"Kau serius?" Vivian bertanya sembari membangkitkan diri. Manik matanya berbinar, balas menatap Davian dengan tatapan antusias, juga penuh harap, dalam satu waktu.Berdiri saling berhadapan dengan pria yang merupakan calon suaminya itu, senyum senang sudah memeta dengan sempurna di permukaan bibirnya, membersami air mukanya yang berseri.Davian tidak langsung memberi sahutan. Ia diam dan bergeming sesaat, selagi membiarkan manik mata jelaganya yang gemetar, menilik reaksi yang Vivian tunjukan."Davian?!" Vivian menyeru sembari meraih lengan sebelah kanan Davian, lantas diberinya sedikit guncangan, guna memancing Davian untuk kembali angkat suara.Davian mengerjap. Berdehem kikuk, pribadi tampan itu menunduk, menatap kedua punggung tangan Vivian yang bertengger di lengannya.Tersenyum miring, Davian lantas melepaskan cengkraman Vivian, sebelum kemudian kembali mempertemukan pandangan mereka. "Kau sebahagia itu, bisa bertemu dengan Audrey?"Vivian memaku. Air mukanya yang sempat berseri
Embusan napas kasar mencelos melalui celah antara bibir Anna yang sedikit berjarak, begitu wanita cantik itu menghentikan langkah, berdiri di dekat pintu penghubung balkon dan ruang baca yang ada di lantai dua rumahnya.Manik mata Anna berhasil menangkap sosok Bastian yang sedang duduk termenung di salah satu kursi yang tertata area balkon.Pandangan Bastian tampak kosong, mengarah lurus ke depan. Raut wajahnya juga terlihat cukup murung, tak gagal membuat Anna merasa khawatir.Sejatinya semenjak pertemuan keluarga yang terjadi di kediamam Elena, Bastian jadi lebih banyak berdiam diri dan melamun, di setiap pribadi tampan itu memiliki kesempatan dan lepas dari pengawasan Anna.Anna tahu, bahwasannya relung sang suami saat ini tengah didera lara yang begitu hebat, hingga tak bisa dijelaskan dengan kata.Memilih untuk menghampiri Bastian, sebab enggan membiarkan suaminya itu merenung sendirian lebih lama, Anna lantas mendudukan diri di kursi yang letaknya bersebalahan, hanya terhalanh s
"Kalau itu bisa aku lakukan," tandas Feli sembari menepis pelan kedua tangan Nathen, melepaskan wajahnya dari tengkupan suami tampannya itu.Saling bersitatap, Feli tersenyum. "Kalau begitu sudah, kan?"Nathen menatap nanar Feli sambil memiringkan kepala. "Sudah apa?""Bicaranya. Tidak ada hal lain yang ingin Paman bahas denganku lagi, kan?"Nathen mengatupkan bibirnya cukup rapat, menundukan pandangan sesaat, ia mengangguk tidak yakin. "Sepertinya begitu."Feli tersenyum senang, lantas beringsut, tiba-tiba membangkitkan diri dari duduknya. "Kalau begitu, aku pergi dulu."Sudah sedikit memutar badan, hendak langsung mengayunkan tungkai untuk pergi meninggalkan Nathen, pergerakan Feli tentu saja berhasil dihentikan oleh sang suami.Nathen sigap meraih telapak tangan Feli, bahkan menariknya, hingga tubuh istri kecilnya itu sedikit terhuyung, sebelum kemudian jatuh – terduduk dengan sempurna di pangkuan.Feli sampai terkesiap kaget. Matanya membulat, menatap Nathen dengan penuh keterkeju
Untuk kali kedua, niatan Andrea untuk memutus sambungan panggilan suara itu dibuat urung oleh perkataan dari sang lawan bicara.Mengernyitkan kening, sampai membuat kedua alisnya jadi saling bertaut, relung Andrea seketika didera bingung. "Davian?""Hemmm." "Davian siapa? Davian yang mana?"Pria di sebrang sambungan sana terdengar membuang napas kasar. "Davian yang kau kenal.""Aku tidak merasa memiliki kenalan bernama Davian."Si pria yang menjadi lawan bicara Andrea membuang napas kasar lagi, agaknya sukses dibuat dongkol, sebab Andrea tidak kungjung menangkap dengan jelas satu informasi yang telah diberikannya. "Memang bukan kenalanmu, tetapi kau mengenalnya.""Bisa beritahu aku secara langsung saja, tidak? Jangan berbelit-belit!" cerca Andrea, diberi penekanan di kalimat kedua.Seseorang yang menjadi lawan bicara gadis cantik itu terkikik sinis, seakan meremehkan. "Kau tidak sabaran sekali, rupanya ya?"Bola mata Andrea berotasi dengan jengkel. "Kalau tidak mau bicara ya sudah."
