Ini sholat pertamanya yang dipimpin seorang pria yang kini menjadi imamnya. Alea menatap punggung tegap itu dan tidak menyangka bahwa sekarang pria itu adalah suaminya. Pikirannya berkecamuk lantaran tidak tahu pasti bagaimana menghadapi hari-hari selepas ini. Apa Ardhan akan bisa mencintainya? Apa dirinya juga begitu? Dan berbagai pikiran berkelebat di kepalanya.
Selepas memanjatkan doa, Alea jadi kikuk. Dia menatap Ardhan yang sepertinya masih khusuk menunduk. Entah berdoa atau sedang memikirkan seseorang. Alea jadi bingung, mau langsung berdiri atau masih harus menunggunya.
“Kak! Aku pakai cium tangan apa tidak?” tanya Alea dengan polosnya melihat Ardhan yang tidak bergeming. .
Ardhan seketika menoleh sedikit ke belakang. Di mana posisi Alea duduk di sana.
“Ya cium lah, sama suami masa gak cium tangan?” tukas Ardhan menggeser posisinya lalu mengulurkan tangan kanannya. Jangan karena dia tidak mencintai Alea, lantas kebiasan baik tidak dilakukan.
Alea sedikit kaku menyalimi dan mencium tangannya.
“Al?” tukas Ardhan pada Alea.
Ardhan sepertinya ingin menyampaikan banyak hal yang semalam tidak jadi disampaikannya. Dia merasa Alea juga dalam posisi yang sama. Karena itu Ardhan ingin memastikan saja untuk selanjutnya mereka bisa memutuskan bagaimana bersikap satu sama lain.
“Ya, Kak!” Alea baru saja melepas mukena dan hendak melipatnya.
“Berapa usiamu sekarang?” tanya Ardhan kemudian menatap Alea yang tanpa mukena itu. Terlihat cantik yang alami. Sangat teduh dipandang. Harusnya Ardhan bersyukur memiliki istri seperti Alea. Tapi Ardhan tentu tidak bisa memindahkan begitu saja perasaan cintanya pada wanita lain.
“ Jalan 21, Kak!” ucap Alea menunduk. Dia merasa malu ditatap Ardhan seperti itu. Tapi tidak suka menunjukan bahwa dia sedang malu.
“Tidak kuliah, kamu?”
Alea menggeleng. Pernah ada niat untuk melanjutkan ke jenjang kuliah selepas SMA-nya dulu. Tapi Alea lebih memilih merawat ibunya yang sakit parah. Hingga hampir 3 tahun terlewat, Alea jadi malas berpikir untuk melanjutkan kuliahnya.
“Tidak ingin lanjut kuliah?” tanya Ardhan lagi. Sebenarnya dia bingung kenapa harus basa-basi juga sebelum membahas tentang hubungan mereka.
“Entahlah, Kak!” Alea tidak tahu juga apa dia masih ingin lanjut kuliah. Dia menjadi sedih dan menunduk karena teringat ibunya. “Waktu merawat ibu, aku selalu berharap ibu lekas sembuh biar aku bisa melanjutkan kuliah dengan tenang. Tapi selepas beliau meninggal, sepertinya semangat untuk lanjut kuliah sudah meredup”
“Jangan berlarut-larut sedihnya, ibumu juga pasti senang kalau kamu bisa kuliah dan meraih kesuksesan,” tutur Ardhan.
“Ehm, ya sudah! Mama bilang kita harus segera turun untuk sarapan” tukas Ardhan bangkit dan baru ingat bahwa dia belum mengatakan apa yang menjadi maksudnya. Nanti sajalah, kasihan melihatnya sedih teringat ibunya.
Alea menatap Ardhan yang bangkit dan melepas pecinya. Ternyata Ardhan tidak seburuk yang dipikirkannya. Apalagi pertanyaan tentang kuliah tentu menunjukan bahwa Ardhan tidak keberatan kalau dirinya akan kembali belajar di bangku perkuliahan. Dia pun ikut bangkit dan membereskan alas sholat mereka.
Di meja makan yang besar itu hanya ada papa dan mama Ardhan, kemudian Ardhan dan Alea baru bergabung.
“Kok cuma kita, Ma?” tanya Ardhan heran. Semalam rumah ini masih sangat ramai dengan saudara mama papanya, juga keponakan dan sepupu-sepupunya.
“Laila harus ujian besok, jadi Kamila dan keluarganya sudah pamit semalam. Yang lain juga pamit karena masih harus kerja.”
“Mama, sih! Nikah pakai mendadak, di hari kerja lagi! Kasihan kan mereka harus nyempetin datang.”
“Kalau nggak gitu kamu gak bakalan nikah!”
Hera mengambilkan sebuah sup untuk Alea dan tersenyum manis pada gadis pilihannya itu. “Sayang, bagaimana tidurmu? Nyenyak?”
