“Mama perlu tahu kalau kau sudah benar-benar memperlakukan Alea sebagai istrimu! Ingat, sebagai istrimu!”
Ardhan tentu paham apa yang dimaksud Hera. Dia mendegus lemah dan meruntuki kenapa memiliki mama yang membuat hidupnya jadi ribet ini. Tidak bisa begini terus, dia harus menemukan cara agar bisa terlepas dari kungkungan wanita ini. Nyonya Hera Hamid Muradz. Wanita yang begitu menyebalkan namun Ardhan tentu tidak ingin kehilangan syurga di telapak kakinya.
“Kami tentu juga butuh privacy, Ma. Alea pasti tidak akan keberatan jika ikut tinggal di rumahku. Atau kalau dia tidak mau, biar dia tinggal di sini saja,” tukas Ardhan yang balik memberikan pilihan untuk mamanya itu.
“Maksudmu kau akan tinggalkan istrimu di sini sementara kau di rumahmu itu?” Hera justru tidak terima dengan hal ini.
“Ya kalau begitu biarkan dia ikut aku, beres kan!”
Alea hanya menjadi pendengar dari perdebatan itu. Dia tentu tidak memiliki kuasa untuk menyahut ataupun memberikan pendapat. Siapa dirinya?
Jujur jika dia ditanya ingin tinggal di rumah Ardhan atau tetap tinggal di rumah mertuanya itu, Alea tentu akan memilih tetap tinggal di rumah mertuanya. Alea masih sedikit takut pada Ardhan meski sudah tahu Ardhan bukan pria kejam yang akan menyiksanya. Tetap saja Alea lebih nyaman tinggal bersama Hera yang sudah menganggapnya sebagai putri sendiri.
“Begini saja!” Hamid membuka suara. Dia pria yang tidak heboh seperti Hera, jadi ketika dia bersuara, semuanya pasti mendengarkan.
“Ardhan, biar seminggu ini kalian tinggal sementara di rumah. Setelah itu kau bisa membawa Alea pergi ke rumahmu!” Hamid ikut mengusulkan pendapatnya.
“Bukan seminggu, Pa! tapi … “ Hera hendak protes karena seminggu itu hanya hitungan hari. dia butuh dari sekedar seminggu untuk membuat putranya itu belajar menerima Alea sebagai istrinya.
“Tiga harilah, Pa. Aku sedang banyak proyek!” Ardhan menawar.
“Aku tidak bisa membantumu, Ardhan. Jika kau tidak terima usul Papa baiknya kau dengarkan Mamamu.” Hamid tidak menerima ditawar.
“Oh, oke, Pa! Seminggu juga tidak terlalu buruk.” Ardhan tentu lebih memilih usul papanya daripada berurusan dengan mamanya.
“Kau setuju, Alea?” tanya Hamid mengikut sertakan pendapat menantunya yang sejak tadi hanya diam.
“Oh, eng… “ Alea tergagap tidak menduga akan disebut oleh mertuanya itu. Dia melirik Hera dan meminta pendapat.
Ardhan yang tahu hal itu langsung menyahut agar tidak lebih condong ke mamanya.
“Aku sudah bertanya pada Alea tadi dan dia bilang akan ikut tinggal di rumahku,”
Ucapan Ardhan itu segera mendapat lirikan Alea.
‘Kapan aku bilang begitu?’
“Benar kan Alea?” Ardhan menatap Alea seolah mendesaknya mengiyakan.
“I-iya, Kak! Alea akan ikut Kak Ardhan.” Dengan terpaksa Alea mengucapkan hal itu.
“Hhg, asal seminggu ini kalian bisa menunjukan hubungan yang baik dan kondusif, Mama akan percaya dan membiarkan kalian pergi” Hera pun akhirnya menyetujui usulan Hamid meski dalam hati masih belum terima.
“Tentu saja, Mama! Lagipula, Alea juga rencananya mau kuliah, kan?” tukas Ardhan mengarang lagi. Alea tidak pernah mengatakan hal itu juga.
“Benar, Al?” Hera menanyakan itu pada Alea.
