Untuk sesaat Ardhan sedikit blenk tapi dengan cepat dia menguasai dirinya. Ada bayangan seseorang yang membuatnya tidak ingin meneruskan pikiran kotornya. Dia meraih selimut dan bergegas menghampiri Alea dan menangkupkannya di tubuh itu.
“Kenapa pakai kemeja putih ini?”
“Tadi katanya suruh pakai baju, Kakak?”
“Ya jangan yang putih juga!” menerawang tahu, kata yang hanya bisa dilanjutkan di benak Ardhan.
“Hanya itu yang sedikit kecil, yang lain besar semua.” Alea memberi alasan.
“Ya udah, jangan lepas selimutnya!” Ardhan memberi peringatan.
“Kenapa, Kak?”
Hufft!
Ardhan menghela napas panjang. Apa dia harus menjelaskan secara gamblang setiap ucapannya? Harusnya Alea tahu sendiri kenapa dia tidak bisa melihatnya memakai kemeja putihnya yang sedikit tipis itu sementara dia tidak menggenakan apapun di dalam sana.
“Sudah, tidak perlu banyak tanya. Duduklah, aku mau bicara!” ucap Ardhan meminta Alea duduk di sofa.
“Bicara apa, Kak?” tanya Alea sambil ribet membenahi selimut tebal yang sangat merepotkan geraknya.
“Ya ampun, kamu kenapa terus bertanya sih? Udah diam saja, jangan bikin aku emosi ya?!” Ardhan tidak punya kesabaran tinggi menghadapi manusia seperti Alea.
Melihat Alea tidak bergeming dia marah lagi. “Aku sudah bilang duduk di sini! Kok malah diam di situ!”
“Kan Kakak tadi yang suruh diam,” protes Alea.
“Iya tapi duduk di sini!” Ardhan mencoba mengisi kesabarannya lagi.
“Tapi aku susah jalannya, ini selimut tebal sekali!”
“Lalu bagaimana? kau mau berdiri saja di sana?”
“Ya jangan lah, Kak. Aku capek!”
“Ya sudah kalau begitu kamu duduk Alea…” Ardhan menepuk sofa di sampingnya kesal dengan gadis ini.
Alea hanya membeku sambil manyun karena pria ini pemarah sekali. Dia kemudian mencoba duduk di sofa dengan sangat kerepotan.
“Kak?”
Tuh kan? Nih bocah harus di lakban mulutnya!
Melihat tatapan mengerikan Ardhan Alea tidak jadi bicara. Dia hanya menunduk. ‘Kejam amat sih sumiku!’ batinnya sebal.
Ardhan jadi tidak tahu apa yang akan dia bicarakan. Lalu melirik Alea yang menyusut karena takut itu. Lagipula dia juga sudah lelah, baiknya mereka istirahat dulu dan membiacarakannya besok saja. ini sudah malam.
“Ya sudah besok saja, sekarang kamu tidur sana gih!” tukas Ardhan menunjuk tempat tidur agar Alea tidur di sana. Melihat Alea diam, Ardhan mengulangi lagi. “Alea, bangkit dan tidurlah di tempat tidur sana. Aku yang akan tidur di sini!”
‘Harus ya menjelaskan dengan gamblang pada gadis ini?’ batin Ardhan kesal.
“Kakak yang konsisten dong, tadi nyuruh aku duduk di sini, sekarang nyuruh pergi tidur ke sana!” tukas Alea yang sudah bisa protes.
“Heh? Atau jangan-jangan kamu mau tidur denganku di sini?” Ardhan menatap Alea dan mencoba mengancamnya.
“Oh, eng-ngak mau!” Alea segera berusaha bangkit untuk ke tempat tidur. Namun selimut itu membuat kakinya terserimpet hingga dia tersungkur.
Ardhan melihatnya dan dengan reflek mengulurkan tangannya untuk menangkap tubuh Alea yang hampir terjatuh itu. Sialnya selimut yang terinjak kaki Alea tertarik hingga mengekspos Alea dengan kemeja putihnya itu.
“Astaghfirullah!” Ardhan dengan cepat melepas tangannya hingga membuat Alea terjatuh.
“Auh, sakiit!” Alea mengadu kesakitan. Untung dia jatuh di atas selimut tebal itu.