“Oh, Iya, Ma! Terima kasih!” ucap Alea menerima sup itu.
“Lho! Kenapa keningmu? Gosong gitu?” Hera menatap ada yang beda di kening Alea.
Dengan segera Alea meraba keningnya dan teringat Ardhan membenturnya tadi saat dia membangunkannya. Padahal dia merasa tidak begitu ketara, tapi Hera jeli sekali bisa mengetahuinya.
“Mana sih, Ma?” Ardhan jadi ikut melihat kening Alea. Dia juga ingat tadi pagi sudah dengan tidak sengaja membentur kening Alea. Kok dia tidak lihat tadi?
“Ayo ngaku, kau kenapa?” Hera menyentuh kening Alea karena cemas jangan-jangan Ardhan sudah melakukan kekerasan.
“Enggak kenapa-kenapa, kok, Ma!” Alea menyingkirkan tangan Hera dengan lembut.
“Ardhan!” Hera melotot pada putranya itu.
“Kenapa, Ma?” Ardhan seketika merasa jadi tersangka.
“Kamu jangan aneh-aneh, ya?”
“Aneh-aneh maksud Mama apa?”
“Ini anak orang, jangan dikasarin!”
Ardhan menghela. “Mama ih, Ardhan memang punya potongan kasar seperti itu?”
“Orang kamu juga sering kasar, lempar-lempar benda sembarangan, gebukin pintu sampai jebol, tentu Mama takut kalau kamu kelewatan begini!”
“Apaan sih, Ma! Ya enggak mungkin lah Ardhan samain Alea dengan benda! Dilempar dan digebukin begitu.” Ardhan masih mencoba membela diri.
“Sudah!” Hamid yang sejak tadi diam bersuara. Membuat ibu dan anak itu terdiam. “Kalian tidak lihat Alea sampai bingung begitu.”
“Pa, Mama hanya khawatir nih bocah kelewatan, Pa!” Hera panik karena teringat kemarahan Ardhan kemarin sore yang masih tidak terima dengan pernikahannya.
“Pikiran Mama tuh yang kelewatan, lihatnya sinetron mlulu jadi kebawa yang enggak-enggak!” Ardhan menyahut.
“Keningmu kenapa, Alea?” Hamid bertanya dengan lembut pada Alea, mengabaikan anak dan istrinya yang masih berdebat.
“I-itu, Pa. Tadi tidak sengaja kebentur Kak Ardhan saat bangunin,” ujar Alea jujur.
Kata-kata Alea membuat Hera terkejut. Mereka sudah tidur bersama kah? Alea sudah sampai bangunin Ardhan begitu?
Sejenak senyum terkembang di wajah Hera.
“Oh, benar kau tidak bohong?” Hera bertanya pada Alea memastikan.
“Iya, Ma!” Alea membenarkan.
Ardhan melirik mamanya itu dan melenguh. Pasti pikiran mamanya sudah yang enggak-enggak saja ini. Batinnya.
“Ya sudah, makan sup yang banyak, biar sehat dan bugar, kita ini sudah tua, sudah tidak sabar nunggu cucu.” Hera jadi bersemangat.
“Ma, baru kemarin menikah sudah buru-buru minta cucu,” sahut Hamid pada istrinya itu.
“Ya kan harapan, Pa!” Hera tak merasa ada yang salah.
“Habis ini aku ajak Alea pindah ke rumahku sendiri ya, Ma?” di tengah sarapan Ardhan menyampiakan rencananya. Dia tidak mungkin stay di rumah orang tuanya. Bisa-bisa semua akan di dikte mamanya.
“Boleh, tapi jangan buru-buru. Orang tua bilang paling tidak tunggu seminggu lah!” Hamid yang menjawab.
“Hemm, enak saja. Setelah nikah mau ajak Alea tinggal dirumahmu? Mama tidak setuju!” Hera menyahut.
“Kok begitu, Ma?” Ardhan tentu protes.
“Mama enggak kasih ijin kalian keluar dari rumah ini sebelum Mama tahu bahwa kamu benar-benar memperlakukan Alea sebagi istrimu.”
“Ardhan akan perlakukan Alea dengan baik, Ma!”
“Dengan baik saja tidak cukup, tapi Mama perlu tahu kalau kau memperlakukan Alea sebagai istrimu! Ingat, sebagai istrimu!”
