Langkah kaki wanita itu tampak menghentak melihat anak laki-lakinya masih sibuk di depan laptop di ruang kerjanya. Putung rokok sudah memenuhi asbak dan ruangan yang pengap itu menguar bau rokok meski asapnya sudah menghilang.
Brak!
Terdengar suara sesuatu dibanting di meja.
“Jadi setiap hari kau sibuk dengan pekerjaan konyolmu ini hingga Mama telpon, kirim pesan tidak di balas!” tukas Hera mendekat, wanita itu sembari menjewer telinga anaknya.
“Ma, Ma, Ma!” Ardhan mengikuti saja langkah kaki Hera karena kupingnya diseret. “Jangan dijewer, Ma! Sakit, macam anak kecil saja!”
“Kamu memang anak kecil yang kurang ajar! Mamamu sakit di rumah sakit sampai mau mati kamu tidak perduli, hah!” Hera baru melepas telinga anaknya sambil berkacak pinggang.
“Ya elah, Mama! Kan Mama sehat wal’afiat, lihat sekarang bisa datang ke sini dengan semangat masih membara.” Ardhan mengusap-usap daun telinganya yang memerah itu.
“Besok pulang! Kalau tidak Mama bunuh diri!” Hera mengancam.
“Astagfirullah Mama, jangan begitu, nyebut!” Ardhan menggapai lengan wanita yang sudah melahirkannya itu, namun Hera menepisnya.
“Kayak orang bener saja kamu nyuruh Mama nyebut. Kamu tuh yang nyebut, udah tua hobinya masih main mlulu. Mama sedih lihat kamu begini terus, bagaimana kalau tiba-tiba Mama dipanggil yang kuasa sementara kamu belum juga mau menikah . . . “ dan serentetan ocehan masih terdengar seperti sebuah lagu seriosa di telinga Ardhan.
Duh, kumat lagi Drama TV-nya. Ardhan menyesal kenapa tadi tidak pakai earphonenya. Mudah-mudahan telinganya baik-baik saja setelah ini.
“Ya udah, Ma! Besok Ardhan datang, Kok!” Demi nada seriosa itu lenyap dari telinganya, Ardhan akhirnya menyanggupi pulang.
Suara ocehan itu tiba-tiba hening. Wajah wanita separuh baya itu terlihat mengembangkan senyumnya, dia mengelus bahu putranya dengan lembut.
Tuh,kan! Mudah sangat mengambil hati wanita ini.
“Begitu kan, bagus! Mama udah kangen kamu makan bersama di rumah.”
“Iya, Mama! Insyaallah besok Ardhan pulang,” ucap Ardhan agar wanita itu senang.
Namun kesenangan itu hanya terlihat sebentar karena wajah Hera berubah judes lagi.
“Awas kalau sampai tidak datang! Aku suruh Papamu coret dari KK biar gak dapat warisan sekalian!” gerutu Hera sambil mengambil tasnya.
“Hati-hati ya, Ma!” Ardhan segera membukakan pintu untuk Hera. Namun sekali lagi dia ditatap tajam wanita itu.
‘Apalagi sih, Ma?!’
“Semangat banget bukain pintu? Ngusir Mama?” Hera melotot.
“Ya Salaaam…, kan emang Mama mau pulang. Tuh tasnya sudah ditenteng!”
Hera melengos lalu berlalu keluar. Supirnya langsung sigap membukakan pintu untuk sang nyonya.
“Bang Rom, hati-hati ya!” Ardhan melambai pada supir mamanya.
“Ya, Mas! Monggo…,” ucap Romi lalu segera berlari ke pintu kemudi.
Huft!
Sepertinya Ardhan memang harus pulang besok. Bisa jadi ada acara penting sampai mamanya ngancam bunuh diri kalau dia tidak datang.
Ting!
Notifikasi pesan masuk ke ponsel Ardhan. Dari Mamanya? Udah pergi juga masih kirim pesan.
[Mama lupa kasih tahu kamu, di meja ada baju yang harus kamu pakai besok. Ingat kalau kamu tidak datang Mama akan bunuh diri!]
Tuh, kan! Diingetin lagi.
“IYA IYA MAMAKU YANG BAWEL DAN CEREWET!” ucap Ardhan yang tentu tidak bisa di dengar mamanya.
Heran sama Papanya. Kok bisa tahan dan sabar menghadapi wanita itu. Batin Ardhan mengambil paperbag di meja lalu melemparnya begitu saja di kamarnya. Saat kembali pada laptopnya dia jadi kepikiran. Ada acara apa besok di rumahnya?
