Untuk kali kedua, niatan Andrea untuk memutus sambungan panggilan suara itu dibuat urung oleh perkataan dari sang lawan bicara.Mengernyitkan kening, sampai membuat kedua alisnya jadi saling bertaut, relung Andrea seketika didera bingung. "Davian?""Hemmm." "Davian siapa? Davian yang mana?"Pria di sebrang sambungan sana terdengar membuang napas kasar. "Davian yang kau kenal.""Aku tidak merasa memiliki kenalan bernama Davian."Si pria yang menjadi lawan bicara Andrea membuang napas kasar lagi, agaknya sukses dibuat dongkol, sebab Andrea tidak kungjung menangkap dengan jelas satu informasi yang telah diberikannya. "Memang bukan kenalanmu, tetapi kau mengenalnya.""Bisa beritahu aku secara langsung saja, tidak? Jangan berbelit-belit!" cerca Andrea, diberi penekanan di kalimat kedua.Seseorang yang menjadi lawan bicara gadis cantik itu terkikik sinis, seakan meremehkan. "Kau tidak sabaran sekali, rupanya ya?"Bola mata Andrea berotasi dengan jengkel. "Kalau tidak mau bicara ya sudah."
"Kau pasti cukup terkejut dan kecewa padaku." Vivian bertutur dengan begitu lirih dan pelan sekali, ayalnya sebuah bisikan yang benar-benar nyaris saja tidak terdengar.Gadis cantik yang tengah duduk di salah satu sofa panjang yang tertata di ruang kerja milik Davian itu menundukan kepala, membiarkan manik matanya menatap sendu jemari lentik yang ia mainkan di pangkuan.Audrey yang juga benar-benar ada di sana, sehabis pagi menjelang siang tadi tiba-tiba dijemput dari apartemennya, menatap Vivian lembut.Tersenyum tipis, gadis cantik itu meraih kedua telapak tangan Vivian, menengkupnya secara perlahan, seakan penuh kehati-hatian.Vivian mendongak, manik mata gemetarnya balas menatap mata Audrey.Audrey tersenyum simpul. "Aku memang cukup terkejut. Tetapi untuk kecewa, rasanya aku tidak berhak.""Kau berhak, Audrey. Kau sangat berhak."Kepala Audrey menggeleng pelan. Memejamkan pelupuk matanya sesaat sambil tersenyum, ia mempererat tengkupan pada kedua telapak tangan sang sahabat. "Buk
Tidak memberi waktu sama sekali bagi Feli untuk memahami maksud dari perkataan yang ia ucapkan, sebab pria Nathen dengan pergerakan cepat, membawa wajahnya mendekat, meraup bibir Feli yang acap kali membuat buyar seluruh fokus yang dimiliki.Embusan napas kasar mencelos melalui celah antara bingkai birai Nathen yang berjarak, begitu pribadi tampan itu menarik diri, menundukan pandangan seusai melepaskan pagutan dengan sang istri.Feli yang relungnya seketika didera kebingungan, sebab tidak tahu, mengapa Nathen memberi reaksi seperti itu, hanya bisa mengerjapkan pelupuk mata berbulu lentiknya dengan pergerakan cepat secara berulang.Manik mata hazel indahnya yang tampak gemetar, menatap nanar sosok Nathen yang agaknya masih enggan melepaskan pelukan."Ayo kita hentikan," cetus Nathen tiba-tiba, sembari menengadahkan pandangan, membiarkan manik mata jelaga indahnya yang kelam, bersirobok pandang dengan mata Feli."Hentikan?" Feli menatap gugup wajah tampan Nathen yang berekpresi datar d
Menguarkan kikikan canggung, Feli lantas mendorong kelewat pelan, permukaan dada bidang Nathen, guna mencipatakan sedikit lebih banyak jarak terbentang antara tubuh mereka sembari mengalihkan pandangan, memutuskan kontak mata dengan Nathen meski hanya beberapa saat. "Baiklah, kalau begitu, memang sebaiknya kita hentikan saja," cetusnya, membubuhkan kikikan canggung lagi di penghujung kata.Tersenyum miring, lebih ke menyeringai, Nathen menaikan alis sebelah kiri, menunjukan tatapan juga air muka arogan. "Kenapa? Kau tadi terlihat keberatan, saat aku memberi usulan untuk berhenti.""Ya ... karena tadi aku belum mengetahui, alasan mengapa Paman ingin berhenti.""Maka dari itu kau langsung setuju begitu saja?""Ya. Apa seharusnya aku menolak?""Tidak juga." Nathen mendengkus pelan, lalu tersenyum manis, menggoda. "Tapi jika kau memberi usulan untuk tetap melanjutkan, kupikir itu akan jauh lebih baik dan aku akan dengan sangat senang hati, menurutinya.""Paman? Apa Paman tidak lapar?" Sen
