"Kondisinya belum stabil. Pasien masih kritis," jelas dokter yang menangani Syafa. Rein meremas rambutnya frustasi. Sejak tadi bayangan Shinta tak lepas dari benaknya. Apa yang akan dia katakan pada calon istrinya itu? Pria tampan bertubuh tinggi tegap itu melangkah masuk ke ruang high care. Dadanya kembali sesak dan penuh saat melihat seorang wanita muda terbaring lemah tak berdaya di sana. Selang dan beberapa kabel yang tersambung dengan monitor, menempel pada tubuhnya. Kepala wanita itu diperban. Dokter bilang, wanita itu memang memakai helm tapi sepertinya pemakaiannya tidak benar. Rein duduk di sisi kiri menatap iba pada gadis berwajah bulat itu. "Wajahnya masih sangat muda. Seharusnya dia sedang mengejar impiannya. Seharusnya ia sedang berjuang meraih cita-citanya," sesal Rein membuat dadanya semakin sesak hingga sulit untuk bernapas. "Aku tidak mungkin menikahi gadis muda ini. Dia masih sangat muda. Dia harus sembuh. Ya, dia harus sembuh." Pikiran Rein kalut sejak kedua
"Rein akan kasih kejutan? Tidak biasanya dia pakai rahasia-rahasiaan segala. Kejutan sebelumnya dari Rein adalah keberadaan Bu Tari di rumahnya. Apa sekarang ada rahasia lagi yang terungkap?" Shinta baru saja selesai mandi. Sepulang dari kantor sore tadi ia tak langsung pulang. Wanita itu mampir ke mall membeli sesuatu. Entah kenapa ia ingin sekali memberi Rein hadiah. Pria itu belakangan ini beberapa kali menolongnya. Apalagi ketika kejadian pagi itu yang membuatnya trauma hingga kini. Shinta tersenyum sendiri mengingat kado yang dia beli untuk Rein tadi sore. "Dia pasti semakin tampan jika pakai itu. Ah ..., sejak awal Rein memang tampan. Aku aja yang terlambat menyadari hal itu. Dulu, aku sering mentertawakan Dewi dan para karyawanku yang histeris jika melihat Rein. Sekarang, justru jantungku yang terus-terusan histeris setiap bertemu mata dengan pria tampan itu." Shinta senyum-senyun sendiri di depan kaca riasnya sambil menyisir rambut panjangnya yang hitam dan lebat. " Non,
"Paul, kenapa kamu nggak pulang-pulang ke Bandung?" rengek Aina melalui ponselnya. Entah sudah yang ke berapa kalinya wanita itu menghubungi Paul yang masih sibuk di Jakarta. "Kenapa? Kamu nggak betah di sana?"tanya Paul. "Aku capek di sini ,Paul. Mama kamu nyuruh Aku masak setiap.hari. Udah gitu masakanku dibilang enggak enak." Terdengar kekehan Paul di sana setelah mendengar keluhan Aina. "Ikuti aja apa kata Mama, Aina. Mama hanya tidak suka melihat perempuan yang tidak punya kegiatan apapun." "Ya, tapi nggak disuruh masak juga kan, Paul. Aku bisa kok disuruh melakukan kegiatan yang lain. Misalnya belanja atau ke salon, gitu." Paul kembali terkekeh mendengar ocehan Aina. Perempuam itu sejak dulu tidak penah hidup susah. Tidak pernah tau sulitnya cari uang. Namun Aina sangat pintar bagaimana caranya menghabiskan uang.berapapun banyaknya. "Nanti Aku bicara dengan Mama setelah ini. Kamu yang sabar ya, Sayang!" ucap Paul lembut. "Paul, mama kamu lama ya disin" "Aku nggak tau. M
"Aina kok kamu kaget gitu? Memangnya kamu kenal dengan Shinta?" Laura memandang heran pada Aina yang tiba-tiba memucat. "Eh, enggak, enggak kenal, Bu. Aku pikir tadi teman aku. Ternyata bukan." Aina tersenyum getir. Shinta terkejut mendengar jawaban Aina. Padahal baru saja ia hendak mengatakan bahwa ia dan Aina saling mengenal. "Kenalkan, Aku Aina." Wanita dengan rambut bergelombang itu mengulurkan tangannya pada Shinta. "Shinta ..." Shinta membalasnya dengan dada bergemuruh. Sejenak berkelebat di kepalanya bayangan sore iru. Dimana Aina dan Raka dengan tubuh polosnya berada dalam satu ranjang di kamar hotel ketika di Bandung. "Shinta, ada apa? Kenapa melamun?" Shinta tersentak dari lamunannya saat merasakan usapan lembut di lengannya. "Oh, m-maaf Bu Laura. Maaf!" Shinta gelagapan. Kemudian wanita itu berusaha untuk mengendalikan diri. "Ayo silakan duduk, Bu Laura, Aina. Mau minum apa? Silakan dipesan!" Ajak Shinta sambil menyodorkan daftar menu pada dua wanita beda usia itu.
