Sudah terbit cerbung baruku berjudul : FOTO PELAKOR di PROFIL PONSEL SUAMIKU Silakan mampir dan beri ulasan ya kak.
"Aina kok kamu kaget gitu? Memangnya kamu kenal dengan Shinta?" Laura memandang heran pada Aina yang tiba-tiba memucat. "Eh, enggak, enggak kenal, Bu. Aku pikir tadi teman aku. Ternyata bukan." Aina tersenyum getir. Shinta terkejut mendengar jawaban Aina. Padahal baru saja ia hendak mengatakan bahwa ia dan Aina saling mengenal. "Kenalkan, Aku Aina." Wanita dengan rambut bergelombang itu mengulurkan tangannya pada Shinta. "Shinta ..." Shinta membalasnya dengan dada bergemuruh. Sejenak berkelebat di kepalanya bayangan sore iru. Dimana Aina dan Raka dengan tubuh polosnya berada dalam satu ranjang di kamar hotel ketika di Bandung. "Shinta, ada apa? Kenapa melamun?" Shinta tersentak dari lamunannya saat merasakan usapan lembut di lengannya. "Oh, m-maaf Bu Laura. Maaf!" Shinta gelagapan. Kemudian wanita itu berusaha untuk mengendalikan diri. "Ayo silakan duduk, Bu Laura, Aina. Mau minum apa? Silakan dipesan!" Ajak Shinta sambil menyodorkan daftar menu pada dua wanita beda usia itu.
"Tunggu Aku, sepuluh menit lagi aku akan tiba di sana!" Suara Elkan terdengar dari seberang sana. Rein baru saja hendak keluar dari ruangannya saat menerima panggilan dari Elkan di ponselnya. Pria bule itu baru saja hendak menjemput Shinta karena mereka sudah berjanji untuk mendatangi wedding organizer yang akan mengurus pernikahan mereka yang tinggal tiga minggu lagi. "Apa ada hal penting yang akan kamu bicarakan El?" tanya Rein. "Ada. Mengenai kesepakatan kita dengan keluarga Syafa." Rein tersentak. Masalahnya dengan keluarga Syafa tak kunjung selesai. Kedua orang tua Syafa tetap ngotot agar Rein menikahi anak mereka. Alasannya, jika setelah Syafa sembuh nanti kemungkinan besar tak ada laki-laki yang mau menikahinya karena lumpuh."Baiklah El, Aku tunggu." balas Rein yang kembali mendudukkan bobotnya di kursi kebesarannya. Rein mengirim pesan pada Shinta bahwa ia akan terlambat. Setelahnya, pria itu kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku. Memikirkan kembali masalahnya denga
"Silakan masuk, Bu Shinta!" Shinta mengangguk ramah pada resepsionis yang menyapanya. "Mari saya antar ke ruang Tuan Reinhard, Bu!" Seorang security mempersilakan Shinta untuk masuk ke dalam lift. Sepanjang melangkah menuju ruangan Rein, hampir semua karyawan mengangguk sopan pada pemilik tunggal eternal group itu. Shinta menanggapinya dengan senyum. Sebagian dari mereka ada yang saling berbisik dan membicarakan tentang rencana pernikahan dua CEO itu. Kabar bahwa CEO tampan mereka akan menikahi CEO cantik pemilik eternal group itu ternyata telah tersiar ke mana-mana. Shinta tiba di depan ruangan Rein yang terbuka. Ternyata pria itu pun sudah tak sabar ingin bertemu sang kekasih. Rein sejak tadi berdiri mondar mandir di ambang pintu ruangannya. Sampai-sampai sekretarisnya sendiri terheran. "Silakan Bu!" ucap security yang mengantar Shinta saat mereka sudah tiba di depan ruangan CEO. Shinta tersenyum melihat Rein telah berdiri di sana dengan kedua tangannya berada di dalam saku ce
"Hei, Raka! Jangan coba-coba kabur lagi kamu!" Raka baru saja tiba di kantor, turun dari mobil dan hendak berjalan menuju lobby, tiba-tiba menghentikan langkahnya saat mendengar suara menggelegar dari seseorang memanggil namanya. Mata pria berpenampilan klimis itu membulat saat melihat tiga orang preman berbadan gempal menghampirinya. "Sial! Tau dari mana mereka kalau kantorku di sini?" geram Raka kesal. . Sapto dan kedua temannya menghadang Raka. "Mau apa kalian? Pagi-pagi begini sudah bikin ribut. Ini kantor, bukan pasar!" Raka membentak ketiga preman itu, sementara matanya menyisir mencari keberadaan para security kantor yang biasanya berada di sekitar tempat dia berdiri. Ia pun cukup heran melihat area parkir yang biasanya banyak karyawan lalu lalang, namun kali ini sangat sepi. "Kalau kamu mau tanggung jawab, kita tidak akan kejar-kejar kamu terus, brengsek!" Sentak Sapto mulai emosi. Matanya nanar menatap Raka. Wajah sangar pria itu menggelap. "Tanggung jawab apaa? Jangan
