Bab 7 Menikah Mbak Kunti
"Kamu ngapain ngobrol sama manusia kayak gitu?" tanya Tante Key. "Suka-suka hati aku lah!" sahut Laila. "Ayo pulang! Kamu dicariin nyonya Uwo tuh, kamu disuruh belajar," ucap Ocong. "Hmm... aku malas belajar! Aku males balik ke tempat serem sana!" ucap Laila mencoba mengelak. "Kamu tuh ya, badung banget jadi hantu baru. Kita seret aja yuk, Cong!" ajak Tante Key. Laila lalu diseret keluar jendela menjauhi ruang perawatan Dika. Ia pergi begitu saja. Dika mencoba mengintip dari balik selimutnya. Tak ada apa pun lagi di hadapannya. Laila benar-benar pergi kali ini dengan para hantu tadi. Jadi, malam ini bukanlah mimpi. Laila benar-benar hantu, hantu kuntilanak yang cantik. Dika akhirnya memutuskan untuk tidur dan memiringkan badannya ke kanan, ia memandang ke arah langit malam dari balik jendelanya. Tiba-tiba, Dika berbalik arah tak jadi memandangi langit malam kala ia melihat wajah pria berwarna merah yang berbadan besar seperti genderuwo sedang mengintipnya dari balik jendela. "Sial! Kenapa aku jadi sering lihat penampakan hantu, sih? Apa yang salah sama aku? Perasaan kemarin-kemarin nggak bisa deh lihat para dedemit itu," gumam Dika. Pemuda itu lalu mencoba memejamkan kedua matanya. Ternyata, di sampingnya tengah berdiri hantu wanita berdaster lusuh dengan rambut panjang terurai berantakan. Bagian atas yang sensitif milik wanita, terlihat panjang menjuntai sampai ke lantai. Bahkan hantu itu bisa selampirkan ke bahu karena ukurannya yang terlalu panjang. Hantu itu lalu menepuk-nepuk bokong Dika yang ketakutan. Dika tak bisa berkutik. Ia lelah ketakutan karena bersembunyi dari balik selimut itu. Pria itu akhirnya terlelap tak sadarkan diri. *** Tiba di gedung tua itu lagi, Laila benar-benar merasa sangat jijik dan mual berada di sana. Di kanan dan kirinya telah duduk hantu menyeramkan lainnya. Yang di sebelah kiri kepalanya terbelah. Otaknya berceceran jatuh ke pipi. Perempuan itu tersenyum menyeringai pada Laila. “Hai!” Laila tak mau menoleh lagi padanya. Di sebelah kanannya duduk seorang hantu perempuan yang wajahnya tampak biasa saja akan tetapi dari leher ke penghujung kaki tubuhnya hangus terbakar. Bau sangit tercium dari hantu itu. “Duh, kenapa sih mereka serem-serem,” gumam Laila. Nyonya Uwo datang dengan suara lantang menyentak. "Nah, perhatian semua! Berikut ini adalah tampilan gambar-gambar para hantu perempuan seperti kalian. Mohon diingat dicatat juga ya di buku catatan kalian," ucap Nyonya Uwo. Hantu itu menyerahkan buku tebal yang terbuat dari lembaran daun jati ke meja masing-masing murid perempuan termasuk Laila. "Pulpennya unik amat ini," tukas Laila. "Oh tentu saja pulpen itu terbuat dari tulang rusuk bayi hasil aborsi. Jadi kalian tulis yang benar ya menggunakan tinta dalam botol." Laila jadi merasa jijik mendengar penjelasan tersebut. "Ada yang tahu tinta itu terbuat dari apa?" tanya Nyonya Uwo yang menunjuk botol berisi cairan darah. Semuanya menggeleng bersamaan termasuk Laila. "Coba kalian cium dong dengan baik. Tinta itu tuh darah dari wanita yang baru saja melahirkan," ucapnya menjelaskan. Laila makin merasa mual dan gemetar kala baru saja menceupkan pena tadi ke dalam tinta