Mendengar nama milik pria yang tidak asing lagi bagi rungu, Andrea sontak mengikuti ke arah yang ditunjuk oleh jari Helen."Ayo kita temui dia," usul Helen sembari menoleh, mengabaikan fakta bahwa Andrea agaknya juga cukup sama terkejut seperti dirinya, begitu manik matanya berhasil menangkap sosok Davian yang sedang duduk di rendetan sofa yang letaknya dekat dengan area lantai dansa.Melirik Andrea begitu dirinya membangkitkan diri dari duduknya, tentu Helen ingin memastikan jika sahabat cantiknya itu juga melakukan hal yang sama."Davian sudah pergi." Andrea memang sudah ikut bangkit dari duduknya, bahkan bersiap hendak berjalan menuju Davian.Hanya saja ... gadis cantik itu mengurungkan niatan, sebab melihat Davian tiba-tiba beranjak, lalu berlalu meninggalkan sofa yang sempat didudukinya.Helen buru-buru mengecek. Membuang napas kasar yang berasal dari rasa kecewa, gadis cantik itu melemaskan persendian di kedua bahunya, sampai membuat kedua lengannya terkulai lemah, mengganting d
Tidak percaya pada apa yang baru saja ia dengar dari Feli, sebenarnya Nathen juga tidak bisa menampik, bahwasannya ia menaruh banyak harap sekali, jika hal itu sama sekali bukan hanya halusinasinya.Feli ingin memberi pernikahan mereka kesempatan, tentu memberi efek bahagia dan haru luar biasa, yang mana detik itu juga langsung menyeruak, mengisi setiap celah pada relung Nathen, membersamai rasa terlampau gemas juga dalam satu waktu kasihan, sebab melihat sang istri kembali menangis di hadapan.Tersenyum lembut syarat akan banyak makna yang tersirat, pribadi tampan itu sedikit menggeser tubuhnya untuk mendekat ke arah Feli.Mengulurkan kedua lengan, Nathen menengkup kelewat lembut wajah Feli yang lagi-lagi basah diderai air mata.Sentuhannya itu, syarat sekali akan sebuah kehati-hatian, memastikan jika dirinya tidak akan mungkin memberi efeksi menyakitkan.Mengusap pelan wajah cantik sang istri, Nathen menyeka air mata yang berlinang membentuk aliran anak sungai kecil di sana."Manusi
"Paman serius?" Feli menatap Nathen dengan manik mata hazelnya yang gemetar, menyorotkan kesan tidak yakin, tetapi dalam satu waktu, juga menyiratkan sebuah harap.Kepala Nathen mengangguk pelan sekali. "Hemmm. Aku serius.""Bagaimana mungkin Paman akan bisa mengaturkan pertemuan untukku dan Davian?""Kenapa tidak?""Karena sejak malam di mana aku melihat dia sedang sibuk bermesraan dengan perempuan lain, Davian sulit dihubungi."Nathen menaikan alis sebelah kirinya, membiarkan matanya memicing, menatap Feli, penuh selidik. "Kau masih berusaha menghubunginya, setelah apa yang telah dia lakukan padamu?" tanyanya, setengah tidak percaya.Feli mengatupkan bibirnya cukup rapat. Membuang napas kasar, ia menundukan pandangan, membiarkan manik matanya menatap gugup jemari yang ia mainkan di pangkuan. "Aku merasa aneh saja, karena setelah malam itu ... sepertinya Davian sendiri yang telah dengan sengaja sekali menghindar dariku. Dia tidak ada menghubungiku walau sekali pun. Maka dari itu, aku
"Akhirnya, benar-benar selesai juga," tukas Andrea selepas membuang napas kasar yang berasal dari rasa lega, begitu dirinya, Feli, Nick dan Liam telah selesai melakukan presentasi di mata kuliah terakhir mereka sore ini.Feli yang berdiri di samping kiri Andrea, melirik sahabatnya itu sambil tersenyum simpul. "Kalian sudah bekerja keras. Terima kasih, untuk kerja sama selama satu minggu terakhir ini, Liam, Nick."Wanita cantik itu menatap Nick dan Liam yang bersiap untuk meninggalkan podium menuju kursi yang sempat mereka tempati sebelum melakukan presentasi tadi."Terima kasih kembali untuk kau dan Andrea juga, Feli." Nick menimpali, sementara Liam hanya mengangguk gamang sembari tersenyum hambar.Dua pria itu lantas benar-benar meninggalkan podium, membelah kerumunan teman satu jurusan yang sedang berjalan meninggalkan kelas."Habis ini, kau ada acara, Feli?" tanya Andrea seraya memutar sedikit tubuh, memposisikan diri untuk menghadap Feli secara utuh.Feli yang kala itu sedang memp
