Share

Bab 2

Dering telepon Ana berbunyi nyaring saat ia dan Jiang Jia baru saja keluar dari theater bioskop.

Melihat nama penelepon itu, Ana langsung memisahkan diri dari temannya sebelum mengangkat panggilan itu.

"Halo?" Terdengar suara wanita yang sudah tidak asing bagi Ana, dari seberang telpon.

"Ya, ada apa?" sahutnya dengan enggan.

"Ana, ayah kamu mengalami kecelakaan, dia membutuhkan banyak biaya untuk operasi."

Deg!

Jantung Ana mendadak terasa seperti berhenti berdetak. Sudah cukup lama ia tidak mendengar kabar dari ayahnya karena lelaki itu selalu sibuk, seolah menghindari telpon darinya.

Hari ini ia mendapatkan kabar yang mengejutkan dari wanita itu yang merupakan ibu tirinya.

"Tolong kirimi kami uang! Gaji ayahmu sudah habis untuk biaya kuliah adikmu," ucap wanita itu dari seberang telpon.

"Apa? Tante tahu kan, aku kuliah di sini dengan jalur beasiswa? Bahkan untuk menghidupi kehidupanku di sini, aku bekerja part time, sama sekali tidak meminta uang dari ayah. Uang dari mana aku?"

"Kamu jangan perhitungan lah! Dia kan ayahmu? Atau ku biarkan saja dia mati? Toh juga setelah dia mati, warisannya akan diturunkan padaku dan juga adikmu."

"Berapa biaya yang diperlukan?" tanya Ana dengan putus asa.

"Sekitar 100 juta."

"Apa? Aku tidak bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat."

"Ya terserah kamu, bagaimana kamu menghasilkan uang? Aku dengar, banyak wanita yang menjual dirinya di sana. Mungkin kamu bisa meniru untuk mendapatkan banyak uang."

Ana terdiam membisu. Ia tidak tahu, apa yang harus dilakukannya? Ia sama sekali tidak memiliki bayangan, bagaimana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Tapi di sisi lain, ia tidak rela jika ayahnya meninggal.

"Aku akan berusaha," ucapnya dengan putus asa, sebelum ia mengakhiri panggilan di telpon.

Kedua mata Ana terlihat buram. Airmatanya terasa penuh menggenang di pelupuk mata, dan siap menetes membasahi pipi.

Tiba-tiba saja, Ana merasa tangan halus menyentuh bahunya. Ia bergegas mengusap kedua matanya yang mulai tampak basah.

Ana menoleh, dan melihat Jiang Jia telah berdiri di belakangnya. Entah sejak kapan wanita itu berada di sana?

Apakah mungkin Jiang Jia mendengarkan percakapannya di telpon?

"Ada apa, An?" tanya Jiang Jia mencoba mencairkan suasana yang terlihat kaku.

Ana berusaha tidak menjawab pertanyaan Jiang Jia sampai setelah mereka berdua sampai di rumah.

Dengan mata yang berkaca-kaca, Ana pun menceritakan masalahnya pada Jia.

Sahabatnya itu terlihat begitu emosional, hingga kemudian menyarankan sebuah solusi yang sebenarnya telah berada di depan mata.

"Bagaimana kalau terima saja permintaan pria tampan tempo hari? Bukankah dia bersedia membayarmu 1 milyar?"

Dan, di sinilah ia sekarang, menuruti saran gila dari Jiang Jia.

Dengan degup jantung yang melaju cepat, Ana mengatur napasnya sebelum kemudian mengetuk pintu ruangan lelaki yang ingin ia temui — Lie Zifeng.

Tok tok tok

Sambil menunggu pintu di buka, pandangan Ana melihat-lihat ke sekelilingnya.

"Masuk!" Tiba-tiba saja suara seseorang yang sudah tidak asing lagi di telinganya, terdengar menyahut dari dalam ruangan.

Ana menatap gagang pintu dengan sedikit ragu. Kemudian ia menggelengkan kepalanya perlahan, menepis keraguan dalam hati.

'Semua ini demi ayah!' ucapnya dalam hati yang terus ia ulangi.

Ana menarik nafas panjang, kemudian menghembuskan kembali dengan kasar.

Sebisa mungkin ia mengatur pernafasannya agar ia tidak gugup.

Setelah sudah cukup berhasil meyakinkan hatinya, Ana membuka gagang pintu.

Ia melihat lelaki yang menemuinya di Seesaw Coffee beberapa waktu lalu, duduk di kursi sambil membolak-balik berkas yang berada di atas mejanya.

Dia terlihat sangat sibuk. Lelaki itu menatap Ana saat ia menyadari bahwa Ana hanya berdiri saja di depan pintu. "Silahkan duduk!" ucapnya yang membuat jantung Ana kembali berdetak cepat.

Ana melangkah dengan gemetar, menarik kursi yang berada di hadapannya. Ia pun duduk tanpa berani menatap wajah lelaki itu terlalu lama.

"Kamu sudah mengambil keputusan, kan?" tanyanya tanpa berbasa-basi lagi.

Ana menganggukkan kepalanya dengan perlahan.

"Bagaimana? Kamu bersedia menikah?" Lelaki itu kembali bertanya untuk mendengar jawaban dari Ana.

Ia pun kembali menganggukkan kepalanya dengan perlahan. "Ya, aku bersedia menikah denganmu!"

Lelaki itu tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak, bukan aku yang akan menikahimu."

"Hah?" Kedua mata Ana membelalak dengan lebar setelah mendengar pernyataan dari lelaki itu. "Jadi, aku harus menikah dengan siapa?" tanyanya dengan penuh keraguan.

Lelaki itu tersenyum. Sebuah senyuman yang menyiratkan sebuah arti mendalam. Dia kemudian berkata, "Dengan seseorang."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status