"Ada apa lagi kalian ke sini?" "Hei, sopan sedikit kalau bicara dengan bapak mertuamu!" bentak Sapto pada Raka yang masih berdiri di ambang pintu. "Mana Kayla? Yang Aku minta datang ke sini hanya Kayla, bukan kalian!" Raka berkacak pinggang menatap para preman itu. "Tenang saja, Kayla sebentar lagi akan melayanimu dengan baik. Tapi, kamu belum mengganti semua uang yang Aku keluarkan untuk biaya pernikahanmu." Mata Raka membulat mendengar ucapan Sapto. "Apa? Minta ganti? Kalian mau memerasku?" Mata Raka melotot. "Siapa suruh Kamu hamili anakku? Sekarang Kamu sudah menjadi suami Kayla, Kamu harus memberiku uang kapan Aku butuhkan!" Sontak Sapto bangkit berdiri dan mencengkeram kerah jas biru Raka. Pria itu meringis ketakutan. Bayangan tubuhnya dipukuli kembali terlintas di kepalanya. "Bapaaak! Jangan seperti itu, Pak! Kasian Mas Raka! Kemarin dia sudah kalian hajar sampai babak belur" Tiba-tiba Kayla keluar dari dalam dan berteriak. "Halaaah! Dia pantas mendapatkan itu!" ketus
"Makanlah, sebentar lagi penghulu akan datang!" Kayla menyodorkan sepiring nasi uduk beserta tempe goreng pada Raka. Sejak semalam pria itu tidak bisa tidur. Seluruh tubuhnya terasa nyeri. Subuh tadi Kayla membantunya membersihkan diri dan mengobati luka-luka di tubuhnya. Raka melihat ada perbedaan pada Kayla. Penampilan wanita itu sangat berbeda. Ia tidak memakai pakaian seksi dan riasan yang tebal seperti biasanya. Kayla justru memakai pakaian panjang, tanpa riasan serta rambut yang digulung asal. Beberapa kali Raka menoleh pada wanita itu. Ada rasa yang berbeda setiap ia melihat wajah alami Kayla yang justru menbuatnya penasaran. "Makanan kampung. Nggak ada yang lain?" Raka memalingkan wajahnya. Kayla menggeleng, lalu meletakkan piring itu di atas meja kecil di samping ranjang. "Cuma ada ini. Makan seadanya!" ujar Kayla datar. Kemudian wanita itu berlalu meninggalkannya di kamar sendirian. Raka sebenarnya sangat lapar. Namun hanya nasi uduk sederhana dan segelas teh hangat,
"Apa-apaan ini? Semua barangku dimasukkan ke dalam kardus. Said pasti tau tentang ini. Kenapa sejak kemarin dia tidak berusaha mencariku?" gumamnya. "Said ..., Said ..!" Raka berteriak mencari asisten pribadinya. Namun Said tidak ada di mejanya. Raka keluar dari ruangannya dan menyusuri kubikel karyawan dengan pandangan matanya. Namun ia juga tak menemukan Said di sana. "Mana Said?"tanya Raka gusar pada salah seorang karyawan. "Tidak tau, pak." Raka mencoba menghubungi ponsel Said, namun tidak diangkat. Hampir semua karyawan membalas pertanyaannya dengan menggeleng atau menjawab tidak tau. Akhirnya Raka memutuskan untuk menghampiri Shinta. Dengan langkah lebar, pria yang selalu berpenampilan klimis itu menuju ruangan Shinta. Karena emosi yang sudah memuncak Raka langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Bahkan ia membuka pintu itu dengan kasar. BRAAKK !!! "Maira ...! Said ...?" Mata Raka membelalak melihat Said berada di ruangan Shinta. Asisten pribadinya itu sepertinya sedang m
"Ada apa lagi kalian ke sini?" "Hei, sopan sedikit kalau bicara dengan bapak mertuamu!" bentak Sapto pada Raka yang masih berdiri di ambang pintu. "Mana Kayla? Yang Aku minta datang ke sini hanya Kayla, bukan kalian!" Raka berkacak pinggang menatap para preman itu. "Tenang saja, Kayla sebentar lagi akan melayanimu dengan baik. Tapi, kamu belum mengganti semua uang yang Aku keluarkan untuk biaya pernikahanmu." Mata Raka membulat mendengar ucapan Sapto. "Apa? Minta ganti? Kalian mau memerasku?" Mata Raka melotot. "Siapa suruh Kamu hamili anakku? Sekarang Kamu sudah menjadi suami Kayla, Kamu harus memberiku uang kapan Aku butuhkan!" Sontak Sapto bangkit berdiri dan mencengkeram kerah jas biru Raka. Pria itu meringis ketakutan. Bayangan tubuhnya dipukuli kembali terlintas di kepalanya. "Bapaaak! Jangan seperti itu, Pak! Kasian Mas Raka! Kemarin dia sudah kalian hajar sampai babak belur" Tiba-tiba Kayla keluar dari dalam dan berteriak. "Halaaah! Dia pantas mendapatkan itu!" ketus