"Silakan masuk, Bu Shinta!" Shinta mengangguk ramah pada resepsionis yang menyapanya. "Mari saya antar ke ruang Tuan Reinhard, Bu!" Seorang security mempersilakan Shinta untuk masuk ke dalam lift. Sepanjang melangkah menuju ruangan Rein, hampir semua karyawan mengangguk sopan pada pemilik tunggal eternal group itu. Shinta menanggapinya dengan senyum. Sebagian dari mereka ada yang saling berbisik dan membicarakan tentang rencana pernikahan dua CEO itu. Kabar bahwa CEO tampan mereka akan menikahi CEO cantik pemilik eternal group itu ternyata telah tersiar ke mana-mana. Shinta tiba di depan ruangan Rein yang terbuka. Ternyata pria itu pun sudah tak sabar ingin bertemu sang kekasih. Rein sejak tadi berdiri mondar mandir di ambang pintu ruangannya. Sampai-sampai sekretarisnya sendiri terheran. "Silakan Bu!" ucap security yang mengantar Shinta saat mereka sudah tiba di depan ruangan CEO. Shinta tersenyum melihat Rein telah berdiri di sana dengan kedua tangannya berada di dalam saku ce
"Hei, Raka! Jangan coba-coba kabur lagi kamu!" Raka baru saja tiba di kantor, turun dari mobil dan hendak berjalan menuju lobby, tiba-tiba menghentikan langkahnya saat mendengar suara menggelegar dari seseorang memanggil namanya. Mata pria berpenampilan klimis itu membulat saat melihat tiga orang preman berbadan gempal menghampirinya. "Sial! Tau dari mana mereka kalau kantorku di sini?" geram Raka kesal. . Sapto dan kedua temannya menghadang Raka. "Mau apa kalian? Pagi-pagi begini sudah bikin ribut. Ini kantor, bukan pasar!" Raka membentak ketiga preman itu, sementara matanya menyisir mencari keberadaan para security kantor yang biasanya berada di sekitar tempat dia berdiri. Ia pun cukup heran melihat area parkir yang biasanya banyak karyawan lalu lalang, namun kali ini sangat sepi. "Kalau kamu mau tanggung jawab, kita tidak akan kejar-kejar kamu terus, brengsek!" Sentak Sapto mulai emosi. Matanya nanar menatap Raka. Wajah sangar pria itu menggelap. "Tanggung jawab apaa? Jangan
"Ada apa lagi kalian ke sini?" "Hei, sopan sedikit kalau bicara dengan bapak mertuamu!" bentak Sapto pada Raka yang masih berdiri di ambang pintu. "Mana Kayla? Yang Aku minta datang ke sini hanya Kayla, bukan kalian!" Raka berkacak pinggang menatap para preman itu. "Tenang saja, Kayla sebentar lagi akan melayanimu dengan baik. Tapi, kamu belum mengganti semua uang yang Aku keluarkan untuk biaya pernikahanmu." Mata Raka membulat mendengar ucapan Sapto. "Apa? Minta ganti? Kalian mau memerasku?" Mata Raka melotot. "Siapa suruh Kamu hamili anakku? Sekarang Kamu sudah menjadi suami Kayla, Kamu harus memberiku uang kapan Aku butuhkan!" Sontak Sapto bangkit berdiri dan mencengkeram kerah jas biru Raka. Pria itu meringis ketakutan. Bayangan tubuhnya dipukuli kembali terlintas di kepalanya. "Bapaaak! Jangan seperti itu, Pak! Kasian Mas Raka! Kemarin dia sudah kalian hajar sampai babak belur" Tiba-tiba Kayla keluar dari dalam dan berteriak. "Halaaah! Dia pantas mendapatkan itu!" ketus
"Makanlah, sebentar lagi penghulu akan datang!" Kayla menyodorkan sepiring nasi uduk beserta tempe goreng pada Raka. Sejak semalam pria itu tidak bisa tidur. Seluruh tubuhnya terasa nyeri. Subuh tadi Kayla membantunya membersihkan diri dan mengobati luka-luka di tubuhnya. Raka melihat ada perbedaan pada Kayla. Penampilan wanita itu sangat berbeda. Ia tidak memakai pakaian seksi dan riasan yang tebal seperti biasanya. Kayla justru memakai pakaian panjang, tanpa riasan serta rambut yang digulung asal. Beberapa kali Raka menoleh pada wanita itu. Ada rasa yang berbeda setiap ia melihat wajah alami Kayla yang justru menbuatnya penasaran. "Makanan kampung. Nggak ada yang lain?" Raka memalingkan wajahnya. Kayla menggeleng, lalu meletakkan piring itu di atas meja kecil di samping ranjang. "Cuma ada ini. Makan seadanya!" ujar Kayla datar. Kemudian wanita itu berlalu meninggalkannya di kamar sendirian. Raka sebenarnya sangat lapar. Namun hanya nasi uduk sederhana dan segelas teh hangat,