“Mama perlu tahu kalau kau sudah benar-benar memperlakukan Alea sebagai istrimu! Ingat, sebagai istrimu!”Ardhan tentu paham apa yang dimaksud Hera. Dia mendegus lemah dan meruntuki kenapa memiliki mama yang membuat hidupnya jadi ribet ini. Tidak bisa begini terus, dia harus menemukan cara agar bisa terlepas dari kungkungan wanita ini. Nyonya Hera Hamid Muradz. Wanita yang begitu menyebalkan namun Ardhan tentu tidak ingin kehilangan syurga di telapak kakinya.“Kami tentu juga butuh privacy, Ma. Alea pasti tidak akan keberatan jika ikut tinggal di rumahku. Atau kalau dia tidak mau, biar dia tinggal di sini saja,” tukas Ardhan yang balik memberikan pilihan untuk mamanya itu.“Maksudmu kau akan tinggalkan istrimu di sini sementara kau di rumahmu itu?” Hera justru tidak terima dengan hal ini.“Ya kalau begitu biarkan dia ikut aku, beres kan!”Alea hanya menjadi pendengar dari perdebatan itu. Dia tentu tidak memiliki kuasa untuk menyahut ataupun memberikan pendapat. Siapa dirinya?Jujur ji
Ardhan mengetahui ada orang di sana saat dirinya sedang menelpon kekasihnya. Kemudian dengan cepat diakhirinya obrolan itu. Dia berdehem agar Alea menyadari bahwa dirinya mengetahui kehadirannya. Alea yang sejak tadi berdiri mematung mendengar deheman Ardhan sehingga tergagap dan melangkah menghampiri Ardhan. “Maaf, Kak. Tadi Mama Hera minta saya antar minuman dan cemilan untuk Kak Ardhan.” Alea meletakan nampan itu di meja. “Kenapa minta maaf?” Ardhan menelisik ingin tahu seberapa lama Alea mendengar obrolannya dengan Naysila. “Karena tidak mau dianggap menguping.” “Memangnya apa saja yang kau dengar?” Ardhan menatap Alea yang tertunduk itu. Gadis ini polos dan pasti akan menanyakan tentang obrolan yang terdengar mesra tadi. Kalau dia tanya, Ardhan juga tidak segan ingin menyampaikannya langsung tentang Naysila. “Tidak, kok, Kak! Aku tidak mendengar banyak. Tadi hanya tidak sopan saja kalau harus menguping pembicaraan jadi aku berniat hendak balik” Alea mengira Ardhan tidak suk
Pertengkaran itu membuat Ardhan dan Alea saling diam saat keduanya ada di dalam kamar yang sama dan melakukan kegiatan masing-masing. Alea yang membenahi alat make up di meja riasnya, dan Ardhan yang sibuk dengan laptopnya.Sebenarnya Ardhan sudah memiliki inisiatif untuk meminta maaf pada Alea. Bagaimanapun dia tidak bisa sekasar itu pada seorang wanita, apalagi wanita itu istrinya sendiri. Dia teringat ceramah seorang ustad yang mengatakan sebaik-baiknya seorang pria adalah dia yang memperlakukan istrinya dengan baik dan lembut. Tidak mengasarinya dan juga tidak membentaknya.Tapi bagaimanapun juga, Ardhan tidak pernah mengharapkan semua ini. Dan lagi, gadis seperti Alea tentu akan sangat kesulitan mendapatkan kesempatan untuk bisa disukainya. Mengingat Alea yang polos dan terkadang mengesalkan itu.“Okelah, aku akan minta maaf nanti,” batinnya bergumam sambil melirik ke tempat Alea sibuk dalam diamnya.Sedangkan Alea bahkan enggan menoleh ke arah Ardhan yang sibuk dengan laptopnya
Ini pertama kali Alea diajak jalan-jalan Ardhan berkeliling kota. Mereka mampir ke sebuah kafe dan memesan beberapa minuman dan makanan ringan saja, karena mereka sudah makan malam. Alea yang memang sejak dulu suka sekali dengan dunia kulinair tampak bersemangat memesan beberapa menu makanan.“Yang ini saja Mbak, tolong jangan di kasih soda ya, saya tidak suka soda” ujar Alea saat menunjuk menu pada waiters yang akan mencatat menu mereka.“Baik, akan segera tersedia. Mohon bersabar!” ucap waiters itu.Ardhan memperhatikan Alea yang sepertinya sudah tidak menampakan kekesalan padanya. Lalu berusaha mengambil hatinya agar bisa membantunya.“Kau tampak terbiasa dengan menu-menu modern?” ucap Ardhan membuka obrolan.Alea tersenyum seraya berkata, “Sebenarnya saat merawat ibuku yang sakit, aku ikut kelas memasak online. Di sana juga diajarin membuat beberapa menu minuman dan banyak lagi. Karena itu aku tidak terpikir kuliah lagi, justru berpikir pengen berbisnis kuliner.”Ardhan menatap Al
