Pelupuk mata Nathen mengerjap cepat beberapa kali, membersamai manik matanya yang gemetar, menilik setiap inci dari wajah Feli, mencoba menelaah ekspresi yang ditunjukan sang istri. "Kau serius?"Tentu sejatinya Nathen merasa cukup terkejut, juga dalam satu waktu masih tidak bisa sepenuhnya begitu saja percaya, jika Feli mengambil langkah sampai sejauh itu, demi menunjukan keseriusannya dalam memberi pernikahan mereka sebuah kesempatan."Paman maunya aku serius atau tidak? Paman menganggapku sedang bercanda?" Mata bulat bak mata rusa Feli menatap kelewat lugu netra Nathen.Ditambah dengan ekspresi yang memeta di wajah cantiknya tampak begitu polos, tentu membuang Nathen malah semakin bimbang dan bingung, tidak tahu jika Feli saat ini serius atau tidak.Mendapati Nathen bergeming dengan raut wajah menunjukan semburat bingung, Feli terkikik renyah, tanpa beban.Membuang napas kasar, wanita cantik itu menundukan pandangannya, sekilas. Bingkai birainya merenggang, memetakan senyum manis y
"Paman! Paman!" Sebuah kekehan pelan menguar melalui mulut Nathen saat suara teriakan Feli mengudara, mengecai ke dalam rungunya dari ruangan yang berbeda."Paman?!"Nathen yang sedang menikmati sarapan berupa roti tawar yang diolesi selai coklat di depan meja pantry, menggeleng samar."Paman?!""Iya?" Memilih menyahuti seruan Feli yang berulang memanggil dirinya, Nathen menoleh ke arah dari mana tepatnya suara istri cantiknya itu mengudara."Paman di mana?!"Dari teriakan Feli yang terdengar tidak terlalu kencang, Nathen meyakini bahwa istri cantiknya itu saat ini sedang berada di kamar tidur dari unit apartemennya."Di dapur!"Mendengar suara pintu terbuka disusul bantingan yang cukup menggema setelahnya, derapan langkah cepat mengudara lebih jelas, menandakan Feli tengah berjalan tergesa menuju area dapur."Jangan lari, Feli. Nanti kau jat-" "Aduh!"Belum sempat Nathen merampungkan perkataan yang berisi sebuah peringatan, suara erangan Feli sudah lebih dulu menginterupsi, dibersam
"Baru pulang?" tanya Vivian dengan nada sedikit dingin, begitu dirinya yang kala itu tengah duduk di salah satu kursi yang menghadap ke meja pantry, berhasil menyadari hadirnya Davian.Davian berdiri di sebrang, berhadapan dengan Vivian, hanya terhalang meja saja. Pribadi tampan itu melirik malas pada Vivian sambil tersenyum miring dan meraih gelas kosong untuk ia isi air. "Hemmm.""Kau sebenarnya habis pergi dari mana, sampai tidak pulang lagi semalam, Davian?""Bersenang-senang," jawab Davian, kelewat acuh seraya melirik Vivian lagi, sebelum kemudian meneguk air minum yang sudah ia isi ke gelas yang tadi diraihnya.Mata Vivian sedikit memicing, menatap gerik yang Davian lakukan dengan tatapan penuh selidik. "Bersenang-senang?"Davian membuang napas kasar sembari meletakan kembali gelas kosong yang berada dalam genggamannya ke permukaan meja. Memfokuskan pandangan ke arah Vivian, membiarkan manik mata mereka bersitatap, ia tersenyum simpul.Kepala Davian mengangguk. "Hemmm.""Bersama
Kedua lengan Andrea menyilang di bawah dada, mana kala gadis cantik itu berdiri dengan amat sangat tidak sabaran di hadapan pintu sebuah unit apartemen yang pagi menjelang siang ini dikunjunginya.Sudah berulang kali membunyikan bell, tetapi pintu di hadapan Andrea itu, sampai saat ini belum ada yang membukakan juga."Apa dia sengaja menghindar dariku?" Andrea bergumam, bertanya-tanya pada diri sendiri sembari kembali menekan bell untuk yang kesekian kali dengan dongkolnya.Menghela napas cukup panjang, Andrea menundukan pandangan, lalu mengembuskan napasnya tersebut secara perlahan, guna mencoba mensugestikan dirinya agar tetap tenang.Saat bunyi klik khas handle pintu diputar, akhirnya mengudara, bahkan sampai mengecai ke dalam rungu Andrea, gadis cantik itu mendongak."A-Andrea?" Audrey menyeru sambil menatap kaget sosok sang adik, ketika manik mata mereka sempat bersitatap.Andrea tersenyum miring. Tanpa berbasa-basi, gadis cantik itu melengos, berjalan melewati ambang pintu dan s
