Yuk, siap-siap kondangan ke Maira dan Rein!
"Amankan seluruh lokasi di hotel ini! Sebentar lagi akad nikah Tuan Rein akan dimulai." Peter memerintahkan seluruh bawahannya. "Tangkap dan selidiki apapun yang mencurigakan!" "Siap! Baik, Pak!" Beberapa pria berpakaian safari itu menyebar sesuai yang diperintahkan oleh Peter. Sementara di ballroom hotel para tamu yang terdiri dari keluarga dan kerabat dekat sudah mulai berdatangan. Maira dan Rein sedang diriias di ruangan yang berbeda. Sejak tiga hari yang lalu mereka tidak saling menghubungi dan tidak bertemu karena kesibukan masing-masing. Hingga kini rasa rindu yang begiru mendera merajai hati masing-masing pasangan calon pengantin itu. Bagi Rein ini adalah pengalaman yang pertama untuknya. Sejak tadi jantungnya terus berdebar. Berkali-kali mencoba menghafalkan ucapan ijab kabul. Wajah dingin dan datar calon mertuanya membuatnya semakin khawatir akan salah bicara. Pria gagah dengan segala keberaniannya menghadapi apapun, justru nyaris bertekuk lutut jika menghadapi sang cal
"Selamat menempuh hidup baru Pak Reinhard dan Bu Shinta!" Para tamu mulai berdatangan dan mengucapkan selamat pada kedua mempelai. Acara resepsi sudah dimulai sejak sepuluh menit yang lalu. Lorong sepanjang jalan menuju ballroom, terhampar karpet merah demi menyambut para tamu. Sementara di kanan kirinya berderet sejumlah karangan bunga dengan bacaan selamat menempuh hidup baru. Puluhan karangan bunga itu sebagian besar dari relasi perusahaan, investor, serta kerabat Rein dan Maira. Pelaminan megah berupa panggung setinggi setengah meter itu terlihat sangat mewah dengan nuansa minang..Pakaian yang dikenakan oleh Maira dan Rein pun adalah kolaborasi adat minang dengan gaya modern. Sejak awal mereka sepakat memakai adat minangkabau demi mengenang Sang kakek bernama Sutan Matari, yang mewariskan seluruh kekayaannya pada cucu satu-satunya. Gemerlap perpaduan warna black dan gold tampak serasi dengan desain pelaminan yang mewah. "Hai, Bro! Selamat! Semoga cepat-cepat kasih adik buat K
"Malam ini kalian nggak usah pulang. Pihak hotel sudah menyiapkan satu kamar pengantin untuk kalian menginap di sini." Maira cukup terkejut mendengar ucapan Hafiz. Karena hal ini tidak termasuk dengan rencana mereka sebelumnya. "Tapi bagaimana dengan Kaisar, Kak?" "Mairaaa, kamu kayak baru sekali ini aja ninggalin Kaisar. Sudah sana nikmati malam pengantin kalian. Kaisar biar sama Ibu. Selama kamu pergi, Ibu dan ayah akan menjaga Kaisar dengan baik," jelas Nuri yang sejak tadi tak pernah jauh dari cucunya. Rein ikut tersenyum, walau sebenarnya pria itu sedang menahan debaran di dadanya saat mendengar malam pengantin. Seketika terlintas kembali di benaknya bayangan kulit putih bercahaya yang ia lihat pagi itu. Lekuk tubuh Maira yang sempat terlihat olehnya walau hanya sesaat. Para tamu sudah pulang. Tinggallah kedua mempelai, keluarga dan para anggota Rein. "Acara sudah selesai. Semua aman dan lancar. Hanya ada dua orang yang kami tangkap karena sempat membuat keributan." Peter
"Bajuku tidurku mana, ya?" Maira yang masih memakai mukena membuka lemari mencari pakaian tidur kesukaannya. "Nah ini dia." Wanita itu meraih sebuah kaos longgar namun tipis dan pendek, serta sebuah celana yang sangat pendek berbahan jeans. Maira membawanya ke kamar mandi. Sementara itu Rein melepas sarung dan baju kokonya. Hingga hanya meninggalkan kaos tipis pas body serta boxernya. Pria itu kemudian duduk di tepi ranjang yang bertabur bunga. Beberapa bantal berbentuk hati berada di setiap sudut ranjang. Rein menoleh saat pintu kamar mandi dibuka. Maira keluar dengan pakaian tidur kesukaannya serta rambut panjangnya terurai. Susah payah Rein menelan salivanya. Maira terlihat persis seperti seorang gadis remaja. Walau tadinya Rein membayangkan Maira akan memakai lingeri di malam pengantinnya ini, namun penampilan Maira saat ini tak kalah seksi. Bahkan sangat membuatnya penasaran. "Rein. Kenapa?" tanya Maira pelan. Wanita itu naik ke atas ranjang dan duduk di samping suaminya.
