yang hendak bergerak ke arah Dania.Zila menatap tangan ibunya yang mencengkeram erat lengannya dengan raut wajah terheran-heran.Tidak biasanya sang ibu mencegahnya melakukan itu jika ada Dania. Bukankah mereka harus mencari celah agar bisa mempermalukan Dania di mana pun?“Ma?” Zila memberikan pandangan penuh tanda tanya ke ibunya.Namun, Alina memberikan tatapan tajam setengah mengancam putrinya.“Udah, patuh aja dan diam di sini! Nggak usah ngapa-ngapain dia!” geram Alina dengan suara rendah.Sementara itu, Leona yang kesal karena merasa kalah bersaing penampilan dengan Dania yang memakai berlian sebesar itu dan semahal itu, menjadi tak tenang.Hanya saja, langkah Leona terhenti ketika Alina menangkap lengan calon menantunya itu sebelum Leona benar-benar pergi dari hadapannya.“Diam aja di sini!” desis Alina pada calon menantunya.Leona dan Zila sama-sama melongo. Ada apa dengan Alina? Kenapa sepasif itu terhadap Dania.Sayang sekal
“Dania… jadi kamu… kamu masih….” Rivan tak bisa menahan binaran pada matanya ketika mendengar pernyataan Dania.Orang-orang di sana sama terkejutnya dengan Rivan. Mereka memandang heran sekaligus takjub akan kenyataan yang dipaparkan Dania.Tidak pernah disentuh ketika mereka menjadi suami dan istri? Kenapa?“Tak perlu heran,” celetuk Leona untuk membela calon suaminya. “Itu karena dulu dia jelek, gendut, dan tidak terawat. Sungguh-sungguh mengerikan penampilannya, makanya Hizam malas menyentuhnya dari awal menikah.”Kembali lagi, orang-orang berbisik-bisik atas apa yang dilantunkan Leona sebagai pembelaan ke Hizam.Namun, Dania bukan wanita lemah dan bodoh seperti dulu. Dia membalas, “Tentu saja aku tidak terawat, karena tak ada yang merawatku di keluarga Grimaldi. Sedari awal mereka memang tidak ingin merawatku, tak mau bertanggung pada hidup dan masa depanku. Jadi, wajar kalau aku terlihat mengerikan.”Tak lupa, tatapan tajam mata Dania langsung menghujam ke mata Alina.“Huh! Untuk
“Aku benar-benar kaget mengetahui kamu pewaris Radiant, Riv.” Dania tersenyum.Mereka berdua sedang duduk berhadapan di kantin gedung utama Nexus yang luas dan nyaman.Rivan membalas dengan senyum yang sama sebelum dia menjawab, “Aku sebenarnya tidak begitu suka mengumbar mengenai itu. Tapi karena tadi aku ingin memberikan jaminan kredibilitasku atas kerja sama kita, maka aku harus mengungkapnya.”Dania tak menyalahkan Rivan. Bagaimana pun, seseorang harus jelas latar belakangnya ketika hendak mengajukan kerja sama dengan pihak lain.“Oke, nggak apa, kok!” Dania mengaduk spagetinya.Ada sedikit kekacauan di hatinya saat ini. Meski terjawab sudah teka-teki di hatinya mengenai perubahan penampilan Rivan yang sangat drastis, tapi dia berkaca pada dirinya sendiri.‘Mungkin dia juga menemui kisah kelam seperti aku, makanya akhirnya ketika dia menemukan kekuatannya, dia pun berubah.’ Dania memiliki asumsi ini di hatinya.“Dania, semoga kerja sama Nexus dan Radiant bisa lancar dan membuka ba
Melody yang terus memantau pergerakan pasar melaporkan, “Kencana Buana sudah mendapatkan peringatan dari beberapa investor besar mereka. Mereka akan kesulitan melanjutkan proyek tanpa dukungan Zenith.”Sebastian juga memberikan laporan. “Saham Zenith sudah jatuh lima persen. Ini pukulan besar untuk mereka.”Silverline Properties yang awalnya bertahan, akhirnya menyerah pada tekanan. Melihat Kencana Buana terancam dan saham Zenith terus merosot, Silverline mulai meninjau kembali kerja sama mereka dengan Zenith. Beberapa investor mereka bahkan sudah mulai menarik dukungan.Semua mata sekarang tertuju pada Zenith, perusahaan yang mulai terguncang di pasar."Dalam waktu singkat, mitra-mitra bisnis mereka mulai meninggalkan proyek yang dirasa tidak stabil. Hihi... dengan begitu, Hizam makin terpojok dengan tekanan datang dari berbagai arah."Dania tersenyum penuh kepuasan. Dia telah berhasil menjalankan rencananya tanpa harus terlibat langsung dalam konflik terbuka.Zenith berada di ambang
“Pergi ke suatu tempat?” tanya Dania begitu mendengar permintaan Rivan.Rivan mengangguk. Mereka sudah menyelesaikan santap malam mereka."Bagaimana kalau kita ke galeri seni? Ada pameran lukisan yang sedang berlangsung tidak jauh dari sini."Dania tersenyum, mengingat pesan ayahnya sebelum pergi. Levi, ayahnya, sempat mengatakan agar dia bersenang-senang menikmati malam ini dengan Rivan.Meski biasanya Levi bersikap protektif, kali ini Dania bisa merasakan bahwa ayahnya tidak keberatan dengan Rivan, bahkan mungkin menyukai pria itu.Dengan perasaan ringan, Dania mengangguk. "Tentu, kedengarannya menyenangkan."Mereka berdua meninggalkan restoran dan menuju galeri seni di pusat kota. Saat tiba di sana, suasana galeri terasa tenang dengan sentuhan elegan. Lukisan-lukisan dari berbagai aliran seni tergantung di dinding, diterangi cahaya yang lembut. Beberapa pengunjung lainnya tampak sedang berkeliling, menikmati karya-karya seni itu dengan penuh minat.Namun, setelah beberapa waktu ber
Di rumah Levi, Dania termenung di balkon kamarnya. Dia baru saja diantar pulang oleh Rivan.“Hah~ astaga~” Dia masih saja tersenyum jika teringat akan kata-kata manis Rivan saat menyatakan cintanya.Apalagi ketika pria itu menangkap tubuhnya yang hendak jatuh ketika terpeleset usai keluar dari gondola.“Ya ampun~” Dania memandang langit sembari kedua tangan menopang pipinya.Senyum tak lepas dari wajah cantiknya ketika mengingat momen tersebut.Teringat olehnya adegan itu dengan jelas.Saat itu, Rivan dengan cekatan menangkap tubuhnya dan memeluk tanpa ragu.“Dania, aku harap kamu bisa menerimaku dan percaya padaku.” Rivan menatap penuh harap.Ketika itu terjadi, Dania sempat termangu menatap mata Rivan. Hingga kemudian, lalu lalang orang di dekat mereka menjadi penyadar Dania bahwa posisi mereka cukup absurd.Rivan membantu Dania menegakkan kembali tubuhnya dan Dania cukup gugup menanggapi sang pria. Padahal Dania sudah terlatih selalu tegar dan kuat dalam menghadapi apa pun, termasu