“Oh? Apa?” Alea tentu tidak bisa mengiyakan karena belum ada niat dari hatinya untuk kuliah. Tapi lagi-lagi Ardhan menyenggol kakinya. Sehingga Alea berkata, “Iya, Ma. Kak Ardhan benar!”
Mereka sarapan lagi dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga Hera seperti teringat sesuatu.
“Eh, kamu panggil apa tadi ke Ardhan?” tanya Hera pada Alea.
“Apa, Ma?” Alea bingung.
“Kamu panggil Ardhan apa?” Hera mengulangi pertanyaannya.
“Kak Ardhan?”
“Diganti ya, panggil Ardhan ‘MAS’! Panggilan ‘KAK’ kan sudah kamu pakai sebelum menikah dengan Ardhan. Jadi biar ada bedanya!”
“Ma, hanya panggilan lho!” Hamid mengingatkan istrinya.
“No, kalau Alea masih panggil ‘KAK’ artinya dia masih anggap Ardhan sebagai seorang kakak bukan suaminya.”
“Wanita seperti ini Papa pungut dari mana sih? Masalah panggilan saja diribetkan!” Ardhan jadi kesal karena Hera tidak berhenti membuatnya pusing.
“Eh, sama orang tua lho ngomongnya begitu!” Hera jadi marah-marah pada anaknya itu.
“Sudah, Mama! Kita sarapan dulu, kasihan Alea jadi bingung lihat Mama begitu.” Hamid menengahi keadaan. Anak dan Mama itu memang suka sekali ribut.
“Becanda, Mama!” Ardhan menunjukan dua jari tanda ‘peace’ pada Mamanya dan Hera hanya mendengus.
Sebagai seorang mantu, Alea tentu tidak langsung pergi setelah sarapan. Dia membantu Hera membersihkan dapur. Meski sudah ada pembantu, Alea merasa sungkan jika tidak membantu.
“Semalam apa Ardhan tidak menyakitimu?” tanya Hera yang masih penasaran dengan malam pertama anaknya.
Alea hanya menggeleng. Hera ingin jawaban lebih tapi sepertinya Alea tidak peka.
“Maksudnya apa kalian sudah…” Hera menatap Alea lama agar gadis ini paham apa maksudnya.
Alea lagi-lagi menggeleng.
Hera kecewa, artinya Ardhan memang tidak berminat pada Alea. Padahal sebelum menikah, Hera sudah mengeluarkan banyak uang untuk biaya perawatan Alea agar gadis yang cantik alami ini tampak lebih menawan dan memikat. Sebagai wanita modern, Hera pasti tahulah bagaimana selera pemuda seusia anaknya. Karena itu Hera dengan serius membuat Alea secantik dan seseksi saat ini.
“Kamu kalau di kamar, pakai baju yang tipis-tipis saja. Sering ajak ngobrol Ardhan” nasihat Hera meminta menantunya itu sedikit atraktif.
“Eng, iya Ma!”
“Semalam kamu pakai baju yang sudah mama siapkan?”
Alea harus bagaimana? Semalam dia tidak memakainya. Melihat menantunya hanya diam, Hera sudah tahu jawabanya tanpa Alea berkata-kata.
“Hhg, Alea, hukum berpakain seksi dan menawan di depan suami itu sunnah! Ada banyak hadis dari istri nabi yang menyampaikan bahwa seorang istri itu harus bisa tampil menarik di depan suaminya. Itu ajaran agama kita lho, bukan karena keinginan Mama”
“Oh, Iya, Ma!”
“Itu agar suamimu hanya menyalurkan nafsunya padamu yang sudah halal, dengan begitu kau jadi bisa menahannya dari godaan wanita iblis di luar sana!” Hera tidak berhenti bertutur layaknya ustadzah.
Alea mengangguk kemudian menunduk menghindari tatapan Hera. Dia jadi tidak enak. Pasalnya dirinya sendiri merasa belum tertarik untuk serius berumah tangga. Tentu tidak bisa berpura-pura melakukan hal itu.
“Ya sudah, sekarang kau bawakan suamimu makanan di samping. Sepertinya tadi dia duduk di samping!”
Hera mengambilkan cemilan dan minuman agar Alea membawakannya untuk Ardhan. Gadis penurut itu pun begitu saja berlalu untuk melakukan perintah sang mertua.
