Ana membeku selama beberapa saat memandangi Lie Zifeng yang segera beranjak dari kursinya.
"Ayo, ikut aku!" titahnya memberi perintah sambil berjalan menuju ke sebuah ruangan. Ana tidak bisa menolak. Ia hanya mengikuti langkah lelaki itu tanpa banyak bertanya. Keduanya tiba di sebuah ruangan. Ana terlihat ragu-ragu. Sesekali ia memperhatikan lelaki yang berdiri di sebelahnya, yang tampak mengetuk pintu dengan perlahan. "Pak Presdir, ini aku Sekertaris Lie," ucapnya dengan nyaring. "Masuk!" sahut seseorang dari dalam ruangan, yang telah menggerakkan tangan Lie Zifeng untuk membuka gagang pintu. Saat pintu terbuka, Ana hanya mematung memandangi Lie Zifeng yang balas menatapnya dengan senyum simpul. "Silahkan masuk, dan temui Presdir," ucapnya sambil sedikit mendorong Ana masuk ke dalam ruangan, dan menutup pintu dengan perlahan. Ana tampak gugup. Ia berjalan dengan langkah pelan dan sedikit gemetar menghampiri seseorang yang duduk membelakanginya. "Permisi, Tuan...." Ana berusaha mengintip sosok di balik kursi kerja, yang tanpa di duga segera memutar kursinya, membuat Ana tersentak merasa terkejut. Kedua mata Ana membelalak dengan lebar, saat melihat sosok lelaki yang duduk di hadapannya masih muda dan juga tampan. "Kamu...." Belum sempat lelaki itu melanjutkan ucapannya, Ana dengan cepat memotongnya. "Namaku Ana Maria. Usiaku 19 tahun. Aku seorang mahasiswi di Universitas Shenzhen," ucapnya dengan nyaring dan terlihat sedikit salah tingkah. Lelaki itu hanya mengatupkan bibirnya dengan rapat, memandangi Ana dari ujung rambut hingga ujung sepatu yang ia kenakan. "Ini kontrak perjanjian selama kita menikah," ucap lelaki itu sambil menyodorkan sebuah berkas di dalam map plastik berwarna biru di hadapan Ana. Ana melirik sebentar sebelum ia meraih berkas itu dan membaca perjanjian yang tertulis di sana. Setelah selesai membaca, dia segera menandatangani kontrak itu di atas sebuah materai. "Ikut aku ke kantor sipil! Kita harus mendaftarkan pernikahan kita sebelum kantor tutup," ucapnya seraya bangkit dari tempat duduk, berjalan mendahuluinya menuju keluar gedung perusahaan, dan diikuti oleh wanita itu. Ana duduk di sebelah lelaki itu dengan perasaan gugup. Ia berkeringat dingin karena ini adalah pertama kalinya ia naik mobil bersama dengan lelaki. "Kenakan sabukmu," titahnya memberi perintah. Ana terdiam selama beberapa saat, ia melirik ke arah lelaki itu. "Aku.... tidak tahu cara memakai sabuk," ucap Ana lirih, yang telah menyita perhatian dari lelaki itu. "Ck!" Lelaki itu berdecak merasa kesal. Ia mendekat ke kursi Ana untuk membantunya mengenakan sabuk. Posisi keduanya yang sangat dekat, membuat jantung Ana berdegup kencang. Ia bisa mencium aroma kayu manis pada tubuh lelaki itu. Keduanya pun berangkat ke kantor sipil. Lelaki itu mengemudi dengan kecepatan tinggi. *** "Aku masih ada urusan di kantor. Kamu pulang saja sendiri," ucap lelaki itu setelah keduanya keluar dari kantor sipil. Ana hanya termangu memandangi lelaki yang mengenakan setelan jas rapi itu meninggalkannya. Ia menaiki sebuah mobil Roll Royce phantom berwarna hitam, dan melaju dengan kecepatan tinggi. Pandangan Ana beralih menatap sebuah buku kecil berwarna merah, yang merupakan buku nikahnya bersama dengan lelaki yang ia ketahui bernama Lie Zhichun. Kemudian ia meraih ponselnya dengan raut wajah berseri, memandangi saldo di rekeningnya yang memiliki nominal fantastis, yang tidak pernah ia capai sebelumnya. Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba ponsel Ana berdering nyaring. wanita itu bergegas meraih ponselnya yang berada di saku celana jeans yang ia kenakan. Ana termangu selama beberapa saat memandangi layar ponselnya yang merupakan panggilan dari ibu tirinya. "Halo?" Terdengar suara yang lembut dari seberang telpon menyapa Ana. "Ya, tante? Ada apa? Bukankah aku sudah mentransfer uang untuk pengobatan ayah?" ketus Ana, seolah ia enggan untuk menerima panggilan itu. "Ayahmu perlu menebus obat dari rumah sakit. Harga obatnya sangat mahal," jawab wanita itu tanpa basa-basi lagi. "Berapa?" "Sekitar 50 juta." "Apa? Kenapa begitu mahal?" "Aku ingin membelikan obat yang terbaik untuk ayahmu. Jika kamu tidak ingin ayahmu cepat sembuh, aku