“Lagian kamu mengganggu sekali, mana tidak pakai dalaman lagi!” gumam Ardhan yang terdengar Alea.
“Mana ada dalaman di kamar mandi? Bajuku kan tidak ada semua, aku juga tidak mau pakai beginian. Emang aku perempuan apa?” Alea terisak memeluk lututnya. Dia sedih memandang Ardhan seolah memiliki pikiran bahwa dirinya sengaja berpakaian seperti itu agar menggodanya.
“Iya udah, jangan menangis, sana tidur!” Ardhan merebahkan tubuhnya di sofa dan tidak memperdulikan Alea.
Alea melirik Ardhan yang sudah memejamkan matanya itu lalu bangkit dan bergegas ke tempat tidur. Dasar pria kasar dan tidak berperasaan! Masih dia membatin dengan kesal.
“Matikan lampunya!” Terdengar ucapan Ardhan memerintah meski matanya terpejam.
Alea yang sudah merebahkan diri jadi terbangun lagi dengan kesal bangkit untuk mematikan saklar lampu kamar.
Pagi harinya, Hera mengetuk pintu kamar tidur Ardhan. Dia senyum-senyum sambil memperhatikan koper baju Alea yang sengaja tidak diantarnya ke kamar dulu. Hera hanya ingin mereka sedikit terlibat drama kecil agar bisa saling bicara satu sama lain.
“Ardhan! Alea! Bangun nak…” suara Hera memanggil.
Alea jadi terbangun karena teriakan itu. Berapa saat dia baru tersadar dan bingung harus bagaimana? Karena saat ini sedang memakai baju Ardhan dan bukannya lingeri yang sudah disiapkan Hera. Pasti Hera sengaja melakukannya agar Alea memakainya untuk bisa membuat Ardhan tertarik.
“Kak! Bangun!” Alea mengguncang bahu Ardhan.
“Hemm?” sahut Ardhan tapi masih terpejam.
“Bangun, Kak! Ada Mama di luar!” Alea masih berusaha membangunkan Ardhan.
“Apa?!” Mendengar kata ‘Mama’ Ardhan terkejut dan segera berjingkat hingga kepalanya membentur kening Alea.
“Auw! Sakit, Kak!” Alea mengaduh dan mengusap keningnya. Pria ini kenapa sudah membuatnya mengaduh kesakitan dua kali. Semalam dia dibuat jatuh dan sekarang kepalanya dibentur.
“Oh, maaf! Yang mana yang sakit?” Ardhan memeriksa kening Alea. Dan tanpa sadar meniup-niup sambil mengusapnya. Alea membeku.
‘Eh!’ saat baru tersadar Ardhan langsung berjingkat.
“Itu ada Mama di luar!”
“Kamu masuk saja ke kamar mandi dan kunci pintunya. Jaga-jaga kalau ada inspeksi mendadak dari Ibu Negara!” tukas Ardhan.
Alea sedikit tertawa karena merasa lucu Ardhan menyebut mamnya dengan Ibu Negara. Tapi dia bergegas ke kamar mandi juga.
“Siap, Ma! Ada apa?” Ardhan membuka pintu dan mendapati ibu negara berdiri penuh selidik.
Hera melihat raut muka anaknya. Apakah ada yang berubah? Dia sempat mendengar sedikit berisik tadi tapi tidak jelas. “Baru bangun?” tanyanya.
“Iya, Ma!”
“Masih ada waktu sholat subuh, ajak istrimu sholat subuh,” tukas Hera lalu menyodorkan koper Alea. “Ini baju-baju Alea, kemarin lupa belum dibawa ke kamar”
“Baik, Ma!”
Bilang saja disengaja. Pasti semua ini sudah direncanakan. Batin Ardhan yang tahu betul bagaimana ibunya.
“Di mana Alea?” Hera masih penasaran lalu mendorong daun pintu yang setengah terbuka itu dan menyisir pandang ke ruangan.
“Sedang mandi, Ma!”
Hera menyipitkan mata menatap putranya itu. “Kau tidak membuatnya tidur di sofa kan?”
“Tidaklah, Mama sayang!”