"Feli?" Lemah lembut sekali Nathen menyeru, mencoba mengait atensi sang istri yang tengah duduk diam di kabin penumpang samping kemudi, memberinya lirikan sekilas, sebab harus memfokuskan atensi pada kemudi."Hemmm?" Feli menyahuti seruan sang suami dengan sebuah gumaman pelan, memutar sedikit badan, agar bisa duduk dalam posisi condong ke arah Nathen.Nathen berdehem pelan. Melirik Feli lagi, ia tersenyum kikuk. "Kau tadi minta dijemput di kafe, karena habis mengerjakan tugas?"Kepala Feli spontan menggeleng. "Tidak.""Lalu?""Tidak ada alasan apapun. Kebetulan sahabatku mengajakku ke sana, selagi menunggu Paman selesai bekerja dan menjemputku, jadi aku iya kan saja.""Kau tadi bersama sahabatmu?"Kepala Feli mengangguk lagi. "Hemmm. Tapi dia sudah pulang lebih dulu, sebelum Paman datang.""Siapa?" Nathen berdehem pelan sambil melirik Feli. "Maksudku ... sahabatmu yang mana?""Andrea.""Hanya dengan Andrea?"Kepala Feli mengangguk lagi untuk yang kesekian kali. "Hemmm. Hanya bersama
"Davian?" Seruan itu mengalun pelan, diiringi suara ketukan di pintu yang tidak terlalu nyaring bunyinya, tetapi cukup untuk mengait atensi sang empunya nama.Davian yang kala itu tengah berdiri di dekat nakas samping tempat tidur – sedang mengecek ponsel sembari memasang arloji di pergelangan tangan – menoleh ke arah pintu utama dari kamarnya, di mana suara ketukan tadi mengudara."Masuk saja. Pintunya tidak dikunci," tukas Davian sebelum kemudian kembali menundukan pandangan, fokus menatap permukaan layar ponsel menyala di atas nakas, tanpa ia genggam.Suara bunyi khas dari handle pintu yang diputar lantas mengudara. Pintu utama dari kamar Davian terbuka, menunjukan sosok Vivian yang agaknya ragu-ragu dan setengah takut sekali masuk ke sana.Davian memberi Vivian lirikan. "Kau memerlukan sesuatu?"Vivian menelan ludah kasar dengan sedikit kepayahan. Kembali menutup pintu, ia berjalan dengan pandangan sedikit tertunduk sembari memainkan jemari tangan yang saling bertautan di depan ba
Pelupuk mata Nathen mengerjap cepat beberapa kali, membersamai manik matanya yang gemetar, menilik setiap inci dari wajah Feli, mencoba menelaah ekspresi yang ditunjukan sang istri. "Kau serius?"Tentu sejatinya Nathen merasa cukup terkejut, juga dalam satu waktu masih tidak bisa sepenuhnya begitu saja percaya, jika Feli mengambil langkah sampai sejauh itu, demi menunjukan keseriusannya dalam memberi pernikahan mereka sebuah kesempatan."Paman maunya aku serius atau tidak? Paman menganggapku sedang bercanda?" Mata bulat bak mata rusa Feli menatap kelewat lugu netra Nathen.Ditambah dengan ekspresi yang memeta di wajah cantiknya tampak begitu polos, tentu membuang Nathen malah semakin bimbang dan bingung, tidak tahu jika Feli saat ini serius atau tidak.Mendapati Nathen bergeming dengan raut wajah menunjukan semburat bingung, Feli terkikik renyah, tanpa beban.Membuang napas kasar, wanita cantik itu menundukan pandangannya, sekilas. Bingkai birainya merenggang, memetakan senyum manis y
"Paman! Paman!" Sebuah kekehan pelan menguar melalui mulut Nathen saat suara teriakan Feli mengudara, mengecai ke dalam rungunya dari ruangan yang berbeda."Paman?!"Nathen yang sedang menikmati sarapan berupa roti tawar yang diolesi selai coklat di depan meja pantry, menggeleng samar."Paman?!""Iya?" Memilih menyahuti seruan Feli yang berulang memanggil dirinya, Nathen menoleh ke arah dari mana tepatnya suara istri cantiknya itu mengudara."Paman di mana?!"Dari teriakan Feli yang terdengar tidak terlalu kencang, Nathen meyakini bahwa istri cantiknya itu saat ini sedang berada di kamar tidur dari unit apartemennya."Di dapur!"Mendengar suara pintu terbuka disusul bantingan yang cukup menggema setelahnya, derapan langkah cepat mengudara lebih jelas, menandakan Feli tengah berjalan tergesa menuju area dapur."Jangan lari, Feli. Nanti kau jat-" "Aduh!"Belum sempat Nathen merampungkan perkataan yang berisi sebuah peringatan, suara erangan Feli sudah lebih dulu menginterupsi, dibersam