"Tapi lambat laun, apapun yang sudah Ibu coba sembunyikan dariku maupun Feli, pasti akan terungkap Bu."Kepala Zea mengangguk tidak berdaya. "Ibu tahu. Jelas Ibu tahu.""Lantas kenapa, Ibu bersikukuh ingin menyembunyikan kebenaran pahit itu dariku dan juga Feli?""Karena Ibu pikir, mungkin jika kenyataan itu tersampaikan secara perlahan dalam kondisi hubungan kita baik-baik saja, rasanya tidak akan terlalu menyakitkan seperti sekarang dan hubunganmu dan Feli dengan ayah kalian, akan tetap terjaga pada akhirnya."Kepala Bastian tertunduk lesu, sementara air matanya berderai cukup deras, membasahi wajah tampannya."Nyatanya, sekarang kau tahu hubungan Ibu dan ayahmu sedang tidak baik-baik saja. Kau mengetahui fakta bahwa ayahmu pernah menyakiti Ibu. Apa kau tetap bersedia menemuinya, tanpa menunjukan rasa marah dan gerammu terhadapnya?"Kepala Bastian menggeleng, merespon pertanyaan yang Zea paparkan. "Untuk melihat wajahnya saja, aku tidak mau."Zea tersenyum lirih. "Ini yang Ibu takutk
"Kalian yakin, ingin pulang sekarang? Tidak mau makan malam bersama dulu atau menginap bersama Nathen dan Feli di sini?" tanya Elena yang berdiri bersampingan dengan Zea, menghadap Anna dan juga Bastian yang hendak bersiap untuk memasuki mobil mereka.Zea menatap sendu pada Bastian yang selepas berbincang bersama di dalam tadi – terutama habis mengetahui perbuatan sang ayah pada Feli, jadi banyak diamnya dan terlihat begitu murung sekali. "Bastian, Anna, kenapa tidak menginap saja? Ibu juga malam ini akan menginap di sini."Bastian tersenyum hambar sambil menggeleng tidak berdaya. "Aku dan Anna pulang saja, Bu."Membuang napas kasar, Zea mengangguk paham sambil tersenyum syarat akan banyak makna yang tersirat. "Ya sudah. Kalau memang maumu seperti itu."Zea bukanlah tidak sadar, jika Bastian merasa cukup terpukul dan sedih, bahkan marah sekali pada sang suami. Lebih dari sekadar marah, mungkin saat ini Bastian memiliki keinginan yang begitu menggebu untuk langsung menemui Dean, lantas
Tentu satu minggu tidak lah bisa dibilang waktu yang banyak, hingga Feli memiliki cukup kesempatan untuk menimang keputusannya bersedia menikah dengan Nathen yang notabennya adalah paman angkatnya sendiri.Feli tidak menampik, meski ia memang memiliki keinginan untuk menikah cepat demi sang ibunda, ia berulang kali merasa dilema dan membuat keputusannya sering kali goyah hingga berubah-ubah.Antara ia yakin jika menikah dengan Nathen kedepannya tidak akan bermasalah, dengan takut, sebab memikirkan kiranya akan seperti apa hubungan mereka setelahnya.Begitu banyak asfek yang menjadi pertimbangan Feli dalam waktu yang sesingkat itu, hibgga sampai detik-detik terakhir menuju acara pernikahan berlangsung pun sebenarnya Feli masih didera bimbang."Sejujurnya ada banyak sekali hal yang aku takutkan akan terjadi, setelah kita menikah Paman." Feli menunduk lagi, sengaja memutuskan kontak mata dengan Nathen.Menyandarkan kepala dalam keadaah wajah tertoleh ke samping kiri, wanita cantik itu me
Menarik diri dari pelukan Nathen yang mengendur, Feli tersenyum manis manakala manik matanya dan Nathen kembali bersitatap.Mengulurkan tangan, Feli meraih lengan sebelah kiri Nathen yang terkulai, sampai ia bisa mencengkram telapak tangan besar berjemari jenjang itu, untuk kemudian ditariknya."Apa yang ingin kau bicarakan denganku?"Feli sudah memutar tubuh dan hendak mulai mengambil langkah untuk beranjak dari kamar yang akan ia tempati bersama Nathen untuk menginap malam ini tersebut, tetapi Nathen melakukan pencegahan.Pribadi tampan itu balas menarik tangan Feli, membuat sang istri kembali memutar tubuh dan menghadap ke arahnya.Kontak mata antara keduanya yang sempat terputus, begitu kembali beradu pandang, Nathen membidik mata hazel indah istrinya itu, lamat.Feli tertawa pelan. "Sudah ku bilang nanti, Paman. Akan aku beritahu, setelah kita makan.""Kenapa tidak sekarang?" Wajah Nathen tampak serius sekali, terkesan dingin dan agak tegang.Ada keinginan dalam dadanya untuk men