“Tidak bohong kamu? Awas lho kalau bohong, kualat kamu!” Hera masih curiga.
“Demi Allah!” Ardhan sampai mengangkat tangannya. Hera tentu tidak berani curiga lagi kalau sudah menyangkut tuhannya. Dia pun berbalik badan dan pergi.
“Masih ada waktu sholat, ajak istrimu sholat, belajar jadi pemimpin yang baik!” gumam Hera berjalan keluar. “Habis sholat siap-siap sarapan, ada yang mama pengen sampein!”
Deg!
Apalagi sih yang mau disampein mamanya. Setiap kali Ardhan mendengar kalimat itu, bawaannya sudah was-was saja.
Ini sholat pertamanya yang dipimpin seorang pria yang kini menjadi imamnya. Alea menatap punggung tegap itu dan tidak menyangka bahwa sekarang pria itu adalah suaminya. Pikirannya berkecamuk lantaran tidak tahu pasti bagaimana menghadapi hari-hari selepas ini. Apa Ardhan akan bisa mencintainya? Apa dirinya juga begitu? Dan berbagai pikiran berkelebat di kepalanya.Selepas memanjatkan doa, Alea jadi kikuk. Dia menatap Ardhan yang sepertinya masih khusuk menunduk. Entah berdoa atau sedang memikirkan seseorang. Alea jadi bingung, mau langsung berdiri atau masih harus menunggunya.“Kak! Aku pakai cium tangan apa tidak?” tanya Alea dengan polosnya melihat Ardhan yang tidak bergeming. .Ardhan seketika menoleh sedikit ke belakang. Di mana posisi Alea duduk di sana.“Ya cium lah, sama suami masa gak cium tangan?” tukas Ardhan menggeser posisinya lalu mengulurkan tangan kanannya. Jangan karena dia tidak mencintai Alea, lantas kebiasan baik tidak dilakukan.Alea sedikit kaku menyalimi dan menc
“Mama perlu tahu kalau kau sudah benar-benar memperlakukan Alea sebagai istrimu! Ingat, sebagai istrimu!”Ardhan tentu paham apa yang dimaksud Hera. Dia mendegus lemah dan meruntuki kenapa memiliki mama yang membuat hidupnya jadi ribet ini. Tidak bisa begini terus, dia harus menemukan cara agar bisa terlepas dari kungkungan wanita ini. Nyonya Hera Hamid Muradz. Wanita yang begitu menyebalkan namun Ardhan tentu tidak ingin kehilangan syurga di telapak kakinya.“Kami tentu juga butuh privacy, Ma. Alea pasti tidak akan keberatan jika ikut tinggal di rumahku. Atau kalau dia tidak mau, biar dia tinggal di sini saja,” tukas Ardhan yang balik memberikan pilihan untuk mamanya itu.“Maksudmu kau akan tinggalkan istrimu di sini sementara kau di rumahmu itu?” Hera justru tidak terima dengan hal ini.“Ya kalau begitu biarkan dia ikut aku, beres kan!”Alea hanya menjadi pendengar dari perdebatan itu. Dia tentu tidak memiliki kuasa untuk menyahut ataupun memberikan pendapat. Siapa dirinya?Jujur ji
Ardhan mengetahui ada orang di sana saat dirinya sedang menelpon kekasihnya. Kemudian dengan cepat diakhirinya obrolan itu. Dia berdehem agar Alea menyadari bahwa dirinya mengetahui kehadirannya. Alea yang sejak tadi berdiri mematung mendengar deheman Ardhan sehingga tergagap dan melangkah menghampiri Ardhan. “Maaf, Kak. Tadi Mama Hera minta saya antar minuman dan cemilan untuk Kak Ardhan.” Alea meletakan nampan itu di meja. “Kenapa minta maaf?” Ardhan menelisik ingin tahu seberapa lama Alea mendengar obrolannya dengan Naysila. “Karena tidak mau dianggap menguping.” “Memangnya apa saja yang kau dengar?” Ardhan menatap Alea yang tertunduk itu. Gadis ini polos dan pasti akan menanyakan tentang obrolan yang terdengar mesra tadi. Kalau dia tanya, Ardhan juga tidak segan ingin menyampaikannya langsung tentang Naysila. “Tidak, kok, Kak! Aku tidak mendengar banyak. Tadi hanya tidak sopan saja kalau harus menguping pembicaraan jadi aku berniat hendak balik” Alea mengira Ardhan tidak suk