Ketika Ardhan datang dengan pakaian yang diberikan mamanya semua orang menyambutnya dengan sangat bahagia. Semua keluarga besarnya datang dan tampak rapi. Ardhan masih bingung, acara apa? Hingga dia melihat di halaman samping ada pergola kecil yang dihias bunga-bunga. Di sampingnya ada meja dan 4 kursi yang dua diantaranya sudah diduduki seseorang. Sepertinya petugas KUA.
‘Siapa yang menikah?’ batinnya.
“Kak Ardhan! Ayo makan-makan dulu!” panggil sepupunya yang sudah menenteng makanan dan minuman.
“Hei, Laila! Jangan makan dulu, acara belum di mulai,” tukas seorang wanita meletakan makanan yang dipegang Laila. Itu Kamila, tantenya.
“Ardhan, kamu ganteng deh hari ini. Tante jadi pangkling!”
“Makasih, Tan!” ucap Ardhan.
“Mama, kapan dong acaranya. Siapa yang nikah?” Masih Laila yang sedikit gembul itu merengek pada mamnya.
“Iya bentar lagi, itu Kak Ardhan juga sudah datang. Pasti akan segera dimulai acaranya!” ucap Kamila saat melewati depan Ardhan.
‘Memang siapa yang menikah? Kenapa nunggu aku datang?’
“Ardhan, Sayangku! Akhirnya …”
Hera keluar dengan kebaya yang sangat indah dan elegan. Wajahnya pun dirias dengan sangat cantik. Di sampingnya dia melihat Papanya yang juga tersenyum padanya.
“Pa, siapa yang mau nikah? Jangan-jangan Papa mau nikah lagi?” tukas Ardhan mencandai papanya. Dia pria keturunan arab, biasanya orang dari sana punya istri lebih dari satu.
“Eh, sembarangan kamu!” Hera melotot. Lalu dia mendorong punggung anaknya sampai duduk di kursi di samping petugas KUA.
“Ta-tapi siapa yang menikah?” Ardhan masih heran.
Dan keheranan itu terhenti saat seorang laki-laki berjalan lalu duduk tepat di hadapannya. Dia kenal lelaki itu. Ayah dari seorang gadis yang dijodohkan dengannya.
‘Mama apa-apaan sih! Ya Allah… gini amat punya orang tua.’
Hingga kata ‘sah’ membahana di penjuru halaman itu membuat Ardhan terhenyak. Dirinya sudah mengucapkan akad untuk seorang gadis yang bahkan tidak dicintainya itu.
“Asyiik, sudah boleh makan ya, Ma!” teriak Laila membuyarkan sisi khidmat setelah kata ‘sah’ itu terucap.
“Ehh, dengerin doa dulu!” Kamila masih memegangi tangan anaknya yang sudah tidak sabar makan itu. Sementara hadirin yang lain tertawa.
Hera tampak berkaca-kaca dan memeluk Ardhan. “Terima kasih, Sayang! Mama bisa tenang sekarang karena anakku sudah menikah!” Hera masih terisak.
“Apaan, sih, Ma? Ini Prank ya?” Ardhan masih bergumam ditelinga Mamanya.
“PRANK KEPALAMU! Mana mungkin Mama mau keluarin banyak duit untuk semua ini kalau bukan untuk pernikahanmu!” Hera menjitak kepala Ardhan.
“Ma,” tukas Hamid, papa Ardhan mengingatkan Hera agar tidak keblalasan ngomel-ngomel di depan banyak orang.
“Ardhan, tidak ada prank tentang pernikahan. Semua sudah sah di hadapan Allah dan hukum. Kamu sudah menikahi Alea putri Pak Nadim. Kau harus jadi laki-laki yang bertanggung jawab untuk istrimu!” tukas Hamid menepuk pundak Ardhan meski melihat tatapan protes putranya itu.
Kedua mempelai kemudian dipertemukan. Tidak ada senyum terkembang di wajah Ardhan. Pun dia tidak terlalu memperhatikan wajah sang istri. Toh, dia tidak pernah mencintainya. Bagaimana dengan Naysila kekasihnya yang kini masih menempuh pendidikan di luar negri? Bagaimana perasaannya jika ternyata mengetahui dirinya sudah menikah dengan wanita lain? Padahal semalam mereka masih ngobrol di telpon dengan sangat mesra.
