"Ayah becanda, kan? Barusan yang Ayah bilang itu bohong, kan? Ayah nggak benar-benar menerima lamaran dia, kan?" Raka mencecar Pratama dengan berbagai pertanyaan. Wajah pria berpenampilan klimis itu terlihat panik. Hatinya terasa diremas saat Pratama mengatakan bahwa dia terlambat karena Pratama telah menerima lamaran Rein. Hatinya gusar tak karuan. Harapannya yang begitu tinggi, tiba-tiba saja terhempas ke dasar jurang yang paling dalam. Sementara Rein masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar tadi. Bukankah tadi Pratama mengatakan agar dia jangan terlalu berharap? Atau ini hanya pura-pura saja? Rein masih menduga-duga. Walau tanpa ia sadari seulas senyum telah terbit di bibirnya yang tipis. "Ayah nggak serius, kan?" Lagi, Raka bertanya pada Pratama dengan wajah yang mulai pias.Pria klimis itu memandangi satu-satunya pria paruh baya di ruangan itu dengan tatapan intens. "Raka, Ayah minta maaf. Kamu memang sudah banyak berjasa pada Ayah. Tapi, kamu juga telah melukai putr
Sepeninggal Raka, Pratama kembali masuk ke dalam rumah. Dada Rein berdebar manunggu calon mertuanya itu bicara. Namun setelah sekian menit ia menunggu, Pratama tak kunjung bicara. Akhirnya Rein memutuskan untuk bicara lebih dulu. "Maaf, Pak Pratama. Apa benar ucapan Bapak tadi, bahwa sudah menerima lamaran Saya untuk Shinta?' Pratama yang sedang membaca pesan di ponselnya tiba-tiba mendongak memandang Rein. "Ya!" jawabnya singkat tanpa ekspresi. Kemudian kembali menunduk melihat layar ponselnya. Wajah Rein seketika berbinar. Sebuah senyum bahagia terlukis di wajahnya yang begitu tampan. Pria itu seakan ingin melompat setinggi-tingginya saking bahagianya. Jawaban singkat Pratama mampu merubah dunianya seketika. Saat ini ia merasa seluruh alam semesta mendukungnya. "Sikapnya masih saja dingin.Tidak apa.Tidak masalah. Mungkin perlu proses untuk dekat dengan calon mertuaku ini," ungkap Rein dalam hati. "Terimakasih, Pak. Saya akan menikahi Shinta secepatnya. Jika Bapak tidak keber
Rein memarkir mobilnya di basement salah satu rumah sakit mewah di kota Bogor. Setelahnya ia melangkah cepat menuju ruang High care sesuai petunjuk dari Yuda. Lift yang membawanya ke lantai empat cukup ramai, hingga pria bule itu harus antri diantara pengunjung yang akan besuk. Saat keluar dari lift, dari kejauhan Rein melihat Yuda, Salma dan Peter sedang duduk di depan sebuah ruangan tertutup. Tak jauh dari mereka tampak seperti sepasang suami istri sedang terisak. Sang istri menutup wajahnya sambil menangis. Sementara suaminya mencoba menenangkan istrinya dengan usapan lembut di bahu. Wajah pria itu pun tak kalah sedih. Rein sedang menerka-nerka siapa mereka. Apakah mereka berdua adalah keluarga korban? Perasaan pria bule itu semakin tidak tenang. Rein menghampiri Yuda dengan cemas. "Bagaimana, Yud?" tanya Rein, wajahnya mulai panik melihat wajah Yuda yang menurutnya sedang tak baik-baik saja. Jantungnya berdegup kencang. Dalam hatinya terus berdoa tidak terjadi apa-apa. "Dudu
"Kondisinya belum stabil. Pasien masih kritis," jelas dokter yang menangani Syafa. Rein meremas rambutnya frustasi. Sejak tadi bayangan Shinta tak lepas dari benaknya. Apa yang akan dia katakan pada calon istrinya itu? Pria tampan bertubuh tinggi tegap itu melangkah masuk ke ruang high care. Dadanya kembali sesak dan penuh saat melihat seorang wanita muda terbaring lemah tak berdaya di sana. Selang dan beberapa kabel yang tersambung dengan monitor, menempel pada tubuhnya. Kepala wanita itu diperban. Dokter bilang, wanita itu memang memakai helm tapi sepertinya pemakaiannya tidak benar. Rein duduk di sisi kiri menatap iba pada gadis berwajah bulat itu. "Wajahnya masih sangat muda. Seharusnya dia sedang mengejar impiannya. Seharusnya ia sedang berjuang meraih cita-citanya," sesal Rein membuat dadanya semakin sesak hingga sulit untuk bernapas. "Aku tidak mungkin menikahi gadis muda ini. Dia masih sangat muda. Dia harus sembuh. Ya, dia harus sembuh." Pikiran Rein kalut sejak kedua