Pertengkaran itu membuat Ardhan dan Alea saling diam saat keduanya ada di dalam kamar yang sama dan melakukan kegiatan masing-masing. Alea yang membenahi alat make up di meja riasnya, dan Ardhan yang sibuk dengan laptopnya.Sebenarnya Ardhan sudah memiliki inisiatif untuk meminta maaf pada Alea. Bagaimanapun dia tidak bisa sekasar itu pada seorang wanita, apalagi wanita itu istrinya sendiri. Dia teringat ceramah seorang ustad yang mengatakan sebaik-baiknya seorang pria adalah dia yang memperlakukan istrinya dengan baik dan lembut. Tidak mengasarinya dan juga tidak membentaknya.Tapi bagaimanapun juga, Ardhan tidak pernah mengharapkan semua ini. Dan lagi, gadis seperti Alea tentu akan sangat kesulitan mendapatkan kesempatan untuk bisa disukainya. Mengingat Alea yang polos dan terkadang mengesalkan itu.“Okelah, aku akan minta maaf nanti,” batinnya bergumam sambil melirik ke tempat Alea sibuk dalam diamnya.Sedangkan Alea bahkan enggan menoleh ke arah Ardhan yang sibuk dengan laptopnya
Ini pertama kali Alea diajak jalan-jalan Ardhan berkeliling kota. Mereka mampir ke sebuah kafe dan memesan beberapa minuman dan makanan ringan saja, karena mereka sudah makan malam. Alea yang memang sejak dulu suka sekali dengan dunia kulinair tampak bersemangat memesan beberapa menu makanan.“Yang ini saja Mbak, tolong jangan di kasih soda ya, saya tidak suka soda” ujar Alea saat menunjuk menu pada waiters yang akan mencatat menu mereka.“Baik, akan segera tersedia. Mohon bersabar!” ucap waiters itu.Ardhan memperhatikan Alea yang sepertinya sudah tidak menampakan kekesalan padanya. Lalu berusaha mengambil hatinya agar bisa membantunya.“Kau tampak terbiasa dengan menu-menu modern?” ucap Ardhan membuka obrolan.Alea tersenyum seraya berkata, “Sebenarnya saat merawat ibuku yang sakit, aku ikut kelas memasak online. Di sana juga diajarin membuat beberapa menu minuman dan banyak lagi. Karena itu aku tidak terpikir kuliah lagi, justru berpikir pengen berbisnis kuliner.”Ardhan menatap Al
Masuk di entrance perumahan, Ardhan menyapa para security dan melajukan mobilnya lagi menuju unit huniannya. Alea memperhatikan perumahan itu dan merasa takjub. Ardhan ternyata tinggal di perumahan yang mewah. Seumur-umur, tempat mewah yang pernah Alea kunjungi adalah rumah Hera. Tapi ini lebih terkesan mewah dan modern.“Rumahnya bagus-bagus, Kak?” Alea berkomentar sambil melihat-lihat dari jendela mobil.Ardhan tidak menyahut. Dia ingat kata Nadhim mertuanya, Alea anak rumahan yang lebih nyaman tinggal di rumah dan jarang pergi ke mana-mana. Melihat perumahan begini saja dia sudah terkesan.“Kakak kok tinggal di sini?” tanya Alea asal.Ardhan tidak paham dengan kalimat pertanyaan Alea. “Kamu bertanya atau heran atau bagaimana sih? gak jelas banget!”“Yeee, kan aku cuma nanya!”“Kalau tanya itu diawali dengan kata tanya. Jadi jawabnya juga enak, gak ambigu begitu.”“Tinggal jawab saja bawel!” gumam Alea lirih.Mobil memasuki halaman sebuah rumah. Setelah memarkirkan mobilnya, Ardhan
