"Nuri, ayolah, jangan diamkan Aku terus seperti ini!' Pratama terus membujuk istrinya tanpa lelah. Di rumah Shinta kemarin Hafiz berhasil membujuk ibunya untuk pulang ke rumah. Walau sebenarnya Nuri ingin Pratamalah yang seharusnya membujuk. Namun pria paruh baya itu tetap bersikukuh dengan gengsinya yang sangat tinggi. Pria paruh baya itu selalu menjaga harga dirinya, terutama di depan anak dan menantunya. Kalau bukan karena Hikmah hendak melahirkan, wanita itu juga tidak mau pulang ke Bogor. Apalagi Pratama nampak sama sekali tidak ingin menyelesaikan masalah mereka. Namun keesokan harinya, disaat anak dan menantunya pulang, Pratama mulai tidak betah menghadapi Nuri yang terus saja diam. Walau wanita itu tetap mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus pratama dengan baik, tetap saja Pratama tidak merasa nyaman jika didiamkan lebih dari satu hari. "Nuri ..." Pratama bagai anak kecil yang terus mengikuti ibunya kemana pun wanita itu melangkah. "Seharusnya Aku tidak kembali ke ru
"Selamat pagi, Bu Shinta. Tadi ada seseorang yang mencari Ibu, tapi tidak menyebutkan namanya." Shinta baru saja tiba di lobby, ketika seorang resepsionis menghampirinya. Langkah Shinta terhenti. Rein yang melangkah di belakangnya mendengar jelas apa yang dikatakan oleh resepsionis itu. Pria itu pun perlahan berhenti tepat di sebelah Shinta. "Seseorang? Laki-laki atau perempuan?" Shinta menyipitkan matanya. "Laki-laki Bu. Bule, tampan, badannya tinggi besar seperti ... ehm, Tuan Rein," ujar wanita yang bertugas sebagai resepsionis itu malu-malu melirik pada Rein. Shinta mengulum senyum sambil melirik pada Rein yang pura-pura tidak mendengar. "Apa dia meninggalkan pesan?" tanya Shinta penasaran. "Tadi dia minta nomor ponsel Bu Shinta. Tapi saya tidak berani kasih." Shinta mengangguk. "Baiklah. Jika dia datang lagi, boleh beritahu saya!" ucap Shinta sambil melangkah menuju lift. "Ayo Rein. Kita langsung ke ruanganku!" Shinta bersiap melangkah hendak masuk ke dalam lift. Tiba-t
"Yuda, bisa bantu Aku? Hari ini aku akan melamar Shinta." Pagi itu, melalui ponselnya, Rein menghubungi Yudatara, sahabat terdekatnya. Ia tidak tau akan menghubungi siapa lagi. Saat ini Rein benar-benar sebatang kara. Konon, Robert diusir oleh keluarga besarnya karena sesuatu hal yang hingga kini Rein tidak pernah tau penyebabnya. Sampai saat ini Rein tidak mengenal siapa keluarga besar dari Ayah dan ibunya. "Apaa? Hari ini? Kenapa mendadak sekali?" sahutYuda dari seberang sana. "Aku ... nggak mau jika ditunda-tunda lagi,Yud. Shinta dalam bahaya. Aku ingin menjaganya dua puluh empat jam." "Baiklah, Apa yang bisa Aku bantu?" "Aku ingin Kamu dan Salma menemaniku ke rumah Pratama." "Oke baiklah, Aku dan Salma akan mempersiapkan beberapa parcel untuk hantaran ke sana." Yuda menjawab antusias. Sahabat Rein itu ikut merasa bahagia. Ia tau betul bagaimana kisah cinta Rein yang begitu rumit dan tragis. Rein terharu mendengar jawaban Yuda. Sungguh sahabatnya itu telah banyak berjasa
Mobil Rein telah memasuki komplek perumahan dimana Pratama tinggal. Mobil CRV hitam itu berhenti di depan sebuah rumah yang pernah ia singgahi bersama Shinta. Rein memarkir mobilnya di tepi jalan. Kemudian turun dan masuk ke rumah minimalis bernuansa asri itu. "Selamat siang, Bu Nuri!" sapa Rein saat melihat Bu Nuri sedang menyapu teras. Shinta pernah bercerita kalau ibu tirinya itu menolak memakai jasa asisten rumah tangga. Semua ia kerjakan sendiri. "Oalaah, Nak Rein. Parkir di dalam saja mobilnya.!" Nuri tersenyum lebar saat mengetahui kedatangan Rein. "Baik, Bu." Rein bergegas kembali keluar dan memarkir mobilnya di halaman rumah Pratama. Sementara di dalam rumah, Pratama mendengar suara mesin mobil masuk ke pekarangannya. Pria itu lantas keluar hendak melihat siapa yang datang. Pria itu tersentak melihat Rein sedang memarkir mobilnya di dalam halamannya. "Hmm ... berani juga anak si Robert ini datang sendiri ke sini. Ayo kita lihat. Seberapa beraninya dia." Pratama terseny