"Siapa yang telepon, Sayang?"desis Rein dengan mata masih terpejam. Ia kembali meraih pinggang Maira dan kembali membawa ke dalam dekapannya. Maira tidak menjawab ponsel itu. Ia meletakkan kembali di nakas, karena saat ini Rein kembali mulai menjelajahi tubuh polosnya di balik selimut dengan tangan kekarnya, membuat Maira kembali menggeliat dan menegang. "Rein ... itu panggilan telepon dari rumah sakit. Aku ...ah Rein ... " Maira mulai mendesah. "A-apa? Rumah sakit?" Rein tiba-tiba menghentikan aksinya sesaat. "Sudah biarkan saja.!" jawab pria bule itu akhirnya, dan kembali melanjutkan aktifitas barunya di pagi buta ini. Sebenarnya Maira ingin sekali bertanya tentang siapa yang sakit, atau mungkin Rein ada bisnis yang melibatkan rumah sakit? Tapi bukankah tidak sopan jika membicarakan bisnis di pagi buta seperti ini? Namun semua pertanyaan yang menumpuk di benaknya urung ia tanyakan. Karena suaminya tidak lagi menjelajahi tubuhnya dengan jemarinya. Namun kini dengan bibirnya. R
Rein tercengang saat pintu terbuka. Ia buru-buru menutupnya kembali. Pakaian Maira menurutnya sangat seksi. Jangan sampai ada orang lain yang melihatnya. Istrinya itu ternyata suka sekali memakai celana sangat pendek. Apalagi kali ini Maira memakai kaos pendek, jika tangannya terangkat, kulit putih di bagian perutnya akan terlihat jelas. "S-sayang ... kamu ...!" Rein menjadi sangat gugup. Buyar sudah kata-kata yang sejak tadi ia persiapkan untuk Maira. Pikirannya kembali ingin menerkam istri seksinya ini. "Kamu ke cafe kok nggak ajak-ajak Aku sih?" tanya Maira santai. Wanita itu menjatuhkan tubuhnya di sofa, lalu menyalakan televisi. "Ca-cafe?" tanya Rein bingung. "Iyaa, tadi aku tanya penjaga di luar ketika petugas hotel mengantarkan sarapan. Mereka bilang kamu ke cafe bawah." Maira mengikat rambutnya yang sudah kering, hingga terlihat jelas leher jenjangnya yang putih bercahaya. Rein bersyukur para penjaganya tau apa yang harus mereka katakan. "Hmm... iya. Tadi kamu tidur pu
"Daddi ... agi, agi Daddi ...!" Kaisar merengek pada Rein untuk bermain bola lagi. "Daddy capek, Boy! Kamu hebat banget!" Rein pura-pura tersengal kelelahan.. "Yeyy! Daddi talah!" Kaisar melonjak kegirangan. "Iyaa, iyaa, Daddy kalah!" Rein pura-pura cemberut. Kaisar terkikik melihat wajah Rein yang dibuat-buat lucu. Dua pria beda usia itu sedang berlari kecil mengitari taman belakang hingga ke depan rumah. Namun Rein terkejut saat berpapasan dengan Raka. Genggaman tangannya pada Kaisar semakin erat. Seakan ia takut jika Kaisar pergi meninggalkannya. Raka memandang Kaisar dengan tatapan sulit diartikan. Perlahan pria itu melangkah mendekat. "Hai anak Papa! Apa kabar?!" Raka berjongkok di depan bocah kecil yang melihatnya tanpa ekspresi. "Kaisar, Ini Papa ...!" Raka mengulurkan kedua tangannya pada Kaisar. Pria itu ingin sekali menggendong putra satu-satunya itu. Namun dadanya seakan dihantam oleh batu besar saat Kaisar malah mundur dan berlindung di belakang kaki Rein. Kaisar
