"Ada apa lagi kalian ke sini?" "Hei, sopan sedikit kalau bicara dengan bapak mertuamu!" bentak Sapto pada Raka yang masih berdiri di ambang pintu. "Mana Kayla? Yang Aku minta datang ke sini hanya Kayla, bukan kalian!" Raka berkacak pinggang menatap para preman itu. "Tenang saja, Kayla sebentar lagi akan melayanimu dengan baik. Tapi, kamu belum mengganti semua uang yang Aku keluarkan untuk biaya pernikahanmu." Mata Raka membulat mendengar ucapan Sapto. "Apa? Minta ganti? Kalian mau memerasku?" Mata Raka melotot. "Siapa suruh Kamu hamili anakku? Sekarang Kamu sudah menjadi suami Kayla, Kamu harus memberiku uang kapan Aku butuhkan!" Sontak Sapto bangkit berdiri dan mencengkeram kerah jas biru Raka. Pria itu meringis ketakutan. Bayangan tubuhnya dipukuli kembali terlintas di kepalanya. "Bapaaak! Jangan seperti itu, Pak! Kasian Mas Raka! Kemarin dia sudah kalian hajar sampai babak belur" Tiba-tiba Kayla keluar dari dalam dan berteriak. "Halaaah! Dia pantas mendapatkan itu!" ketus
"Makanlah, sebentar lagi penghulu akan datang!" Kayla menyodorkan sepiring nasi uduk beserta tempe goreng pada Raka. Sejak semalam pria itu tidak bisa tidur. Seluruh tubuhnya terasa nyeri. Subuh tadi Kayla membantunya membersihkan diri dan mengobati luka-luka di tubuhnya. Raka melihat ada perbedaan pada Kayla. Penampilan wanita itu sangat berbeda. Ia tidak memakai pakaian seksi dan riasan yang tebal seperti biasanya. Kayla justru memakai pakaian panjang, tanpa riasan serta rambut yang digulung asal. Beberapa kali Raka menoleh pada wanita itu. Ada rasa yang berbeda setiap ia melihat wajah alami Kayla yang justru menbuatnya penasaran. "Makanan kampung. Nggak ada yang lain?" Raka memalingkan wajahnya. Kayla menggeleng, lalu meletakkan piring itu di atas meja kecil di samping ranjang. "Cuma ada ini. Makan seadanya!" ujar Kayla datar. Kemudian wanita itu berlalu meninggalkannya di kamar sendirian. Raka sebenarnya sangat lapar. Namun hanya nasi uduk sederhana dan segelas teh hangat,
"Apa-apaan ini? Semua barangku dimasukkan ke dalam kardus. Said pasti tau tentang ini. Kenapa sejak kemarin dia tidak berusaha mencariku?" gumamnya. "Said ..., Said ..!" Raka berteriak mencari asisten pribadinya. Namun Said tidak ada di mejanya. Raka keluar dari ruangannya dan menyusuri kubikel karyawan dengan pandangan matanya. Namun ia juga tak menemukan Said di sana. "Mana Said?"tanya Raka gusar pada salah seorang karyawan. "Tidak tau, pak." Raka mencoba menghubungi ponsel Said, namun tidak diangkat. Hampir semua karyawan membalas pertanyaannya dengan menggeleng atau menjawab tidak tau. Akhirnya Raka memutuskan untuk menghampiri Shinta. Dengan langkah lebar, pria yang selalu berpenampilan klimis itu menuju ruangan Shinta. Karena emosi yang sudah memuncak Raka langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Bahkan ia membuka pintu itu dengan kasar. BRAAKK !!! "Maira ...! Said ...?" Mata Raka membelalak melihat Said berada di ruangan Shinta. Asisten pribadinya itu sepertinya sedang m
"Ada apa lagi kalian ke sini?" "Hei, sopan sedikit kalau bicara dengan bapak mertuamu!" bentak Sapto pada Raka yang masih berdiri di ambang pintu. "Mana Kayla? Yang Aku minta datang ke sini hanya Kayla, bukan kalian!" Raka berkacak pinggang menatap para preman itu. "Tenang saja, Kayla sebentar lagi akan melayanimu dengan baik. Tapi, kamu belum mengganti semua uang yang Aku keluarkan untuk biaya pernikahanmu." Mata Raka membulat mendengar ucapan Sapto. "Apa? Minta ganti? Kalian mau memerasku?" Mata Raka melotot. "Siapa suruh Kamu hamili anakku? Sekarang Kamu sudah menjadi suami Kayla, Kamu harus memberiku uang kapan Aku butuhkan!" Sontak Sapto bangkit berdiri dan mencengkeram kerah jas biru Raka. Pria itu meringis ketakutan. Bayangan tubuhnya dipukuli kembali terlintas di kepalanya. "Bapaaak! Jangan seperti itu, Pak! Kasian Mas Raka! Kemarin dia sudah kalian hajar sampai babak belur" Tiba-tiba Kayla keluar dari dalam dan berteriak. "Halaaah! Dia pantas mendapatkan itu!" ketus