"Kenapa tidak pernah memberitahuku?"Pertanyaan itu menguar dari mulut Feli, mengudara sampai mengecai ke dalam rungu Helen dengan nada suara terkesan begitu dingin.Manik mata Feli tampak menyalang, menatap sosok Helen bak pemangsa sedang menatap buruannya dengan tatapan tajam yang begitu mematikan.Duduk saling berhadapan, hanya terpisah oleh meja kopi berukuran sedang, Feli dan Helen hanya berdua saja, menempati ruang utama dari rumah yang didatangi Feli dan Nathen.Nathen yang jelas tahu, jika sang istri pasti memiliki banyak pertanyaan yang harus dilontarkan pada sang adik yang tidak lain adalah sahabat dekat dari istrinya itu, sengaja sekali meninggalkan mereka dan memberi waktu pada mereka untuk bisa bicara secara empat mata.Helen menelengkan pandangan, menatap kelewat dongkol pada sosok Nathen yang melalui ekor matanya, ia lihat sedang berada di lantai dua rumah tersebut, melihat-lihat interior, ditemani oleh Sean – orang kepercayaannya."Dasar menyebalkan!" gumam Helen denga
Masih terbayang kelewat jelas dalam ingatan Helen, manakala dirinya kembali bertamu dengan Nathen untuk kali pertama setelah sekian lama berpisah, bahkan nyaris tidak bertukar kabar sama sekali.Pertemuan itu terjadi sekitar lebih kurang empat tahunan yang lalu, tatkala Helen dan Feli baru menjalin hubungan persahabatan selama beberapa bulan lamanya.Untuk kali pertama pula, Feli kala itu mengajak Helen mengunjungi kediaman Elena, bersama Andrea dan juga satu teman mereka pada saat masih SMA.Dengan tujuan untuk mengerjakan tugas, tentu Helen sama sekali tidak mengira, jika hari itu semesta mempertemukannya dengan sang kakak.Sore hari menjelang senja, saat itu sebenarnya Helen sudah bersiap untuk segera beranjak dari kediaman Elena, tetapi tepat saat dirinya, Andrea, Feli dan satu teman mereka yang lain berada di area pintu masuk, mereka kebetulan berpapasan dengan Nathen yang baru pulang bekerja.Helen, Andrea dan temannya, tentu dikenalkan oleh Feli pada Nathen saat itu. Terkejut,
Embusan napas kasar mencelos begitu saja melalui celah antara bibir tipis Andrea yang sedikit berjarak, begitu gadis cantik itu mendudukan dirinya di salah satu kursi yang tertata, menghadap meja pantry.Kehadiran Andrea tak gagal mengait atensi Joanna – sang ibunda, yang kala itu tengah menyiapkan bahan masakan, dibantu oleh kedua asisten rumah tangganya.Joanna yang berdiri saling bersebrangan dengan Andrea, hanya terhalang meja pantry, mengernyitkan kening. Matanya memicing, sampai membuat kedua alisnya jadi saling bertaut.Wanita paruh baya itu menatap putri bungsunya dengan tatapan nanar. "Andrea?" serunya, pelan.Andrea yang sedang menundukan pandangan, menatap geram permukaan meja di hadapan, seketika menengadah. Cukup cepat sekali, ia langsung memfokuskan atensi ke arah sang ibu, membiarkan pandangan mereka bertemu.Melihat wajah cantik Andrea tampak merah padam, dibersamai tatapan matanya yang menyalang, ayalnya seseorang yang sedang menahan marah, Joanna semakin keheranan. "K
"Ha?!" Refleks Feli meninggikan intonasi suaranya beberapa oktaf, dibersamai matanya yang membelalak, menatap Nathen, kaget.Nathen terkikik. "Yang tadi kita datangi itu, adalah rumah kita."Pelupuk mata berbulu lentik Feli mengerjap cepat beberapa kali. "Rumah kita? Rumah siapa? Kita siapa?""Rumah kita." Nathen mendengkus pelan. Memejamkan pelupuk mata sesaat, ia terkikik lagi sembari memberi Feli lirikan. "Rumahku dan rumahmu.""Paman pasti bercanda, kan?"Kepala Nathen menggeleng tegas. "Tidak. Aku sama sekali tidak sedang bercanda.""Jadi ... kita akan pindah dari apatemen Paman, ke rumah yang tadi?""Hemmm." Nathen tersenyum manis sambil menoleh ke arah Feli, menatap istri kecilnya itu dengan tatapan lembut, beberapa saat. "Secepatnya, kita akan pindah ke sana. Karena sekarang, rumah itu sudah benar-benar selesai dibangun dan sangat layak untuk ditempati."Pelupuk mata berbulu lentik Feli mengerjap cepat lagi. Tiba-tiba, wanita cantik itu memicingkan mata, menatap Nathen dengan