"Ayah becanda, kan? Barusan yang Ayah bilang itu bohong, kan? Ayah nggak benar-benar menerima lamaran dia, kan?" Raka mencecar Pratama dengan berbagai pertanyaan. Wajah pria berpenampilan klimis itu terlihat panik. Hatinya terasa diremas saat Pratama mengatakan bahwa dia terlambat karena Pratama telah menerima lamaran Rein. Hatinya gusar tak karuan. Harapannya yang begitu tinggi, tiba-tiba saja terhempas ke dasar jurang yang paling dalam. Sementara Rein masih tidak percaya dengan apa yang dia dengar tadi. Bukankah tadi Pratama mengatakan agar dia jangan terlalu berharap? Atau ini hanya pura-pura saja? Rein masih menduga-duga. Walau tanpa ia sadari seulas senyum telah terbit di bibirnya yang tipis. "Ayah nggak serius, kan?" Lagi, Raka bertanya pada Pratama dengan wajah yang mulai pias.Pria klimis itu memandangi satu-satunya pria paruh baya di ruangan itu dengan tatapan intens. "Raka, Ayah minta maaf. Kamu memang sudah banyak berjasa pada Ayah. Tapi, kamu juga telah melukai putr
Sepeninggal Raka, Pratama kembali masuk ke dalam rumah. Dada Rein berdebar manunggu calon mertuanya itu bicara. Namun setelah sekian menit ia menunggu, Pratama tak kunjung bicara. Akhirnya Rein memutuskan untuk bicara lebih dulu. "Maaf, Pak Pratama. Apa benar ucapan Bapak tadi, bahwa sudah menerima lamaran Saya untuk Shinta?' Pratama yang sedang membaca pesan di ponselnya tiba-tiba mendongak memandang Rein. "Ya!" jawabnya singkat tanpa ekspresi. Kemudian kembali menunduk melihat layar ponselnya. Wajah Rein seketika berbinar. Sebuah senyum bahagia terlukis di wajahnya yang begitu tampan. Pria itu seakan ingin melompat setinggi-tingginya saking bahagianya. Jawaban singkat Pratama mampu merubah dunianya seketika. Saat ini ia merasa seluruh alam semesta mendukungnya. "Sikapnya masih saja dingin.Tidak apa.Tidak masalah. Mungkin perlu proses untuk dekat dengan calon mertuaku ini," ungkap Rein dalam hati. "Terimakasih, Pak. Saya akan menikahi Shinta secepatnya. Jika Bapak tidak keber
Rein memarkir mobilnya di basement salah satu rumah sakit mewah di kota Bogor. Setelahnya ia melangkah cepat menuju ruang High care sesuai petunjuk dari Yuda. Lift yang membawanya ke lantai empat cukup ramai, hingga pria bule itu harus antri diantara pengunjung yang akan besuk. Saat keluar dari lift, dari kejauhan Rein melihat Yuda, Salma dan Peter sedang duduk di depan sebuah ruangan tertutup. Tak jauh dari mereka tampak seperti sepasang suami istri sedang terisak. Sang istri menutup wajahnya sambil menangis. Sementara suaminya mencoba menenangkan istrinya dengan usapan lembut di bahu. Wajah pria itu pun tak kalah sedih. Rein sedang menerka-nerka siapa mereka. Apakah mereka berdua adalah keluarga korban? Perasaan pria bule itu semakin tidak tenang. Rein menghampiri Yuda dengan cemas. "Bagaimana, Yud?" tanya Rein, wajahnya mulai panik melihat wajah Yuda yang menurutnya sedang tak baik-baik saja. Jantungnya berdegup kencang. Dalam hatinya terus berdoa tidak terjadi apa-apa. "Dudu
"Kondisinya belum stabil. Pasien masih kritis," jelas dokter yang menangani Syafa. Rein meremas rambutnya frustasi. Sejak tadi bayangan Shinta tak lepas dari benaknya. Apa yang akan dia katakan pada calon istrinya itu? Pria tampan bertubuh tinggi tegap itu melangkah masuk ke ruang high care. Dadanya kembali sesak dan penuh saat melihat seorang wanita muda terbaring lemah tak berdaya di sana. Selang dan beberapa kabel yang tersambung dengan monitor, menempel pada tubuhnya. Kepala wanita itu diperban. Dokter bilang, wanita itu memang memakai helm tapi sepertinya pemakaiannya tidak benar. Rein duduk di sisi kiri menatap iba pada gadis berwajah bulat itu. "Wajahnya masih sangat muda. Seharusnya dia sedang mengejar impiannya. Seharusnya ia sedang berjuang meraih cita-citanya," sesal Rein membuat dadanya semakin sesak hingga sulit untuk bernapas. "Aku tidak mungkin menikahi gadis muda ini. Dia masih sangat muda. Dia harus sembuh. Ya, dia harus sembuh." Pikiran Rein kalut sejak kedua