‘Dia bahkan tidak melihatku’Batin Alea sang pengantin perempuan itu melirik pria yang sudah beberapa saat yang lalu sudah mengucapkan Akad untuk menghalalkannya. Perasaannya menjadi semakin sedih karena merasa pernikahan ini hanyalah untuk kesenangan para orang tua mereka.Dirinya bahkan belum memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya setelah lulus SMA dua tahun yang lalu. Ibunya sakit dan Alea fokus menemani pengobatan ibunya yang divonis menderita kanker serviks. Sementara Ayahnya hanyalah seorang sopir keluarga Tuan Hamid Murad, seorang pengusaha kaya raya yang hanya memiliki putra tunggal bernama Ardhan. Pria itulah kini menjadi suaminya.“Keluarga Pak Hamid sudah memberikan banyak hal pada kita.” Terngiang suara Nadim saat Alea menolak rencana pernikahan. “Ingat saat Ibumu harus dioperasi dulu, semua biaya ditanggung Pak Hamid. Dan rumah ini juga berdiri di atas tanahnya. Masa kamu tega membuat Ayahmu ini malu, Al?”“Ayah sama saja menjual Alea pada mereka!” Alea terisak.“Bu Hera
Tuk! Tuk! Tuk!Itu bunyi sepatu yang beradu dengan lantai. Sepertinya terdengar semakin mendekat ke kamar.‘Apakah pria itu akan datang? Kenapa juga harus sesore ini?’ jantung Alea berdegup kencang.Ciiit!Pintu terbuka sedikit. Tubuh tinggi dan tegap yang tampak samar karena cahaya dari belakang tubuhnya membuat wajah pria itu jadi tidak terlihat, hingga pintu ditutup lagi.Kamar menjadi gelap. Hanya sedikit cahaya yang menerobos tirai putih. Namun Alea masih bisa melihat pria itu mendekat.“Jangan!” gumam Alea sambil reflek bangkit dan berdiri di sudut tembok.Sesaat keadaan yang gelap itu menjadi terang setelah Ardhan menekan saklar lampu kamarnya.Ardhan menatap gadis yang masih berkebaya itu. Terakhir kali dia bertemu dengan Alea secara langsung saat melayat ibunya yang meninggal setahun yang lalu. Waktu itu dia juga hanya melihatnya sekilas karena Alea dalam keadaan berduka dan tidak sempat menemuinya. Sebelum itu Ardhan terakhir bertemu dengan Alea saat gadis itu masih duduk di
Alea membalikan tubuhnya memaparkan punggungnya di hadapan Ardhan yang katanya mau membantu membukakan resleting kebayanya. Jujur kalau dia bisa buka sendiri tentu Alea akan membukanya sendiri. Tapi sudah dicobanya tadi di kamar mandi tetap tidak bisa. Posisinya yang sulit dan Alea juga takut merusak gaunnya, akhirnya dia memutuskan mencari bantuan. Tidak disangka pria ini justru bersedia membantunya.“Yang mana resletingnya?” Ardhan sudah di belakang Alea dan menatap punggung gadis itu.“Gak tahu juga, Kak! Makanya aku gak bisa buka” ujar Alea jujur.Ardhan meraba-raba punggung Alea. Tangannya menyentuh kulit punggung Alea yang sontak membuat yang punya punggung seperti teraliri listrik. Seumur-umur dia belum pernah disentuh pria. Dia ingin menghindar tapi sepertinya tangan Ardhan sudah menemukan restelingnya.“Kecil sekali sih!” gumamnya sambil menarik resteling itu sampai ke pangkalnya. Dia segera mengalihkan tatapannya agar tidak berpikir macam-macam pada gadis itu.‘Tidak apa ju
Untuk sesaat Ardhan sedikit blenk tapi dengan cepat dia menguasai dirinya. Ada bayangan seseorang yang membuatnya tidak ingin meneruskan pikiran kotornya. Dia meraih selimut dan bergegas menghampiri Alea dan menangkupkannya di tubuh itu.“Kenapa pakai kemeja putih ini?”“Tadi katanya suruh pakai baju, Kakak?”“Ya jangan yang putih juga!” menerawang tahu, kata yang hanya bisa dilanjutkan di benak Ardhan.“Hanya itu yang sedikit kecil, yang lain besar semua.” Alea memberi alasan.“Ya udah, jangan lepas selimutnya!” Ardhan memberi peringatan.“Kenapa, Kak?”Hufft!Ardhan menghela napas panjang. Apa dia harus menjelaskan secara gamblang setiap ucapannya? Harusnya Alea tahu sendiri kenapa dia tidak bisa melihatnya memakai kemeja putihnya yang sedikit tipis itu sementara dia tidak menggenakan apapun di dalam sana.“Sudah, tidak perlu banyak tanya. Duduklah, aku mau bicara!” ucap Ardhan meminta Alea duduk di sofa.“Bicara apa, Kak?” tanya Alea sambil ribet membenahi selimut tebal yang sangat
