Aldo kembali menekan klakson guna memastikan apakah Sania sedang berada di rumah atau justru pesan singkat yang telah diterimanya kemarin malam merupakan tipuan dari remaja ugal ugalan itu.Hampir 15 menit lamanya, Aldo dan Rianti berdiri di depan pagar. Terik mentari mulai menyengat sepasang lengan mulus milik wanita dengan dress kekurangan bahan itu. Sesekali Rianti harus mengusap peluh yang mulai menetes, namun rasa penasarannya akan sosok Sania membuatnya bersikukuh untuk tetap berada di luar mobil meski terik mentari telah menjadikan kedua pipi mulusnya bewarna kemerahan akibat terbakar sinar matahari. "Apa kita langsung masuk saja, Mas?" Rianti mendongak ke atas, mengibaskan rambut serta mengusap leher jenjangnya yang mulai terlihat basah. "Sebaiknya kamu tunggu di dalam mobil saja, Sayang. Nanti kulit kamu terbakar, loh," bujuk Aldo tatkala menyaksikan kulit wajah kekasihnya tampak memerah. "Enggak ih, pokoknya kita harus masuk ke dalam secepatnya dan buru buru mengusir pere
"Bukan begitu, Rianti. Coba kamu tahan emosi sebentar, bisa gak?" pinta Aldo seraya meraih lengan wanita yang tengah terbakar cemburu itu. "Sabar kamu bilang? aku dari tadi berdiri disini kamu cuekin aja sedang kamu malah pegang pegangan, mesra mesraan dengan perempuan gak tau diri ini! Kenapa, Mas? Kamu masih cinta sama dia?" teriak Rianti sengit. Sania yang menyaksikan pertengkaran itu merasa sangat senang kerena telah berhasil merusak hubungan Aldo dan kekasih barunya yang selama ini telah merebut Aldo darinya. Senyum simpul terkembang dari bibir mungilnya, rona bahagia terpancar jelas dari kedua sorot matanya yang masih basah akibat air mata palsu dari sandiwara yang baru saja dimainkannya. "Senang kamu ya ngerusak hubungan orang?!" Teriak Rianti lagi. Sania hanya menunduk, ada rasa geli di hatinya tatkala memandang wajah Rianti yang memerah persis seperti udang rebus. "Rianti, pelankan suaramu. Bagaimana kalau tetangga dengar?" rayu Aldo, berusaha menenangkan sang kekasih yan
"Mas, jangan usir aku ya, Bagaimanapun juga aku pernah mengisi hari hari kamu disaat kamu kesepian," rayu Sania dengan tatapan sendu, penuh tipu dan penuh kepura puraan.Aldo menatap sosok wanita muda di hadapannya, ada rasa kasihan di hatinya terlebih dahulu wanita itu pernah mengisi kokosongan hatinya saat rumah tangganya dan Anjani tidak baik baik saja. Aldo menarik nafas berat, terlihat ingin mengutarakan sesuatu namun seakan tertahan oleh teriakan Rianti dari luar sana, wanita itu terdengar mengancam serta memaki tiada henti. "Pacar kamu galak banget sih, Mas?" sindir Sania lirih, kedua bola matanya tertuju ke arah pintu seakan mampu melihat dengan jelas apa yang tengah Rianti lakukan di luar sana. "Mas Aldo harusnya bisa mencari wanita yang lebih baik dari itu," lanjut Sania, ia mulai mengobarkan kembali api yang tengah membara di dalam hati pria yang tengah duduk di sisi ranjangnya. Aldo tampak mulai gelisah saat mendengar suara hantaman benda keras tepat menabrak kaca jend