"Kau pasti cukup terkejut dan kecewa padaku." Vivian bertutur dengan begitu lirih dan pelan sekali, ayalnya sebuah bisikan yang benar-benar nyaris saja tidak terdengar.Gadis cantik yang tengah duduk di salah satu sofa panjang yang tertata di ruang kerja milik Davian itu menundukan kepala, membiarkan manik matanya menatap sendu jemari lentik yang ia mainkan di pangkuan.Audrey yang juga benar-benar ada di sana, sehabis pagi menjelang siang tadi tiba-tiba dijemput dari apartemennya, menatap Vivian lembut.Tersenyum tipis, gadis cantik itu meraih kedua telapak tangan Vivian, menengkupnya secara perlahan, seakan penuh kehati-hatian.Vivian mendongak, manik mata gemetarnya balas menatap mata Audrey.Audrey tersenyum simpul. "Aku memang cukup terkejut. Tetapi untuk kecewa, rasanya aku tidak berhak.""Kau berhak, Audrey. Kau sangat berhak."Kepala Audrey menggeleng pelan. Memejamkan pelupuk matanya sesaat sambil tersenyum, ia mempererat tengkupan pada kedua telapak tangan sang sahabat. "Buk
Tidak memberi waktu sama sekali bagi Feli untuk memahami maksud dari perkataan yang ia ucapkan, sebab pria Nathen dengan pergerakan cepat, membawa wajahnya mendekat, meraup bibir Feli yang acap kali membuat buyar seluruh fokus yang dimiliki.Embusan napas kasar mencelos melalui celah antara bingkai birai Nathen yang berjarak, begitu pribadi tampan itu menarik diri, menundukan pandangan seusai melepaskan pagutan dengan sang istri.Feli yang relungnya seketika didera kebingungan, sebab tidak tahu, mengapa Nathen memberi reaksi seperti itu, hanya bisa mengerjapkan pelupuk mata berbulu lentiknya dengan pergerakan cepat secara berulang.Manik mata hazel indahnya yang tampak gemetar, menatap nanar sosok Nathen yang agaknya masih enggan melepaskan pelukan."Ayo kita hentikan," cetus Nathen tiba-tiba, sembari menengadahkan pandangan, membiarkan manik mata jelaga indahnya yang kelam, bersirobok pandang dengan mata Feli."Hentikan?" Feli menatap gugup wajah tampan Nathen yang berekpresi datar d
Menguarkan kikikan canggung, Feli lantas mendorong kelewat pelan, permukaan dada bidang Nathen, guna mencipatakan sedikit lebih banyak jarak terbentang antara tubuh mereka sembari mengalihkan pandangan, memutuskan kontak mata dengan Nathen meski hanya beberapa saat. "Baiklah, kalau begitu, memang sebaiknya kita hentikan saja," cetusnya, membubuhkan kikikan canggung lagi di penghujung kata.Tersenyum miring, lebih ke menyeringai, Nathen menaikan alis sebelah kiri, menunjukan tatapan juga air muka arogan. "Kenapa? Kau tadi terlihat keberatan, saat aku memberi usulan untuk berhenti.""Ya ... karena tadi aku belum mengetahui, alasan mengapa Paman ingin berhenti.""Maka dari itu kau langsung setuju begitu saja?""Ya. Apa seharusnya aku menolak?""Tidak juga." Nathen mendengkus pelan, lalu tersenyum manis, menggoda. "Tapi jika kau memberi usulan untuk tetap melanjutkan, kupikir itu akan jauh lebih baik dan aku akan dengan sangat senang hati, menurutinya.""Paman? Apa Paman tidak lapar?" Sen
Tertegun, bohong sekali jika Feli tidak merasa cukup terkejut setelah ia mendengar penuturan sang suami, yang tiba-tiba menggiring nama Davian di dalamnya.Diam tergugu tanpa memutuskan kontak mata yang masih berlangsung dengan Nathen, wanita cantik itu mengerjapkan pelupuk mata berbulu lentiknya dengan pergerakan cepat bebapa kali.Berdehem, Feli lantar tersenyum kikuk sambil menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak terasa gatal. Mengatupkan bibir cukup rapat seraya menundukan pandangan sesaat, ia kemudian berdehem.Sebenarnya, merasa cukup bingung juga, entah harus bagaimana ia menanggapi penuturan Nathen tersebut."Begitu rupanya," tukas Feli sembari mengangguk ragu.Nathen menilik setiap gerik juga reaksi yang ditunjukan sang istri, sedetail mungkin. Memicingkan mata, ia berdesis pelan sembari menelengkan kepala dan pandangan ke samping kiri, sejenak. "Ada apa dengan reaksi yang kau tunjukan itu?"Pelupuk mata Feli mengerjap cepat lagi. Sedang manik matanya tampak gemetar, menat