"Selamat menempuh hidup baru Pak Reinhard dan Bu Shinta!" Para tamu mulai berdatangan dan mengucapkan selamat pada kedua mempelai. Acara resepsi sudah dimulai sejak sepuluh menit yang lalu. Lorong sepanjang jalan menuju ballroom, terhampar karpet merah demi menyambut para tamu. Sementara di kanan kirinya berderet sejumlah karangan bunga dengan bacaan selamat menempuh hidup baru. Puluhan karangan bunga itu sebagian besar dari relasi perusahaan, investor, serta kerabat Rein dan Maira. Pelaminan megah berupa panggung setinggi setengah meter itu terlihat sangat mewah dengan nuansa minang..Pakaian yang dikenakan oleh Maira dan Rein pun adalah kolaborasi adat minang dengan gaya modern. Sejak awal mereka sepakat memakai adat minangkabau demi mengenang Sang kakek bernama Sutan Matari, yang mewariskan seluruh kekayaannya pada cucu satu-satunya. Gemerlap perpaduan warna black dan gold tampak serasi dengan desain pelaminan yang mewah. "Hai, Bro! Selamat! Semoga cepat-cepat kasih adik buat K
"Malam ini kalian nggak usah pulang. Pihak hotel sudah menyiapkan satu kamar pengantin untuk kalian menginap di sini." Maira cukup terkejut mendengar ucapan Hafiz. Karena hal ini tidak termasuk dengan rencana mereka sebelumnya. "Tapi bagaimana dengan Kaisar, Kak?" "Mairaaa, kamu kayak baru sekali ini aja ninggalin Kaisar. Sudah sana nikmati malam pengantin kalian. Kaisar biar sama Ibu. Selama kamu pergi, Ibu dan ayah akan menjaga Kaisar dengan baik," jelas Nuri yang sejak tadi tak pernah jauh dari cucunya. Rein ikut tersenyum, walau sebenarnya pria itu sedang menahan debaran di dadanya saat mendengar malam pengantin. Seketika terlintas kembali di benaknya bayangan kulit putih bercahaya yang ia lihat pagi itu. Lekuk tubuh Maira yang sempat terlihat olehnya walau hanya sesaat. Para tamu sudah pulang. Tinggallah kedua mempelai, keluarga dan para anggota Rein. "Acara sudah selesai. Semua aman dan lancar. Hanya ada dua orang yang kami tangkap karena sempat membuat keributan." Peter
"Bajuku tidurku mana, ya?" Maira yang masih memakai mukena membuka lemari mencari pakaian tidur kesukaannya. "Nah ini dia." Wanita itu meraih sebuah kaos longgar namun tipis dan pendek, serta sebuah celana yang sangat pendek berbahan jeans. Maira membawanya ke kamar mandi. Sementara itu Rein melepas sarung dan baju kokonya. Hingga hanya meninggalkan kaos tipis pas body serta boxernya. Pria itu kemudian duduk di tepi ranjang yang bertabur bunga. Beberapa bantal berbentuk hati berada di setiap sudut ranjang. Rein menoleh saat pintu kamar mandi dibuka. Maira keluar dengan pakaian tidur kesukaannya serta rambut panjangnya terurai. Susah payah Rein menelan salivanya. Maira terlihat persis seperti seorang gadis remaja. Walau tadinya Rein membayangkan Maira akan memakai lingeri di malam pengantinnya ini, namun penampilan Maira saat ini tak kalah seksi. Bahkan sangat membuatnya penasaran. "Rein. Kenapa?" tanya Maira pelan. Wanita itu naik ke atas ranjang dan duduk di samping suaminya.
