Rio yang baru pertama kali bertemu Mbah dukun terlihat sedikit takut, raut wajahnya mulai cemas dan sesekali menghindari tatapan langsung sang dukun.
Sang dukun yang selama ini hanya melihat Rio melalui foto foto yang ada di handphone jadul milik Anjani, kini menatap langsung bocah berperawakan kurus tinggi itu. Satu hal yang membuat sang dukun tiba tiba kesal, wajah Rio dan Ayahnya mirip sekali, bagai pinang dibelah dua.
"Semoga kepribadianmu beda ya, Nak," ujar sang dukun dengan lembut.Aldo yang tengah berupaya membopong tubuh ramping istrinya segera menuju tempat ruang praktek sang dukun dan membaringkannya.
"Mbah, Ada apa sebenarnya degan istri saya? " tanya Aldo gugup.
Mbah Dukun yang tadinya masih fokus memperhatikan Rio, kini melempar pandang pada tubuh keponakannya yang terbaring.
'Betah juga pura pura pingsannya,' pikir sang dukun kemudian.Cukup lama sang dukun terdiam, menatap keponakannya yang makin hari terlihat makin tua dan kerempeng, padahal ia telah menyarankan untuk lebih banyak perawatan dan liburan guna mengurangi tanda tanda penuaan akibat makan hati memiliki suami pelit seperti Aldo. Apalagi keriput dan berbagai masalah kecantikan tidak bisa disembuhkan dengan mantra apapun, termasuk mantra-mantra palsu miliknya.
"Ah ...." gumam sang dukun lemah, selalu saja ada rasa sesak di hatinya tatkala dihadapkan dengan situasi penuh kepura puraan seperti ini. Lama terdiam memandangi keponakannya yang terlihat mengkhawatirkan, sang dukun lantas memandang Aldo, pria dengan perawakan tinggi besar dengan jambang tipis yang amat menggoda namun kadang kala membuat perut sang dukun mual dan ingin muntah.
sang dukun lantas menyatukan kedua telapak tangan dan komat kamit membaca matra yang Aldo sendiri tak mengerti bahasa apa yang tengah digunakan dukun itu.
Setelah merapal matra cukup lama, sang dukun terdiam sejenak lalu kemudian meneguk segelas air putih."Sudah, Mbah?" tanya Aldo tak sabar.
"Ya belumlah, masih loading!" ketus sang dukun sembari melotot ke arah Aldo.Tak lama kemudian, sang dukun kembali merapal mantra sembari memercikan air ke arah Anjani.
Aldo yang menyaksikan kelakuan aneh dari sang dukun hanya berdecak kesal, kesal lantaran sang istri belum juga siuman.
"Apa sudah selesai, Mbah?" tanya Aldo kemudian.
Sang dukun menggeleng lemah,"Mbah lupa sebagian mantranya," ujar sang dukun yang kemudian mengulang kegiatan komat kamitnya lagi. Aldo menarik nafas berat, seberat beban hidupnya malam ini.
Setelah merapal matra cukup lama, Sang Dukun kembali terdiam, menatap Aldo dengan netra membulat.
"Ada apa,Mbah?" Aldo yang sudah penasaran lantas menyerang Mbah Dukun dengan banyak pertanyaan.
"Kita diserang balik, tampaknya pria yang mengguna guna istrimu tak rela kalau istrimu kembali kepangkuanmu!" terang sang dukun berapi api kemudian kembali mengelus janggutnya yang mulai menipis.
"Saya tidak terima, Mbah!" Aldo marah dan menggebrak meja, hingga menumpahkan beragam kembang yang susah payah dikumpulkan sang dukun.
"Kita harus membalasnya, Mbah!" teriak Aldo dengan nafas naik turun berusaha menguasi emosinya.
Mbah dukun yang menyaksikan kemarahan Aldo langsung menyodorkan segelas minuman ke arah pria itu, Aldo segera meraihnya dan meneguk minuman itu sampai tak tersisa.
Glek Glek Glek!
"Sudah lega?" Tanya Mbah dukun setelahnya.
Aldo mengangguk, kemudian menatap sang Istri yang tengah terbaring. Ia benar-benar tak menyangka bahwa ada pria lain yang mati matian menginginkan istri kucelnya.
"Masalah membalas itu gampang," ujar sang dukun kemudian." Hanya saja, resikonya berat. Jika sampai kita kalah maka istrimu bisa gila dan akan membunuhmu," lanjut sang dukun menerangkan.