"Rein akan kasih kejutan? Tidak biasanya dia pakai rahasia-rahasiaan segala. Kejutan sebelumnya dari Rein adalah keberadaan Bu Tari di rumahnya. Apa sekarang ada rahasia lagi yang terungkap?" Shinta baru saja selesai mandi. Sepulang dari kantor sore tadi ia tak langsung pulang. Wanita itu mampir ke mall membeli sesuatu. Entah kenapa ia ingin sekali memberi Rein hadiah. Pria itu belakangan ini beberapa kali menolongnya. Apalagi ketika kejadian pagi itu yang membuatnya trauma hingga kini. Shinta tersenyum sendiri mengingat kado yang dia beli untuk Rein tadi sore. "Dia pasti semakin tampan jika pakai itu. Ah ..., sejak awal Rein memang tampan. Aku aja yang terlambat menyadari hal itu. Dulu, aku sering mentertawakan Dewi dan para karyawanku yang histeris jika melihat Rein. Sekarang, justru jantungku yang terus-terusan histeris setiap bertemu mata dengan pria tampan itu." Shinta senyum-senyun sendiri di depan kaca riasnya sambil menyisir rambut panjangnya yang hitam dan lebat. " Non,
"Paul, kenapa kamu nggak pulang-pulang ke Bandung?" rengek Aina melalui ponselnya. Entah sudah yang ke berapa kalinya wanita itu menghubungi Paul yang masih sibuk di Jakarta. "Kenapa? Kamu nggak betah di sana?"tanya Paul. "Aku capek di sini ,Paul. Mama kamu nyuruh Aku masak setiap.hari. Udah gitu masakanku dibilang enggak enak." Terdengar kekehan Paul di sana setelah mendengar keluhan Aina. "Ikuti aja apa kata Mama, Aina. Mama hanya tidak suka melihat perempuan yang tidak punya kegiatan apapun." "Ya, tapi nggak disuruh masak juga kan, Paul. Aku bisa kok disuruh melakukan kegiatan yang lain. Misalnya belanja atau ke salon, gitu." Paul kembali terkekeh mendengar ocehan Aina. Perempuam itu sejak dulu tidak penah hidup susah. Tidak pernah tau sulitnya cari uang. Namun Aina sangat pintar bagaimana caranya menghabiskan uang.berapapun banyaknya. "Nanti Aku bicara dengan Mama setelah ini. Kamu yang sabar ya, Sayang!" ucap Paul lembut. "Paul, mama kamu lama ya disin" "Aku nggak tau. M
"Aina kok kamu kaget gitu? Memangnya kamu kenal dengan Shinta?" Laura memandang heran pada Aina yang tiba-tiba memucat. "Eh, enggak, enggak kenal, Bu. Aku pikir tadi teman aku. Ternyata bukan." Aina tersenyum getir. Shinta terkejut mendengar jawaban Aina. Padahal baru saja ia hendak mengatakan bahwa ia dan Aina saling mengenal. "Kenalkan, Aku Aina." Wanita dengan rambut bergelombang itu mengulurkan tangannya pada Shinta. "Shinta ..." Shinta membalasnya dengan dada bergemuruh. Sejenak berkelebat di kepalanya bayangan sore iru. Dimana Aina dan Raka dengan tubuh polosnya berada dalam satu ranjang di kamar hotel ketika di Bandung. "Shinta, ada apa? Kenapa melamun?" Shinta tersentak dari lamunannya saat merasakan usapan lembut di lengannya. "Oh, m-maaf Bu Laura. Maaf!" Shinta gelagapan. Kemudian wanita itu berusaha untuk mengendalikan diri. "Ayo silakan duduk, Bu Laura, Aina. Mau minum apa? Silakan dipesan!" Ajak Shinta sambil menyodorkan daftar menu pada dua wanita beda usia itu.
"Tunggu Aku, sepuluh menit lagi aku akan tiba di sana!" Suara Elkan terdengar dari seberang sana. Rein baru saja hendak keluar dari ruangannya saat menerima panggilan dari Elkan di ponselnya. Pria bule itu baru saja hendak menjemput Shinta karena mereka sudah berjanji untuk mendatangi wedding organizer yang akan mengurus pernikahan mereka yang tinggal tiga minggu lagi. "Apa ada hal penting yang akan kamu bicarakan El?" tanya Rein. "Ada. Mengenai kesepakatan kita dengan keluarga Syafa." Rein tersentak. Masalahnya dengan keluarga Syafa tak kunjung selesai. Kedua orang tua Syafa tetap ngotot agar Rein menikahi anak mereka. Alasannya, jika setelah Syafa sembuh nanti kemungkinan besar tak ada laki-laki yang mau menikahinya karena lumpuh."Baiklah El, Aku tunggu." balas Rein yang kembali mendudukkan bobotnya di kursi kebesarannya. Rein mengirim pesan pada Shinta bahwa ia akan terlambat. Setelahnya, pria itu kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku. Memikirkan kembali masalahnya denga