Ardhan mengetahui ada orang di sana saat dirinya sedang menelpon kekasihnya. Kemudian dengan cepat diakhirinya obrolan itu. Dia berdehem agar Alea menyadari bahwa dirinya mengetahui kehadirannya.
Alea yang sejak tadi berdiri mematung mendengar deheman Ardhan sehingga tergagap dan melangkah menghampiri Ardhan.
“Maaf, Kak. Tadi Mama Hera minta saya antar minuman dan cemilan untuk Kak Ardhan.” Alea meletakan nampan itu di meja.
“Kenapa minta maaf?” Ardhan menelisik ingin tahu seberapa lama Alea mendengar obrolannya dengan Naysila.
“Karena tidak mau dianggap menguping.”
“Memangnya apa saja yang kau dengar?” Ardhan menatap Alea yang tertunduk itu. Gadis ini polos dan pasti akan menanyakan tentang obrolan yang terdengar mesra tadi. Kalau dia tanya, Ardhan juga tidak segan ingin menyampaikannya langsung tentang Naysila.
“Tidak, kok, Kak! Aku tidak mendengar banyak. Tadi hanya tidak sopan saja kalau harus menguping pembicaraan jadi aku berniat hendak balik” Alea mengira Ardhan tidak suka jika dia mengetahui sesuatu. Bisa jadi begitu.
“Hemm, duduk!” perintah Ardhan melihat Alea masih berdiri.
“Oh, baik, Kak!” Alea mengambil duduk di samping meja.
Ardhan menyeruput minuman yang disuguhkan Alea lalu menghela napas dan terdiam sejenak menatap kolam renang yang airnya memantulkan cahaya matahari. Alea di sampingnya tidak berkata-kata, juga ikutan diam.
“Kenapa diam?” tanya Ardhan kemudian.
“Apa?” Alea bingung Ardhan bertanya seperti itu. Memangnya dia harus bicara apa?
“Biasanya kamu kan dikit-dikit tanya, kok sekarang diam?” Ardhan berharap Alea menanyakan sesuatu agar dia bisa memikirkan cara untuk menjelaskan tentang hubungannya dengan seorang wanita. Tapi gadis itu malah diam.
Alea sebenarnya sedang memikirkan obrolan Ardhan dan wanita tadi, tapi dia masih segan bertanya lebih. Lagipula kalau Ardhan sebelum ini sudah punya kekasih, Alea tentu tidak bisa sepenuhnya menyalahkannya. Pernikahan itu begitu tiba-tiba.
“Emangnya aku harus bertanya apa?” Alea membuka suara.
Ardhan melenguh. “Ya masa aku juga yang harus mikir? Kamu itu ya, berapa sih IQ kamu begitu saja harus ditanya?”
Gadis begini yang ternyata harus dinikahinya, tentu bandingannya antara langit dan bumi dengan Naysila sang kekasih hati. Naysila tidak hanya cantik, tapi dia wanita yang berwawasan luas, pintar dan saat ini masih menyelesaikan S2-nya di luar negri. Ardhan pasti tidak bisa membuat hatinya menerima Alea sebagai istrinya.
Sementara mendengar Ardhan bertanya tentang IQ, Alea sungguh tersinggung. Dia menunduk dan terlihat menangis.
“Eh, jangan nangis!” Ardhan sedikit menggebrak meja agar Alea tidak berlebihan. Gebrakan itupun justru membuat Alea terkejut dan bertambah menangis.
Saat itu Hera melintas dan mencium aroma tidak beres. Dia berjalan menghampiri dari ruang keluarga. Ardhan yang mengethaui hal itu jadi panic sendiri dan mencoba menenangkan Alea.
‘Astaga, bisa panjang ini urusannya!’ gumamnya dalam hati.
“Alea, sayang! Diam ya? Jangan begitu!” Ardhan bangkit mengelus rambut Alea dan memeluknya di dada.
Seketika Alea jadi bingung. Namun kebingungan itu sirna karena melihat Hera berjalan menghampiri mereka.
“Ada apa?” tanya Hera penuh selidik.
“Tidak ada apa-apa kok, Ma!” Ardhan masih memeluk Alea. Saat Alea berusaha mendorong tubuh Ardhan justru Ardhan mengeratkan pelukannya. Membuat gadis itu sesak dan tidak bisa bernapas.
“Tidak ada apa-apa kok, Alea menangis?”
“Alea hanya teringat ibunya, dia jadi sedih begitu tadi? Aku mencoba menenangkannya. Ya kan, Al?” tukas Ardhan menatap Alea. Dia tahu yang membuat gadis ini sedih adalah ibunya.