"Siapa yang telepon, Sayang?"desis Rein dengan mata masih terpejam. Ia kembali meraih pinggang Maira dan kembali membawa ke dalam dekapannya. Maira tidak menjawab ponsel itu. Ia meletakkan kembali di nakas, karena saat ini Rein kembali mulai menjelajahi tubuh polosnya di balik selimut dengan tangan kekarnya, membuat Maira kembali menggeliat dan menegang. "Rein ... itu panggilan telepon dari rumah sakit. Aku ...ah Rein ... " Maira mulai mendesah. "A-apa? Rumah sakit?" Rein tiba-tiba menghentikan aksinya sesaat. "Sudah biarkan saja.!" jawab pria bule itu akhirnya, dan kembali melanjutkan aktifitas barunya di pagi buta ini. Sebenarnya Maira ingin sekali bertanya tentang siapa yang sakit, atau mungkin Rein ada bisnis yang melibatkan rumah sakit? Tapi bukankah tidak sopan jika membicarakan bisnis di pagi buta seperti ini? Namun semua pertanyaan yang menumpuk di benaknya urung ia tanyakan. Karena suaminya tidak lagi menjelajahi tubuhnya dengan jemarinya. Namun kini dengan bibirnya. R
Rein tercengang saat pintu terbuka. Ia buru-buru menutupnya kembali. Pakaian Maira menurutnya sangat seksi. Jangan sampai ada orang lain yang melihatnya. Istrinya itu ternyata suka sekali memakai celana sangat pendek. Apalagi kali ini Maira memakai kaos pendek, jika tangannya terangkat, kulit putih di bagian perutnya akan terlihat jelas. "S-sayang ... kamu ...!" Rein menjadi sangat gugup. Buyar sudah kata-kata yang sejak tadi ia persiapkan untuk Maira. Pikirannya kembali ingin menerkam istri seksinya ini. "Kamu ke cafe kok nggak ajak-ajak Aku sih?" tanya Maira santai. Wanita itu menjatuhkan tubuhnya di sofa, lalu menyalakan televisi. "Ca-cafe?" tanya Rein bingung. "Iyaa, tadi aku tanya penjaga di luar ketika petugas hotel mengantarkan sarapan. Mereka bilang kamu ke cafe bawah." Maira mengikat rambutnya yang sudah kering, hingga terlihat jelas leher jenjangnya yang putih bercahaya. Rein bersyukur para penjaganya tau apa yang harus mereka katakan. "Hmm... iya. Tadi kamu tidur pu
"Daddi ... agi, agi Daddi ...!" Kaisar merengek pada Rein untuk bermain bola lagi. "Daddy capek, Boy! Kamu hebat banget!" Rein pura-pura tersengal kelelahan.. "Yeyy! Daddi talah!" Kaisar melonjak kegirangan. "Iyaa, iyaa, Daddy kalah!" Rein pura-pura cemberut. Kaisar terkikik melihat wajah Rein yang dibuat-buat lucu. Dua pria beda usia itu sedang berlari kecil mengitari taman belakang hingga ke depan rumah. Namun Rein terkejut saat berpapasan dengan Raka. Genggaman tangannya pada Kaisar semakin erat. Seakan ia takut jika Kaisar pergi meninggalkannya. Raka memandang Kaisar dengan tatapan sulit diartikan. Perlahan pria itu melangkah mendekat. "Hai anak Papa! Apa kabar?!" Raka berjongkok di depan bocah kecil yang melihatnya tanpa ekspresi. "Kaisar, Ini Papa ...!" Raka mengulurkan kedua tangannya pada Kaisar. Pria itu ingin sekali menggendong putra satu-satunya itu. Namun dadanya seakan dihantam oleh batu besar saat Kaisar malah mundur dan berlindung di belakang kaki Rein. Kaisar
"Kayla ..., Aku minta maaf atas kesalahanku kemarin.!" Dada Raka begitu sesak. Ia benar-benar menyesal telah memperlakukan istrinya itu tidak baik. "Kamu tidak akan pernah bisa mencintaiku. Aku bukan Maira. Lebih baik kita berpisah saja." Lagi, Kayla mengatakan hal itu dengan suara parau. Raka merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya. Sejak awal ia menolak untuk menikah dengan Kayla. Tapi entah kenapa ada rasa nyeri yang ia rasakan ketika mendengar permintaan Kayla barusan. Raka memiringkan tubuhnya Menopang kepalanya dengan satu tangan. Satu tangan lainnya meraba perut Kayla dengan lembut. . "Kamu di sini saja temani Aku. Lagi pula tidak baik berpisah jika istri sedang hamil." ujar Raka. Sebenanya Ia tak tau harus bicara apa untuk bisa menahan Kayla agar tetap tinggal bersamanya. Ia sendiri tidak mengerti dengan apa yang ia rasakan saat ini. Ia hanya tak ingin Kayla pergi. Kayla memiringkan tubuhnya membelakangi Raka. Bayangan sikap kasar Raka beberapa hari yang lalu begitu
Permisi, Bang! Titip parkir mobil sebentar." Raka baru saja menepikan mobilnya di ujung gang rumah orang tua Kayla. Ia berharap Kayla ada di rumah Sapto. "Ya, Bos, aman mobilnya!" sahut salah satu pemuda yang sedang nongkrong di pinggir jalan. Para pemuda itu telah mengenal Raka sebagai suami Kayla, anak kepala preman yang ditakuti di wilayahnya. Raka melangkahkan kakinya ragu. Ia khawatir akan kembali di hajar oleh Sapto dan teman-temannya. Setelah beberapa langkah, ia pun tiba di depan rumah Kayla.. "Hai Raka! Ngapain kamu ke sini? Mau kasih kita uang lagi?" Ternyata Sapto dan teman-temannya sedang bermain kartu di teras rumah mereka yang menyatu dengan jalanan gang sempit itu. Mereka tertawa keras melihat kedatangan Raka. Suami Kayla itu perlahan mendekat dengam tubuh mulai gemetar. "Malam, Pak! Saya ke sini mau cari Kayla. Apa dia ke sini?" Sontak para preman itu saling menoleh. BRAAAK! Raka terlonjak mendengar gebrakan meja yang begitu keras. Tiba-tiba saja Sapto bangk