"Apa? Bisa gila dan membunuhku?" Aldo seketika bergidik tatkala teringan pisau pemotong daging yang barusaja dimainkan istrinya.
Mbah Dukun mengangguk, kemudian kembali mengelus janggut panjangnya.
"Mbah," Aldo mulai mengutarakan keingintahuannya.
"Siapa sebenarnya yang menginginkan Istri saya?" tanya Aldo.Mbah Dukun tampak berfikir sejenak, memejamkan mata dan membuka kedua netranya lalu menguap. Maklum, jam segitu si dukun biasanya sudah terlelap ke alam mimpi.
"Atasan di tempat kerjamu, pria bertubuh kekar yang gajinya lebih besar dari gajimu," terang sang dukun asal.Aldo terhenyak, mulai menerka nerka pria mana yang sang dukun maksud.
"Apa mungkin pria itu yang membiayai perawatan istrinya hari ini?" tanya Aldo kemudian.Sang dukun mengangguk.
"Jadi bukan memangkas uang jatah bulanan dariku, Mbah?" tanya Aldo kemudian."Tentu saja bukan, uang jatah bulanan yang kau berikan tidak seberapa," sahut sang dukun pendek.
Aldo mengusap dada, terlihat lega kemudian sedikit salah tingkah di depan sang dukun yang menatapnya tajam.
Anjani yang merasa obrolan kedua orang itu terlalu panjang, langsung bereaksi dengan duduk menghadap mereka berdua kemudian memunguti kembang tujuh rupa yang berjatuhan lalu mengunyahnya.
Matanya melotot dan giginya terdengar gemeretak.Sang dukun yang merasa ini diluar skenario mereka, lantas kaget dan menatap Anjani dengan seksama. Ia berfikir sungguh musibah apabila ternyata Anjani kesurupan sungguhan. Ia bahkan tak tau bagaimana cara mengobati orang yang terkena gangguan jin.
Sang Dukun mengerjab ke arah keponakannya itu, meminta kode apakah semua yang dilakukan Anjani masih berada dalam rencana mereka. Anjani yang langsung mengerti maksud Sang paman membalas kontak mata pamannya dengan cepat.
"Paman, Apa Anjani kesurupan lagi?" tanya Aldo dengan sedikit menggeser tubuhnya.
"Benar, Ia harus segera diobati," ujar sang dukun.
"Mari kita mulai saja, Mbah," sahut Aldo pendek.
"Tidak bisa, Mbah butuh beberapa syarat dan ritual agar jin di dalam tubuh istrimu segera pergi!" terang sang dukun.
"Apa saja syaratnya, Mbah. Akan saya penuhi!" jawab Aldo tegas.
"Masalah syaratnya, biar Mbah yang mencarikan, kamu hanya perlu menyiapkan Maharnya!" jawab sang dukun pendek sembari memperhatikan raut muka pria di depannya.
"Uang bukan masalah bagi saya," sahut Aldo kemudian. Ia mulai berfikir akan menjual rumah yang sekarang ini di tempati Sania. Mengingat kekasihnya itu sudah tidak setia, maka Aldo juga berniat akan menagih semua biaya yang dikeluarkannya selama ini demi mempercantik wanita idamannya itu.
"Syarat yang kedua, kamu harus mandi di kali yang ada di belakang sana," terang sang dukun kemudian.
"Kenapa harus saya yang mandi, Mbah?" tanya Aldo kebingungan.
"Bau keringatmu asem!" celetuk sang dukun acuh.
Aldo yang menyadari sudah hampir jam 10 malam belum juga mandi, sedikit mengangkat tangan lalu mengendus kedua ketiaknya secara bergantian. Pria berkemeja navy itu lantas senyum malu-malu dan segera beranjak mengikuti sang dukun yang telah lebih dulu melangkah. Dengan perginya kedua orang itu berarti akting Anjani sementara di cutt.
"Alhamdulillah."