"Siapa yang berani menebar teror di rumahku?" Puluhan pertanyaan mengganggu pikiran Aldo yang masih mengintip melalui tirai jendela. Ia mulai berjaga jaga kalau saja ada serangan susulan yang akan berujung pada tindak kekerasan terhadap dirinya maupun Sania.Sania menyapu keringat dingin yang mulai membanjiri pelipis. Jono yang merupakan masa lalunya seketika memenuhi seluruh isi kepalanya. Ia paham betul tabiat mantan pacarnya itu, ia bukan tipe pria yang main main dengan segala hal, tapi ada satu hal yang menjadi pertanyaannya, kemana Rianti? Apakah mereka bertemu lalu bekerja sama untuk menyakitinya beserta Aldo?"Apa yang kamu pikirkan?" ujar Aldo penuh selidik. Ia yakin sekali bahwa Sania tahu banyak tentang teror yang tengah baru saja mereka alami. "Gak ada, Mas," balas Sania lirih. Ia menunduk ragu, berusaha menyembunyikan rasa cemas dari raut wajahnya yang terlihat pucat."Tapi siapa yang berani menebar teror di rumahku? Apa orang itu suruhan Rianti? Ah, tapi tidak mungkin
Dari balik tembok Rianti tengah memperhatikan gerak gerik kedua sosok yang berdiri hanya beberapa meter darinya, ia mengamati dengan seksama serta mulai menerka nerka siapa orang yang kini berada satu pihak dengannya. Ia juga ingin melihat langsung siapa pria dalang dibalik teror yang baru saja terjadi. Sebenarnya ada keinginan untuk menemui kedua sosok itu dan menanyakan hal apa yang membuat kedua orang itu ikut meneror rumah sang calon suami.Langkah Rianti terhenti saat mendengar suara pintu depan terbuka, sesaat kemudian kedua sosok berbaju hitam yang baru saja hendak ia temui justru telah menghilang dari pandangan mata. "Aiss Sial!" umpat Rianti kesal. Ia memutuskan berbalik ke arah pintu rumah yang tengah terbuka. Disana ia melihat Aldo tengah bergegas meninggalkan rumah dengan terburu buru tapi dari belakang Ia juga melihat sosok gadis muda yang tak lain adalah Sania mencoba menghentikan langkah Aldo."Dasar cabe cabean, selalu saja jadi penghalang!" gerutu Rianti seraya mere
Suara gemericik air mengalir dari gentong besar milik sang dukun palsu. Pria itu memutuskan untuk tidak mandi selain karena sudah malam juga karena hidangan segar yang tengah tersaji di meja makan terasa selalu memanggil manggil perutnya yang sejak tadi sudah keroncongan. Mbah Rejo mengusap sepasang lengan keriputnya disusul dengan membasuh kepalanya yang telah memutih pada sebagian rambutnya."Paman, ayo buruan sih, kita makan," Mbah Rejo tersentak hingga menelan air mentah yang baru saja dipakainya untuk berkumur. Suara teriakan Anjani terasa seperti suara panci yang tengah di pukul oleh gerombolan anak anak menjelang makan sahur saat bulan ramadhan, benar benar nyaring dan memekakkan telinga.Mbah Rejo menghentikan aktivitasnya sejenak, menoleh ke arah sumber suara dan menggeleng lemah." Dulu suaranya memecahkan piring tapi sekarang justru memecahkan kepala," gerutu Mbah Rejo kemudian.Sementara Mbah Rejo masih di dapur Anjani masih terus menyiapkan beberapa keperluan yang akan
" Aku sudah letakkan sertifikatnya di atas meja di dalam kamar Mas Aldo, berhati hatilah, buatlah ini seolah olah seperti perampokan sungguhan," ujar Anjani pada sosok dalam balutan jaket kulit hitam serta memakai masker bergambar tengkorak yang hanya menutupi sebagian wajahnya. Pria itu mengangkat jempol seraya tersenyum penuh arti." Serahkan semuanya padaku, akan ku pastikan semua berjalan sesuai rencana," ujar Pria itu kemudian.Mbah Rejo melipat tangan di dada, ada lega di hatinya saat melihat keponakannya itu mendengarkan semua ide ide nya dan melaksanakan semuanya sesuai dengan rencana. Ia tak ingin menunggu lebih lama lagi, lebih cepat maka semua tentu akan lebih baik. Sangat menjijikan jika harus berdiam diri serta menyaksikan kebejatan perbuatan Aldo yang kian hari kian memalukan. Baginya, Anjani sudah lebih banyak bersabar dalam diamnya dan Rio entah mungkin anak itu sudah lupa bagaimana sosok seorang Ayah yang pernah dikenalnya dulu."Jangan sampai ketahuan, ya?" ujar M
