Kedua lengan Andrea menyilang di bawah dada, mana kala gadis cantik itu berdiri dengan amat sangat tidak sabaran di hadapan pintu sebuah unit apartemen yang pagi menjelang siang ini dikunjunginya.Sudah berulang kali membunyikan bell, tetapi pintu di hadapan Andrea itu, sampai saat ini belum ada yang membukakan juga."Apa dia sengaja menghindar dariku?" Andrea bergumam, bertanya-tanya pada diri sendiri sembari kembali menekan bell untuk yang kesekian kali dengan dongkolnya.Menghela napas cukup panjang, Andrea menundukan pandangan, lalu mengembuskan napasnya tersebut secara perlahan, guna mencoba mensugestikan dirinya agar tetap tenang.Saat bunyi klik khas handle pintu diputar, akhirnya mengudara, bahkan sampai mengecai ke dalam rungu Andrea, gadis cantik itu mendongak."A-Andrea?" Audrey menyeru sambil menatap kaget sosok sang adik, ketika manik mata mereka sempat bersitatap.Andrea tersenyum miring. Tanpa berbasa-basi, gadis cantik itu melengos, berjalan melewati ambang pintu dan s
"Kenapa tidak pernah memberitahuku?"Pertanyaan itu menguar dari mulut Feli, mengudara sampai mengecai ke dalam rungu Helen dengan nada suara terkesan begitu dingin.Manik mata Feli tampak menyalang, menatap sosok Helen bak pemangsa sedang menatap buruannya dengan tatapan tajam yang begitu mematikan.Duduk saling berhadapan, hanya terpisah oleh meja kopi berukuran sedang, Feli dan Helen hanya berdua saja, menempati ruang utama dari rumah yang didatangi Feli dan Nathen.Nathen yang jelas tahu, jika sang istri pasti memiliki banyak pertanyaan yang harus dilontarkan pada sang adik yang tidak lain adalah sahabat dekat dari istrinya itu, sengaja sekali meninggalkan mereka dan memberi waktu pada mereka untuk bisa bicara secara empat mata.Helen menelengkan pandangan, menatap kelewat dongkol pada sosok Nathen yang melalui ekor matanya, ia lihat sedang berada di lantai dua rumah tersebut, melihat-lihat interior, ditemani oleh Sean – orang kepercayaannya."Dasar menyebalkan!" gumam Helen denga
Masih terbayang kelewat jelas dalam ingatan Helen, manakala dirinya kembali bertamu dengan Nathen untuk kali pertama setelah sekian lama berpisah, bahkan nyaris tidak bertukar kabar sama sekali.Pertemuan itu terjadi sekitar lebih kurang empat tahunan yang lalu, tatkala Helen dan Feli baru menjalin hubungan persahabatan selama beberapa bulan lamanya.Untuk kali pertama pula, Feli kala itu mengajak Helen mengunjungi kediaman Elena, bersama Andrea dan juga satu teman mereka pada saat masih SMA.Dengan tujuan untuk mengerjakan tugas, tentu Helen sama sekali tidak mengira, jika hari itu semesta mempertemukannya dengan sang kakak.Sore hari menjelang senja, saat itu sebenarnya Helen sudah bersiap untuk segera beranjak dari kediaman Elena, tetapi tepat saat dirinya, Andrea, Feli dan satu teman mereka yang lain berada di area pintu masuk, mereka kebetulan berpapasan dengan Nathen yang baru pulang bekerja.Helen, Andrea dan temannya, tentu dikenalkan oleh Feli pada Nathen saat itu. Terkejut,
Embusan napas kasar mencelos begitu saja melalui celah antara bibir tipis Andrea yang sedikit berjarak, begitu gadis cantik itu mendudukan dirinya di salah satu kursi yang tertata, menghadap meja pantry.Kehadiran Andrea tak gagal mengait atensi Joanna – sang ibunda, yang kala itu tengah menyiapkan bahan masakan, dibantu oleh kedua asisten rumah tangganya.Joanna yang berdiri saling bersebrangan dengan Andrea, hanya terhalang meja pantry, mengernyitkan kening. Matanya memicing, sampai membuat kedua alisnya jadi saling bertaut.Wanita paruh baya itu menatap putri bungsunya dengan tatapan nanar. "Andrea?" serunya, pelan.Andrea yang sedang menundukan pandangan, menatap geram permukaan meja di hadapan, seketika menengadah. Cukup cepat sekali, ia langsung memfokuskan atensi ke arah sang ibu, membiarkan pandangan mereka bertemu.Melihat wajah cantik Andrea tampak merah padam, dibersamai tatapan matanya yang menyalang, ayalnya seseorang yang sedang menahan marah, Joanna semakin keheranan. "K