Durasi akting yang cukup lama ternyata membuat Anjani sedikit gerah. Ia beranjak, mencari cari teko milik sang paman dan segera menuangkan air di dalam gelas lalu meminumnya. Lidahnya terasa pahit lantaran mengunyah kembang tujuh rupa yang entah termasuk jenis kembang apa itu. Rio yang memperhatikan sang Ibu lantas mendekat, menggoyang goyang tangan Ibunya lalu menatap lekat. "Ibu udah sehat?" tanya anak itu dengan begitu polosnya. Anjani mengangguk dan mengajak anak semata wayangnya duduk di kursi rotan milik sang paman sembari memencet remote Tv. Tak lama terdengar riuh tawa ibu dan anak itu di saat menyaksikan kelucuan dari drama yang sedang mereka tonton. "Bu, Apa masih ada sisa martabak tadi?" tanya Rio kemudian. Anjani menatap datar bocah itu dan mengangguk. Seketika raut wajah Rio menjadi cerah, ia sudah membayangkan pulang ke rumah lalu mengunyah martabak spesial dengan segelas susu hangat. "Bu, Apa orang kesurupan suka makan martabak?" tanya Rio lagi. Anjani terheny
Sepanjang perjalanan kembali ke rumah sang dukun, Aldo lebih banyak membahas mengenai masa masa indah bersama sang Istri dulu. Aldo akui, dahulu Anjani tak lain hanyalah wanita asing dalam kehidupannya, wanita pilihan sang Ibu yang sama sekali tak diinginkannya. Tapi apalah daya, ia adalah seorang putra tunggal, harapan sang ibu satu satunya yang tentunya harus mengabdikan seluruh hidupnya demi kebahagian sang ibu yang sudah lama sakit sakitan. Dahulu, wanita yang telah melahirkannya itu begitu tergila gila akan kebaikan Anjani. Dari pagi hingga menjelang petang yang dibicarakan ibunya hanyalah sosok Anjani yang tak lain adalah wanita kampung penjual jamu gendong langganan sang ibu. Sampai pada suatu hari, saat kesehatan sang ibu menurun. Wanita itu mengutarakan sesuatu yang seketika menghancurkan masa mudanya. Sang ibu menginginkan sebuah pernikahan dengan Anjani sebagai mempelai wanitanya. Aldo pernah marah. Pernah berupaya menjelaskan hingga berkali kali bahwa ia tak bisa menikah
Bab 10Pernikahan adalah sebuah ikatan sakral yang mengikat kedua anak manusia yang telah memutuskan untuk menghabiskan hidup bersama sehidup semati. Tapi pada kenyataannya, beratnya ujian yang dialami sepasang insan dalam menjalani bahtera rumah tangga membuat keduanya mengambil keputusan untuk berpisah dan hidup dengan keegoisan sendiri tanpa memikirkan berapa banyak hati yang terluka akibat trauma akan perpisahan itu sendiri. Anak anak adalah korbannya. Namun bertahan hidup dalam linangan air mata tentu bukan keputusan yang benar. Setiap orang berhak bahagia, bukan? Mbah Rejo masih betah menggosok batu akik kesukaannya dihadapan cermin tua kesayangannya. Suara derit kursi rotan yang ia duduki seolah tak mampu membuyarkan lamunannya yang telah kemana mana. Sesekali ia merapikan blangko usang yang tengah ia kenakan, mengelus jenggot putih nan panjang kebanggaannya kemudian tersenyum manis. Dahulu, pria tua yang tengah menyandang gelar sebagai dukun palsu itu juga mempunyai keluarg
Terkadang manusia terlalu sibuk mengejar cinta hingga lupa akan cinta penciftanya. Anjani kembali menyimpan dompetnya setelah selesai membayar ongkos taksi yang telah mengantarnya menuju sekolah putranya, Rio. Ia merapikan rambut sejenak, menepuk nepuk wajahnya yang terasa beku akibat dinginnya ac taksi yang baru saja mengantarnya. Dari koridor kelas, Rio terlihat melambaikan tangan pada sang ibu. Anak laki laki berperawakan kurus tinggi itu segara berlari menemui sang ibu yang telah terlambat 20 menit dari bel pulang sekolah. "Ibu masak apa hari ini?" Rio menatap wajah sendu yang ibu. "Ibu gak masak. Hari ini kita makan di luar saja," jawab Anjani seraya menggandeng putranya menuju halte bus di seberang jalan. Seperti biasanya, ada banyak taksi di sekitar situ dan tentu tidak akan menyulitkan Anjani menuju restoran terdekat. "Apa Ayah gak ikut makan dengan kita, Bu?" tanya Rio lagi. Anak itu benar benar merindukan sosok sang ayah yang sudah lama sekali tak menghabiskan waktu be