Sementara itu Ardhan sedang berbicara di telpon saat Alea berjalan menghampirinya. Suaranya begitu lembut dan sesekali terdengar mesra. Alea terhenti dan takut menganggu obrolan itu.
“Sayang, jangan marah begitu dong! Aku kan hanya semalam tidak menghubungimu!”
Deg!
Jangan-jangan dugaannya benar. Ardhan sudah punya kekasih.
Ardhan mengetahui ada orang di sana saat dirinya sedang menelpon kekasihnya. Kemudian dengan cepat diakhirinya obrolan itu. Dia berdehem agar Alea menyadari bahwa dirinya mengetahui kehadirannya. Alea yang sejak tadi berdiri mematung mendengar deheman Ardhan sehingga tergagap dan melangkah menghampiri Ardhan. “Maaf, Kak. Tadi Mama Hera minta saya antar minuman dan cemilan untuk Kak Ardhan.” Alea meletakan nampan itu di meja. “Kenapa minta maaf?” Ardhan menelisik ingin tahu seberapa lama Alea mendengar obrolannya dengan Naysila. “Karena tidak mau dianggap menguping.” “Memangnya apa saja yang kau dengar?” Ardhan menatap Alea yang tertunduk itu. Gadis ini polos dan pasti akan menanyakan tentang obrolan yang terdengar mesra tadi. Kalau dia tanya, Ardhan juga tidak segan ingin menyampaikannya langsung tentang Naysila. “Tidak, kok, Kak! Aku tidak mendengar banyak. Tadi hanya tidak sopan saja kalau harus menguping pembicaraan jadi aku berniat hendak balik” Alea mengira Ardhan tidak suk
Pertengkaran itu membuat Ardhan dan Alea saling diam saat keduanya ada di dalam kamar yang sama dan melakukan kegiatan masing-masing. Alea yang membenahi alat make up di meja riasnya, dan Ardhan yang sibuk dengan laptopnya.Sebenarnya Ardhan sudah memiliki inisiatif untuk meminta maaf pada Alea. Bagaimanapun dia tidak bisa sekasar itu pada seorang wanita, apalagi wanita itu istrinya sendiri. Dia teringat ceramah seorang ustad yang mengatakan sebaik-baiknya seorang pria adalah dia yang memperlakukan istrinya dengan baik dan lembut. Tidak mengasarinya dan juga tidak membentaknya.Tapi bagaimanapun juga, Ardhan tidak pernah mengharapkan semua ini. Dan lagi, gadis seperti Alea tentu akan sangat kesulitan mendapatkan kesempatan untuk bisa disukainya. Mengingat Alea yang polos dan terkadang mengesalkan itu.“Okelah, aku akan minta maaf nanti,” batinnya bergumam sambil melirik ke tempat Alea sibuk dalam diamnya.Sedangkan Alea bahkan enggan menoleh ke arah Ardhan yang sibuk dengan laptopnya
Ini pertama kali Alea diajak jalan-jalan Ardhan berkeliling kota. Mereka mampir ke sebuah kafe dan memesan beberapa minuman dan makanan ringan saja, karena mereka sudah makan malam. Alea yang memang sejak dulu suka sekali dengan dunia kulinair tampak bersemangat memesan beberapa menu makanan.“Yang ini saja Mbak, tolong jangan di kasih soda ya, saya tidak suka soda” ujar Alea saat menunjuk menu pada waiters yang akan mencatat menu mereka.“Baik, akan segera tersedia. Mohon bersabar!” ucap waiters itu.Ardhan memperhatikan Alea yang sepertinya sudah tidak menampakan kekesalan padanya. Lalu berusaha mengambil hatinya agar bisa membantunya.“Kau tampak terbiasa dengan menu-menu modern?” ucap Ardhan membuka obrolan.Alea tersenyum seraya berkata, “Sebenarnya saat merawat ibuku yang sakit, aku ikut kelas memasak online. Di sana juga diajarin membuat beberapa menu minuman dan banyak lagi. Karena itu aku tidak terpikir kuliah lagi, justru berpikir pengen berbisnis kuliner.”Ardhan menatap Al
