Sudah baca Foto Pelakor di Profil Ponsel Suamiku?
Rein tercengang saat pintu terbuka. Ia buru-buru menutupnya kembali. Pakaian Maira menurutnya sangat seksi. Jangan sampai ada orang lain yang melihatnya. Istrinya itu ternyata suka sekali memakai celana sangat pendek. Apalagi kali ini Maira memakai kaos pendek, jika tangannya terangkat, kulit putih di bagian perutnya akan terlihat jelas. "S-sayang ... kamu ...!" Rein menjadi sangat gugup. Buyar sudah kata-kata yang sejak tadi ia persiapkan untuk Maira. Pikirannya kembali ingin menerkam istri seksinya ini. "Kamu ke cafe kok nggak ajak-ajak Aku sih?" tanya Maira santai. Wanita itu menjatuhkan tubuhnya di sofa, lalu menyalakan televisi. "Ca-cafe?" tanya Rein bingung. "Iyaa, tadi aku tanya penjaga di luar ketika petugas hotel mengantarkan sarapan. Mereka bilang kamu ke cafe bawah." Maira mengikat rambutnya yang sudah kering, hingga terlihat jelas leher jenjangnya yang putih bercahaya. Rein bersyukur para penjaganya tau apa yang harus mereka katakan. "Hmm... iya. Tadi kamu tidur pu
"Daddi ... agi, agi Daddi ...!" Kaisar merengek pada Rein untuk bermain bola lagi. "Daddy capek, Boy! Kamu hebat banget!" Rein pura-pura tersengal kelelahan.. "Yeyy! Daddi talah!" Kaisar melonjak kegirangan. "Iyaa, iyaa, Daddy kalah!" Rein pura-pura cemberut. Kaisar terkikik melihat wajah Rein yang dibuat-buat lucu. Dua pria beda usia itu sedang berlari kecil mengitari taman belakang hingga ke depan rumah. Namun Rein terkejut saat berpapasan dengan Raka. Genggaman tangannya pada Kaisar semakin erat. Seakan ia takut jika Kaisar pergi meninggalkannya. Raka memandang Kaisar dengan tatapan sulit diartikan. Perlahan pria itu melangkah mendekat. "Hai anak Papa! Apa kabar?!" Raka berjongkok di depan bocah kecil yang melihatnya tanpa ekspresi. "Kaisar, Ini Papa ...!" Raka mengulurkan kedua tangannya pada Kaisar. Pria itu ingin sekali menggendong putra satu-satunya itu. Namun dadanya seakan dihantam oleh batu besar saat Kaisar malah mundur dan berlindung di belakang kaki Rein. Kaisar
"Kayla ..., Aku minta maaf atas kesalahanku kemarin.!" Dada Raka begitu sesak. Ia benar-benar menyesal telah memperlakukan istrinya itu tidak baik. "Kamu tidak akan pernah bisa mencintaiku. Aku bukan Maira. Lebih baik kita berpisah saja." Lagi, Kayla mengatakan hal itu dengan suara parau. Raka merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya. Sejak awal ia menolak untuk menikah dengan Kayla. Tapi entah kenapa ada rasa nyeri yang ia rasakan ketika mendengar permintaan Kayla barusan. Raka memiringkan tubuhnya Menopang kepalanya dengan satu tangan. Satu tangan lainnya meraba perut Kayla dengan lembut. . "Kamu di sini saja temani Aku. Lagi pula tidak baik berpisah jika istri sedang hamil." ujar Raka. Sebenanya Ia tak tau harus bicara apa untuk bisa menahan Kayla agar tetap tinggal bersamanya. Ia sendiri tidak mengerti dengan apa yang ia rasakan saat ini. Ia hanya tak ingin Kayla pergi. Kayla memiringkan tubuhnya membelakangi Raka. Bayangan sikap kasar Raka beberapa hari yang lalu begitu
Permisi, Bang! Titip parkir mobil sebentar." Raka baru saja menepikan mobilnya di ujung gang rumah orang tua Kayla. Ia berharap Kayla ada di rumah Sapto. "Ya, Bos, aman mobilnya!" sahut salah satu pemuda yang sedang nongkrong di pinggir jalan. Para pemuda itu telah mengenal Raka sebagai suami Kayla, anak kepala preman yang ditakuti di wilayahnya. Raka melangkahkan kakinya ragu. Ia khawatir akan kembali di hajar oleh Sapto dan teman-temannya. Setelah beberapa langkah, ia pun tiba di depan rumah Kayla.. "Hai Raka! Ngapain kamu ke sini? Mau kasih kita uang lagi?" Ternyata Sapto dan teman-temannya sedang bermain kartu di teras rumah mereka yang menyatu dengan jalanan gang sempit itu. Mereka tertawa keras melihat kedatangan Raka. Suami Kayla itu perlahan mendekat dengam tubuh mulai gemetar. "Malam, Pak! Saya ke sini mau cari Kayla. Apa dia ke sini?" Sontak para preman itu saling menoleh. BRAAAK! Raka terlonjak mendengar gebrakan meja yang begitu keras. Tiba-tiba saja Sapto bangk
"Paul, Mama ingin sekali berkunjung ke rumah Shinta. Kamu mau anterin Mama?" Laura menghampiri Paul yang masih sibuk di depan laptopnya. Sejak sore tadi Paul belum keluar dari ruang kerjanya. "Boleh. Kapan Mama mau ke sana?" tanya pria bule tampan itu tanpa menoleh. "Besok pagi kita ke Jakarta. Siangnya kita mampir ke rumah Shinta. Kebetulan besok libur. Semoga saja dia dan suaminya ada di rumah. "Paul, sebenarnya ketika melihat suami Shinta itu, Mama teringat dengan Papamu. Kenapa mereka bisa mirip?" "Betul, Ma. Aku juga merasakan sesuatu ketika pertama bertemu dengan Rein. Apa mungkin Rein itu---" "Ya, mama punya pemikiran yang sama. Apa mungkin sebenarnya dia masih hidup?" Mereka diam sejenak. Sementara mata Laura sudah basah sejak tadi. Mengingat masa lalu yang sangat pahit. Kehilangan seseorang yang membuatnya hampir gila. "Paul ...,besok temani aku ke mall, dong!" Tiba-tiba saja Aina masuk.ke ruang kerja Paul. Ia tak melihat ada Laura di sana.. "Mau beli apa ke mall?"