Setelah menyelesaikan meetingnya dan memeriksa beberapa dokumen penting, Ardhan ingat bahwa dia sudah berjanji menghubungi Naysila. Dia pun segera mengambil ponselnya dan menghubungi kekasihnya itu. Panggilan tidak langsung tersambung. Ardhan pun memilih melanjutkan mengerjakan beberapa kerjaannya saja sambil menunggu balasan panggilan.Notifikasi pesan terdengar. Ardhan melirik layar ponselnya dan tersenyum karena Naysila yang mengirim.[Mau aku yang telpon atau kamu yang telpon?]Ardhan kemudian mengambil ponsel itu dan menghubungi Naysila. Panggilan langsung tersambung.“Hallo, sayangku, cintaku…” sapa Naysila renyah membuat sudut bibir Ardhan tertarik ke atas karena senyum terkembang.“Hallo juga, sayang! Apa kabarmu?”“Buruk! Aku sepanjang hari ini merindukanmu, do you miss me too?”“Of course, I miss you so much!” balas Ardhan.“Hmm, aku jadi pengen terbang ke indonesia dan peluk cium kamu”“Kelarin dulu semuanya, aku akan merasa berdosa jika hanya karena kau merindukanku kuliah
Mereka makan malam dengan hening dan hanya sesekali melirik lantas segera membuang muka ketika tatapan itu bertemu. Terlintas dalam benak Alea ingin menanyakan sesuatu, tapi dia tidak berani. Begitu juga Ardhan, dia makan dengan cepat karena mungkin sekaranglah dia harus menyampaikan semuanya pada Alea. Tentang hubungannya dengan Naysila.“Al?” terdengar suara Ardhan.“Ya?”“Hemm, selesaikan makanmu, habis ini kita bicara!”Ardhan bangkit ke ruang tengah dan duduk di sana. Memeriksa ponselnya barangkali ada pesan penting yang luput belum dibacanya. Sementara Alea membereskan meja makan kemudian menghampiri Ardhan.“Duduklah!” Ardhan menepuk tempat kosong di sisinya.Alea beranjak dan duduk di samping Ardhan. Menatap Ardhan yang sepertinya kesulitan memulai kata-katanya.“Kakak mau bicara apa?” Alea tidak sabar menunggu Ardhan yang masih memikirkan sesuatu itu.“Al, sebenarnya aku …” Ardhan terhenti lagi dia menatap Alea dan berpikir apakah gadis ini bisa memahami situasinya? “Kau tahu
Dia sedang bermimpi. Mendengar bayi mengoceh di sampingnya. Matanya tidak mau membuka karena masih ingin menikmati ocehan bayi yang terdengar gemas di telinganya. Usia Vier sudah 3 bulan, seharusnya dia saat ini sudah mulai mengoceh. Alea jadi sedih mengingatnya. Suara itu tidak hilang di telinganya meski matanya perlahan terbuka dan termenung sesaat. Dia tidak sedang bermimpi. Suara ocehan itu masih ada. Perlahan dia menoleh ke samping. Deg! Bayi siapa itu? Alea terperanjat dan segera bangkit. Namun dia masih menatap bayi itu seolah mencoba memastikan bahwa apa yang dia lihat bukanlah ilusi semata, yang akan menghilang saat dia menyentuhnya. Tidak, jangan menyentuhnya! Nanti hilang. “Eeeeehhh!” suara bayi itu seperti merasa kurang nyaman dengan posisinya yang mencoba tengkurap tapi terhadang bantal. Bayi itu mulai menangis namun Alea belum juga bergeming. Masih menatapnya saja dan menikmati visual yang bisa dirasakannya. Tangannya mulai bergerak perlahan menyentuh bayi itu. Na
“Mbak Sika dini hari begini ada apa?” Ardhan meminta Sika segera masuk.Sika terlihat menghela napas lega dan begitu saja melewati satpam yang galak itu mengikuti Ardhan. Napasnya tampak memburu karena tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu.“Ada apa, Mbak? Mbak ada masalah?”Ardhan mendudukan Sika di teras. Dia melihat sika membuka penutup keranjang yang ditentengnya. Seorang bayi yang sedang terlelap. Ardhan heran Sika menyodorkan keranjang bayi itu padanya.“Bayi siapa, Mbak?” tanya Ardhan masih tidak mengerti.Baru ketika dia memperhatikan dengan jelas bayi yang terlelap dengan anteng itu darahnya berdesir hebat. Jantungnya seolah berhenti berdegup namun setelahnya berdegup dengan kencang. Wajah bayi itu membuatnya terkenang putranya. Sungguh bayi yang menggemaskan.“Mbak?!” Ardhan tidak ingin terlalu berhayal. Dia butuh kebenaran dari Sika.“Ini Javier, Pak!”
