"Sa-satu triliun? Dia... dia mendonasikan satu triliun!"Ruangan seketika hening ketika pembawa acara mengumumkan jumlah donasi yang fantastis itu. Semua mata tertuju pada Dania, yang berdiri dengan anggun di atas panggung.Senyum Dania yang lembut dan tatapan penuh percaya diri menambah pesona yang memukau seluruh hadirin.Zila yang duduk tak jauh dari panggung, tampak tertegun. Wajahnya memucat, bibirnya sedikit bergetar saat mendengar jumlah donasi yang disebutkan.Bahkan Alina yang biasanya mendominasi perhatian di setiap acara, kali ini tidak bisa berkata apa-apa. Semua orang terpesona oleh aksi Dania yang luar biasa.Sambil menatap Zila, Dania berkata dengan nada ringan namun menusuk, “Oh, Zila, maafkan aku, sepertinya aku harus meminjam sedikit dari ‘bandot tua’ itu untuk donasi ini. Mudah-mudahan kamu nggak keberatan.”Kata-kata itu penuh sindiran halus, namun bagi Zila, setiap kata terasa seperti cambuk.Wajah Zila memerah, tapi dia tidak berani menjawab. Rasa malu bercampur
“Benar, Nona sangat genius untuk memikirkan skema tersebut,” imbuh Melody. "Menggunaan komplotan yang terbiasa melakukan lelang palsu barang-barang tiruan."Mendengar sanjungan dari kedua orang kepercayaannya, Dania tertawa kecil.“Hihi! Yah, gimana lagi? Sesekali menjahili Nyonya Grimaldi kan nggak apa-apa.” Lalu Dania mengulum senyumnya.Ide ‘nakal’ mengerjai Alina tentu buah dari kekecewaan Dania terhadap mantan ibu mertuanya.Meski sudah dibuat keok jika adu argumen dengan Dania, Alina masih saja mencoba melalukan hal jahat untuk menjatuhkan dirinya. Hanya... tetap saja Dania yang berhasil keluar sebagai pemenang.Namun, kali ini Alina sudah dirasa sangat keterlaluan jika menyewa pembunuh bayaran.“Aku nggak puas kalo nggak bikin Alina nangis darah, meski dikit,” imbuh Dania sambil tersenyum.Sebuah kebetulan apabila Dania melihat di media massa suatu negara di luar Morenia mengenai komplotan yang biasa mengadakan lelang tertutup untuk benda-benda antik palsu. Saat ini mereka seda
“Gin tonik, berikan dobel.” Bruno duduk di sudut gelap sebuah bar di pinggiran kota, matanya menyipit menatap layar ponsel.“Sialan,” gumamnya sambil mengepalkan tangan. Percobaan pertamanya gagal, dan dia hampir kehilangan reputasinya sebagai pembunuh bayaran yang tak pernah meleset.Alina sudah memarahinya habis-habisan, dan sekarang dia diberi kesempatan kedua untuk menyelesaikan tugas ini.Bruno menenggak minuman kerasnya dengan cepat, lalu menyalakan rokok. Dia mulai merencanakan strategi barunya.Kali ini, dia tidak akan ceroboh. Dia akan mempelajari pergerakan Dania, mengetahui semua kebiasaannya, dan menunggu saat yang tepat untuk menyerang."Hargh!" Bruno selesai menenggak minuman pertamanya.Dia harus meneliti mengenai targetnya. Namun, yang Bruno tidak ketahui adalah bahwa Dania sudah sangat siap.Di penthouse pribadi Dania, Sebastian dan Melody duduk di ruang kendali kecil yang dipenuhi layar monitor.Beberapa hari terakhir, mereka mengawasi setiap langkah Bruno sejak keg
“Nikmat, bukan?” ledek Sebastian sambil terkekeh ke Bruno yang kesakitan.Bruno masih jadi udang di lantai. Mungkin telur masa depannya dipecahkan kaki Melody yang ganas.Sebastian berhasil memberangus pergerakan Bruno sehingga si pembunuh bayaran tertelungkup di lantai dengan dia memberikan tekanan mendominasi menggunakan lutut di punggung Bruno.“Udah, stop, Bruno daripada kamu semakin bonyok.” Sebastian benar-benar mengunci kedua tangan Bruno di belakang.Bruno masih terkejut dan heran karena namanya bisa disebut oleh lawannya.Tapi ketika Bruno hendak memberontak, Sebastian berlaku lebih kejam lagi.Kreek!“Argh!” Bruno memekik keras ketika sikunya dipatahkan Sebastian secara paksa."Udah dibilangin, masih saja ngeyel. Hah...." keluh Sebastian berlagak menyesal.Melody mendekat, menambah aura dominasi pada Bruno agar lelaki itu tidak macam-macam lagi.“Berhenti melawan, atau aku tusuk kakimu pakai pisau! Aku bisa buat kamu cacat permanen, mau?” ancam Melody sambil mengacungkan pis