"Kayla ..., Aku minta maaf atas kesalahanku kemarin.!" Dada Raka begitu sesak. Ia benar-benar menyesal telah memperlakukan istrinya itu tidak baik. "Kamu tidak akan pernah bisa mencintaiku. Aku bukan Maira. Lebih baik kita berpisah saja." Lagi, Kayla mengatakan hal itu dengan suara parau. Raka merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya. Sejak awal ia menolak untuk menikah dengan Kayla. Tapi entah kenapa ada rasa nyeri yang ia rasakan ketika mendengar permintaan Kayla barusan. Raka memiringkan tubuhnya Menopang kepalanya dengan satu tangan. Satu tangan lainnya meraba perut Kayla dengan lembut. . "Kamu di sini saja temani Aku. Lagi pula tidak baik berpisah jika istri sedang hamil." ujar Raka. Sebenanya Ia tak tau harus bicara apa untuk bisa menahan Kayla agar tetap tinggal bersamanya. Ia sendiri tidak mengerti dengan apa yang ia rasakan saat ini. Ia hanya tak ingin Kayla pergi. Kayla memiringkan tubuhnya membelakangi Raka. Bayangan sikap kasar Raka beberapa hari yang lalu begitu
Hai, Pembacaku. Terimakasih sudah membaca Istri Dekilku Anak Sultan hingga tamat.Mau tau kisah Maira selanjutnya? Langsung aja baca cerita baru aku yang berjudul :Istri yang Tak Kau Percaya Ternyata Kaya Raya"Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”Kehidupan rumah tangga Analea terasa dingin karena Hamid, suaminya, salah paham dan menuduh Analea tidak suci lagi, karena Analea tidak "berdarah" di malam pertama mereka. Ditambah lagi asal usul Analea dianggap tidak jelas dan kurang bermartabat karena merupakan anak angkat dari mantan wanita malam.Hingga akhirnya Analea menemukan suaminya tidur bersama wanita lain."Aku ingin bercerai!" Tak lagi bisa percaya pada Hamid, Analea menggugat. "Kalau tidak, aku akan sebarkan berita ini di kantormu.""Memangnya orang akan percaya padamu? Semua juga tahu dari mana asalmu! Mereka pasti lebih percaya padaku." Si suami peselingkuh enggan melepaskan Analea yang
Setahun kemudian. "Ayo turun, Sayang! Kita sudah sampai." Paul membantu Syafa keluar dari mobil. Wanita itu kesulitan keluar karena perutnya yang sudah sangar besar. "Jangan lahir dulu, Nak. Biarkan Ibumu ini merasakan seperti apa wisuda itu." lirih Syafa seraya mengelus perutnya dengan lembut. Paul membimbing istrinya turun dari mobil dengan sangat hati-hati. Penampilan Syafa kini berbeda. Morine merancang kebaya panjang hingga semata kaki yang sangat pas untuk Syafa yang sedang hamil tua. Paul menggandeng Syafa menuju sebuah gedung pertemuan yang cukup berkelas di kota Jakarta. "Pelan-pelan jalannya. Jangan terlalu gagah!" bisik Paul yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Pria bule itu melangkah dengan bangga mendampingi sang istri yang baru saja meraih gelar sarjananya. Beberapa bulan belakangan ini Syafa berjuang dalam keadaan perut besar demi menyelesaikan kuliahnya sebelum bayinya lahir. Dua target dalam hidupnya yang mampu ia capai dalam waktu bersamaan. Yaitu me
Berita tentang Syafa ada hubungan dengan pejabat bernama Boy Azka yang dihubungkan dengan artis lawas bernama Kirana memang sempat memanas di masyarakat dan media sosial. Namun hal itu perlahan hilang dari media. Tentu saja ini adalah hasil kerja beberapa anak buah Boy Azka. Ternyata dalam hal ini, dengan uang segalanya akan menjadi mudah. Tak ada lagi media yang mengekspos berita tersebut. Sejak kejadin itu Boy Azka mulai hati-hati. Ia tak lagi berani bertemu Syafa di tempat umum, walaupun secara sembunyi-sembunyi. Sebagai gantinya, setiap sebulan sekali Syafa akan menginap di rumah Boy Azka bersama Paul. Hubungan keluarga mereka sudah sangat harmonis. Lintang yang tadinya memperlihatkan rasa tidak sukanya pada Syafa, justru kini sangat perhatian pada adik tirinya itu. Bahkan kadang membuat Paul cemburu karena Syafa begitu dekat dengan kedua kakak lelakinya. "Kak, hari ini acara syukuran Bapak dan Ibu pulang dari Haji. Kita ke sana, yuk!" Syafa bergelayut manja pada suaminya yang