Mendengar nama milik pria yang tidak asing lagi bagi rungu, Andrea sontak mengikuti ke arah yang ditunjuk oleh jari Helen."Ayo kita temui dia," usul Helen sembari menoleh, mengabaikan fakta bahwa Andrea agaknya juga cukup sama terkejut seperti dirinya, begitu manik matanya berhasil menangkap sosok Davian yang sedang duduk di rendetan sofa yang letaknya dekat dengan area lantai dansa.Melirik Andrea begitu dirinya membangkitkan diri dari duduknya, tentu Helen ingin memastikan jika sahabat cantiknya itu juga melakukan hal yang sama."Davian sudah pergi." Andrea memang sudah ikut bangkit dari duduknya, bahkan bersiap hendak berjalan menuju Davian.Hanya saja ... gadis cantik itu mengurungkan niatan, sebab melihat Davian tiba-tiba beranjak, lalu berlalu meninggalkan sofa yang sempat didudukinya.Helen buru-buru mengecek. Membuang napas kasar yang berasal dari rasa kecewa, gadis cantik itu melemaskan persendian di kedua bahunya, sampai membuat kedua lengannya terkulai lemah, mengganting d
Tidak percaya pada apa yang baru saja ia dengar dari Feli, sebenarnya Nathen juga tidak bisa menampik, bahwasannya ia menaruh banyak harap sekali, jika hal itu sama sekali bukan hanya halusinasinya.Feli ingin memberi pernikahan mereka kesempatan, tentu memberi efek bahagia dan haru luar biasa, yang mana detik itu juga langsung menyeruak, mengisi setiap celah pada relung Nathen, membersamai rasa terlampau gemas juga dalam satu waktu kasihan, sebab melihat sang istri kembali menangis di hadapan.Tersenyum lembut syarat akan banyak makna yang tersirat, pribadi tampan itu sedikit menggeser tubuhnya untuk mendekat ke arah Feli.Mengulurkan kedua lengan, Nathen menengkup kelewat lembut wajah Feli yang lagi-lagi basah diderai air mata.Sentuhannya itu, syarat sekali akan sebuah kehati-hatian, memastikan jika dirinya tidak akan mungkin memberi efeksi menyakitkan.Mengusap pelan wajah cantik sang istri, Nathen menyeka air mata yang berlinang membentuk aliran anak sungai kecil di sana."Manusi
"Paman serius?" Feli menatap Nathen dengan manik mata hazelnya yang gemetar, menyorotkan kesan tidak yakin, tetapi dalam satu waktu, juga menyiratkan sebuah harap.Kepala Nathen mengangguk pelan sekali. "Hemmm. Aku serius.""Bagaimana mungkin Paman akan bisa mengaturkan pertemuan untukku dan Davian?""Kenapa tidak?""Karena sejak malam di mana aku melihat dia sedang sibuk bermesraan dengan perempuan lain, Davian sulit dihubungi."Nathen menaikan alis sebelah kirinya, membiarkan matanya memicing, menatap Feli, penuh selidik. "Kau masih berusaha menghubunginya, setelah apa yang telah dia lakukan padamu?" tanyanya, setengah tidak percaya.Feli mengatupkan bibirnya cukup rapat. Membuang napas kasar, ia menundukan pandangan, membiarkan manik matanya menatap gugup jemari yang ia mainkan di pangkuan. "Aku merasa aneh saja, karena setelah malam itu ... sepertinya Davian sendiri yang telah dengan sengaja sekali menghindar dariku. Dia tidak ada menghubungiku walau sekali pun. Maka dari itu, aku
"Akhirnya, benar-benar selesai juga," tukas Andrea selepas membuang napas kasar yang berasal dari rasa lega, begitu dirinya, Feli, Nick dan Liam telah selesai melakukan presentasi di mata kuliah terakhir mereka sore ini.Feli yang berdiri di samping kiri Andrea, melirik sahabatnya itu sambil tersenyum simpul. "Kalian sudah bekerja keras. Terima kasih, untuk kerja sama selama satu minggu terakhir ini, Liam, Nick."Wanita cantik itu menatap Nick dan Liam yang bersiap untuk meninggalkan podium menuju kursi yang sempat mereka tempati sebelum melakukan presentasi tadi."Terima kasih kembali untuk kau dan Andrea juga, Feli." Nick menimpali, sementara Liam hanya mengangguk gamang sembari tersenyum hambar.Dua pria itu lantas benar-benar meninggalkan podium, membelah kerumunan teman satu jurusan yang sedang berjalan meninggalkan kelas."Habis ini, kau ada acara, Feli?" tanya Andrea seraya memutar sedikit tubuh, memposisikan diri untuk menghadap Feli secara utuh.Feli yang kala itu sedang memp