Alea membalikan tubuhnya memaparkan punggungnya di hadapan Ardhan yang katanya mau membantu membukakan resleting kebayanya. Jujur kalau dia bisa buka sendiri tentu Alea akan membukanya sendiri. Tapi sudah dicobanya tadi di kamar mandi tetap tidak bisa. Posisinya yang sulit dan Alea juga takut merusak gaunnya, akhirnya dia memutuskan mencari bantuan. Tidak disangka pria ini justru bersedia membantunya.
“Yang mana resletingnya?” Ardhan sudah di belakang Alea dan menatap punggung gadis itu.
“Gak tahu juga, Kak! Makanya aku gak bisa buka” ujar Alea jujur.
Ardhan meraba-raba punggung Alea. Tangannya menyentuh kulit punggung Alea yang sontak membuat yang punya punggung seperti teraliri listrik. Seumur-umur dia belum pernah disentuh pria. Dia ingin menghindar tapi sepertinya tangan Ardhan sudah menemukan restelingnya.
“Kecil sekali sih!” gumamnya sambil menarik resteling itu sampai ke pangkalnya. Dia segera mengalihkan tatapannya agar tidak berpikir macam-macam pada gadis itu.
‘Tidak apa juga melihatnya, dia kan istrimu!’ sebuah suara dalam hatinya terdengar. Entah itu iblis atau malaikat. Karena Alea secara agama memang sudah sah jadi miliknya baik lahir dan batin.
Saat Alea sudah di kamar mandi Ardhan menggelengkan kepala. Alea gadis yang sudah dewasa dan cantik. Jika diluar sana ada banyak wanita cantik yang bahkan memamerkan lekuk-lekuk tubuhnya, Ardhan bisa hanya menganggapnya sekedar cuci mata saja. Tapi di antara dirinya dan Alea sekarang sudah dihalalkan. Dipersilahkan baginya untuk melakukan apapun terhadap Alea. Dan mereka akan tidur di kamar yang sama setiap hari. Tentu sebagi pria normal dia takut terjadi sesuatu.
“Tidak bisa begini, aku harus bawa Alea ke rumahku sendiri. Di sana Mama gak bakal tahu kita sekamar atau tidak!” gumam Ardhan mencoba memikirkan cara.
“Kak?” Suara Alea terdengar lagi.
Ardhan menoleh dan melihat gadis itu melongokan kepalanya di balik pintu kamar mandi yang terbuka sedikit. Dia baru saja memikirkan hal barusan dan tiba-tiba takut Alea sudah mulai memancingnya saja.
Astaga Ardhan, munafik sekali dirimu. Semudah itukah tergoda?
“Kenapa?” tanya Ardhan dingin sebagai pertahanan dirinya.
“Aku, aku pakai baju apa?” tanya Alea membuat Ardhan bingung. Masa dia tidak tahu harus pakai baju apa?
“Hah? Kau bahkan menanyakan hal itu?” Ardhan sedikit terganggu.
“Oh, Maaf, Kak!”
Alea menutup pintu kamar mandi lagi. Aura dingin dari suara Ardhan dan raut mukanya membuatnya jadi takut. Biarlah dia di kamar mandi sementara Ardhan pasti akan keluar. Nanti barulah Alea akan mencari di mana kopernya.
“Mama Hera taruh di mana ya, koper baju-bajuku?” Alea mengingat-ingat. Seandainya ada ponsel, dia pasti sudah menghubungi seseorang untuk meminta bantuan.
Ardhan jemu di kamar tanpa melakukan apapun. Tapi jika dia keluar kamar tentu hanya akan menambah masalah jika harus bertemu dengan mamanya. Apalagi di rumah masih ada banyak kerabat. Ardhan tentu ingat bagiamana tante-tantenya dan yang lain jika mendengarnya ribut dengan mamanya. Mereka akan langsung berderet seperti menonton pertandingan bola.
Bicara dengan Alea adalah salah satu planningnya malam ini. Dia harus memberi pengertian pada gadis itu tentang keadaan dan alasan mengapa dirinya belum bisa menyikapi pernikahan ini secara normal. Jika merujuk ucapan Nadhim tadi, Alea juga terpaksa melakukan pernikahan ini. Maka akan mudah baginya membuat kesepakatan dengan gadis itu.
Itu lebih baik daripada terus menerus menyesali apa yang sudah terjadi. Dia berpikir untuk menjalani saja semuanya dan memasrahakan pada keadaan bagaimana kelanjutan pernikahannya ini nanti.