"Dia tampan sekali seperti Kamu, Mas." Anita memandang takjub pada bayi laki-laki yang menggeliat di dalam box bayi milik rumah sakit itu. "Ya, dia yang akan menggantikan kita nanti di perusahaan. Dia akan menjadi pebisnis handal," lirih Indra tanpa senyum. Perasaan pria itu masih belum tenang karena ibu dari sang bayi tersebut masih belum.sadar. "Semoga ibumu segera bangun, Nak!" parau suara Indra menahan sedih. Dokter bilang Aina kelihangan banyak darah ketika melahirkan tadi. Saat ini istri mudanya itu sedang ditangani oleh dokter ahli. "Sabar, Mas. Kita doakan saja semoga Aina segera sadar." Anita membelai pelan punggung suaminya. Dadanya sesak melihat Indra memandang bayinya dengan tatapan sedih. "Anita, jika terjadi sesuatu pada Aina, apakah Kamu mau merawat anak ini?" "Astaghfirullah, Mas. Ayo optimis, dong, Mas! Aina pasti akan sembuh. Aku pasti akan membantu Aina merawat dan menyayangi bayi ini sepenuh hati." Anita memandang gemas bayi merah yang berwajah tampan itu. M
"Om Indraaa ...! Aduh, sakit, Om ...! Om Indraaa ...!" Aina berteriak sambil memegang perutnya yang sudah semakin besar. Ia terduduk lemas di ranjang kamarnya. Suaranya terdengar hingga keluar karena pintu kamar yang sengaja ia buka sejak tadi. Indra yang sedang berada di ruang kerjanya bersama Anita tergopoh-gopoh menghampiri istri mudanya. Anita pun mengikuti dari belakang dengan panik. "Kenapa Aina? Apa Kamu mau melahirkan?" cecar Indra bingung. Pria paruh baya itu berjalan mondar mandir di depan Aina, entah apa yang harus ia lakukan melihat wajah pucat Aina. Keringat dingin membasahi wajah istrinya itu. "Aduh, Om. Sakit sekalii. Aku nggak tahan ...!"Aina terus merintih. Tubuhnya bergetar hebat menahan sakit. "Maas, cepetan siapin mobil! Kita bawa Aina ke rumah sakit, segera!" teriak Anita yang juga sibuk kesana-kemari di kamar Aina seperti sedang mencari sesuatu "Mbaaak, Mbaaak, ini ART pada kemana, sih?" Anita masih berteriak memanggil para ARTnya. "Ya, Bu. Ada apa?" seora
"Tolong cepat, Pak!" Rein menepuk pelan bahu sang supir yang melajukan mobil ke Bandar Udara International Kuala Lumpur. Supir itu mengangguk. Berkali-kali Rein menoleh pada jam tangannya. Ia tak ingin terlambat ikut penerbangan pagi itu. Semalam, setelah menerima panggilan dari Yuda, Rein merenung. Awalnya ia berpikir Yuda tidak serius. Bagaimana mungkin Maira bisa hamil, sementara ia sudah divonis oleh dokter akan sulit untuk memiliki keturunan? Lalu ia ingat kata-kata Maira yang mengatakan, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Sulit untuk punya keturunan, bukan berarti tidak bisa. Sempat terlintas di benaknya hal negatif tentang Maira. Jangan-jangan itu bukan anaknya? Namun dugaan itu segera ia tepis, karena ia sangat percaya Maira adalah seorang istri yang setia. Pria dengan jambang lebat itu ingin membuktikan sendiri ucapan Yuda semalam. Apa ini hanya akal-akalan sahabatnya saja agar dia kembali ke indonesia? Akhirnya malam itu juga Rein yang belum tidur sejak kemarin,