Karena Alea tidak bereaksi, Ardhan seperti mengeratkan pelukannya agar gadis ini lebih tersiksa dalam dekapannya kalau tidak menjawab.
“Eng, I-iya, kok, Ma! Alea baik-baik saja” ujar Alea mengulas senyum. Dalam hatinya sudah berkecamuk banyak hal, Ardhan keterlaluan, menggunakan nama ibunya untuk menutupi kesalahan.
Hera menyipitkan matanya karena tidak langsung percaya dengan ucapan putranya itu. Namun ketikamelihat keduanya masih berpelukan, dia merasa tidak ingin merusak suasana itu. Sejenak dia senyum-senyum lantas meninggalkan mereka setelah berkata, “Maaf, Mama jadi ganggu. Lanjutin obrolan kalian!”
Setelah melihat Hera menghilang di balik dinding Alea tidak tahan dan begitu saja menginjak kaki Ardhan dengan hentakan yang keras. Spontan membuat Ardhan melepaskan Alea dan meringis kesakitan mengangkat satu kakinya yang terinjak kaki Alea.
“Auhhhh!” Ardhan menjerit tapi langsung menutup mulutnya karena takut Hera mendengar.
Dia kemudian menatap Alea dengan marah, “Gadis sialan! Jangan berani-berani berulah denganku kamu, ya?” gerutunya masih kesakitan. Injakan kaki Alea kuat juga sampai rasanya tidak hilang-hilang, Ardhan tentu jadi terpancing emosi.
“Kak Ardhan yang berulah, sudah nyangkut-nyangkut IQ, terus sengaja cari kesempatan peluk-peluk Segala, dan lagi, aku tidak suka Kak Ardhan bawa-bawa nama ibu!” Alea tak kalah marah karena sikap Ardhan.
“Memangnya IQ-mu berapa? Disinggung begitu saja marah! Dan lagi, jangan berspekulasi bahwa aku sengaja pengen peluk-peluk kamu, ya? Kamu sama sekali bukan gadis yang ingin aku peluk. Ingat itu!”
Alea menatap Ardhan sebal. Napasnya naik turun karena menahan diri. Dia jadi ingat beberapa teman di SMA-nya dulu yang membullinya dengan ujaran IQ jongkok karena selalu mendapat nilai buruk di materi fisika. Sebenarnya bukan karena dirinya yang bebal, tapi guru fisikanya lah yang tidak menyukainya.
“Gak pengen peluk tapi kok malah tarik-tarik sampai dadaku sesak!” Alea tidak tahan dan meluapkan kemarahannya.
“Lha, masih GR juga kamu! Apa kamu rugi kalau aku melakukan itu? Ingat posisimu itu siapa?”
Sedianya Ardhan bermaksud mengatakan bahwa Alea sudah menjadi istrinya. Kalaupun Ardhan memeluknya itu bukanlah kejahatan. Namun Alea menatap Ardhan dengan mata memerah dan bercucuran air mata. Dia sudah salah paham dan mengira Ardhan mengingatkan tentag dirinya yang hanya seorang anak supir keluarganya.
“Iya, aku hanya anak supir. Terima kasih sudah diingatkan!”
Alea langsung memalingkan badannya dan berlalu masuk ke dalam.“Bu…” Ardhan tidak berhasil mengucapkan bukan itu maksudnya, karena percuma juga Alea sudah berlalu masuk.
Ardhan menjambaki rambutnya sendiri.'Hhg! Gimana ini, bisa pecah kepalaku kalau harus bersama anak itu terus!'