Menatap pintu kamar mandi, seolah tidak ada pergerakan. Ardhan jadi heran.
“Alea?” panggilnya mengetuk pintu.
“Ya, Kak?” Alea setengah terkejut mendapat panggilan itu. Ardhan kenapa belum keluar?
“Kamu ngapain saja di dalam?” Ardhan mulai curiga jangan-jangan gadis ini juga ada sedikit masalah seperti tadi.
“Eng, itu, Kak… “
Ardhan seolah mengarahkan telinganya ke pintu karena kurang jelas dengan ucapan Alea.
“Ada apa?” tanya Ardhan lagi.
Alea membuka pintunya sedikit dan melihat Ardhan sudah di depan pintu. Dia hanya melongokan kepalanya saja seolah tidak ingin Ardhan melihat sesuatu.
“Kenapa Alea?” Ardhan tampak lelah bertanya.
“Koper bajuku tidak ada di kamar mandi, aku belum bisa ganti baju, Kak?” Alea akhirnya memberanikan diri berterus terang. Dia juga sudah mulai kedinginan karena hanya melilitkan handuk di tubuhnya saja.
“Ya pakai saja baju yang ada,” jawab Ardhan karena tadi sempat melihat ada baju wanita di walk in closet. Dia pikir Alea kenapa, ternyata karena dia tidak nemu koper bajunya. “Ada baju di lemari, periksa saja!” ucapnya lagi dan memilih duduk di sofa. Mamanya pasti sudah menyiapkan baju ganti untuknya.
“Tapi, Kak! Bajunya …” Alea seolah masih keberatan.
Gadis ini kenapa sih?
“Sudah buruan, aku mau bicara denganmu, jangan lama-lama!” Ardhan mulai tidak sabar dan berteriak. Hingga membuat Alea terkejut.
Astaga, baru dengar teriakan saja terkejut dia?!
Ardhan jadi tidak enak dan melembutkan suaranya. “Bajunya kenapa?”
“Itu, bajunya nakal semua”
Ardhan melirik Alea yang masih melongok itu dan menjadi penasaran.
“Nakal bagaimana?”
“Ya begitu, kayak begini!” Alea menjulurkan tangannya sambil menenteng gantungan yang ada lingerinya.
“Astaghfirullah!” Ardhan terkesiap melihat gaun tidur seksi itu. “Ya udah, kamu cari bajuku saja dan pakai yang pas di badan kamu, oke? Jangan pakai baju haram itu!”
“I-iya, Kak!” Alea menarik kepalanya dan menutup pintu. Ardhan menghela napas sekali lagi.
“Astaga, Mama!” gumam Ardhan memijit kepalanya yang tidak sakit itu.
Pintu kamar terketuk. Ardhan berteriak menanyakan siapa yang mengetuk. Dan terdengar suara Mbok Nem, pembantu senior yang sudah bekerja di rumahnya sejak dia belum lahir.
“Ada apa, Mbok?” tanya Ardhan saat pintu dibukanya.
“Ini, Mas. Ada gingseng hangat, baik untuk bertempur di malam pertama” tukas Mbok Nem sambil tersenyum-senyum melihat den bagusnya itu sudah mau malam pertama.
“Apaan sih, Mbok. Pasti Mama yang nyuruh, ya?”
“Eeh, bukan. Udah di minum saja. kalaupun Mas Ardhan tidak mau malam pertama sekarang, setidaknya bisa mengurangi capek dan lelah, jadi tidurnya bisa nyenyak.” Mbok Nem ingat, bisa jadi Ardhan belum mau melakukan malam pertama karena menikahnya dadakan.
“Ya udah, Mbok. Makasih!” ucap Ardhan menerima minuman itu.
“Mbak Alea juga boleh minum itu, kok! Biar sama-sama … “ Mbok Nem tidak jadi mengucapkannya, ingat pernikahan mendadak itu. “Sama-sama nyenyak tidurnya!”
Ardhan menutup pintu kamarnya dan berjalan meletakan minuman itu di nakas. Saat membalikan tubuhnya dia melihat Alea keluar dari kamar mandi.
Glek!
Dia menelan salivanya karena melihat Alea menggenakan kemeja putihnya yang tentu terkesan berbeda jika Alea yang memakainya.
