Anjani menunggu kabar dari sang paman dengan cemas, terlebih hingga malam semakin larut sang suami tak jua pulang ke rumah. Terbesit khawatir di hatinya, rasa takut kalau sang suami mengalami masalah besar di luar sana atau mengalami suatu hal yang tidak mengenakkan. Raut wajah cemas Anjani semakin ketara tatkala jam dinding telah menunjukan pukul 10 malam dan tak ada tanda-tanda bahwa Aldo akan segera pulang. Anjani memang membenci suaminya terlebih dengan semua kejadian yang telah menimpanya tadi siang. Siapa wanita yang tak terluka mendapati sang suami yang telah terang terangan bermesraan dengan wanita yang bukan muhrimnya di depan umum.Anjani kerap kali merasa bagaikan istri yang tak dianggap, tak dihargai dan tak tampak meski selalu ada dalam setiap pandangan suaminya. Mau bagaimana lagi, dahulu Anjani lah yang rela melakukan berbagai cara agar dapat menikah dengan pria pelit itu dan kini Anjani harus menelan pil pahit, kenyataan bahwa pria yang amat dicintainya itu telah men
"Kamu sarapan di sekolah aja ya, ibu udah siapin kotak sarapan di tas," ujar Anjani dengan sedikit terburu buru. Wanita berkulit kuning langsat itu sudah sejak subuh mematut diri di cermin, bersiap siap hendak mengantar putranya ke sekolah lebih awal. Bukan tanpa sebab, sekitar pukul 05:30 pagi, sang paman telah mengirimkan pesan singkat bahwa suaminya, Aldo, telah meninggalkan rumah dengan serta Rianti bersamanya. Tidak jelas kemana mereka hendak pergi, tapi kelihatan dari gerak gerik keduanya tampaknya mereka tidak akan pergi ke kantor melainkan akan menuju kediaman Rianti, untuk tujuan apa lagi jika tidak untuk melanjutkan urusan ranjang semalam. Jantung Anjani berdegub lebih kencang, berpacu dengan waktu dan kecepatan taksi yang tengah ditumpanginya menuju sekolah Rio. "Bu, Kenapa berangkat sekolahnya pagi sekali?" tanya bocah berseragam merah putih itu seraya menatap lekat wajah sang ibu yang tampak fokus menatap jalanan yang mulai ramai. Wanita dengan dress biru muda itu tida
"Dari pada kamu ngoceh, mending kamu bantuin paman jemur karpet. Bagaimanapun juga ini karpet kotor karena perbuatan suami kamu!" Pria berjanggut putih itu mendelik, memelototi keponakannya yang hanya berdiri berkacak pinggang seraya mengoceh tiada henti. "Hei, Anjani!" Untuk kedua kalinya, Mbah Rejo meneriaki keponakannya dari ambang pintu. Pria dengan blanko usang bewarna coklat tua itu menghentikan aktivitas menarik karpet miliknya, mengusap peluh pada pelipis sejenak kemudian merapikan kemeja batik lusuhnya. Deru nafasnya naik turun, kedua lengan tuanya tampak gemetar saat menarik karpet coklat itu. Anjani menoleh sejenak kemudian membuang muka. Tak sudi rasanya jika harus mencuci karpet bekas pergumulan sepasang manusia laknat yang telah mengkhianatinya. "Woi bantuin ini!" Lagi lagi teriakan sang paman harus mengagetkan Anjani. Pria tua yang jago bersilat lidah itu tampak ngos ngosan saat harus menarik karpet tebal miliknya. "Dibuang aja kenapa sih, Paman!" sahut Anjani a
BAB 18Aldo menunggu dengan resah di gudang belakang sedang Rianti malah tengah meladeni nafsu sang suami yang baru saja kembali setelah menghilang tanpa kabar nyaris tiga bulan lamanya. Wanita bertubuh sintal dengan bibir seksi laksana artis artis ibu kota itu berkali kali mendesah saat sang suami menghujaninya dengan begitu banyak kecupan sebagai tanda penutup pertemuan mereka. "Aku sudah transfer 500 juta ke rekeningmu sebagai hadiah pertemuan kita. Berbulan bulan aku sibuk di luar negeri dan nyaris lupa memberi kabar, terima kasih sudah menunggu," terang Himawan. Pria itu tampak puas dengan pelayanan yang diberikan sang istri. Ia menatap Rianti yang tengah berada dalam balutan selimut dan mendaratkan sebuah kecupan tepat pada bibir seksi Rianti. "Menginap sajalah malam ini, Mas," pinta Rianti seraya melingkarkan kedua lengan pada leher pria yang begitu dicintainya, terlebih karna uangnya juga. "Maaf, Sayang, aku tidak bisa berlama lama, ada banyak hal yang mesti ku urus. Aku b
