"Paul, Mama ingin sekali berkunjung ke rumah Shinta. Kamu mau anterin Mama?" Laura menghampiri Paul yang masih sibuk di depan laptopnya. Sejak sore tadi Paul belum keluar dari ruang kerjanya. "Boleh. Kapan Mama mau ke sana?" tanya pria bule tampan itu tanpa menoleh. "Besok pagi kita ke Jakarta. Siangnya kita mampir ke rumah Shinta. Kebetulan besok libur. Semoga saja dia dan suaminya ada di rumah. "Paul, sebenarnya ketika melihat suami Shinta itu, Mama teringat dengan Papamu. Kenapa mereka bisa mirip?" "Betul, Ma. Aku juga merasakan sesuatu ketika pertama bertemu dengan Rein. Apa mungkin Rein itu---" "Ya, mama punya pemikiran yang sama. Apa mungkin sebenarnya dia masih hidup?" Mereka diam sejenak. Sementara mata Laura sudah basah sejak tadi. Mengingat masa lalu yang sangat pahit. Kehilangan seseorang yang membuatnya hampir gila. "Paul ...,besok temani aku ke mall, dong!" Tiba-tiba saja Aina masuk.ke ruang kerja Paul. Ia tak melihat ada Laura di sana.. "Mau beli apa ke mall?"
"Rein, hari ini kita akan kedatangan tamu."" Maira dan Rein masih saling berpelukan. Setelah salat subuh tadi, keduanya kembali.merebahkan diri di tempat tidur. "Tamu siapa, Sayang?" Rein semakin mempererat pelukan pada istrinya. Wangi tubuh Maira telah menjadi candu untuknya. "Bu Laura dan anaknya yang bernama Paul itu. Masih ingat?" Rein diam sejenak. "Mereka ke sini dalam rangka apa?" "Sekedar mampir saja. Aku dan Bu Laura memang sudah kenal cukup lama. Orangnya asik loh. Aku kok ngerasa bicara dengan ibuku sendiri." Maira tersenyum.Hari libur ini Maira dan Rein tidak ada rencana kemana-mana. Rein hanya ingin bermain sepuasnya dengan Kaisar. Salah.satu kegiatan baru yang dia tunggu-tunggu setiap libur, setelah bekerja setiap hari sejak pagi hingga malam. "Sayang, Kaisar udah bangun apa belum, ya?" Rein menerka-nerka. Kamarnya yang tersambung dengan kamar Kaisar, sejak tadi sama sekali belum mendengar suara bocah lucu itu. "Sepertinya belum," sahut Maira yang semakin menyusu
"Bu Laura, ayo masuk!" Maira menyambut Laura dan Paul dengan hangat. "Shinta, apa kabar, Sayang?" Laura memeluk Maira lalu mereka saling menempelkan kedua pipi. "Baik, Bu. Ayo Paul, silakan masuk!" Paul mengangguk dengan tersenyum. Menit kemudian semuanya telah duduk di kursi ruang tamu. "Kok sepi? Suami dan anakmu mana, Shin? Aku mau kenal!" Laura membuka percakapan. "Kaisar sedang mandi. Rein tadi ada di ruang kerjanya. Sebentar Aku panggilkan." Namun baru saja Maira bangkit hendak memanggil Rein, tiba,tiba saja suaminya itu sudah tiba di ruang tamu dengan membawa kunci mobil ditangannya.. "Loh, Rein. Kamu mau ke mana?" Maira menatap Rein dengan penuh selidik. "M-maaf, Aku harus ke rumah sakit. kemarin ada salah satu karyawanku ditabrak. Aku harus lihat keadaannya." "Tapi, apa tidak bisa digantikan asistenmu?" Wajah Maira tampak kecewa. Rein menatap Maira dengan rasa bersalah. Beban di dadanya terasa begitu menghimpit. Namun panggilan dari rumah sakit berkali-kali tid b
"Pasien baru saja sadar, Dok. Ini pasien dokter Taufik. Kebetulan Dokter Taufik sedang cuti." Seorang perawat memberi penjelasan pada dokter yang berjaga hari itu. "Beritahu semua kondisi pasien pada Dokter Taufik. Beberapa jam setelah observasi, kita akan pindahkan ke ruang perawatan." Para perawat mengangguk, lalu mengerjakan apa yang diperintahkan dokter muda itu. Paul keluar ruangan saat Syafa sedang diperiksa oleh dokter dan perawat. Sampai saat ini ia hanya bisa menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi pada Syafa. Dan ada hubungan apa Syafa dan suami Shinta? "Pak, silakan masuk kembali. Pasien minta ditemani!" ucap perawat yang baru saja keluar dari ruang high care. Setelah hampir setengah jam, dokter dan dua perawat itu sudah selesai memeriksa Syafa. Paul yang masih bingung kembali masuk. Syafa sudah tidak memakai selang oksigen lagi di mulutnya. Hingga kecantikannya lebih terlihat jelas. Matanya yang bulat nampak sangat indah dibawah alisnya yang tebal. Hidungnya yang man