tersebut. "Sudah kerjakan dengan benar catatan kalian!" Nyonya Uwo memberi perintah dengan tegas. Rasa mual semakin menghinggapi Laila kala menyentuh darah tersebut. Amis, anyir dan menjijikan ketika gumpalan darah hitam nan tebal tersebut tersentuh kulit Laila. "Ayo cepat selesaikan tulisannya! Harus diingat ya bagaimana cara mereka berubah menjadi manusia. Apa kelebihan mereka dan kekurangan mereka," ucap Nyonya Uwo. "Bu, eh Nyonya, aku mau tanya. Yang itu gambar tentang anda kan, ya?" celetuk Laila saat melihat gambar yang mirip dengan nyonya Uwo. "Oh mirip aja ini mah. Lihat dong dia lebih gemuk dari saya." Nyonya Uwo terkekeh. "Ah sama kok, sama kan, yak?" Laila mencari pendukung dari siswi yang duduk di sampingnya. Hantu di samping kanannya itu menganggukkan kepalanya membenarkan. "Tuh kan bener mirip. Oke aku tulis kelebihannya suka makan banyak dan pastinya badannya berat. Kalau kekurangannya pasti gak tahan lihat cowok cakep. Ckckckc benar-benar gak mutu banget nulisnya," gumam Laila. “Saya dengar apa yang kamu bilang,” kata Nyonya Uwo dengan tatapan tajam pada Laila. “Hehehe, saya ngomongin hantu yang mirip Anda kok, bukan Anda ini mah,” sahut Laila. "Sudah sudah sudah! Ayo, elesaikan cepat tugas kalian! Setelah ini kita bergegas ke meja makan untuk makan bersama!" ucap Nyonya Uwo. Laila menghela napas berat. Rasanya dia harus bertahan untuk menyelesaikan diri hidup dengan para hantu. Namun, terselip wajah Dika yang melintas di pikirannya. Sampai batinnya menanyakan hal yang tak masuk akal baginya. Mungkinkah ia rindu dengan Dika? ***** To be continue...Bab 8 Menikahi Mbak HantuPagi ini Dika dibolehkan pulang oleh dokter dari rumah sakit. Dika memutuskan untuk pergi ke luar kota, ke tempat neneknya. Dika merasa tak tahan rasanya berada di rumah bersama sang ayah nantinya. Pria itu mengemasi pakaiannya, tekadnya sudah bulat untuk pergi dari rumah. Meskipun sang mama masih meratapi kepergiannya, tapi keinginannya sudah kuat. Sepintas Dika menoleh ke belakang, ke arah ibunya secara perlahan. Ayahnya sendiri sudah tak mau melihatnya lagi. Keinginan dia untuk menjadikan putranya pengusaha sukses kini sirna. Cita-cita Dika lebih kuat dan tak bisa ia sanggah lagi.***Dika menaiki kereta api jurusan Stasiun Desa Merah menuju ke rumah neneknya. Seorang gadis saat itu menabraknya. Ciri fisik gadis itu membuat Dika teringat pada Laila. Bibirnya tersungging tipis. Senyum kecil hadir di wajah Dika sambil menatap ke arah langit. Wajah Laila muncul di sana."Haduh... kenapa bisa sih ada perempuan aneh itu di pikiran aku. Dia tuh cuma hantu, Ka,
Bab 9 Menikahi Mbak Kunti "Kecelakaan Kereta Api Biru jurusan Desa Merah tiga tahun lalu terjadi dikarenakan kecerobohan penjaga stasiun yang lalai bekerja dan terlambat untuk memberi tanda kedatangan kereta lain di jalur yang sama" Dika melanjutkan kembali bacaanya. "Kereta Api Biru terpaksa mengerem mendadak saat hendak bertabrakan dengan kereta lain di beberapa ratus meter lagi. Kereta api Biru tergelincir sampai jatuh ke dalam sungai yang berbatu terjal. Banyak korban tewas di kecelakaan tersebut" Dika tertegun saat membacanya. "Serem banget ya nih, mana ada gambar orang kejepit gerbong kereta di sungai, hiiyy..." ucap Dika bergidik ngeri. "Ummm...perasaan aku kok gak enak ya, Ka, hawa dalam kereta api ini agak aneh dan berbeda," ucap Laila. "Berbeda gimana?" tanya Dika. "Tadi kan di depan kamu ada penumpang, kok sekarang hilang, kira-kira pergi ke mana, ya?" tanya Laila. "Pindah tempat duduk kali," sahut Dika masih mencoba berfikir positif, meski ada perasaan takut me