Maira wanita yang kuat. Walau hatinya menangis. Ia tetap terlihat tegar di depan semua orang. Rein memang pergi dari kehidupannya. Namun pria itu tetap selalu ada di hatinya. Meninggalkan buah cinta mereka yang kini ada di dalam perut Maira. "Bu Shinta, Pak Yudatara dan istrinya ingin mengundang Ibu makan siang di rumahnya." "Yuda? Hmmm ... apa mungkin ada kabar tentang Rein?" gumam Maira yang baru saja selesai rapat dengan para relasi bisnisnya. "Baiklah. Katakan pada Yuda Aku mau. Kamu jadwalkan saja secepatnya!" ujar Maira sebelum meninggalkan ruang meeting. "Maira, bagaimana dengan pertemuan di Samarinda dua hari lagi? Apa Kamu bisa ke sana?" Raka menghampiri Maira ke ruangannya. Sejak Pratama memaksa Maira untuk membiarkan Raka membantunya, wanita itu tak lagi membantah. Apalagi Laura juga mendukung. Ia bersyukur Raka sudah banyak berubah. Mantan suaminya itu kini lebih paham akan batas-batas yang wajar diantara mereka. "Nanti Aku pikirkan, Mas," sahutnya bingung. Biasanya Re
"Aku nggak mau sendirian di rumah!" Aina cemberut saat duduk di ruang makan, sejak melihat Indra sudah bersiap hendak ke kantor. "Astaga Aina. Tolong jangan mulai lagi! Banyak rapat penting yang harus Aku hadiri. Apalagi sejak Rein keluar negeri. Aku agak kewalahan." Indra kembali membujuk Aina. "Nggak apa-apa kalau Mas mau temani Aina di rumah. Biar Aku yang handle kerjaan di kantor." Anita muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Indra memandang istri pertamanya yang tampak banyak berubah. Sejak Aina tinggal satu atap dengan Anita lima bulan yang lalu, Anita perlahan berubah. Wanita paruh baya itu kini tak pernah lagi berpakaian seksi jika keluar rumah. Ia lebih banyak di rumah saat libur. Wanita itu pun lebih sabar menghadapi Aina yang semakin manja di saat kehamilannya yang sudah masuk sembilan bulan. "Tidak. Aku harus ke kantor hari ini. Banyak janji dengan relasiku." "Kalau tiba-tiba Aku mau melahirkan gimana, Om?" tanya Aina lagi dengan nada manja. Anita dan Indra saling me
" Terima kasih, Syafa. Pemotretan cukup sampai di sini. Luar biasa, kamu benar-benar luar biasa!" Morine tak henti-hentinya memuji Syafa yang sangat berbakat. "Sama-sama Om. Ini berkat bimbingan Om Morine juga." Morine dan para kru di studio itu kagum pada Syafa yang selalu rendah hati, walaupun kariernya sudah berkembang cukup pesat. Dalam jangka waktu tiga bulan, Syafa sudah mendapat tawaran job di mana-mana. Rekanan Morine yang bergerak di bidang fashion terus meminta Syafa untuk menjadi model produk mereka. "Aku pulang ya, Om. Kak Paul sudah nunggu sejak tadi" Syafa pamit pada Morine. "Baiklah Syafa, sampai rumah langsung istirahat! Ingat, lusa ada acara penting. Akan hadir banyak pejabat dan istrinya dalam pameran fashion itu. Kamu adalah bintangnya. Kamu harus tampil prima dan memukau. Karier kamu baru akan dimulai." Morine yang diminta sekaligus sebagai manager Syafa oleh Boy Azka, tak henti-hentinya mendisiplinkan gadis cantik itu. "Iya, Om. Siap!" Walau kadang merasa b