"Apa-apaan ini? Semua barangku dimasukkan ke dalam kardus. Said pasti tau tentang ini. Kenapa sejak kemarin dia tidak berusaha mencariku?" gumamnya. "Said ..., Said ..!" Raka berteriak mencari asisten pribadinya. Namun Said tidak ada di mejanya. Raka keluar dari ruangannya dan menyusuri kubikel karyawan dengan pandangan matanya. Namun ia juga tak menemukan Said di sana. "Mana Said?"tanya Raka gusar pada salah seorang karyawan. "Tidak tau, pak." Raka mencoba menghubungi ponsel Said, namun tidak diangkat. Hampir semua karyawan membalas pertanyaannya dengan menggeleng atau menjawab tidak tau. Akhirnya Raka memutuskan untuk menghampiri Shinta. Dengan langkah lebar, pria yang selalu berpenampilan klimis itu menuju ruangan Shinta. Karena emosi yang sudah memuncak Raka langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Bahkan ia membuka pintu itu dengan kasar. BRAAKK !!! "Maira ...! Said ...?" Mata Raka membelalak melihat Said berada di ruangan Shinta. Asisten pribadinya itu sepertinya sedang m
"Ada apa lagi kalian ke sini?" "Hei, sopan sedikit kalau bicara dengan bapak mertuamu!" bentak Sapto pada Raka yang masih berdiri di ambang pintu. "Mana Kayla? Yang Aku minta datang ke sini hanya Kayla, bukan kalian!" Raka berkacak pinggang menatap para preman itu. "Tenang saja, Kayla sebentar lagi akan melayanimu dengan baik. Tapi, kamu belum mengganti semua uang yang Aku keluarkan untuk biaya pernikahanmu." Mata Raka membulat mendengar ucapan Sapto. "Apa? Minta ganti? Kalian mau memerasku?" Mata Raka melotot. "Siapa suruh Kamu hamili anakku? Sekarang Kamu sudah menjadi suami Kayla, Kamu harus memberiku uang kapan Aku butuhkan!" Sontak Sapto bangkit berdiri dan mencengkeram kerah jas biru Raka. Pria itu meringis ketakutan. Bayangan tubuhnya dipukuli kembali terlintas di kepalanya. "Bapaaak! Jangan seperti itu, Pak! Kasian Mas Raka! Kemarin dia sudah kalian hajar sampai babak belur" Tiba-tiba Kayla keluar dari dalam dan berteriak. "Halaaah! Dia pantas mendapatkan itu!" ketus
"Bagaimana kondisi Syafa, Dok?" "Pasien sampai saat ini belum sadar," sahut Dokter yang menangani Syafa. Rein baru saja tiba di rumah sakit. Hari ini ia menyempatkan diri untuk mampir melihat kondisi terkini dari pasien yang bernama Syafa itu. Namun dadanya kembali merasa sesak karena mengetahui kalau gadis itu belum juga sadar. "Apa yang harus kita lakukan, Dok? Jika memungkinkan, Saya bersedia membiayai pengobatannya. Walaupun harus ke rumah sakit yang ada di luar negeri." "Bisa saja. Tapi sebaiknya kondisi pasien harus stabil dulu jika akan menjalani perjalanan jauh," jelas dokter yang di jas putihnya tertulis nama dr.Taufik. "Jadi, saat ini kita hanya menunggu?" tanya Rein lagi. "Sering-seringlah mengajak pasien bicara. Hal itu bisa merangsang syaraf-syarafnya untuk bisa aktif kembali. Tapi kita harus tetap bersabar." Rein mengangguk samar mendengar penjelasan dokter Taufik. "Apa kemungkinan yang akan terjadi saat dia sadar nanti, Dok?" "Kemungkinan buruknya pasien akan
"Maira, kamu cantik sekali." Hikmah membelai rambut panjang sahabat sekaligus adik iparnya dengan rasa kagum. "Kamu juga cantik, Hikmah." Maira menatap Hikmah dari kaca rias di depannya. Mereka baru saja mengenang saat-saat tinggal bersama di panti dulu. Malam ini mereka sedang mempersiapkan diri untuk acara besok pagi. Acara yang telah dinanti-nanti oleh Maira dan Rein. Malam ini semua anggota keluarga Pratama menginap di rumah Maira. Karena besok pagi-pagi sekali mereka sudah siap-siap untuk pergi ke tempat acara pernikahan di salah satu hotel bintang lima di Jakarta. Acara akad nikah akan dilangsungkan jam sembilan pagi, dilanjutkan acara resepsi siangnya. "Sepertinya sejak tadi kamu nampak gelisah. Ada apa Maira? Apa ada masalah?" Hikmah kini duduk di ranjang. Perutnya yang sudah sangat besar membuatnya sering kelelahan. "Tidak ada. Hanya saja sejak tadi aku kepikiran terus dengan Rein. Sejak kemarin ia tidak menghubungiku." "Kenapa tidak kamu saja yang menghubunginya lebih d