“Gin tonik, berikan dobel.” Bruno duduk di sudut gelap sebuah bar di pinggiran kota, matanya menyipit menatap layar ponsel.“Sialan,” gumamnya sambil mengepalkan tangan. Percobaan pertamanya gagal, dan dia hampir kehilangan reputasinya sebagai pembunuh bayaran yang tak pernah meleset.Alina sudah memarahinya habis-habisan, dan sekarang dia diberi kesempatan kedua untuk menyelesaikan tugas ini.Bruno menenggak minuman kerasnya dengan cepat, lalu menyalakan rokok. Dia mulai merencanakan strategi barunya.Kali ini, dia tidak akan ceroboh. Dia akan mempelajari pergerakan Dania, mengetahui semua kebiasaannya, dan menunggu saat yang tepat untuk menyerang."Hargh!" Bruno selesai menenggak minuman pertamanya.Dia harus meneliti mengenai targetnya. Namun, yang Bruno tidak ketahui adalah bahwa Dania sudah sangat siap.Di penthouse pribadi Dania, Sebastian dan Melody duduk di ruang kendali kecil yang dipenuhi layar monitor.Beberapa hari terakhir, mereka mengawasi setiap langkah Bruno sejak keg
“Nikmat, bukan?” ledek Sebastian sambil terkekeh ke Bruno yang kesakitan.Bruno masih jadi udang di lantai. Mungkin telur masa depannya dipecahkan kaki Melody yang ganas.Sebastian berhasil memberangus pergerakan Bruno sehingga si pembunuh bayaran tertelungkup di lantai dengan dia memberikan tekanan mendominasi menggunakan lutut di punggung Bruno.“Udah, stop, Bruno daripada kamu semakin bonyok.” Sebastian benar-benar mengunci kedua tangan Bruno di belakang.Bruno masih terkejut dan heran karena namanya bisa disebut oleh lawannya.Tapi ketika Bruno hendak memberontak, Sebastian berlaku lebih kejam lagi.Kreek!“Argh!” Bruno memekik keras ketika sikunya dipatahkan Sebastian secara paksa."Udah dibilangin, masih saja ngeyel. Hah...." keluh Sebastian berlagak menyesal.Melody mendekat, menambah aura dominasi pada Bruno agar lelaki itu tidak macam-macam lagi.“Berhenti melawan, atau aku tusuk kakimu pakai pisau! Aku bisa buat kamu cacat permanen, mau?” ancam Melody sambil mengacungkan pis
“Papa… tau?” Dania bertanya dengan sikap hati-hati.Siapa yang membocorkan mengenai hal itu ke Levi? Yohan kah?“Sayang, Papa ini seorang pebisnis, insting Papa tajam kalau ada sesuatu yang tidak wajar.” Levi mengawali ucapan. “Papa sudah cukup merasa aneh kamu meminta datang lagi ke Morenia, padahal kamu bisa belajar bisnis di Zeralandia. It’s alright for me kalau kamu ingin mengunjungi makam Greg dan Erna, tapi kenapa harus menetap di sana?”Dania meringis canggung mendengar ucapan ayahnya. Sepertinya sudah ketahuan sedari awal.“Hehe… jadi… Papa nggak akan kepo lagi kalau aku ingin melakukan beberapa hal nantinya, kan?” Dania sambil menatap takut-takut ke ayahnya.Bukan karena Levi galak, melainkan dia mirip anak kecil yang ketahuan mengambil permen di toples lebih banyak dari seharusnya.“Apa itu kepo?” Levi yang bukan orang Morenia asli, tak paham diksi yang dipakai Dania.“Penasaran. Kepo itu sama dengan penasaran, Pa.” Dania harus menjelaskannya.Meski Levi fasih berbahasa More
“Nggak… nggak mungkin… dia nggak mungkin….” Alina gagap dan gugup secara bersamaan ketika matanya terus tertuju ke lantai.Di bawah sana, berceceran foto-foto dia bersama Bruno, baik itu ketika mereka masih menjadi mahasiswa maupun ketika dewasa dan Alina menikah dengan Arvan.Pegangan tangan Alina semakin ketat pada tepian kursi di dekatnya. Tubuhnya gemetaran tanpa bisa dikendalikan.Bruno merupakan orang yang paling menjadi momok baginya, sekaligus yang kerap membantunya.“Dania… kenapa si jalang brengsek itu tau aku… aku dan Bruno….”Mata Alina bergerak gelisah ke sekeliling ruangan, seakan sedang mencari jalan keluar—sesuatu yang sangat dia butuhkan.“Nggak! Siapa pun nggak boleh tau!” Alina lekas memunguti foto-foto di lantai dan bergegas mengambil gunting.Dia potong semua foto sampai ke potongan paling kecil.Namun, dia belum puas. Dia menyalakan perapian. Mumpung suaminya sedang pergi, dia bisa leluasa melakukannya.“Cepat… cepat! Ayo cepat hangus!” Alina gugup.Tangannya ber