Masuk di entrance perumahan, Ardhan menyapa para security dan melajukan mobilnya lagi menuju unit huniannya. Alea memperhatikan perumahan itu dan merasa takjub. Ardhan ternyata tinggal di perumahan yang mewah. Seumur-umur, tempat mewah yang pernah Alea kunjungi adalah rumah Hera. Tapi ini lebih terkesan mewah dan modern.“Rumahnya bagus-bagus, Kak?” Alea berkomentar sambil melihat-lihat dari jendela mobil.Ardhan tidak menyahut. Dia ingat kata Nadhim mertuanya, Alea anak rumahan yang lebih nyaman tinggal di rumah dan jarang pergi ke mana-mana. Melihat perumahan begini saja dia sudah terkesan.“Kakak kok tinggal di sini?” tanya Alea asal.Ardhan tidak paham dengan kalimat pertanyaan Alea. “Kamu bertanya atau heran atau bagaimana sih? gak jelas banget!”“Yeee, kan aku cuma nanya!”“Kalau tanya itu diawali dengan kata tanya. Jadi jawabnya juga enak, gak ambigu begitu.”“Tinggal jawab saja bawel!” gumam Alea lirih.Mobil memasuki halaman sebuah rumah. Setelah memarkirkan mobilnya, Ardhan
Setelah menyelesaikan meetingnya dan memeriksa beberapa dokumen penting, Ardhan ingat bahwa dia sudah berjanji menghubungi Naysila. Dia pun segera mengambil ponselnya dan menghubungi kekasihnya itu. Panggilan tidak langsung tersambung. Ardhan pun memilih melanjutkan mengerjakan beberapa kerjaannya saja sambil menunggu balasan panggilan.Notifikasi pesan terdengar. Ardhan melirik layar ponselnya dan tersenyum karena Naysila yang mengirim.[Mau aku yang telpon atau kamu yang telpon?]Ardhan kemudian mengambil ponsel itu dan menghubungi Naysila. Panggilan langsung tersambung.“Hallo, sayangku, cintaku…” sapa Naysila renyah membuat sudut bibir Ardhan tertarik ke atas karena senyum terkembang.“Hallo juga, sayang! Apa kabarmu?”“Buruk! Aku sepanjang hari ini merindukanmu, do you miss me too?”“Of course, I miss you so much!” balas Ardhan.“Hmm, aku jadi pengen terbang ke indonesia dan peluk cium kamu”“Kelarin dulu semuanya, aku akan merasa berdosa jika hanya karena kau merindukanku kuliah
Mereka makan malam dengan hening dan hanya sesekali melirik lantas segera membuang muka ketika tatapan itu bertemu. Terlintas dalam benak Alea ingin menanyakan sesuatu, tapi dia tidak berani. Begitu juga Ardhan, dia makan dengan cepat karena mungkin sekaranglah dia harus menyampaikan semuanya pada Alea. Tentang hubungannya dengan Naysila.“Al?” terdengar suara Ardhan.“Ya?”“Hemm, selesaikan makanmu, habis ini kita bicara!”Ardhan bangkit ke ruang tengah dan duduk di sana. Memeriksa ponselnya barangkali ada pesan penting yang luput belum dibacanya. Sementara Alea membereskan meja makan kemudian menghampiri Ardhan.“Duduklah!” Ardhan menepuk tempat kosong di sisinya.Alea beranjak dan duduk di samping Ardhan. Menatap Ardhan yang sepertinya kesulitan memulai kata-katanya.“Kakak mau bicara apa?” Alea tidak sabar menunggu Ardhan yang masih memikirkan sesuatu itu.“Al, sebenarnya aku …” Ardhan terhenti lagi dia menatap Alea dan berpikir apakah gadis ini bisa memahami situasinya? “Kau tahu