Kondisi Hera mulai membaik setelah Alea menemuinya dan membesarkan hatinya. Perasaannya yang sudah bercampur aduk tidak karuan karena merasa bersalah sudah membuat cucunya hingga berakhir dalam tragedi yang mengenaskan. Hera merasa bertanggung jawab atas rasa tertekan sang menantu, hingga membuat kondisinya sendiri malah memburuk.Kehadiran Alea yang sudah bisa mengikhlaskan semuanya membuat Hera kembali punya semangat hidup lagi. Setelah ini akan ada Vier-Vier baru lagi yang terlahir dari rahim sang menantu.“Ajaklah istrimu berlibur. Sudah, anggap semua yang terjadi hanya mimpi buruk saja. Jangan pikirkan pekerjaan dulu.” Hera bertutur pada Adhan.“Baik, Ma!” ujar Ardhan begitu saja memenuhi keinginan sang mama. Sikapnya mulai berbeda setelah kejadian ini. Lebih banyak diamnya dan terlihat dingin dengan sekitar.Ya Allah, mudah-mudahan suamiku baik-baik saja. Batin Alea yang mulai merasa bahwa bukan hanya dirinya yang terli
Ardhan baru membuka lengannya dari melindungi pandangannya yang silau karena ledakan api di vila. Melihat Alea sudah berlari menuju arah vila yang terbakar, Ardhan begitu terkejut namun segera mengambil langkah panjang untuk mengejar wanita yang sungguh membuat darahnya hampir berhenti mengalir itu.Begitu tubuh itu sudah ada dijangkauannya, Ardhan langsung meraihnya. Ledakan kedua terdengar membuat Ardhan dan Alea terpental di rerumputan beberapa meter dari tempat itu.“Lepas! Aku mau menyelamatkan anakku. LEPASIN!” Alea meronta mencoba mendorong dada Ardhan.“Sudah, Sayang! Sudah ya?” Ardhan mendekap dan mencoba menenangkan istrinya yang kalut itu. Dia sudah frustasi dan tidak berdaya melihat kilatan api itu. Hanya berharap anak buah Pram berhasil menyelamatkannya. Meski dia merasa itu tidak mungkin mengingat kobaran api yang segera membumbung sesaat setelah dia keluar rumah itu. Kemungkinan besar mereka terjebak di dalam.&ldquo
“Bayimu manis sekali! Seharusnya akulah yang melahirkan anak-anakmu, bukan wanita laknat itu!” Naysila menggendong bayi yang terbungkus selimut itu sambil menimang-nimangnya. Melihat sikapnya yang manis dia tidak percaya bahwa wanita ini adalah iblis yang tega memberikan obat tidur pada bayi 2 bulannya.“Aku sudah mengabulkan permintaanmu yang pertama. Pram akan mengaburkan barang bukti itu dan mengakui itu hanyalah sebuah kesalahan. Kau akan bebas!” tutur Ardhan sambil terus mengawasi pergerakan Naysila. Menunggu kesempatan agar bisa merebut bayinya.“Apa buktinya? Kau bisa saja membohongiku. Kau sudah berkali-kali membohongiku Ardhan!”“Kau mau bukti bagaimana?”Sebentar terdengar sesuatu seperti ada yang datang. Tatapan Naysila menjadi tidak percaya pada Ardhan. Bukankah dia sudah memintanya datang sendiri tadi. Tapi sepertinya dia berbohong lagi.Dengan geram disambarnya botol minuman keras