“Baik, Nona. Kami akan memetakan aset dan mitra Zenith di bidang real estate.”Sebastian dan Melody langsung tanggap. Mereka saling bertukar pandang, mengerti bahwa apa yang Dania maksud bukan sekadar permainan biasa.Ini adalah langkah strategis, untuk menghancurkan Hizam dan Zenith Group dari dalam, menggunakan jaringan dan informasi yang sudah mereka miliki.“Kita akan mulai dari mana, Nona?” tanya Sebastian yang selalu bersemangat ketika tiba saatnya untuk menjalankan misi penuh risiko.Dania berjalan perlahan ke meja di ruang kerja mereka yang nyaman.“Kita akan mulai dengan yang paling lemah,” jawabnya. “Aku ingin tau siapa mitra terbesar Zenith di proyek real estate yang sedang berjalan, dan seberapa terhubung mereka. Cari tau celah apa pun yang bisa kita manfaatkan.”Melody yang selalu sigap dan tangkas, sudah mengambil laptopnya dan mulai membuka beberapa file terkait proyek-proyek real estate Zenith Group yang mereka curi datanya beberapa waktu lalu.Dia mengetik cepat, meme
“Jangan!” Alina langsung menahan tangan putrinya yang hendak bergerak ke arah Dania.Zila menatap tangan ibunya yang mencengkeram erat lengannya dengan raut wajah terheran-heran.Tidak biasanya sang ibu mencegahnya melakukan itu jika ada Dania. Bukankah mereka harus mencari celah agar bisa mempermalukan Dania di mana pun?“Ma?” Zila memberikan pandangan penuh tanda tanya ke ibunya.Namun, Alina memberikan tatapan tajam setengah mengancam putrinya.“Udah, patuh aja dan diam di sini! Nggak usah ngapa-ngapain dia!” geram Alina dengan suara rendah.Sementara itu, Leona yang kesal karena merasa kalah bersaing penampilan dengan Dania yang memakai berlian sebesar itu dan semahal itu, menjadi tak tenang.Hanya saja, langkah Leona terhenti ketika Alina menangkap lengan calon menantunya itu sebelum Leona benar-benar pergi dari hadapannya.“Diam aja di sini!” desis Alina pada calon menantunya.Leona dan Zila sama-sama melongo. Ada apa dengan Alina? Kenapa sepasif itu terhadap Dania.Sayang sekal
“Dania… jadi kamu… kamu masih….” Rivan tak bisa menahan binaran pada matanya ketika mendengar pernyataan Dania.Orang-orang di sana sama terkejutnya dengan Rivan. Mereka memandang heran sekaligus takjub akan kenyataan yang dipaparkan Dania.Tidak pernah disentuh ketika mereka menjadi suami dan istri? Kenapa?“Tak perlu heran,” celetuk Leona untuk membela calon suaminya. “Itu karena dulu dia jelek, gendut, dan tidak terawat. Sungguh-sungguh mengerikan penampilannya, makanya Hizam malas menyentuhnya dari awal menikah.”Kembali lagi, orang-orang berbisik-bisik atas apa yang dilantunkan Leona sebagai pembelaan ke Hizam.Namun, Dania bukan wanita lemah dan bodoh seperti dulu. Dia membalas, “Tentu saja aku tidak terawat, karena tak ada yang merawatku di keluarga Grimaldi. Sedari awal mereka memang tidak ingin merawatku, tak mau bertanggung pada hidup dan masa depanku. Jadi, wajar kalau aku terlihat mengerikan.”Tak lupa, tatapan tajam mata Dania langsung menghujam ke mata Alina.“Huh! Untuk
“Aku benar-benar kaget mengetahui kamu pewaris Radiant, Riv.” Dania tersenyum.Mereka berdua sedang duduk berhadapan di kantin gedung utama Nexus yang luas dan nyaman.Rivan membalas dengan senyum yang sama sebelum dia menjawab, “Aku sebenarnya tidak begitu suka mengumbar mengenai itu. Tapi karena tadi aku ingin memberikan jaminan kredibilitasku atas kerja sama kita, maka aku harus mengungkapnya.”Dania tak menyalahkan Rivan. Bagaimana pun, seseorang harus jelas latar belakangnya ketika hendak mengajukan kerja sama dengan pihak lain.“Oke, nggak apa, kok!” Dania mengaduk spagetinya.Ada sedikit kekacauan di hatinya saat ini. Meski terjawab sudah teka-teki di hatinya mengenai perubahan penampilan Rivan yang sangat drastis, tapi dia berkaca pada dirinya sendiri.‘Mungkin dia juga menemui kisah kelam seperti aku, makanya akhirnya ketika dia menemukan kekuatannya, dia pun berubah.’ Dania memiliki asumsi ini di hatinya.“Dania, semoga kerja sama Nexus dan Radiant bisa lancar dan membuka ba