Protes karena semua dirasa tidak adil baginya, adalah hal yang sangat ingin dia lakukan. Tapi Alea tentu tidak punya keberanian mengungkapkannya. Dia ingat apa tujuan dirinya dinikahkan dengan Ardhan. Dia juga ingat, betapa sayang dan baiknya Hera pada dirinya. Membuatnya harus menelan pahit semua dan hanya bisa pasrah pada keadaan.Alea sedih atas kenyataan bahwa Ardhan masih mencintai kekasihnya, tapi lebih sedih lagi meratapi betapa malang nasibnya. Sudah harus terpaksa menikah, ternyata sang suami pun sama sekali tidak menginginkannya.Sebagai seorang gadis biasa, Alea juga memiliki mimpi untuk bisa hidup bahagia dengan orang yang dicintainya. Bukannya malah terkungkung dalam keadaan seperti ini. Seandainya pun Ardhan tidak pernah menyentuhnya lalu dikemudian hari menceraikannya, orang tentu akan melihatnya sebagai seorang janda. Saat itu, apa Alea masih bisa mendapatkan seorang suami yang bisa menerimanya dengan baik?Air matanya mengalir lagi karena merindukan sosok ibunya. Dia
Devano adalah teman dekat Alea semasa di SMA. Mereka bahkan saling jatuh cinta namun menolak untuk merubah persahabatan mereka menjadi hubungan pacaran. Bagi mereka, pacar bisa putus tapi sahabat tidak ada kata putus. Setidaknya itu prinsip ketika masih duduk di bangku SMA dulu.‘Ehem!’ Ardhan berdehem dan membuat keduanya saling melepas pandang. “Aku sudah lapar, cepat pesan makanan!” tukas Ardhan mengingatkan.Alea mengikuti ucapan Ardhan dan menunjukan menu yang dipesannya. Sambil menunggu menu datang dan mumpung Ardhan sibuk mengangkat telpon, Alea ijin ke toilet sebentar. Sebenarnya dia masih penasaran bagaimana Devano ada di restoran ini.“Kak, permisi, saya temannya Devano, bisa kasih nomor hp saya ke Devano?” tukas Alea pada seorang pelayan yang kebetulan berpapasan.Pelayan itu menatap Alea heran sejenak, lalu tersenyum dan menerima secarik kertas itu. “Iya, akan saya sampaikan, Devano pasti sedang sibuk!”“Oh terima kasih!” tukas Alea sedikit menunduk sopan dan berlalu kelua
Dia sedang bermimpi. Mendengar bayi mengoceh di sampingnya. Matanya tidak mau membuka karena masih ingin menikmati ocehan bayi yang terdengar gemas di telinganya. Usia Vier sudah 3 bulan, seharusnya dia saat ini sudah mulai mengoceh. Alea jadi sedih mengingatnya. Suara itu tidak hilang di telinganya meski matanya perlahan terbuka dan termenung sesaat. Dia tidak sedang bermimpi. Suara ocehan itu masih ada. Perlahan dia menoleh ke samping. Deg! Bayi siapa itu? Alea terperanjat dan segera bangkit. Namun dia masih menatap bayi itu seolah mencoba memastikan bahwa apa yang dia lihat bukanlah ilusi semata, yang akan menghilang saat dia menyentuhnya. Tidak, jangan menyentuhnya! Nanti hilang. “Eeeeehhh!” suara bayi itu seperti merasa kurang nyaman dengan posisinya yang mencoba tengkurap tapi terhadang bantal. Bayi itu mulai menangis namun Alea belum juga bergeming. Masih menatapnya saja dan menikmati visual yang bisa dirasakannya. Tangannya mulai bergerak perlahan menyentuh bayi itu. Na
“Mbak Sika dini hari begini ada apa?” Ardhan meminta Sika segera masuk.Sika terlihat menghela napas lega dan begitu saja melewati satpam yang galak itu mengikuti Ardhan. Napasnya tampak memburu karena tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu.“Ada apa, Mbak? Mbak ada masalah?”Ardhan mendudukan Sika di teras. Dia melihat sika membuka penutup keranjang yang ditentengnya. Seorang bayi yang sedang terlelap. Ardhan heran Sika menyodorkan keranjang bayi itu padanya.“Bayi siapa, Mbak?” tanya Ardhan masih tidak mengerti.Baru ketika dia memperhatikan dengan jelas bayi yang terlelap dengan anteng itu darahnya berdesir hebat. Jantungnya seolah berhenti berdegup namun setelahnya berdegup dengan kencang. Wajah bayi itu membuatnya terkenang putranya. Sungguh bayi yang menggemaskan.“Mbak?!” Ardhan tidak ingin terlalu berhayal. Dia butuh kebenaran dari Sika.“Ini Javier, Pak!”