"Ha?!" Refleks Feli meninggikan intonasi suaranya beberapa oktaf, dibersamai matanya yang membelalak, menatap Nathen, kaget.Nathen terkikik. "Yang tadi kita datangi itu, adalah rumah kita."Pelupuk mata berbulu lentik Feli mengerjap cepat beberapa kali. "Rumah kita? Rumah siapa? Kita siapa?""Rumah kita." Nathen mendengkus pelan. Memejamkan pelupuk mata sesaat, ia terkikik lagi sembari memberi Feli lirikan. "Rumahku dan rumahmu.""Paman pasti bercanda, kan?"Kepala Nathen menggeleng tegas. "Tidak. Aku sama sekali tidak sedang bercanda.""Jadi ... kita akan pindah dari apatemen Paman, ke rumah yang tadi?""Hemmm." Nathen tersenyum manis sambil menoleh ke arah Feli, menatap istri kecilnya itu dengan tatapan lembut, beberapa saat. "Secepatnya, kita akan pindah ke sana. Karena sekarang, rumah itu sudah benar-benar selesai dibangun dan sangat layak untuk ditempati."Pelupuk mata berbulu lentik Feli mengerjap cepat lagi. Tiba-tiba, wanita cantik itu memicingkan mata, menatap Nathen dengan
"Paman berkata seperti itu, pasti hanya untuk membujukku saja." Feli berucap sembari menepis tangan Nathen secara perlahan, sebelum kemudian menarik diri, untuk menciptakan jarak antara tubuhnya dan sang suami.Manik mata hazel indahnya gemetar, menilik setiap inci dari tekstur wajah tampan Nathen, mencoba menelisik reaksi yang suami tampannya itu tunjukan. Nathen mendengkus sembari menundukan pandangannya, sekilas. Mengatupkan bibir cukup rapat, ia melempar senyum hambar manakala membiarkan manik matanya dan Feli kembali bersitatap. "Apa yang harus aku lakukan padamu?""Paman tidak perlu melakukan apa pun padaku." Lugu sekali Feli memberi sahutan, dibersamai manik mata bak bola mata rusanya yang bulat dan berbinar itu, menatap Nathen tanpa dosa."Kau tidak mau mempercayaiku?""Mempercayai Paman, soal apa?"Nathen menunduk. Mengulurkan kedua tangan, ia meraih salah satu telapak tangan Feli untuk ia tengkup dengan begitu lembut. "Soal aku yang sudah merombak rumah yang tadi, agar mau
"Kau serius?" Vivian bertanya sembari membangkitkan diri. Manik matanya berbinar, balas menatap Davian dengan tatapan antusias, juga penuh harap, dalam satu waktu.Berdiri saling berhadapan dengan pria yang merupakan calon suaminya itu, senyum senang sudah memeta dengan sempurna di permukaan bibirnya, membersami air mukanya yang berseri.Davian tidak langsung memberi sahutan. Ia diam dan bergeming sesaat, selagi membiarkan manik mata jelaganya yang gemetar, menilik reaksi yang Vivian tunjukan."Davian?!" Vivian menyeru sembari meraih lengan sebelah kanan Davian, lantas diberinya sedikit guncangan, guna memancing Davian untuk kembali angkat suara.Davian mengerjap. Berdehem kikuk, pribadi tampan itu menunduk, menatap kedua punggung tangan Vivian yang bertengger di lengannya.Tersenyum miring, Davian lantas melepaskan cengkraman Vivian, sebelum kemudian kembali mempertemukan pandangan mereka. "Kau sebahagia itu, bisa bertemu dengan Audrey?"Vivian memaku. Air mukanya yang sempat berseri
Embusan napas kasar mencelos melalui celah antara bibir Anna yang sedikit berjarak, begitu wanita cantik itu menghentikan langkah, berdiri di dekat pintu penghubung balkon dan ruang baca yang ada di lantai dua rumahnya.Manik mata Anna berhasil menangkap sosok Bastian yang sedang duduk termenung di salah satu kursi yang tertata area balkon.Pandangan Bastian tampak kosong, mengarah lurus ke depan. Raut wajahnya juga terlihat cukup murung, tak gagal membuat Anna merasa khawatir.Sejatinya semenjak pertemuan keluarga yang terjadi di kediamam Elena, Bastian jadi lebih banyak berdiam diri dan melamun, di setiap pribadi tampan itu memiliki kesempatan dan lepas dari pengawasan Anna.Anna tahu, bahwasannya relung sang suami saat ini tengah didera lara yang begitu hebat, hingga tak bisa dijelaskan dengan kata.Memilih untuk menghampiri Bastian, sebab enggan membiarkan suaminya itu merenung sendirian lebih lama, Anna lantas mendudukan diri di kursi yang letaknya bersebalahan, hanya terhalanh s