Beberapa jam sebelumnya. Rein baru saja keluar dari rumah sakit. Ia berjanji pada Maira bahwa ia pergi tidak akan lama. Ia segera pulang setelah berbicara pada Syafa. Gadis itu masih belum menampakkan respon yang positif. Ia hampir saja putus asa karena tidak ada perkembangan apapun dari Syafa. "Apa lagi yang harua Aku lakukan?" Rein sempat merasa frustasi. Ia juga sudah membohongi istrinya. Beban yang ia rasakan semakin berat. Sungguh ia berada dalam kebingungan. "Apa aku terus terang saja pada Maira tentang hal ini. Apa Maira akan menerima keputusanku untuk selalu mendampingi Syafa nanti? Atau malah Maira jadi marah padaku?" Rein bimbang. Sepanjang perjalanan, Rein terus berpikir tentang langkah apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Sedangkan orang tua Syafa selalu mengingatkan ia untuk sering-sering menengok Syafa. Sementara menurut orang kepercayaannya, kedua orang tua Syafa sendiri justru jarang sekali masuk ke ruang high care untuk menemani atau mengajak Syafa bicara. Mere
"Aku pulang dulu. Terimakasih atas bantuanmu, Paul!" Rein memeluk Paul sebagai rasa terimakasih yang teramat dalam. Saat ini dia benar-benar lega. Beban yang menghimpit dadanya belakangan ini seakan lebih ringan. "Ya. Pulanglah! Jangan pernah kecewakan wanita sebaik Shinta." Paul menepuk-nepuk bahu Rein. "Maksudmu? Apa kamu sudah sejak lama mengenal istriku?" Tatapan Rein menyelidik pada Paul. Paul menggeleng seraya tersenyum. "Shinta pernah membantuku menolong Aina. Padahal Aina sangat membencinya. Aina telah menjadi penyebab ia bercerai dari Raka. Tapi, Shinta tetap mau menolong Aina yang saat itu sangat membutuhkan tandatangan Raka untuk operasinya. Kalau bukan karena bantuan Shinta, Raka tidak akan datang ke rumah sakit waktu itu." Rein mengangguk-angguk. Dia bahkan tidak pernah tau kejadian itu. Namun dalam hatinya ia sangat bangga memiliki istri yang punya hati seluas samudra. "Saranku, ceritakan semua masalahmu ini pada Shinta. Kenalkan dia pada Syafa. Shinta pasti akan
"Aina, buka pintunya. Aku mau bicara!" Pagi itu Paul hendak ke Jakarta. Namun ia harus membicarakan satu hal penting dengan Aina. Sejak semalam ia menahan diri untuk tidak meluapkan emosinya pada wanita itu. Setelah cukup lama mengetuk pintu, akhirnya pintu terbuka. Nampak Aina masih dengan mata mengantuk dan rambut berantakan. Wanita itu ternyata baru saja terjaga dari tidurnya. Paul geleng-geleng kepala. "Aina, ini sudah pukul delapan pagi. Kamu baru bangun?" tanya Paul dengan suara mulai meninggi. "Apaan, sih? Kok Kamu jadi bawel begini? Persis banget bawel kayak mama kamu itu." protes Aina. Paul berusaha menahan emosinya. Aina sudah lancang mengatakan mamanya bawel. Menurutnya ini sudah keterlaluan. "Cepat mandi! Aku tunggu diruang kerjaku!" tegas Paul. "Iyaaa, iyaaa!" Aina kembali masuk dan menutup pintu. Paul melangkah ke ruang kerjanya. Untung saja mamanya sudah berangkat ke kantor sejak pagi tadi. Jika tidak, mungkin sudah terjadi keributan di rumah ini. Ia tahu, maman
Setelah memakan waktu sekitar dua jam, mobil Paul memasuki area parkir night club miliknya. Setelah mobil terparkir sempurna, dua orang karyawan club menghampiri mobil Paul. "Keluarkan semua barang-barang di bagasi dan bawa ke rumahku!' perintah Paul pada karyawannya. "Baik, Bos!" Dengan sigap keduanya langsung mengerjakan apa yang diperintahkan bos mereka. Aina dan Yulia melangkah menuju rumah Paul yang berada di belakang club. "Aina, Aku tunggu di club secepatnya. Kita harus membicarakan tentang pekerjaanmu di sana nant!" Tanpa menunggu jawaban dari Aina, paul melangkah menuju club. Saat ia baru saja masuk, ia melihat Raka yang sedang duduk termenung sendirian di salah satu meja. Pria yang sehari-harinya selalu berpenampilan rapi dan klimis itu, hari ini nampak sangat kacau dan berantakan. Tatapannya kosong ke depan. Sekaleng soft drink masih utuh teronggok di atas mejanya. "Hai,Bos. Bagaimana? Apa Kayla sudah ketemu?" Paul menepuk pelan bahu Raka. Raka tersentak. Lalu meno