Bab 10 - Menikahi Mbak KuntiLaila dan Dika saling berpegangan dengan eratnya. Mereka ketakutan menyembunyikan jari jemari mereka."Bisa pakai uang cash gak, Pak? masa pakai jari tangan?" tanya Dika mencoba menawar."Tidak bisa, harus jari tangan!" serunya."Duh, kenapa jari tangan sih. Kalau kamu sih udah jadi hantu, Lai. Kamu mau kasih jari tangan ke dia juga nanti tumbuh lagi," bisik Dika."Sembarangan! Emangnya aku alien apa kalau udah dipotong jarinya terus tumbuh lagi, huh!" Laila membentak Dika dengan kesalnya."Terus gimana, dong?" Tanya Dika ketakutan.Petugas kereta api itu menarik tangan Dika ke arahnya."Berikan jari tanganmu!" "Ja-jangan!!" seru Dika.Petugas kereta api itu tertawa menyeringai. Ia mengeluarkan gunting dari saku celakanya dan bersiap memotong jari tangan Dika."Nggak sakit kayaknya, Ka. Kamu harus kuat ya," ucap Laila seraya menyodorkan ujung kemeja Dika ke bibir pria itu lalu menyentak Dika dengan permintaan konyol, "Gigit ini, teriak yang kenceng!" Dik
Bab 11 Menikahi Mbak Kunti“Mereka berdua, Ma, sama kakak cantik ini.” Ali menunjuk ke arah Laila yang langsung tersenyum melambaikan tangannya.Namun, hanya Sri yang tak dapat melihatnya. Jadi, perbuatan Laila terasa percuma karena Sri tak bisa melihatnya."Baiklah, Nak Dika, untuk sementara tinggal di sini sampai besok ya. Saya minta tolong jaga anak ini. Lagipula kereta ke desa kamu kan adanya besok," ucap Kakek Arif."Iya, tenang aja, Kek. Saya juga mau balas budi karena tadi udah Kakek tolong," jawab Dika.Lalu Kakek Arif dan Ibu Sri pergi ke rumah sakit menggunakan becak yang melintas.***Dika menemani Ali mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah anak itu di ruang tamu. "Kakak tau, gak? Nanti setelah mama aku sembuh nanti, aku akan buat kios makanan buat Mama jualan, nanti uang modalnya aku ambil dari celengan," ucap Ali."Wah betulkah? Hebat ya? Oh iya tenang aja nanti saya bantu modalin," sahut Dika."Benaran, Kak?" tanya Ali penuh antusias.Lalu Dika membalas dengan senyum
Bab 12Sepuluh tahun lalu di Desa Banyu Biru seberang Desa Banyu Asin terjadi keributan. Sopyan meminta uang pada Nenek Siti ia ingin menikahi Sri yang sedang mengandung anaknya. Namun, wanita paruh baya itu menolak memberi uang. Nenek Siti melarang hubungan tersebut karena Sri masih berstatus istri orang lain. Lelaki yang kondisi kejiwaannya memang sedikit bermasalah itu malah naik pitam. Ia tak dapat lagi mengontrol emosinya. Ia memutuskan untuk membunuh ibunya sendiri.Sopyan mengambil parang yang menempel di dinding. Pria itu memukul kepala Nenek Siti berkali-kali tanpa ampun. Sampai akhirnya laki-laki yang kehilangan kewarasannya itu menebas leher Nenek Siti sampai hampir putus. Sadar melihat Nenek Siti tak bernyawa, ia lalu membungkus wanita paruh baya itu dengan seprai yang ditarik dari ranjangnya.Sopyan membawa mayat Nenek Siti ke dalam kebun kosong di belakang rumahnya. Karena jarak rumah di sana lumayan agak jauh. Sopyan yakin tak akan ada tetangga yang tahu mengenai perbua