tidak perlu menebus obatnya." "Baiklah, berikan aku waktu untuk mencari uang tambahan," sahut Ana sebelum ia mengakhiri panggilannya secara sepihak. Ana terdiam selama beberapa saat. Pikirannya tampak menerawang jauh. ***Sebuah mobil Rolls-Royce Phantom berwarna hitam tampak berhenti di lampu merah. Seorang lelaki yang mengenakan setelan jas di balik kemudi, memperhatikan seseorang yang sudah tidak asing baginya. Wanita yang memakai kostum beruang cokelat, yang sedang beristirahat sambil meminum sebotol air mineral, telah mengalihkan perhatian Lie Zhichun sehingga ia tidak menyadari bahwa lampu lalu lintas sudah berwarna hijau. Hal itu menyebabkan pengemudi di belakangnya menyerang dengan klakson yang dibunyikan secara berulang. Lie Zhichun segera mengemudikan mobilnya, mencari tempat untuk parkir.Ia segera turun dari mobilnya, berjalan menghampiri Ana yang terlihat telah selesai beristirahat, dan kembali memakai kepala beruang untuk melanjutkan pekerjaannya, membagikan brosur pada beberapa orang yang melintas di trotoar jalan. Saat Ana memberikan selembar brosur pada seorang lelaki yang datang menghampirinya, Lelaki itu hanya menerima lembaran brosur tanpa beranjak dari tempatnya berdiri, m
Suasana di dalam mobil seketika menjadi hening dan kaku. Sesekali Ana menoleh ke arah Lie Zhichun yang tampak fokus mengemudikan mobil mewahnya. Melihat raut wajah lelaki itu yang sangat dingin, membuat Ana tidak berani untuk mengatakan sepatah kata pun. Ia beberapa kali menarik nafas panjang, kemudian kembali ia hembuskan dengan perlahan. Begitu ia lakukan secara berulang, untuk menenangkan perasaannya yang sangat kacau. Ana mengumpulkan segenap keberaniannya untuk bertanya pada lelaki itu, agar ia mendapatkan jawaban dari rasa penasaran yang telah mengganggu pikirannya. "Anu.... Kenapa kamu mendadak meminta aku untuk pindah rumah?" tanyanya dengan sedikit keraguan. Ia melirik wajah Lelaki itu yang sama sekali bergeming. "Lebih mudah mengawasimu. Aku tidak ingin kamu melakukan hal konyol seperti kemarin yang akan membuatku kehilangan muka," jawabnya tanpa memalingkan sedikit pun tatapannya dari jalanan. Ana mengangguk pelan. "Tapi, kenapa kamu memilihku sebagai istri ko
Ana merasa kikuk dan sedikit salah tingkah. Sesekali ia menatap ke arah wanita yang duduk di sebelahnya, yang tampak angkuh. Beberapa kali ia menatap ke pintu, berharap suaminya akan segera muncul dari balik sana. Waktu telah berlalu begitu lama, tapi belum ada tanda-tanda kehadiran Lie Zhichun yang membuat Ana semakin merasa tertekan. Zhao Erxi melirik tajam. Raut wajahnya terlihat masam menatap wajah Ana. "Sudah beberapa jam aku duduk di sini, tapi kamu tidak memberikan aku apa pun? Bahkan segelas air putih saja kamu tidak menyuguhkannya padaku?" sindir wanita itu yang segera memalingkan wajahnya dengan kesal. "B-baik, Nyonya. Aku akan membuatkan minuman untukmu," sahut Ana gugup. Ia beranjak dari sofa menuju ke dapur. Ia terlihat kebingungan, minuman apa yang akan dia berikan pada wanita itu? Setelah berpikir cukup lama, Ana kembali dengan membawakan segelas air putih, dan meletakkannya di atas meja yang berada di hadapan wanita itu, yang hanya melirik tajam. "Cih! Benar-be
Lie Zhichun berdecak kesal sambil sesekali menatap ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah hampir satu jam ia menunggu Ana di salon, tapi wanita itu belum juga siap. Suara dering telpon yang berbunyi nyaring, telah memecahkan fokusnya. Ia beranjak dari kursi di ruang tunggu untuk menerima panggilan dari Mamanya. "Kamu di mana? Kenapa kamu belum juga datang?" Suara Mamanya terdengar nyaring, begitu panggilan tersambung, yang membuat telinga Lie Zhichun sedikit berdengung, sehingga ia menjauhkan ponsel dari telinganya. "Beberapa menit lagi aku akan tiba di sana," sahut lelaki itu dengan kesal, sebelum ia mengakhiri panggilan secara sepihak. Saat Lie Zhichun membalikkan tubuhnya, ia termangu selama beberapa saat, melihat wanita yang telah berdiri di hadapannya. Wanita yang mengenakan gaun panjang berwarna merah, yang pada bagian dadanya sedikit terbuka. Wanita itu terlihat sangat cantik dengan riasan tipis pada wajahnya, dan rambut yang di sanggul ke atas. "Kamu.