"Bagaimana kondisi Syafa, Dok?" "Pasien sampai saat ini belum sadar," sahut Dokter yang menangani Syafa. Rein baru saja tiba di rumah sakit. Hari ini ia menyempatkan diri untuk mampir melihat kondisi terkini dari pasien yang bernama Syafa itu. Namun dadanya kembali merasa sesak karena mengetahui kalau gadis itu belum juga sadar. "Apa yang harus kita lakukan, Dok? Jika memungkinkan, Saya bersedia membiayai pengobatannya. Walaupun harus ke rumah sakit yang ada di luar negeri." "Bisa saja. Tapi sebaiknya kondisi pasien harus stabil dulu jika akan menjalani perjalanan jauh," jelas dokter yang di jas putihnya tertulis nama dr.Taufik. "Jadi, saat ini kita hanya menunggu?" tanya Rein lagi. "Sering-seringlah mengajak pasien bicara. Hal itu bisa merangsang syaraf-syarafnya untuk bisa aktif kembali. Tapi kita harus tetap bersabar." Rein mengangguk samar mendengar penjelasan dokter Taufik. "Apa kemungkinan yang akan terjadi saat dia sadar nanti, Dok?" "Kemungkinan buruknya pasien akan
"Maira, kamu cantik sekali." Hikmah membelai rambut panjang sahabat sekaligus adik iparnya dengan rasa kagum. "Kamu juga cantik, Hikmah." Maira menatap Hikmah dari kaca rias di depannya. Mereka baru saja mengenang saat-saat tinggal bersama di panti dulu. Malam ini mereka sedang mempersiapkan diri untuk acara besok pagi. Acara yang telah dinanti-nanti oleh Maira dan Rein. Malam ini semua anggota keluarga Pratama menginap di rumah Maira. Karena besok pagi-pagi sekali mereka sudah siap-siap untuk pergi ke tempat acara pernikahan di salah satu hotel bintang lima di Jakarta. Acara akad nikah akan dilangsungkan jam sembilan pagi, dilanjutkan acara resepsi siangnya. "Sepertinya sejak tadi kamu nampak gelisah. Ada apa Maira? Apa ada masalah?" Hikmah kini duduk di ranjang. Perutnya yang sudah sangat besar membuatnya sering kelelahan. "Tidak ada. Hanya saja sejak tadi aku kepikiran terus dengan Rein. Sejak kemarin ia tidak menghubungiku." "Kenapa tidak kamu saja yang menghubunginya lebih d
"Amankan seluruh lokasi di hotel ini! Sebentar lagi akad nikah Tuan Rein akan dimulai." Peter memerintahkan seluruh bawahannya. "Tangkap dan selidiki apapun yang mencurigakan!" "Siap! Baik, Pak!" Beberapa pria berpakaian safari itu menyebar sesuai yang diperintahkan oleh Peter. Sementara di ballroom hotel para tamu yang terdiri dari keluarga dan kerabat dekat sudah mulai berdatangan. Maira dan Rein sedang diriias di ruangan yang berbeda. Sejak tiga hari yang lalu mereka tidak saling menghubungi dan tidak bertemu karena kesibukan masing-masing. Hingga kini rasa rindu yang begiru mendera merajai hati masing-masing pasangan calon pengantin itu. Bagi Rein ini adalah pengalaman yang pertama untuknya. Sejak tadi jantungnya terus berdebar. Berkali-kali mencoba menghafalkan ucapan ijab kabul. Wajah dingin dan datar calon mertuanya membuatnya semakin khawatir akan salah bicara. Pria gagah dengan segala keberaniannya menghadapi apapun, justru nyaris bertekuk lutut jika menghadapi sang cal
"Selamat menempuh hidup baru Pak Reinhard dan Bu Shinta!" Para tamu mulai berdatangan dan mengucapkan selamat pada kedua mempelai. Acara resepsi sudah dimulai sejak sepuluh menit yang lalu. Lorong sepanjang jalan menuju ballroom, terhampar karpet merah demi menyambut para tamu. Sementara di kanan kirinya berderet sejumlah karangan bunga dengan bacaan selamat menempuh hidup baru. Puluhan karangan bunga itu sebagian besar dari relasi perusahaan, investor, serta kerabat Rein dan Maira. Pelaminan megah berupa panggung setinggi setengah meter itu terlihat sangat mewah dengan nuansa minang..Pakaian yang dikenakan oleh Maira dan Rein pun adalah kolaborasi adat minang dengan gaya modern. Sejak awal mereka sepakat memakai adat minangkabau demi mengenang Sang kakek bernama Sutan Matari, yang mewariskan seluruh kekayaannya pada cucu satu-satunya. Gemerlap perpaduan warna black dan gold tampak serasi dengan desain pelaminan yang mewah. "Hai, Bro! Selamat! Semoga cepat-cepat kasih adik buat K