Tertegun, bohong sekali jika Feli tidak merasa cukup terkejut setelah ia mendengar penuturan sang suami, yang tiba-tiba menggiring nama Davian di dalamnya.Diam tergugu tanpa memutuskan kontak mata yang masih berlangsung dengan Nathen, wanita cantik itu mengerjapkan pelupuk mata berbulu lentiknya dengan pergerakan cepat bebapa kali.Berdehem, Feli lantar tersenyum kikuk sambil menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak terasa gatal. Mengatupkan bibir cukup rapat seraya menundukan pandangan sesaat, ia kemudian berdehem.Sebenarnya, merasa cukup bingung juga, entah harus bagaimana ia menanggapi penuturan Nathen tersebut."Begitu rupanya," tukas Feli sembari mengangguk ragu.Nathen menilik setiap gerik juga reaksi yang ditunjukan sang istri, sedetail mungkin. Memicingkan mata, ia berdesis pelan sembari menelengkan kepala dan pandangan ke samping kiri, sejenak. "Ada apa dengan reaksi yang kau tunjukan itu?"Pelupuk mata Feli mengerjap cepat lagi. Sedang manik matanya tampak gemetar, menat
Embusan napas kasar yang berasal dari dongkol bercampur frustrasi menguar dari mulut Andrea yang sedikit bercelah, ketika bola mata gadis cantik itu berotasi.Andrea yang saat ini tengah berdiri di dekat nakas samping tempat tidurnya –baru kembali dari kamar mandi, datangnya disambut oleh suara dering ponsel nyaring.Begitu meraih benda pipih itu untuk mengecek alasan mengapa membuat kebisingan, Andrea malah seketika merasa dongkol bukan main, sebab dirinya ternyata mendapatkan notifikasi panggilan suara masuk, dari orang yang sama.Yakni pria yang siang tadi sempat berbincang dengannya melalui sambungan panggilan suara juga, membahas perihal sang kakak, yang rupanya mengenal Davian.Menghela napas panjang sambil mendongakan kepala dan memejamkan pelupuk mata, Andrea mengembuskannya secara perlahan, guna mensugestikan diri agar tetap tenang, sebelum kemudian memutuskan untuk menjawab panggilan.Menenggerkan ponsel dalam genggaman di dekat daun telinga, gadis cantik itu mendudukan diri
Terbongkar sudah, satu kebenaran yang belum sempat tersampaikan, baik itu oleh Nathen maupun Helen, pada Feli.Hal itu bisa Feli ketahui, tepat sebelum dirinya menikmati makan malam bersama, Nathen, Zea dan Elena.Feli yang kala itu hendak langsung menuju area ruang makan, malah terurungkan niatannya, sebab mana kala ia nyaris berjalan melewati ambang pintu dari ruang keluarga di kediaman Elena, sang nenek menyerukan namanya."Feli?"Langkah Feli seketika stagnan. Mengedarkan pandangan secara sembarang, ia lantas menoleh ke arah dari mana suara Elena berasal.Feli tersenyum manis, ketika manik matanya bersitatap dengan mata Elena. "Nenek."Mengurungkan niatan untuk langsung pergi menuju ruang makan, Feli memutar sedikit tubuhnya, sebelum kemudian memutuskan untuk melenggang menghampiri Elena.Elena menatap Feli sambil mengernyitkan kening. "Kenapa kau turun sendiri? Di mana suamimu?""Paman Nathen masih di kamar. Nanti katanya akan nenyusul."Kepala Elena mengangguk mantap dengan begi
Duduk dalam keadaan relung dilanda bingung yang begitu mengungkung, Helen saat ini sedang berada di kafetaria kampus, bersama Feli, Andrea dan juga Velyn.Menguasai satu meja yang ada di sekat jendela paling sudut dari area pintu masuk, Feli dan Andrea duduk saling bersebelahan, menghadap langsung pada Helen dan Velyn yang duduk saling bersebrangan – terhalang meja persegi panjang.Dari empat anak manusia yang duduk mengitari meja yang sama itu, tiga di antara mereka, sama sekali tidak mengerti, mengapa mendadak sekali pagi ini – sebelum mata kuliah pertama mereka dimulai, Feli meminta mereka untuk berkumpul dulu di sana, katanya ada yang ingin ia diskusikan.Tetapi sudah menjelang sepuluh menit mereka saling bertatap muka, sampai detik ini juga, Feli masih saja bungkam, belum mengatakan apa pun di hadapan ketiga sahabatnya.Helen di sana menjadi orang yang paling merasa kebingungan. Betapa tidak, dari detik pertama dirinya berkumpul bersama ketiga sahabatnya untuk memenuhi keinginan