Pertengkaran itu membuat Ardhan dan Alea saling diam saat keduanya ada di dalam kamar yang sama dan melakukan kegiatan masing-masing. Alea yang membenahi alat make up di meja riasnya, dan Ardhan yang sibuk dengan laptopnya.Sebenarnya Ardhan sudah memiliki inisiatif untuk meminta maaf pada Alea. Bagaimanapun dia tidak bisa sekasar itu pada seorang wanita, apalagi wanita itu istrinya sendiri. Dia teringat ceramah seorang ustad yang mengatakan sebaik-baiknya seorang pria adalah dia yang memperlakukan istrinya dengan baik dan lembut. Tidak mengasarinya dan juga tidak membentaknya.Tapi bagaimanapun juga, Ardhan tidak pernah mengharapkan semua ini. Dan lagi, gadis seperti Alea tentu akan sangat kesulitan mendapatkan kesempatan untuk bisa disukainya. Mengingat Alea yang polos dan terkadang mengesalkan itu.“Okelah, aku akan minta maaf nanti,” batinnya bergumam sambil melirik ke tempat Alea sibuk dalam diamnya.Sedangkan Alea bahkan enggan menoleh ke arah Ardhan yang sibuk dengan laptopnya
Ini pertama kali Alea diajak jalan-jalan Ardhan berkeliling kota. Mereka mampir ke sebuah kafe dan memesan beberapa minuman dan makanan ringan saja, karena mereka sudah makan malam. Alea yang memang sejak dulu suka sekali dengan dunia kulinair tampak bersemangat memesan beberapa menu makanan.“Yang ini saja Mbak, tolong jangan di kasih soda ya, saya tidak suka soda” ujar Alea saat menunjuk menu pada waiters yang akan mencatat menu mereka.“Baik, akan segera tersedia. Mohon bersabar!” ucap waiters itu.Ardhan memperhatikan Alea yang sepertinya sudah tidak menampakan kekesalan padanya. Lalu berusaha mengambil hatinya agar bisa membantunya.“Kau tampak terbiasa dengan menu-menu modern?” ucap Ardhan membuka obrolan.Alea tersenyum seraya berkata, “Sebenarnya saat merawat ibuku yang sakit, aku ikut kelas memasak online. Di sana juga diajarin membuat beberapa menu minuman dan banyak lagi. Karena itu aku tidak terpikir kuliah lagi, justru berpikir pengen berbisnis kuliner.”Ardhan menatap Al
Masuk di entrance perumahan, Ardhan menyapa para security dan melajukan mobilnya lagi menuju unit huniannya. Alea memperhatikan perumahan itu dan merasa takjub. Ardhan ternyata tinggal di perumahan yang mewah. Seumur-umur, tempat mewah yang pernah Alea kunjungi adalah rumah Hera. Tapi ini lebih terkesan mewah dan modern.“Rumahnya bagus-bagus, Kak?” Alea berkomentar sambil melihat-lihat dari jendela mobil.Ardhan tidak menyahut. Dia ingat kata Nadhim mertuanya, Alea anak rumahan yang lebih nyaman tinggal di rumah dan jarang pergi ke mana-mana. Melihat perumahan begini saja dia sudah terkesan.“Kakak kok tinggal di sini?” tanya Alea asal.Ardhan tidak paham dengan kalimat pertanyaan Alea. “Kamu bertanya atau heran atau bagaimana sih? gak jelas banget!”“Yeee, kan aku cuma nanya!”“Kalau tanya itu diawali dengan kata tanya. Jadi jawabnya juga enak, gak ambigu begitu.”“Tinggal jawab saja bawel!” gumam Alea lirih.Mobil memasuki halaman sebuah rumah. Setelah memarkirkan mobilnya, Ardhan
Setelah menyelesaikan meetingnya dan memeriksa beberapa dokumen penting, Ardhan ingat bahwa dia sudah berjanji menghubungi Naysila. Dia pun segera mengambil ponselnya dan menghubungi kekasihnya itu. Panggilan tidak langsung tersambung. Ardhan pun memilih melanjutkan mengerjakan beberapa kerjaannya saja sambil menunggu balasan panggilan.Notifikasi pesan terdengar. Ardhan melirik layar ponselnya dan tersenyum karena Naysila yang mengirim.[Mau aku yang telpon atau kamu yang telpon?]Ardhan kemudian mengambil ponsel itu dan menghubungi Naysila. Panggilan langsung tersambung.“Hallo, sayangku, cintaku…” sapa Naysila renyah membuat sudut bibir Ardhan tertarik ke atas karena senyum terkembang.“Hallo juga, sayang! Apa kabarmu?”“Buruk! Aku sepanjang hari ini merindukanmu, do you miss me too?”“Of course, I miss you so much!” balas Ardhan.“Hmm, aku jadi pengen terbang ke indonesia dan peluk cium kamu”“Kelarin dulu semuanya, aku akan merasa berdosa jika hanya karena kau merindukanku kuliah