Kedatangan Aldo yang secara tiba tiba sore itu sontak membuat Mbah Rejo, Anjani dan putranya kalang kabut. Terlebih saat pecahan gelas tampak berserakan di lantai. Di luar sana, Aldo dan Rianti terlihat mulai meninggalkan mobil dan memasuki pekarangan rumah Mbah Rejo. " Kenapa Si Mbah malah pergi ya, Mas?" tanya Rianti heran. Aldo menggeleng tak mengerti. Rasanya tak ada yang salah dengan kedatangan mereka tapi mengapa Mbah Rejo langsung pergi begitu saja tanpa memperdulikan kedatangan mereka. " Rasanya tidak ada yang aneh pada kita, tapi kenapa si mbah malah gak sama sekali peduli pada kita," Aldo menimpali. Lantaran Mbah Rejo tak kunjung muncul, Aldo dan Rianti memutuskan untuk menunggu di teras. Sesekali keduanya memanggil Mbah Rejo namun sang empunya rumah belum juga muncul. " Ada apa sama si Mbah, ya? gak biasanya begitu."ujar Aldo curiga. "Aku juga gak ngerti, Mas. Apa jangan jangan dia menyembunyikan sesuatu dari kita?" Rianti memijat pelipis perlahan, ada rasa cenat cenut
" Sudah Ibu bilang kamu cuma salah lihat!" Anjani menarik lengan putranya dengan cepat memasuki pintu. Sekitar 5 menit yang lalu mereka baru saja tiba di rumah besar itu. " Enggak, Bu. Rio yakin itu ayah!" anak itu menolak apa yang coba sang Ibu yakinkan. Anjani lantas melotot. " Masuk kamar dan tidur!" perintah Anjani kemudian. Jono menarik nafas dalam-dalam kemudian melangkah pergi menuju kamar tidurnya mengikuti perintah Sang Ibu. " Haduh, nyaris saja ketahuan!" lirih Anjani sembari melirik Arloji sejenak. Azan isya' telah berkumandang sekitar 10 menit yang lalu sadang belum ada tanda tanda bahwa sang suami akan pulang ke rumah. Sebuah Klakson motor terdengar cukup nyaring hingga membuat Anjani harus kembali membuka pintu depan untuk memeriksa. Seorang Pria dalam balutan baju hitam tampak bermain kode dengannya. Namun Anjani masih mengisyaratkan untuk menunggu hingga pukul 10 malam. Selain karena suasana akan semakin sepi juga untuk memastikan apakah Aldo akan pulang atau tidak
" Suara apa itu, Mbah?" Rianti yang baru hendak menyuap nasi seketika menghentikan aktivitasnya kemudian menoleh ke arah sumber suara. Mbah Rejo menatap arah sumber suara dengan jantung berdebar debar. " Mungkin kucing," sahut Mbah Rejo kemudian.'Apa yang tengah dikerjakan dua orang itu?' batin Mbah Rejo sembari mengunyah sesendok nasi yang terasa amat serat di tenggorokannya. Keseringan berbohong ternyata bisa membuat Pria tua itu kesulitan menelan nasi." Mbah memelihara kucing? Anggora atau Persia, Mbah?" tanya Rianti di sela sela makan malam mereka." Ciliwung, orang nemunya dari kali belakang," sahut Mbah Rejo acuh.Rianti lantas terkekeh, ia menatap Aldo yang sejak tadi hanya diam saja sembari menyantap makan malamnya yang terasa begitu nikmat." Pindangnya enak, sepertinya dulu pernah makan masakan yang seperti ini?" puji Aldo. " Dimana?" tanya Rianti." Hm ... Kalau tidak salah mirip seperti masakan Anjani," balas Aldo. Rianti lantas membuang muka dan enggan membahas lebi