“Papa… tau?” Dania bertanya dengan sikap hati-hati.Siapa yang membocorkan mengenai hal itu ke Levi? Yohan kah?“Sayang, Papa ini seorang pebisnis, insting Papa tajam kalau ada sesuatu yang tidak wajar.” Levi mengawali ucapan. “Papa sudah cukup merasa aneh kamu meminta datang lagi ke Morenia, padahal kamu bisa belajar bisnis di Zeralandia. It’s alright for me kalau kamu ingin mengunjungi makam Greg dan Erna, tapi kenapa harus menetap di sana?”Dania meringis canggung mendengar ucapan ayahnya. Sepertinya sudah ketahuan sedari awal.“Hehe… jadi… Papa nggak akan kepo lagi kalau aku ingin melakukan beberapa hal nantinya, kan?” Dania sambil menatap takut-takut ke ayahnya.Bukan karena Levi galak, melainkan dia mirip anak kecil yang ketahuan mengambil permen di toples lebih banyak dari seharusnya.“Apa itu kepo?” Levi yang bukan orang Morenia asli, tak paham diksi yang dipakai Dania.“Penasaran. Kepo itu sama dengan penasaran, Pa.” Dania harus menjelaskannya.Meski Levi fasih berbahasa More
“Nggak… nggak mungkin… dia nggak mungkin….” Alina gagap dan gugup secara bersamaan ketika matanya terus tertuju ke lantai.Di bawah sana, berceceran foto-foto dia bersama Bruno, baik itu ketika mereka masih menjadi mahasiswa maupun ketika dewasa dan Alina menikah dengan Arvan.Pegangan tangan Alina semakin ketat pada tepian kursi di dekatnya. Tubuhnya gemetaran tanpa bisa dikendalikan.Bruno merupakan orang yang paling menjadi momok baginya, sekaligus yang kerap membantunya.“Dania… kenapa si jalang brengsek itu tau aku… aku dan Bruno….”Mata Alina bergerak gelisah ke sekeliling ruangan, seakan sedang mencari jalan keluar—sesuatu yang sangat dia butuhkan.“Nggak! Siapa pun nggak boleh tau!” Alina lekas memunguti foto-foto di lantai dan bergegas mengambil gunting.Dia potong semua foto sampai ke potongan paling kecil.Namun, dia belum puas. Dia menyalakan perapian. Mumpung suaminya sedang pergi, dia bisa leluasa melakukannya.“Cepat… cepat! Ayo cepat hangus!” Alina gugup.Tangannya ber
“Baik, Nona. Kami akan memetakan aset dan mitra Zenith di bidang real estate.”Sebastian dan Melody langsung tanggap. Mereka saling bertukar pandang, mengerti bahwa apa yang Dania maksud bukan sekadar permainan biasa.Ini adalah langkah strategis, untuk menghancurkan Hizam dan Zenith Group dari dalam, menggunakan jaringan dan informasi yang sudah mereka miliki.“Kita akan mulai dari mana, Nona?” tanya Sebastian yang selalu bersemangat ketika tiba saatnya untuk menjalankan misi penuh risiko.Dania berjalan perlahan ke meja di ruang kerja mereka yang nyaman.“Kita akan mulai dengan yang paling lemah,” jawabnya. “Aku ingin tau siapa mitra terbesar Zenith di proyek real estate yang sedang berjalan, dan seberapa terhubung mereka. Cari tau celah apa pun yang bisa kita manfaatkan.”Melody yang selalu sigap dan tangkas, sudah mengambil laptopnya dan mulai membuka beberapa file terkait proyek-proyek real estate Zenith Group yang mereka curi datanya beberapa waktu lalu.Dia mengetik cepat, meme
“Jangan!” Alina langsung menahan tangan putrinya yang hendak bergerak ke arah Dania.Zila menatap tangan ibunya yang mencengkeram erat lengannya dengan raut wajah terheran-heran.Tidak biasanya sang ibu mencegahnya melakukan itu jika ada Dania. Bukankah mereka harus mencari celah agar bisa mempermalukan Dania di mana pun?“Ma?” Zila memberikan pandangan penuh tanda tanya ke ibunya.Namun, Alina memberikan tatapan tajam setengah mengancam putrinya.“Udah, patuh aja dan diam di sini! Nggak usah ngapa-ngapain dia!” geram Alina dengan suara rendah.Sementara itu, Leona yang kesal karena merasa kalah bersaing penampilan dengan Dania yang memakai berlian sebesar itu dan semahal itu, menjadi tak tenang.Hanya saja, langkah Leona terhenti ketika Alina menangkap lengan calon menantunya itu sebelum Leona benar-benar pergi dari hadapannya.“Diam aja di sini!” desis Alina pada calon menantunya.Leona dan Zila sama-sama melongo. Ada apa dengan Alina? Kenapa sepasif itu terhadap Dania.Sayang sekal