Kondisi Hera mulai membaik setelah Alea menemuinya dan membesarkan hatinya. Perasaannya yang sudah bercampur aduk tidak karuan karena merasa bersalah sudah membuat cucunya hingga berakhir dalam tragedi yang mengenaskan. Hera merasa bertanggung jawab atas rasa tertekan sang menantu, hingga membuat kondisinya sendiri malah memburuk.Kehadiran Alea yang sudah bisa mengikhlaskan semuanya membuat Hera kembali punya semangat hidup lagi. Setelah ini akan ada Vier-Vier baru lagi yang terlahir dari rahim sang menantu.“Ajaklah istrimu berlibur. Sudah, anggap semua yang terjadi hanya mimpi buruk saja. Jangan pikirkan pekerjaan dulu.” Hera bertutur pada Adhan.“Baik, Ma!” ujar Ardhan begitu saja memenuhi keinginan sang mama. Sikapnya mulai berbeda setelah kejadian ini. Lebih banyak diamnya dan terlihat dingin dengan sekitar.Ya Allah, mudah-mudahan suamiku baik-baik saja. Batin Alea yang mulai merasa bahwa bukan hanya dirinya yang terli
Ardhan baru membuka lengannya dari melindungi pandangannya yang silau karena ledakan api di vila. Melihat Alea sudah berlari menuju arah vila yang terbakar, Ardhan begitu terkejut namun segera mengambil langkah panjang untuk mengejar wanita yang sungguh membuat darahnya hampir berhenti mengalir itu.Begitu tubuh itu sudah ada dijangkauannya, Ardhan langsung meraihnya. Ledakan kedua terdengar membuat Ardhan dan Alea terpental di rerumputan beberapa meter dari tempat itu.“Lepas! Aku mau menyelamatkan anakku. LEPASIN!” Alea meronta mencoba mendorong dada Ardhan.“Sudah, Sayang! Sudah ya?” Ardhan mendekap dan mencoba menenangkan istrinya yang kalut itu. Dia sudah frustasi dan tidak berdaya melihat kilatan api itu. Hanya berharap anak buah Pram berhasil menyelamatkannya. Meski dia merasa itu tidak mungkin mengingat kobaran api yang segera membumbung sesaat setelah dia keluar rumah itu. Kemungkinan besar mereka terjebak di dalam.&ldquo
“Bayimu manis sekali! Seharusnya akulah yang melahirkan anak-anakmu, bukan wanita laknat itu!” Naysila menggendong bayi yang terbungkus selimut itu sambil menimang-nimangnya. Melihat sikapnya yang manis dia tidak percaya bahwa wanita ini adalah iblis yang tega memberikan obat tidur pada bayi 2 bulannya.“Aku sudah mengabulkan permintaanmu yang pertama. Pram akan mengaburkan barang bukti itu dan mengakui itu hanyalah sebuah kesalahan. Kau akan bebas!” tutur Ardhan sambil terus mengawasi pergerakan Naysila. Menunggu kesempatan agar bisa merebut bayinya.“Apa buktinya? Kau bisa saja membohongiku. Kau sudah berkali-kali membohongiku Ardhan!”“Kau mau bukti bagaimana?”Sebentar terdengar sesuatu seperti ada yang datang. Tatapan Naysila menjadi tidak percaya pada Ardhan. Bukankah dia sudah memintanya datang sendiri tadi. Tapi sepertinya dia berbohong lagi.Dengan geram disambarnya botol minuman keras