Entah ini untuk yang keberapa kalinya Anjani harus menelan kenyataan pahit, kenyataan pahit bahwa sang suami benar-benar telah berselingkuh. Bahkan pria yang telah memberinya seorang putra itu melakukannya di depan umum. Di sebuah restoran dimana ia dan putranya ikut menyaksikan sepasang sejoli itu tengah saling menyuapi. "Dasar tidak tahu diri!" gerutu Anjani sembari meremas sendok yang tengah ia pegang. Rio yang masih menatap sosok sang ayah di sudut ruangan hanya bisa mematung terlebih saat sang ibu memberi isyarat agar bocah itu tidak berteriak teriak memanggil ayahnya. "Bu, Ayah sama cewe cantik, tuh!" tegas Rio. Agaknya bocah itu ingin melihat respon sang ibu yang hanya mamatung dengan wajah memerah persis seperti kepiting rebus. "Bu, Rio samperin Ayah, ya?" pinta Rio kemudian. Bocah itu telah dilanda rasa penasaran tatkala menyaksikan sendiri sang ayah tengah menyuapi wanita lain di tempat terbuka seperti itu. "Jangan, Rio. Biarkan saja Ayahmu disana!" ujar Anjani pelan de
Bab 13"Mbah, kenalkan ini Rianti. Dia seorang sekretaris di tempat saya bekerja," Aldo yang baru saja datang selepas isya tadi tanpa basa basi langsung memperkenalkan wanita yang tengah bergelayut manja di sisinya. Wanita cantik dengan balutan dress bewarna moka dengan bagian dada terbuka memperlihatkan dengan jelas tato kupu kupu pada bagian dada sebelah kirinya. Wanita itu terlihat semakin cantik dengan riasan natural serta kalung berliontin hati bewarna merah delima yang semakin menyempurnakan penampilannya. Sepersekian menit sang dukun dibuat terpana akan pesona jelita dihadapannya. Sepasang netra tuanya tak mampu berkedip tatkala dihadapkan dengan barang bening yang sudah lama sekali tak ia jumpai. Aldo yang tengah sibuk menjelaskan prihal kedatangannya mulai dibuat kesal oleh sang dukun yang kini fokus memperhatikan sosok seksi di sampingnya. "Mbah ...," panggil Aldo. Bukannya menjawab, sang dukun malah meletakkan telunjuk tepat pada bibirnya. Mengisyaratkan kepada Aldo
"Boleh saya lihat foto suami kamu?" pinta Mbah Rejo kepada Rianti yang tengah sibuk meremas remas jemarinya yang lentik serta berkuku panjang. Wanita cantik itu lantas mengeluarkan ponsel mahalnya kemudian memencet beberapa angka di layar. Setelah cukup lama menggulir layar, ia menghentikan aktivitasnya kemudian menunjukkan layar ponselnya di hadapan sang dukun. Sang Dukun yang baru saja melihat ponsel modern milik Rianti lantas dibuat takjub akan canggihnya teknologi di jaman sekarang ini. Pria itu mengelus janggut palsunya sembari memperhatikan sebuah foto yang terpampang di layar ponsel. Ia mengamati dengan teliti sosok pria dalam balutan tuxedo hitam itu, terlihat memang bukan sosok pria sembarangan. Usianya memang sudah tidak muda namun postur tubuhnya terlihat gagah meski sebagian rambutnya telah memutih. "Siapa namanya?" tanya Mba Rejo seraya masih terus memperhatikan foto pria yang ada di ponsel Rianti. "Namanya Himawan Aryo Kusumo. Dia adalah pemilik perusahaan tempat d
Anjani menunggu kabar dari sang paman dengan cemas, terlebih hingga malam semakin larut sang suami tak jua pulang ke rumah. Terbesit khawatir di hatinya, rasa takut kalau sang suami mengalami masalah besar di luar sana atau mengalami suatu hal yang tidak mengenakkan. Raut wajah cemas Anjani semakin ketara tatkala jam dinding telah menunjukan pukul 10 malam dan tak ada tanda-tanda bahwa Aldo akan segera pulang. Anjani memang membenci suaminya terlebih dengan semua kejadian yang telah menimpanya tadi siang. Siapa wanita yang tak terluka mendapati sang suami yang telah terang terangan bermesraan dengan wanita yang bukan muhrimnya di depan umum.Anjani kerap kali merasa bagaikan istri yang tak dianggap, tak dihargai dan tak tampak meski selalu ada dalam setiap pandangan suaminya. Mau bagaimana lagi, dahulu Anjani lah yang rela melakukan berbagai cara agar dapat menikah dengan pria pelit itu dan kini Anjani harus menelan pil pahit, kenyataan bahwa pria yang amat dicintainya itu telah men