Mereka makan malam dengan hening dan hanya sesekali melirik lantas segera membuang muka ketika tatapan itu bertemu. Terlintas dalam benak Alea ingin menanyakan sesuatu, tapi dia tidak berani. Begitu juga Ardhan, dia makan dengan cepat karena mungkin sekaranglah dia harus menyampaikan semuanya pada Alea. Tentang hubungannya dengan Naysila.“Al?” terdengar suara Ardhan.“Ya?”“Hemm, selesaikan makanmu, habis ini kita bicara!”Ardhan bangkit ke ruang tengah dan duduk di sana. Memeriksa ponselnya barangkali ada pesan penting yang luput belum dibacanya. Sementara Alea membereskan meja makan kemudian menghampiri Ardhan.“Duduklah!” Ardhan menepuk tempat kosong di sisinya.Alea beranjak dan duduk di samping Ardhan. Menatap Ardhan yang sepertinya kesulitan memulai kata-katanya.“Kakak mau bicara apa?” Alea tidak sabar menunggu Ardhan yang masih memikirkan sesuatu itu.“Al, sebenarnya aku …” Ardhan terhenti lagi dia menatap Alea dan berpikir apakah gadis ini bisa memahami situasinya? “Kau tahu
Protes karena semua dirasa tidak adil baginya, adalah hal yang sangat ingin dia lakukan. Tapi Alea tentu tidak punya keberanian mengungkapkannya. Dia ingat apa tujuan dirinya dinikahkan dengan Ardhan. Dia juga ingat, betapa sayang dan baiknya Hera pada dirinya. Membuatnya harus menelan pahit semua dan hanya bisa pasrah pada keadaan.Alea sedih atas kenyataan bahwa Ardhan masih mencintai kekasihnya, tapi lebih sedih lagi meratapi betapa malang nasibnya. Sudah harus terpaksa menikah, ternyata sang suami pun sama sekali tidak menginginkannya.Sebagai seorang gadis biasa, Alea juga memiliki mimpi untuk bisa hidup bahagia dengan orang yang dicintainya. Bukannya malah terkungkung dalam keadaan seperti ini. Seandainya pun Ardhan tidak pernah menyentuhnya lalu dikemudian hari menceraikannya, orang tentu akan melihatnya sebagai seorang janda. Saat itu, apa Alea masih bisa mendapatkan seorang suami yang bisa menerimanya dengan baik?Air matanya mengalir lagi karena merindukan sosok ibunya. Dia
Devano adalah teman dekat Alea semasa di SMA. Mereka bahkan saling jatuh cinta namun menolak untuk merubah persahabatan mereka menjadi hubungan pacaran. Bagi mereka, pacar bisa putus tapi sahabat tidak ada kata putus. Setidaknya itu prinsip ketika masih duduk di bangku SMA dulu.‘Ehem!’ Ardhan berdehem dan membuat keduanya saling melepas pandang. “Aku sudah lapar, cepat pesan makanan!” tukas Ardhan mengingatkan.Alea mengikuti ucapan Ardhan dan menunjukan menu yang dipesannya. Sambil menunggu menu datang dan mumpung Ardhan sibuk mengangkat telpon, Alea ijin ke toilet sebentar. Sebenarnya dia masih penasaran bagaimana Devano ada di restoran ini.“Kak, permisi, saya temannya Devano, bisa kasih nomor hp saya ke Devano?” tukas Alea pada seorang pelayan yang kebetulan berpapasan.Pelayan itu menatap Alea heran sejenak, lalu tersenyum dan menerima secarik kertas itu. “Iya, akan saya sampaikan, Devano pasti sedang sibuk!”“Oh terima kasih!” tukas Alea sedikit menunduk sopan dan berlalu kelua
“Auh!” Ardhan mengibas-kibaskan tangannya karena merasa sesuatu menusuk jarinya hingga berdarah saat membantu Alea memasukan barang ke dalam rumah.“Ya ampun, kenapa Kak?” Alea panik melihat jari telunjuk Ardhan berdarah. Tahulah dia Ardhan tidak sengaja memegang kotak pisau yang baru dia beli. Mungkin kotaknya rusak dan membuat mata pisau itu keluar.Tiba-tiba Alea menarik jemari Ardhan dan menghisapnya. Ardhan terbengong melihat tindakan Alea. Keduanya saling menatap beberapa saat. Sekarang ganti Alea merasa hatinya-lah yang tertusuk oleh tatapan Ardhan. Dia benar-benar tidak tahu kenapa? “Oh, aku…” Alea tergagap melepaskan jari Ardhan dari mulutnya.“Kaya vampire saja suka menghisap darah!” gumam Ardhan lalu bergegas pergi meninggalkan Alea yang masih bengong itu. Terkesima karena menyadari pria yang menatapnya dalam jarak dekat itu ternyata tampan sekali. ‘Astaga, tatapan pria itu!’ Alea jadi harus meraba jantungnya. Ada apa ini?Pesan dari Devano bahwa dia bisa ikut kelas mas