Anjani dan Rio yang masih bersembunyi di dapur mulai cemas lantaran Mbah Rejo tak kunjung muncul dan memberi informasi. Suara percakapan ketiganya terdengar samar-samar dari balik dinding dapur, Anjani bahkan harus menempelkan telinga agar bisa mendengar pembicaraan ketiganya." Apa sih yang tengah mereka bicarakan? Kenapa lama sekali?" Anjani menggerutu sembari mondar mandir tidak jelas. Putranya yang tengah memunguti pecahan gelas hanya sesekali menatap dan kembali meneruskan pekerjaannya.Di depan meja praktek Sang Dukun, Aldo dan Rianti masih bercerita panjang lebar mengenai susuk yang akan digunakan Mbah Rejo untuk mempercantik Rianti." Mbah biasanya apa saja pantangan yang tidak boleh dilanggar jika saya nantinya memasang susuk?" Rianti masih mengajukan berbagai macam pertanyaan seputar susuk yang nantinya akan ia pasang." Hm, mengenai pantangan saat memakai susuk biasanya lain jenis susuk maka beda pula jenis pantangannya," sahut Mbah Rejo sembari mencuri curi pandang ke bel
" Mbah baik banget deh," puji Rianti pada sosok pria tua yang kini tengah duduk di hadapannya. Pria itu tersenyum malu malu persis seperti remaja pria yang tengah mengalami cinta monyet dengan teman sebayanya. Aldo yang menyaksikan kejadian itu hanya mampu menarik nafas berat. Walau katanya sudah tua tapi tetap saja Mbah Rejo juga laki laki normal dan jelas ia menangkap sinyal sinyal ketertarikan dari pria yang sudah berumur tidak muda lagi itu terhadap Rianti. " Oya, Apa sebenarnya tujuan kalian datang ke rumahku sore hari begini?" tanya Mbah Rejo setelah cukup lama menatap belahan dada Rianti yang begitu menggoda. " Ah, syukur akhirnya sadar juga," Gumam Aldo setelah terdiam cukup lama dan hanya menjadi penonton di antara Rianti dan Mbah Rejo. " Begini Mbah, kedatangan kami kemarin sebenarnya ingin membahas mengenai syarat-syarat yang pernah Mbah ajukan dulu serta saya juga ingin mengatakan bahwa suamiku Himawan sudah kembali kepadaku dan memenuhi kewajibannya seperti sedia kala
Kedatangan Aldo yang secara tiba tiba sore itu sontak membuat Mbah Rejo, Anjani dan putranya kalang kabut. Terlebih saat pecahan gelas tampak berserakan di lantai. Di luar sana, Aldo dan Rianti terlihat mulai meninggalkan mobil dan memasuki pekarangan rumah Mbah Rejo. " Kenapa Si Mbah malah pergi ya, Mas?" tanya Rianti heran. Aldo menggeleng tak mengerti. Rasanya tak ada yang salah dengan kedatangan mereka tapi mengapa Mbah Rejo langsung pergi begitu saja tanpa memperdulikan kedatangan mereka. " Rasanya tidak ada yang aneh pada kita, tapi kenapa si mbah malah gak sama sekali peduli pada kita," Aldo menimpali. Lantaran Mbah Rejo tak kunjung muncul, Aldo dan Rianti memutuskan untuk menunggu di teras. Sesekali keduanya memanggil Mbah Rejo namun sang empunya rumah belum juga muncul. " Ada apa sama si Mbah, ya? gak biasanya begitu."ujar Aldo curiga. "Aku juga gak ngerti, Mas. Apa jangan jangan dia menyembunyikan sesuatu dari kita?" Rianti memijat pelipis perlahan, ada rasa cenat cenut
" Aku sudah letakkan sertifikatnya di atas meja di dalam kamar Mas Aldo, berhati hatilah, buatlah ini seolah olah seperti perampokan sungguhan," ujar Anjani pada sosok dalam balutan jaket kulit hitam serta memakai masker bergambar tengkorak yang hanya menutupi sebagian wajahnya. Pria itu mengangkat jempol seraya tersenyum penuh arti." Serahkan semuanya padaku, akan ku pastikan semua berjalan sesuai rencana," ujar Pria itu kemudian.Mbah Rejo melipat tangan di dada, ada lega di hatinya saat melihat keponakannya itu mendengarkan semua ide ide nya dan melaksanakan semuanya sesuai dengan rencana. Ia tak ingin menunggu lebih lama lagi, lebih cepat maka semua tentu akan lebih baik. Sangat menjijikan jika harus berdiam diri serta menyaksikan kebejatan perbuatan Aldo yang kian hari kian memalukan. Baginya, Anjani sudah lebih banyak bersabar dalam diamnya dan Rio entah mungkin anak itu sudah lupa bagaimana sosok seorang Ayah yang pernah dikenalnya dulu."Jangan sampai ketahuan, ya?" ujar M