Ardhan melakukan panggilan namun segera merijeknya untuk memastikan dan menunggu reaksi dari nomor tersebut. Pram sudah tidak sabar melacak lokasinya jika benar pemilik nomor itulah yang menculik Javier.Tidak berapa lama muncul notif pesan dari nomor tersebut. Netra Ardhan membulat membaca teks yang dikirimkan dari nomor itu.Pram yang juga membaca notif itu dari laptopnya menatap Ardhan terkejut. Fix, ini adalah penculiknya.[ Akhirnya kau mencariku! ]Begitu pesan yang terbaca di ponsel Ardhan.“Telpon dia!” tukas Pram.Ardhan menormalkan emosinya dan mencoba tenang sebelum menelpon ke nomor itu.Panggilan tidak langsung diangkat. Baru di panggilan ke tiga, seseorang itu mengangkatnya.“Hallo?” sapa Ardhan fokus mendeteksi suara apa saja yang bisa didengarnya dari dalam ponselnya sehingga bisa dijadikan petunjuk.“Hhhg!” suara itu baru terdengar di telinga Ardhan. Sepertinya d
“Anakku!? Mana anakku, Paman?” Alea tampak mendesak.Ketika pintu belakang mobil dibuka, keluarlah anak buah Pram membawa bayi yang tertidur lelap. Melihat selimut dan corak baju yang digunakan bayi itu, Alea merasa sedikit lega. Dia pun mengambil bayi itu dari tangan anak buah Pram dengan tidak sabar.“Vier? Kau tidak apa, Nak?” Alea memeluk sang bayi erat seolah takut kehilangannya lagi.Hera merasa sungguh bersalah karena kecerobohannya membiarkan baby sitter itu membawa cucunya hingga membuatnya hampir celaka. Dia baru hendak menghampiri sang menantu, tapi Alea sepertinya merasa ada yang tidak beres.“Tidak!” ujarnya menatap bayi itu. Pegangan tangannya tidak stabil dan Ardhan langsung mengambil alih bayi itu. Dia sama terkejutnya dengan Alea saat menatap bayi yang terlelap itu.“Ada apa?” Nadhim segera menghampiri. Cemas sekali takut sesuatu terjadi pada cucuny
Hari ini jadwal imunisasi Javier. Alea ditemani Hera dan Mita pergi ke rumah sakit. Tadinya Alea ingin Ardhan yang mengantarnya. Tapi Hera merasa cukuplah dia dan Mita yang mengantar, jadinya membiarkan saja Ardhan pergi ke kantor karena ada alasan meeting penting dengan dewan direksi.Karena sudah menghubungi dokter anak sebelumnya dan dokter keluarga Muradz pun sudah mereservasikan jadwal imunisasi, begitu baby Javier datang, imunisasi langsung berjalan dengan cepat dan lancar.“Cup, cup!” Hera menenangkan Javier yang menangis setelah mendapat imunisasi sambil menimang-nimangnya. Sementara Alea masih berkonsultasi dengan dokter anak.“Mama bawa Vier ke depan dulu ya, Al. Mungkin dia butuh suasana di luar!” ujar Hera membawa Javier keluar ruang spesialis dokter anak, di ikuti Mita yang mendorong strolernya.“Baby Vier masih full ASI kan, Ma?” tanya dokter anak itu.“Alhamdulillah masih, dok!&rd
“Maaf Mbak, saya tidak bermaksud seperti itu tadi!” Mita melihat Alea yang sepertinya menilai cara bekerjanya yang kurang bagus. Dia tidak bisa membiarkan wanita itu akan protes pada yayasan tempatnya bekerja. Itu akan membuat gajinya lagi-lagi disunnat. “Saya sudah mengasuh 6 bayi sebelumnya, Mbak. Jadi apa yang saya lakukan tadi tidak bakal menyakiti bayi. Justru akan lebih baik karena dapat membiasakan bayi dan mengurangi reflek moronya.” Mita masih mencoba menjelaskan, tapi dia tahu Alea sepertinya tidak butuh sebuah teori. Atau jangan-jangan dia tidak tahu apa itu reflek moro pada bayi? “Terima kasih, Mita. Tapi untuk selanjutnya tolong berhati-hatilah!” ujar Alea berlalu sambil membawa Javier keluar kamar bayi.Mita menatap mama muda itu dan melenguh karena merasa wanita itu menyepelekannya. Tahu apa dia tentang merawat bayi? Kalau dia bisa merawat bayinya sendiri, untuk apa juga masih mempekerjakan pengasuh bayi? Benar-benar aneh.Tapi ini justru lebih baik. Dia jadi bisa b