Lie Zhichun menarik tangan Ana, berjalan keluar dari gedung dengan raut wajah yang kesal. Keduanya masuk ke dalam mobil yang terparkir di halaman parkir. Lie Zhichun menarik nafas yang terasa berat. Tatapan matanya kosong menatap ke depan kaca mobil. Setelah merasa agak tenang, lelaki itu mengemudikan mobilnya, meninggalkan gedung pesta. "Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu malu," ucap Ana dengan penuh penyesalan. Wajahnya tertunduk dalam, tidak berani menatap lelaki yang duduk di kursi kemudi. "Lupakan saja," sahutnya pelan. Seketika suasana menjadi hening. Ana tidak berani mengatakan sepatah kata pun. Suara dering telpon yang tiba-tiba berbunyi nyaring, telah memecahkan keheningan yang berlangsung cukup lama. Lie Zhichun segera menepikan mobilnya untuk menjawab panggilan dari Mamanya. "Halo?" sahutnya dengan enggan, begitu panggilan telah tersambung. "Zhichun, apa kau sudah gila? Apa yang kau lakukan pada Pamanmu? Apa yang kau lakukan itu telah menjadi perbincangan para ta
"Kamu kapan kembali ke China?" tanya Lie Zhichun sambil berjalan masuk ke dalam, dan diikuti oleh Ana, juga wanita yang menjadi tamu mereka hari ini. Sesekali Zhichun menoleh ke belakang, menatap wajah wanita itu dengan senyuman hangat di bibirnya. Itu adalah kali pertama Ana melihat senyuman Lie Zhichun yang tulus. "Aku baru tiba kemarin sore," sahutnya lembut. Ia duduk di sebelah Lie Zhichun, di sofa yang berada di ruang tamu. "Oh ya? Kenapa tidak menghubungiku? Aku kan bisa menjemputmu di Bandara?" "Bukankah kamu bilang belakangan ini sibuk?" "Ya, memang benar, tapi jika kamu mengatakannya padaku, aku akan meluangkan waktu untuk menjemputmu." Wanita itu tidak menyahut. Ia hanya tersenyum malu, sambil menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Ana? Apa yang kamu lakukan di sana?" Perhatian Lie Zhichun mendadak tersita pada wanita yang sejak tadi berdiri di hadapan mereka. Ia menatap wanita itu dengan heran. "Cepat buatkan jus jeruk untuk Xiaoxi! Berikan sedikit susu ya
Ana menghela nafasnya dengan berat. Selama beberapa detik perhatiannya tersita pada Jiang Jia yang datang menghampirinya bersama dengan seorang pemuda yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Keduanya duduk di sebelah Ana yang sedikit menggeser tubuhnya. "Kamu kenapa? Hari ini terlihat lesu. Apakah kamu ada masalah dengan suamimu?" tanya Jia yang menyadari raut wajah sahabatnya yang tidak bersemangat. Ana menatap wajah Jia sebentar, sebelum ia kembali mengalihkan pandangannya. "Aku ada masalah di tempat kerjaku yang baru. Para seniorku sepertinya tidak menerima kehadiranku. Mereka bahkan tidak memberikan aku pekerjaan, dan membiarkan aku hanya duduk diam di kursi kerjaku," sahut Ana dengan nada putus asa. "Kenapa kamu tidak kembali bekerja di perusahaan lama?" "Lelaki itu tidak mengijinkanku." "Kalau begitu, abaikan saja seniormu. Jika mereka membiarkanmu santai, biarkan saja. kamu bisa memanfaatkan waktumu untuk bermain game. Pun, kamu tetap digaji kan?" Ana menat
Lie Zhichun duduk menempati kursinya sambil mengangkat satu kakinya. Ia menatap wajah Ana yang duduk di hadapannya dengan tatapan mata yang dalam. "Kamu ingin menempati posisi apa?" tanya lelaki itu yang pada akhirnya memecahkan keheningan yang berlangsung cukup lama. "Apa saja. Tapi aku ingin bekerja sendirian, tidak bergantung pada orang lain. Aku benci dengan mereka yang bermuka dua," keluh Ana dengan suara yang terdengar putus asa. Lie Zhichun menarik nafas panjang. Ia tampak berpikir dengan serius. "Pengalaman apa yang kamu miliki selama bekerja?" tanyanya hendak memastikan. "Aku pernah menjadi kasir di minimarket dan bekerja dibagian promosi," jawab wanita itu dengan penuh semangat. Lie Zhichun kembali berpikir untuk beberapa saat. Ia memegangi dagunya. "Baiklah, untuk sementara kamu menjadi assisten pribadiku. Karena Sekertaris Lie masih berada di luar kota. Setelah ia kembali, aku akan kembali memikirkan posisimu." "Jadi, apa yang harus aku kerjakan saat i