Bab 13Selepas pengajian, Dika bersiap untuk pamit dari rumah Ali. Sepertinya, sang kakek sudah bisa berdamai dengan Sri dan Ali bahkan dengan dirinya sendiri."Terima kasih, Kek. Terima kasih semuanya atas kebaikan Kakek sama saya. Besok saya mau pamit ke desa tempat nenek saya berada," ucap Dika."Kamu yakin mau ke sana? Kamu cuma sendirian lho, saya takut kamu nyasar," sahut Kakek Arif."Saya nggak sendiri kok, Kek. Tuh ada si Kunti yang nemenin saya terus hehehe." Dika menunjuk Laila.Kakek Arif menoleh pada sosok Laila di luar sana. "Oh iya, saya lupa kalau kamu punya penjaga. Sayangnya, saya gak bisa menerawang kenapa hantu itu selalu berada di dekat kamu. Saya juga yakin karena dia sendiri sepertinya juga tak tahu kenapa masih betah berada di dunia ini. Tapi, sepertinya dia gadis yang baik," ucap Kakek Arif."Iya, Kek. Selain gadis yang baik, dia juga cantik," sahut Dika."Hahaha, kalau begitu kenapa kamu gak memperistri dia saja? Nih, Kakek kasih tau, kamu paku tuh ubun-ubun
Bab 14 - Hantu Penunggu PasarLaila terkesiap kala dari dalam telinga pria itu masih keluar cairan darah menetes ke lehernya."Astaga! Kamu siapa?" tanya Laila yang terkejut. Lalu, Laila pun mencari daun-daun untuk dia masukkan ke lubang telinga hantu pria tadi. Tujuannya untuk menyumbat agar darah tak terus menetes dari dalam sana."Biarin aja, Cantik. Emang saya selalu begini," ucapnya manja."Hai, aku Laila," ucap gadis kuntilanak itu meski agak bergidik jijik."Aku Jack. Kamu lagi liburan di sini?" tanya Jack."Enggak, kita kebetulan lewat karena ban andongnya bocor. Ya udah deh kita jalan-jalan ke si– Aduh lupa kan si Dika ke mana lagi, ya?" pekik Laila menepuk jidatnya."Apanya yang lupa, siapa yang kamu cari?" tanya Jack. "Saya lupa tadi kan saya ke sini sama temen manusia saya, nah sekarang dia hilang," sahut Laila mulai panik.Laila berkeliling mencari Dika sampai akhirnya ia menemukan sosok pria tersebut sedang menuju sebuah toko yang menjual tas rajut dan bahan rajutan l
Bab 15 - ICTKDika lalu membayar tas rajut yang diinginkan Laila."Buat pacar kamu, ya?" tanya Mbak Yaya."Hehehe, nggak Mbak. Saya suka aja soalnya lucu gemes. Sudah bungkus saja, Mbak!" pinta Dika.“Kamu juga nggak kalah gemesnya.” Yaya mengerling genit membuat Laila menatapnya tajam seraya berkacak pinggang.Setelah membayar dan menunggu kembalian, akhirnya Mbak Yaya menyerahkan beberapa lembar uang kertas pada Dika. Wanita itu menyentuh tangan Dika sangat lama seraya berdalih basa-basi."Hari mulai malam, loh. Nanti jika kamu butuh penginapan, rumah saya terbuka buat kamu," ucap Mbak Yaya sambil menatap genit ke arah Dika. "Hehehe... boleh Mbak, Adawww!" Laila langsung menjewer daun telinga Dika."Kamu kenapa?" tanya Mbak Yaya keheranan."Kuping saya suka sakit gak jelas gini, Mbak. Hehehe maaf ya Mbak, saya permisi dulu kalau begitu. Tapi, makasih banget tawarannya." Dika tak ingin membuat Laila lebih marah lagi, oleh karena itu ia langsung pergi dan mengikuti Laila. Padahal w