Ini sholat pertamanya yang dipimpin seorang pria yang kini menjadi imamnya. Alea menatap punggung tegap itu dan tidak menyangka bahwa sekarang pria itu adalah suaminya. Pikirannya berkecamuk lantaran tidak tahu pasti bagaimana menghadapi hari-hari selepas ini. Apa Ardhan akan bisa mencintainya? Apa dirinya juga begitu? Dan berbagai pikiran berkelebat di kepalanya.Selepas memanjatkan doa, Alea jadi kikuk. Dia menatap Ardhan yang sepertinya masih khusuk menunduk. Entah berdoa atau sedang memikirkan seseorang. Alea jadi bingung, mau langsung berdiri atau masih harus menunggunya.“Kak! Aku pakai cium tangan apa tidak?” tanya Alea dengan polosnya melihat Ardhan yang tidak bergeming. .Ardhan seketika menoleh sedikit ke belakang. Di mana posisi Alea duduk di sana.“Ya cium lah, sama suami masa gak cium tangan?” tukas Ardhan menggeser posisinya lalu mengulurkan tangan kanannya. Jangan karena dia tidak mencintai Alea, lantas kebiasan baik tidak dilakukan.Alea sedikit kaku menyalimi dan menc
“Mama perlu tahu kalau kau sudah benar-benar memperlakukan Alea sebagai istrimu! Ingat, sebagai istrimu!”Ardhan tentu paham apa yang dimaksud Hera. Dia mendegus lemah dan meruntuki kenapa memiliki mama yang membuat hidupnya jadi ribet ini. Tidak bisa begini terus, dia harus menemukan cara agar bisa terlepas dari kungkungan wanita ini. Nyonya Hera Hamid Muradz. Wanita yang begitu menyebalkan namun Ardhan tentu tidak ingin kehilangan syurga di telapak kakinya.“Kami tentu juga butuh privacy, Ma. Alea pasti tidak akan keberatan jika ikut tinggal di rumahku. Atau kalau dia tidak mau, biar dia tinggal di sini saja,” tukas Ardhan yang balik memberikan pilihan untuk mamanya itu.“Maksudmu kau akan tinggalkan istrimu di sini sementara kau di rumahmu itu?” Hera justru tidak terima dengan hal ini.“Ya kalau begitu biarkan dia ikut aku, beres kan!”Alea hanya menjadi pendengar dari perdebatan itu. Dia tentu tidak memiliki kuasa untuk menyahut ataupun memberikan pendapat. Siapa dirinya?Jujur ji
Ardhan mengetahui ada orang di sana saat dirinya sedang menelpon kekasihnya. Kemudian dengan cepat diakhirinya obrolan itu. Dia berdehem agar Alea menyadari bahwa dirinya mengetahui kehadirannya. Alea yang sejak tadi berdiri mematung mendengar deheman Ardhan sehingga tergagap dan melangkah menghampiri Ardhan. “Maaf, Kak. Tadi Mama Hera minta saya antar minuman dan cemilan untuk Kak Ardhan.” Alea meletakan nampan itu di meja. “Kenapa minta maaf?” Ardhan menelisik ingin tahu seberapa lama Alea mendengar obrolannya dengan Naysila. “Karena tidak mau dianggap menguping.” “Memangnya apa saja yang kau dengar?” Ardhan menatap Alea yang tertunduk itu. Gadis ini polos dan pasti akan menanyakan tentang obrolan yang terdengar mesra tadi. Kalau dia tanya, Ardhan juga tidak segan ingin menyampaikannya langsung tentang Naysila. “Tidak, kok, Kak! Aku tidak mendengar banyak. Tadi hanya tidak sopan saja kalau harus menguping pembicaraan jadi aku berniat hendak balik” Alea mengira Ardhan tidak suk
Pertengkaran itu membuat Ardhan dan Alea saling diam saat keduanya ada di dalam kamar yang sama dan melakukan kegiatan masing-masing. Alea yang membenahi alat make up di meja riasnya, dan Ardhan yang sibuk dengan laptopnya.Sebenarnya Ardhan sudah memiliki inisiatif untuk meminta maaf pada Alea. Bagaimanapun dia tidak bisa sekasar itu pada seorang wanita, apalagi wanita itu istrinya sendiri. Dia teringat ceramah seorang ustad yang mengatakan sebaik-baiknya seorang pria adalah dia yang memperlakukan istrinya dengan baik dan lembut. Tidak mengasarinya dan juga tidak membentaknya.Tapi bagaimanapun juga, Ardhan tidak pernah mengharapkan semua ini. Dan lagi, gadis seperti Alea tentu akan sangat kesulitan mendapatkan kesempatan untuk bisa disukainya. Mengingat Alea yang polos dan terkadang mengesalkan itu.“Okelah, aku akan minta maaf nanti,” batinnya bergumam sambil melirik ke tempat Alea sibuk dalam diamnya.Sedangkan Alea bahkan enggan menoleh ke arah Ardhan yang sibuk dengan laptopnya