"Rein, hari ini kita akan kedatangan tamu."" Maira dan Rein masih saling berpelukan. Setelah salat subuh tadi, keduanya kembali.merebahkan diri di tempat tidur. "Tamu siapa, Sayang?" Rein semakin mempererat pelukan pada istrinya. Wangi tubuh Maira telah menjadi candu untuknya. "Bu Laura dan anaknya yang bernama Paul itu. Masih ingat?" Rein diam sejenak. "Mereka ke sini dalam rangka apa?" "Sekedar mampir saja. Aku dan Bu Laura memang sudah kenal cukup lama. Orangnya asik loh. Aku kok ngerasa bicara dengan ibuku sendiri." Maira tersenyum.Hari libur ini Maira dan Rein tidak ada rencana kemana-mana. Rein hanya ingin bermain sepuasnya dengan Kaisar. Salah.satu kegiatan baru yang dia tunggu-tunggu setiap libur, setelah bekerja setiap hari sejak pagi hingga malam. "Sayang, Kaisar udah bangun apa belum, ya?" Rein menerka-nerka. Kamarnya yang tersambung dengan kamar Kaisar, sejak tadi sama sekali belum mendengar suara bocah lucu itu. "Sepertinya belum," sahut Maira yang semakin menyusu
"Bu Laura, ayo masuk!" Maira menyambut Laura dan Paul dengan hangat. "Shinta, apa kabar, Sayang?" Laura memeluk Maira lalu mereka saling menempelkan kedua pipi. "Baik, Bu. Ayo Paul, silakan masuk!" Paul mengangguk dengan tersenyum. Menit kemudian semuanya telah duduk di kursi ruang tamu. "Kok sepi? Suami dan anakmu mana, Shin? Aku mau kenal!" Laura membuka percakapan. "Kaisar sedang mandi. Rein tadi ada di ruang kerjanya. Sebentar Aku panggilkan." Namun baru saja Maira bangkit hendak memanggil Rein, tiba,tiba saja suaminya itu sudah tiba di ruang tamu dengan membawa kunci mobil ditangannya.. "Loh, Rein. Kamu mau ke mana?" Maira menatap Rein dengan penuh selidik. "M-maaf, Aku harus ke rumah sakit. kemarin ada salah satu karyawanku ditabrak. Aku harus lihat keadaannya." "Tapi, apa tidak bisa digantikan asistenmu?" Wajah Maira tampak kecewa. Rein menatap Maira dengan rasa bersalah. Beban di dadanya terasa begitu menghimpit. Namun panggilan dari rumah sakit berkali-kali tid b
"Pasien baru saja sadar, Dok. Ini pasien dokter Taufik. Kebetulan Dokter Taufik sedang cuti." Seorang perawat memberi penjelasan pada dokter yang berjaga hari itu. "Beritahu semua kondisi pasien pada Dokter Taufik. Beberapa jam setelah observasi, kita akan pindahkan ke ruang perawatan." Para perawat mengangguk, lalu mengerjakan apa yang diperintahkan dokter muda itu. Paul keluar ruangan saat Syafa sedang diperiksa oleh dokter dan perawat. Sampai saat ini ia hanya bisa menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi pada Syafa. Dan ada hubungan apa Syafa dan suami Shinta? "Pak, silakan masuk kembali. Pasien minta ditemani!" ucap perawat yang baru saja keluar dari ruang high care. Setelah hampir setengah jam, dokter dan dua perawat itu sudah selesai memeriksa Syafa. Paul yang masih bingung kembali masuk. Syafa sudah tidak memakai selang oksigen lagi di mulutnya. Hingga kecantikannya lebih terlihat jelas. Matanya yang bulat nampak sangat indah dibawah alisnya yang tebal. Hidungnya yang man