Suara gemericik air mengalir dari gentong besar milik sang dukun palsu. Pria itu memutuskan untuk tidak mandi selain karena sudah malam juga karena hidangan segar yang tengah tersaji di meja makan terasa selalu memanggil manggil perutnya yang sejak tadi sudah keroncongan. Mbah Rejo mengusap sepasang lengan keriputnya disusul dengan membasuh kepalanya yang telah memutih pada sebagian rambutnya."Paman, ayo buruan sih, kita makan," Mbah Rejo tersentak hingga menelan air mentah yang baru saja dipakainya untuk berkumur. Suara teriakan Anjani terasa seperti suara panci yang tengah di pukul oleh gerombolan anak anak menjelang makan sahur saat bulan ramadhan, benar benar nyaring dan memekakkan telinga.Mbah Rejo menghentikan aktivitasnya sejenak, menoleh ke arah sumber suara dan menggeleng lemah." Dulu suaranya memecahkan piring tapi sekarang justru memecahkan kepala," gerutu Mbah Rejo kemudian.Sementara Mbah Rejo masih di dapur Anjani masih terus menyiapkan beberapa keperluan yang akan
Dari balik tembok Rianti tengah memperhatikan gerak gerik kedua sosok yang berdiri hanya beberapa meter darinya, ia mengamati dengan seksama serta mulai menerka nerka siapa orang yang kini berada satu pihak dengannya. Ia juga ingin melihat langsung siapa pria dalang dibalik teror yang baru saja terjadi. Sebenarnya ada keinginan untuk menemui kedua sosok itu dan menanyakan hal apa yang membuat kedua orang itu ikut meneror rumah sang calon suami.Langkah Rianti terhenti saat mendengar suara pintu depan terbuka, sesaat kemudian kedua sosok berbaju hitam yang baru saja hendak ia temui justru telah menghilang dari pandangan mata. "Aiss Sial!" umpat Rianti kesal. Ia memutuskan berbalik ke arah pintu rumah yang tengah terbuka. Disana ia melihat Aldo tengah bergegas meninggalkan rumah dengan terburu buru tapi dari belakang Ia juga melihat sosok gadis muda yang tak lain adalah Sania mencoba menghentikan langkah Aldo."Dasar cabe cabean, selalu saja jadi penghalang!" gerutu Rianti seraya mere
"Siapa yang berani menebar teror di rumahku?" Puluhan pertanyaan mengganggu pikiran Aldo yang masih mengintip melalui tirai jendela. Ia mulai berjaga jaga kalau saja ada serangan susulan yang akan berujung pada tindak kekerasan terhadap dirinya maupun Sania.Sania menyapu keringat dingin yang mulai membanjiri pelipis. Jono yang merupakan masa lalunya seketika memenuhi seluruh isi kepalanya. Ia paham betul tabiat mantan pacarnya itu, ia bukan tipe pria yang main main dengan segala hal, tapi ada satu hal yang menjadi pertanyaannya, kemana Rianti? Apakah mereka bertemu lalu bekerja sama untuk menyakitinya beserta Aldo?"Apa yang kamu pikirkan?" ujar Aldo penuh selidik. Ia yakin sekali bahwa Sania tahu banyak tentang teror yang tengah baru saja mereka alami. "Gak ada, Mas," balas Sania lirih. Ia menunduk ragu, berusaha menyembunyikan rasa cemas dari raut wajahnya yang terlihat pucat."Tapi siapa yang berani menebar teror di rumahku? Apa orang itu suruhan Rianti? Ah, tapi tidak mungkin