Aldo kembali menekan klakson guna memastikan apakah Sania sedang berada di rumah atau justru pesan singkat yang telah diterimanya kemarin malam merupakan tipuan dari remaja ugal ugalan itu.Hampir 15 menit lamanya, Aldo dan Rianti berdiri di depan pagar. Terik mentari mulai menyengat sepasang lengan mulus milik wanita dengan dress kekurangan bahan itu. Sesekali Rianti harus mengusap peluh yang mulai menetes, namun rasa penasarannya akan sosok Sania membuatnya bersikukuh untuk tetap berada di luar mobil meski terik mentari telah menjadikan kedua pipi mulusnya bewarna kemerahan akibat terbakar sinar matahari. "Apa kita langsung masuk saja, Mas?" Rianti mendongak ke atas, mengibaskan rambut serta mengusap leher jenjangnya yang mulai terlihat basah. "Sebaiknya kamu tunggu di dalam mobil saja, Sayang. Nanti kulit kamu terbakar, loh," bujuk Aldo tatkala menyaksikan kulit wajah kekasihnya tampak memerah. "Enggak ih, pokoknya kita harus masuk ke dalam secepatnya dan buru buru mengusir pere
"Bukan begitu, Rianti. Coba kamu tahan emosi sebentar, bisa gak?" pinta Aldo seraya meraih lengan wanita yang tengah terbakar cemburu itu. "Sabar kamu bilang? aku dari tadi berdiri disini kamu cuekin aja sedang kamu malah pegang pegangan, mesra mesraan dengan perempuan gak tau diri ini! Kenapa, Mas? Kamu masih cinta sama dia?" teriak Rianti sengit. Sania yang menyaksikan pertengkaran itu merasa sangat senang kerena telah berhasil merusak hubungan Aldo dan kekasih barunya yang selama ini telah merebut Aldo darinya. Senyum simpul terkembang dari bibir mungilnya, rona bahagia terpancar jelas dari kedua sorot matanya yang masih basah akibat air mata palsu dari sandiwara yang baru saja dimainkannya. "Senang kamu ya ngerusak hubungan orang?!" Teriak Rianti lagi. Sania hanya menunduk, ada rasa geli di hatinya tatkala memandang wajah Rianti yang memerah persis seperti udang rebus. "Rianti, pelankan suaramu. Bagaimana kalau tetangga dengar?" rayu Aldo, berusaha menenangkan sang kekasih yan
"Mas, jangan usir aku ya, Bagaimanapun juga aku pernah mengisi hari hari kamu disaat kamu kesepian," rayu Sania dengan tatapan sendu, penuh tipu dan penuh kepura puraan.Aldo menatap sosok wanita muda di hadapannya, ada rasa kasihan di hatinya terlebih dahulu wanita itu pernah mengisi kokosongan hatinya saat rumah tangganya dan Anjani tidak baik baik saja. Aldo menarik nafas berat, terlihat ingin mengutarakan sesuatu namun seakan tertahan oleh teriakan Rianti dari luar sana, wanita itu terdengar mengancam serta memaki tiada henti. "Pacar kamu galak banget sih, Mas?" sindir Sania lirih, kedua bola matanya tertuju ke arah pintu seakan mampu melihat dengan jelas apa yang tengah Rianti lakukan di luar sana. "Mas Aldo harusnya bisa mencari wanita yang lebih baik dari itu," lanjut Sania, ia mulai mengobarkan kembali api yang tengah membara di dalam hati pria yang tengah duduk di sisi ranjangnya. Aldo tampak mulai gelisah saat mendengar suara hantaman benda keras tepat menabrak kaca jend
"Siapa yang berani menebar teror di rumahku?" Puluhan pertanyaan mengganggu pikiran Aldo yang masih mengintip melalui tirai jendela. Ia mulai berjaga jaga kalau saja ada serangan susulan yang akan berujung pada tindak kekerasan terhadap dirinya maupun Sania.Sania menyapu keringat dingin yang mulai membanjiri pelipis. Jono yang merupakan masa lalunya seketika memenuhi seluruh isi kepalanya. Ia paham betul tabiat mantan pacarnya itu, ia bukan tipe pria yang main main dengan segala hal, tapi ada satu hal yang menjadi pertanyaannya, kemana Rianti? Apakah mereka bertemu lalu bekerja sama untuk menyakitinya beserta Aldo?"Apa yang kamu pikirkan?" ujar Aldo penuh selidik. Ia yakin sekali bahwa Sania tahu banyak tentang teror yang tengah baru saja mereka alami. "Gak ada, Mas," balas Sania lirih. Ia menunduk ragu, berusaha menyembunyikan rasa cemas dari raut wajahnya yang terlihat pucat."Tapi siapa yang berani menebar teror di rumahku? Apa orang itu suruhan Rianti? Ah, tapi tidak mungkin