Ardhan melakukan panggilan namun segera merijeknya untuk memastikan dan menunggu reaksi dari nomor tersebut. Pram sudah tidak sabar melacak lokasinya jika benar pemilik nomor itulah yang menculik Javier.Tidak berapa lama muncul notif pesan dari nomor tersebut. Netra Ardhan membulat membaca teks yang dikirimkan dari nomor itu.Pram yang juga membaca notif itu dari laptopnya menatap Ardhan terkejut. Fix, ini adalah penculiknya.[ Akhirnya kau mencariku! ]Begitu pesan yang terbaca di ponsel Ardhan.“Telpon dia!” tukas Pram.Ardhan menormalkan emosinya dan mencoba tenang sebelum menelpon ke nomor itu.Panggilan tidak langsung diangkat. Baru di panggilan ke tiga, seseorang itu mengangkatnya.“Hallo?” sapa Ardhan fokus mendeteksi suara apa saja yang bisa didengarnya dari dalam ponselnya sehingga bisa dijadikan petunjuk.“Hhhg!” suara itu baru terdengar di telinga Ardhan. Sepertinya d
“Anakku!? Mana anakku, Paman?” Alea tampak mendesak.Ketika pintu belakang mobil dibuka, keluarlah anak buah Pram membawa bayi yang tertidur lelap. Melihat selimut dan corak baju yang digunakan bayi itu, Alea merasa sedikit lega. Dia pun mengambil bayi itu dari tangan anak buah Pram dengan tidak sabar.“Vier? Kau tidak apa, Nak?” Alea memeluk sang bayi erat seolah takut kehilangannya lagi.Hera merasa sungguh bersalah karena kecerobohannya membiarkan baby sitter itu membawa cucunya hingga membuatnya hampir celaka. Dia baru hendak menghampiri sang menantu, tapi Alea sepertinya merasa ada yang tidak beres.“Tidak!” ujarnya menatap bayi itu. Pegangan tangannya tidak stabil dan Ardhan langsung mengambil alih bayi itu. Dia sama terkejutnya dengan Alea saat menatap bayi yang terlelap itu.“Ada apa?” Nadhim segera menghampiri. Cemas sekali takut sesuatu terjadi pada cucuny
Hari ini jadwal imunisasi Javier. Alea ditemani Hera dan Mita pergi ke rumah sakit. Tadinya Alea ingin Ardhan yang mengantarnya. Tapi Hera merasa cukuplah dia dan Mita yang mengantar, jadinya membiarkan saja Ardhan pergi ke kantor karena ada alasan meeting penting dengan dewan direksi.Karena sudah menghubungi dokter anak sebelumnya dan dokter keluarga Muradz pun sudah mereservasikan jadwal imunisasi, begitu baby Javier datang, imunisasi langsung berjalan dengan cepat dan lancar.“Cup, cup!” Hera menenangkan Javier yang menangis setelah mendapat imunisasi sambil menimang-nimangnya. Sementara Alea masih berkonsultasi dengan dokter anak.“Mama bawa Vier ke depan dulu ya, Al. Mungkin dia butuh suasana di luar!” ujar Hera membawa Javier keluar ruang spesialis dokter anak, di ikuti Mita yang mendorong strolernya.“Baby Vier masih full ASI kan, Ma?” tanya dokter anak itu.“Alhamdulillah masih, dok!&rd
“Maaf Mbak, saya tidak bermaksud seperti itu tadi!” Mita melihat Alea yang sepertinya menilai cara bekerjanya yang kurang bagus. Dia tidak bisa membiarkan wanita itu akan protes pada yayasan tempatnya bekerja. Itu akan membuat gajinya lagi-lagi disunnat. “Saya sudah mengasuh 6 bayi sebelumnya, Mbak. Jadi apa yang saya lakukan tadi tidak bakal menyakiti bayi. Justru akan lebih baik karena dapat membiasakan bayi dan mengurangi reflek moronya.” Mita masih mencoba menjelaskan, tapi dia tahu Alea sepertinya tidak butuh sebuah teori. Atau jangan-jangan dia tidak tahu apa itu reflek moro pada bayi? “Terima kasih, Mita. Tapi untuk selanjutnya tolong berhati-hatilah!” ujar Alea berlalu sambil membawa Javier keluar kamar bayi.Mita menatap mama muda itu dan melenguh karena merasa wanita itu menyepelekannya. Tahu apa dia tentang merawat bayi? Kalau dia bisa merawat bayinya sendiri, untuk apa juga masih mempekerjakan pengasuh bayi? Benar-benar aneh.Tapi ini justru lebih baik. Dia jadi bisa b