Duduk dalam keadaan relung dilanda bingung yang begitu mengungkung, Helen saat ini sedang berada di kafetaria kampus, bersama Feli, Andrea dan juga Velyn.Menguasai satu meja yang ada di sekat jendela paling sudut dari area pintu masuk, Feli dan Andrea duduk saling bersebelahan, menghadap langsung pada Helen dan Velyn yang duduk saling bersebrangan – terhalang meja persegi panjang.Dari empat anak manusia yang duduk mengitari meja yang sama itu, tiga di antara mereka, sama sekali tidak mengerti, mengapa mendadak sekali pagi ini – sebelum mata kuliah pertama mereka dimulai, Feli meminta mereka untuk berkumpul dulu di sana, katanya ada yang ingin ia diskusikan.Tetapi sudah menjelang sepuluh menit mereka saling bertatap muka, sampai detik ini juga, Feli masih saja bungkam, belum mengatakan apa pun di hadapan ketiga sahabatnya.Helen di sana menjadi orang yang paling merasa kebingungan. Betapa tidak, dari detik pertama dirinya berkumpul bersama ketiga sahabatnya untuk memenuhi keinginan
Ayunan langkah Nathen terhenti, tepat saat pribadi tampan itu tiba di area dapur. Berdiri di hadapan meja pantry selepas meletakan papar bag berisi makanan yang ia bawa ke permukaan meja, Nathen mendengkus pelan.Pribadi tampan berusia sepertiga abad itu lantas merogoh saku terkuso yang ia lampurkan di lengan sebelah kanannya, untuk meraih ponsel yang berdering.Ikut meletakan teksudo yang terlipat dua memanjang itu ke permukaan meja, Nathen memfokuskan seluruh atensi yang dimiliki pada permukaan benda pipih yang tengah digenggamnya."Helen?" Permukaan kening Nathen sontak mengernyit, begitu mendapati nama milik sang adik termpampang, menjadi alasan ponselnya berdering, karena mendapatkan notifikasi panggilan suara masuk.Tidak memiliki niatan untuk membuang waktu sedikit pun, Nathen bergegas menjawab panggilan dari adiknya tersebut.Berkacak pinggang dengan satu tangan, Nathen sedikit mendongakan pandangan, membiarkan manik matanya menatap permukaan langit-langit sambil mengatupkan b
"Paman sudah gila, ya?!" jerit Feli, sembari gegas mendorong agak kasar tubuh Nathen agar menjauh, selepas sempat beberapa detik membiarkan permukaan bibir mereka sempat bertemu.Menatap Nathen yang tersenyum senang seperti orang bodoh dengan tatapan dongkol, wajah Feli sudah merah padam sekali, diselimuti marah."Gila bagaimana?""Kenapa Paman menciumku?"Nathen terkikik. Menundukan pandangannya sebentar, pria tampan berusia sepertiga aban itu melipat kedua lengannya di bawah dada.Fokus hanya pada sosok sang istri, sengaja sekali ia berdiri menghadapnya dalam jarak yang begitu dekat, hingga untuk kembali mengikis segala jarak seperti sebelumnya, ia hanya perlu mengambil satu langkah kecil saja untuk maju. "Bukannya tadi kau memintaku untuk membujukmu?"Permukaan kening Feli mengernyit, nyaris membuat kedua alisnya jadi saling bertuat. Matanya memicing, menatap Nathen, penuh hardik. "Apa seperti itu, cara Paman dalam membujuk seseorang yang sedang marah pada Paman?"Nathen melempar s
"Eh. Paman mana bisa seperti itu?" Feli tentu saja terkejut setelah mendengar penuturan Nathen, apa lagi ditambah ketika ia melihat suami tampannya itu berbalik badan.Menatap setiap gerik yang Nathen lakukan dengan tatapan penuh telisik, Feli mendapati sang suami berjalan mendekat ke arah meja pantry."Paman mau apa?" Feli bertanya sambil mengekor Nathen.Nathen tidak memberi sahutan, semakin membuat Feli jadi bertanya-tanya sendiri. Mereka kini berdiri saling berdampingan, menghadap meja pantry.Menyempatkan diri untuk memberi Feli lirikan, masih enggan agaknya memberi jawaban atau sahutan, Nathen meraih ponsel miliknya dari permukaan meja.Memfokuskan seluruh atensi yang dimiliki ke layar ponsel yang ia nyalakan dalam genggaman, Nathen menyekroll di menu riwayat panggilan terbaru."Paman tidak mungkin benar-benar akan membatalkan rencana untuk bertemu dengan Davian, kan?"Feli menengkup satu telapak tangan Nathen, lebih tepatnya menutupi permukaan layar ponsel sang suami menggunaka