Untuk sesaat Ardhan sedikit blenk tapi dengan cepat dia menguasai dirinya. Ada bayangan seseorang yang membuatnya tidak ingin meneruskan pikiran kotornya. Dia meraih selimut dan bergegas menghampiri Alea dan menangkupkannya di tubuh itu.“Kenapa pakai kemeja putih ini?”“Tadi katanya suruh pakai baju, Kakak?”“Ya jangan yang putih juga!” menerawang tahu, kata yang hanya bisa dilanjutkan di benak Ardhan.“Hanya itu yang sedikit kecil, yang lain besar semua.” Alea memberi alasan.“Ya udah, jangan lepas selimutnya!” Ardhan memberi peringatan.“Kenapa, Kak?”Hufft!Ardhan menghela napas panjang. Apa dia harus menjelaskan secara gamblang setiap ucapannya? Harusnya Alea tahu sendiri kenapa dia tidak bisa melihatnya memakai kemeja putihnya yang sedikit tipis itu sementara dia tidak menggenakan apapun di dalam sana.“Sudah, tidak perlu banyak tanya. Duduklah, aku mau bicara!” ucap Ardhan meminta Alea duduk di sofa.“Bicara apa, Kak?” tanya Alea sambil ribet membenahi selimut tebal yang sangat
Ini sholat pertamanya yang dipimpin seorang pria yang kini menjadi imamnya. Alea menatap punggung tegap itu dan tidak menyangka bahwa sekarang pria itu adalah suaminya. Pikirannya berkecamuk lantaran tidak tahu pasti bagaimana menghadapi hari-hari selepas ini. Apa Ardhan akan bisa mencintainya? Apa dirinya juga begitu? Dan berbagai pikiran berkelebat di kepalanya.Selepas memanjatkan doa, Alea jadi kikuk. Dia menatap Ardhan yang sepertinya masih khusuk menunduk. Entah berdoa atau sedang memikirkan seseorang. Alea jadi bingung, mau langsung berdiri atau masih harus menunggunya.“Kak! Aku pakai cium tangan apa tidak?” tanya Alea dengan polosnya melihat Ardhan yang tidak bergeming. .Ardhan seketika menoleh sedikit ke belakang. Di mana posisi Alea duduk di sana.“Ya cium lah, sama suami masa gak cium tangan?” tukas Ardhan menggeser posisinya lalu mengulurkan tangan kanannya. Jangan karena dia tidak mencintai Alea, lantas kebiasan baik tidak dilakukan.Alea sedikit kaku menyalimi dan menc
“Mama perlu tahu kalau kau sudah benar-benar memperlakukan Alea sebagai istrimu! Ingat, sebagai istrimu!”Ardhan tentu paham apa yang dimaksud Hera. Dia mendegus lemah dan meruntuki kenapa memiliki mama yang membuat hidupnya jadi ribet ini. Tidak bisa begini terus, dia harus menemukan cara agar bisa terlepas dari kungkungan wanita ini. Nyonya Hera Hamid Muradz. Wanita yang begitu menyebalkan namun Ardhan tentu tidak ingin kehilangan syurga di telapak kakinya.“Kami tentu juga butuh privacy, Ma. Alea pasti tidak akan keberatan jika ikut tinggal di rumahku. Atau kalau dia tidak mau, biar dia tinggal di sini saja,” tukas Ardhan yang balik memberikan pilihan untuk mamanya itu.“Maksudmu kau akan tinggalkan istrimu di sini sementara kau di rumahmu itu?” Hera justru tidak terima dengan hal ini.“Ya kalau begitu biarkan dia ikut aku, beres kan!”Alea hanya menjadi pendengar dari perdebatan itu. Dia tentu tidak memiliki kuasa untuk menyahut ataupun memberikan pendapat. Siapa dirinya?Jujur ji
Ardhan mengetahui ada orang di sana saat dirinya sedang menelpon kekasihnya. Kemudian dengan cepat diakhirinya obrolan itu. Dia berdehem agar Alea menyadari bahwa dirinya mengetahui kehadirannya. Alea yang sejak tadi berdiri mematung mendengar deheman Ardhan sehingga tergagap dan melangkah menghampiri Ardhan. “Maaf, Kak. Tadi Mama Hera minta saya antar minuman dan cemilan untuk Kak Ardhan.” Alea meletakan nampan itu di meja. “Kenapa minta maaf?” Ardhan menelisik ingin tahu seberapa lama Alea mendengar obrolannya dengan Naysila. “Karena tidak mau dianggap menguping.” “Memangnya apa saja yang kau dengar?” Ardhan menatap Alea yang tertunduk itu. Gadis ini polos dan pasti akan menanyakan tentang obrolan yang terdengar mesra tadi. Kalau dia tanya, Ardhan juga tidak segan ingin menyampaikannya langsung tentang Naysila. “Tidak, kok, Kak! Aku tidak mendengar banyak. Tadi hanya tidak sopan saja kalau harus menguping pembicaraan jadi aku berniat hendak balik” Alea mengira Ardhan tidak suk