Masuk di entrance perumahan, Ardhan menyapa para security dan melajukan mobilnya lagi menuju unit huniannya. Alea memperhatikan perumahan itu dan merasa takjub. Ardhan ternyata tinggal di perumahan yang mewah. Seumur-umur, tempat mewah yang pernah Alea kunjungi adalah rumah Hera. Tapi ini lebih terkesan mewah dan modern.“Rumahnya bagus-bagus, Kak?” Alea berkomentar sambil melihat-lihat dari jendela mobil.Ardhan tidak menyahut. Dia ingat kata Nadhim mertuanya, Alea anak rumahan yang lebih nyaman tinggal di rumah dan jarang pergi ke mana-mana. Melihat perumahan begini saja dia sudah terkesan.“Kakak kok tinggal di sini?” tanya Alea asal.Ardhan tidak paham dengan kalimat pertanyaan Alea. “Kamu bertanya atau heran atau bagaimana sih? gak jelas banget!”“Yeee, kan aku cuma nanya!”“Kalau tanya itu diawali dengan kata tanya. Jadi jawabnya juga enak, gak ambigu begitu.”“Tinggal jawab saja bawel!” gumam Alea lirih.Mobil memasuki halaman sebuah rumah. Setelah memarkirkan mobilnya, Ardhan
Setelah menyelesaikan meetingnya dan memeriksa beberapa dokumen penting, Ardhan ingat bahwa dia sudah berjanji menghubungi Naysila. Dia pun segera mengambil ponselnya dan menghubungi kekasihnya itu. Panggilan tidak langsung tersambung. Ardhan pun memilih melanjutkan mengerjakan beberapa kerjaannya saja sambil menunggu balasan panggilan.Notifikasi pesan terdengar. Ardhan melirik layar ponselnya dan tersenyum karena Naysila yang mengirim.[Mau aku yang telpon atau kamu yang telpon?]Ardhan kemudian mengambil ponsel itu dan menghubungi Naysila. Panggilan langsung tersambung.“Hallo, sayangku, cintaku…” sapa Naysila renyah membuat sudut bibir Ardhan tertarik ke atas karena senyum terkembang.“Hallo juga, sayang! Apa kabarmu?”“Buruk! Aku sepanjang hari ini merindukanmu, do you miss me too?”“Of course, I miss you so much!” balas Ardhan.“Hmm, aku jadi pengen terbang ke indonesia dan peluk cium kamu”“Kelarin dulu semuanya, aku akan merasa berdosa jika hanya karena kau merindukanku kuliah
Mereka makan malam dengan hening dan hanya sesekali melirik lantas segera membuang muka ketika tatapan itu bertemu. Terlintas dalam benak Alea ingin menanyakan sesuatu, tapi dia tidak berani. Begitu juga Ardhan, dia makan dengan cepat karena mungkin sekaranglah dia harus menyampaikan semuanya pada Alea. Tentang hubungannya dengan Naysila.“Al?” terdengar suara Ardhan.“Ya?”“Hemm, selesaikan makanmu, habis ini kita bicara!”Ardhan bangkit ke ruang tengah dan duduk di sana. Memeriksa ponselnya barangkali ada pesan penting yang luput belum dibacanya. Sementara Alea membereskan meja makan kemudian menghampiri Ardhan.“Duduklah!” Ardhan menepuk tempat kosong di sisinya.Alea beranjak dan duduk di samping Ardhan. Menatap Ardhan yang sepertinya kesulitan memulai kata-katanya.“Kakak mau bicara apa?” Alea tidak sabar menunggu Ardhan yang masih memikirkan sesuatu itu.“Al, sebenarnya aku …” Ardhan terhenti lagi dia menatap Alea dan berpikir apakah gadis ini bisa memahami situasinya? “Kau tahu
Protes karena semua dirasa tidak adil baginya, adalah hal yang sangat ingin dia lakukan. Tapi Alea tentu tidak punya keberanian mengungkapkannya. Dia ingat apa tujuan dirinya dinikahkan dengan Ardhan. Dia juga ingat, betapa sayang dan baiknya Hera pada dirinya. Membuatnya harus menelan pahit semua dan hanya bisa pasrah pada keadaan.Alea sedih atas kenyataan bahwa Ardhan masih mencintai kekasihnya, tapi lebih sedih lagi meratapi betapa malang nasibnya. Sudah harus terpaksa menikah, ternyata sang suami pun sama sekali tidak menginginkannya.Sebagai seorang gadis biasa, Alea juga memiliki mimpi untuk bisa hidup bahagia dengan orang yang dicintainya. Bukannya malah terkungkung dalam keadaan seperti ini. Seandainya pun Ardhan tidak pernah menyentuhnya lalu dikemudian hari menceraikannya, orang tentu akan melihatnya sebagai seorang janda. Saat itu, apa Alea masih bisa mendapatkan seorang suami yang bisa menerimanya dengan baik?Air matanya mengalir lagi karena merindukan sosok ibunya. Dia