"Tunggu Aku, sepuluh menit lagi aku akan tiba di sana!" Suara Elkan terdengar dari seberang sana. Rein baru saja hendak keluar dari ruangannya saat menerima panggilan dari Elkan di ponselnya. Pria bule itu baru saja hendak menjemput Shinta karena mereka sudah berjanji untuk mendatangi wedding organizer yang akan mengurus pernikahan mereka yang tinggal tiga minggu lagi. "Apa ada hal penting yang akan kamu bicarakan El?" tanya Rein. "Ada. Mengenai kesepakatan kita dengan keluarga Syafa." Rein tersentak. Masalahnya dengan keluarga Syafa tak kunjung selesai. Kedua orang tua Syafa tetap ngotot agar Rein menikahi anak mereka. Alasannya, jika setelah Syafa sembuh nanti kemungkinan besar tak ada laki-laki yang mau menikahinya karena lumpuh."Baiklah El, Aku tunggu." balas Rein yang kembali mendudukkan bobotnya di kursi kebesarannya. Rein mengirim pesan pada Shinta bahwa ia akan terlambat. Setelahnya, pria itu kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku. Memikirkan kembali masalahnya denga
"Silakan masuk, Bu Shinta!" Shinta mengangguk ramah pada resepsionis yang menyapanya. "Mari saya antar ke ruang Tuan Reinhard, Bu!" Seorang security mempersilakan Shinta untuk masuk ke dalam lift. Sepanjang melangkah menuju ruangan Rein, hampir semua karyawan mengangguk sopan pada pemilik tunggal eternal group itu. Shinta menanggapinya dengan senyum. Sebagian dari mereka ada yang saling berbisik dan membicarakan tentang rencana pernikahan dua CEO itu. Kabar bahwa CEO tampan mereka akan menikahi CEO cantik pemilik eternal group itu ternyata telah tersiar ke mana-mana. Shinta tiba di depan ruangan Rein yang terbuka. Ternyata pria itu pun sudah tak sabar ingin bertemu sang kekasih. Rein sejak tadi berdiri mondar mandir di ambang pintu ruangannya. Sampai-sampai sekretarisnya sendiri terheran. "Silakan Bu!" ucap security yang mengantar Shinta saat mereka sudah tiba di depan ruangan CEO. Shinta tersenyum melihat Rein telah berdiri di sana dengan kedua tangannya berada di dalam saku ce
"Hei, Raka! Jangan coba-coba kabur lagi kamu!" Raka baru saja tiba di kantor, turun dari mobil dan hendak berjalan menuju lobby, tiba-tiba menghentikan langkahnya saat mendengar suara menggelegar dari seseorang memanggil namanya. Mata pria berpenampilan klimis itu membulat saat melihat tiga orang preman berbadan gempal menghampirinya. "Sial! Tau dari mana mereka kalau kantorku di sini?" geram Raka kesal. . Sapto dan kedua temannya menghadang Raka. "Mau apa kalian? Pagi-pagi begini sudah bikin ribut. Ini kantor, bukan pasar!" Raka membentak ketiga preman itu, sementara matanya menyisir mencari keberadaan para security kantor yang biasanya berada di sekitar tempat dia berdiri. Ia pun cukup heran melihat area parkir yang biasanya banyak karyawan lalu lalang, namun kali ini sangat sepi. "Kalau kamu mau tanggung jawab, kita tidak akan kejar-kejar kamu terus, brengsek!" Sentak Sapto mulai emosi. Matanya nanar menatap Raka. Wajah sangar pria itu menggelap. "Tanggung jawab apaa? Jangan
"Ada apa lagi kalian ke sini?" "Hei, sopan sedikit kalau bicara dengan bapak mertuamu!" bentak Sapto pada Raka yang masih berdiri di ambang pintu. "Mana Kayla? Yang Aku minta datang ke sini hanya Kayla, bukan kalian!" Raka berkacak pinggang menatap para preman itu. "Tenang saja, Kayla sebentar lagi akan melayanimu dengan baik. Tapi, kamu belum mengganti semua uang yang Aku keluarkan untuk biaya pernikahanmu." Mata Raka membulat mendengar ucapan Sapto. "Apa? Minta ganti? Kalian mau memerasku?" Mata Raka melotot. "Siapa suruh Kamu hamili anakku? Sekarang Kamu sudah menjadi suami Kayla, Kamu harus memberiku uang kapan Aku butuhkan!" Sontak Sapto bangkit berdiri dan mencengkeram kerah jas biru Raka. Pria itu meringis ketakutan. Bayangan tubuhnya dipukuli kembali terlintas di kepalanya. "Bapaaak! Jangan seperti itu, Pak! Kasian Mas Raka! Kemarin dia sudah kalian hajar sampai babak belur" Tiba-tiba Kayla keluar dari dalam dan berteriak. "Halaaah! Dia pantas mendapatkan itu!" ketus