"Eummm ...!" Feli mengerang pelan di tengah tidur setengah pulasnya begitu ia merubah posisi berbaring jadi menghadap ke arah kanan, dari yang semula menghadap ke arah yang berlawanan.Ketika menyadari saat itu lengannya jatuh - seperti tidak sengaja menyentuh tubuh seseorang, Feli mengernyitkan kening sembari membiarkan telapak tangan berjemari lentiknya meraba-raba secara sembarang.Pelupuk mata wanita cantik itu masih setia tertutup dengan cukup rapat, tetapi kesadaran sudah perlahan terkumpul mengisi raganya kembali, setelah semalaman beristirahat dengan begitu tenang.Semakin ia membiarkan telapaknya meraba, semakin yakin pula ia bahwa dirinya saat ini memang tengah menyentuh tubuh seseorang. Dengan wajah bantal yang tampak merengut, Feli perlahan membuka pelupuk mata, mengerjapkannya dengan pergerakan cepat beberapa kali, lantas menguceknya pelan, guna mendapatkan penglihatan yang lebih jelas."Kau sudah bangun?""Paman?!" Feli sedikit menjerit kaget, seraya refleks membangkitka
"Paman jangan macam-macam!" Feli berucap sambil refleks mendorong tubuh Nathen agar menjauh darinya, begitu melihat suaminya itu nyaris saja mengikis habis jarak yang terbentang di antara mereka.Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Feli bergegas menyingkab selimut, lalu merayap menuju tepian tempat tidur, sebelum kemudian ia membangkitkan diri.Feli sebisa mungkin menjaga jarak dengan Nathen, tidak memberikan sedikit pun celah pada sang suami, agar bisa mendekati dirinya saat ini.Nathen mengernyitkan kening, membiarkan manik matanya memicing, menatap Feli penuh selidik. "Kau ini kenapa?"Kepala Feli menggeleng cepat. "Aku tidak kenapa-kenapa.""Kau membuat jarak denganku.""Ini masih pagi, Paman.""Memangnya kenapa kalau masih pagi?"Feli berdehem. "Memangnya Paman mau apa sih?"Nathen mendengkus. "Kita kan sudah berbaikan. Dua malam ini, sebelum pergi tidur, aku tidak mendapatkan pelukan dan ciuman darimu.""Lalu?""Lalu?" Nathen menatap Feli dengan tatapan tak habis pikir.Feli
Tawa yang terkesan sinis seakan meremehkan menguar dari mulut Davian sebagai respon pertama pribadi tampan itu setelah mendengar pertanyaan Vivian yang baginya memberi kesan menggelitik pada rongga dada.Mendengkus kasar sambil menundukan pandangan sebentar, pribadi tampan itu tersenyum miring ketika membiarkan manik matanya bersipandang kembali dengan mata Vivian. "Apa yang membuatmu memiliki pemikiran, jika aku berkemungkinan ingin kembali bersama Feli?"Manik mata Vivian tampak gemetar, menilik dengan seksama reaksi yang ditunjukan oleh Davian, sebelum kemudian membidik mata milik pria tampan yang dalam waktu dekat berencana mempersunting dirinya secara resmi itu.Agaknya sedikit kebingungan memilih susunan kata yang hendak dilontarkan sebagai jawaban untuk pertanyaan yang Davian lontarkan, Vivian berakhir dengan terdiam. Wanita cantik itu membisu, membiarkan keheningan seketika mendominasi, menyelimuti kebersamaannya dengan Davian, tanpa memutuskan kontak mata sama sekali.Davian m
Tubuh Loli tersentak. Ia kaget mendengar Feli kembali meninggikan intonasi suaranya hingga beberapa oktaf, membentak dirinya dengan suatu pernyataan yang sukses membuatnya melongo.Pelupuk mata Loli mengerjap cepat. "Ha?" Feli mendengkus jengkel sambil mengepalkan kedua telapak tangan yang menggantung di udara, tiba-tiba merasa begitu dongkol pada wanita cantik yang kini tengah duduk di hadapannya itu. "Paman Nathen itu milikku. Jadi kau tidak boleh menyukainya!"Loli menelan ludah kasar. Pelupuk matanya mengerjap cepat lagi. Sebuah kikikan pelan menguar dari mulutnya, terdengar begitu kikuk sekali. "Aku tahu pak Nathen itu milikmu. Dia adalah pamanmu. Tapi apa musti sampai kau tidak mengijinkan aku, atau bahkan orang lain menyukainya?"Feli mendengkus sinis. Mengulas senyum seringai di bibir sambil menolehkan pandangan ke samping kiri sebentar, ia melipat kedua lengannya di dada. "Apa kau akan mengijinkan jika ada wanita lain yang menyukai pria yang telah menjadi suamimu?""Tentu sa