Pertengkaran itu membuat Ardhan dan Alea saling diam saat keduanya ada di dalam kamar yang sama dan melakukan kegiatan masing-masing. Alea yang membenahi alat make up di meja riasnya, dan Ardhan yang sibuk dengan laptopnya.Sebenarnya Ardhan sudah memiliki inisiatif untuk meminta maaf pada Alea. Bagaimanapun dia tidak bisa sekasar itu pada seorang wanita, apalagi wanita itu istrinya sendiri. Dia teringat ceramah seorang ustad yang mengatakan sebaik-baiknya seorang pria adalah dia yang memperlakukan istrinya dengan baik dan lembut. Tidak mengasarinya dan juga tidak membentaknya.Tapi bagaimanapun juga, Ardhan tidak pernah mengharapkan semua ini. Dan lagi, gadis seperti Alea tentu akan sangat kesulitan mendapatkan kesempatan untuk bisa disukainya. Mengingat Alea yang polos dan terkadang mengesalkan itu.“Okelah, aku akan minta maaf nanti,” batinnya bergumam sambil melirik ke tempat Alea sibuk dalam diamnya.Sedangkan Alea bahkan enggan menoleh ke arah Ardhan yang sibuk dengan laptopnya
Ini pertama kali Alea diajak jalan-jalan Ardhan berkeliling kota. Mereka mampir ke sebuah kafe dan memesan beberapa minuman dan makanan ringan saja, karena mereka sudah makan malam. Alea yang memang sejak dulu suka sekali dengan dunia kulinair tampak bersemangat memesan beberapa menu makanan.“Yang ini saja Mbak, tolong jangan di kasih soda ya, saya tidak suka soda” ujar Alea saat menunjuk menu pada waiters yang akan mencatat menu mereka.“Baik, akan segera tersedia. Mohon bersabar!” ucap waiters itu.Ardhan memperhatikan Alea yang sepertinya sudah tidak menampakan kekesalan padanya. Lalu berusaha mengambil hatinya agar bisa membantunya.“Kau tampak terbiasa dengan menu-menu modern?” ucap Ardhan membuka obrolan.Alea tersenyum seraya berkata, “Sebenarnya saat merawat ibuku yang sakit, aku ikut kelas memasak online. Di sana juga diajarin membuat beberapa menu minuman dan banyak lagi. Karena itu aku tidak terpikir kuliah lagi, justru berpikir pengen berbisnis kuliner.”Ardhan menatap Al
Masuk di entrance perumahan, Ardhan menyapa para security dan melajukan mobilnya lagi menuju unit huniannya. Alea memperhatikan perumahan itu dan merasa takjub. Ardhan ternyata tinggal di perumahan yang mewah. Seumur-umur, tempat mewah yang pernah Alea kunjungi adalah rumah Hera. Tapi ini lebih terkesan mewah dan modern.“Rumahnya bagus-bagus, Kak?” Alea berkomentar sambil melihat-lihat dari jendela mobil.Ardhan tidak menyahut. Dia ingat kata Nadhim mertuanya, Alea anak rumahan yang lebih nyaman tinggal di rumah dan jarang pergi ke mana-mana. Melihat perumahan begini saja dia sudah terkesan.“Kakak kok tinggal di sini?” tanya Alea asal.Ardhan tidak paham dengan kalimat pertanyaan Alea. “Kamu bertanya atau heran atau bagaimana sih? gak jelas banget!”“Yeee, kan aku cuma nanya!”“Kalau tanya itu diawali dengan kata tanya. Jadi jawabnya juga enak, gak ambigu begitu.”“Tinggal jawab saja bawel!” gumam Alea lirih.Mobil memasuki halaman sebuah rumah. Setelah memarkirkan mobilnya, Ardhan
Setelah menyelesaikan meetingnya dan memeriksa beberapa dokumen penting, Ardhan ingat bahwa dia sudah berjanji menghubungi Naysila. Dia pun segera mengambil ponselnya dan menghubungi kekasihnya itu. Panggilan tidak langsung tersambung. Ardhan pun memilih melanjutkan mengerjakan beberapa kerjaannya saja sambil menunggu balasan panggilan.Notifikasi pesan terdengar. Ardhan melirik layar ponselnya dan tersenyum karena Naysila yang mengirim.[Mau aku yang telpon atau kamu yang telpon?]Ardhan kemudian mengambil ponsel itu dan menghubungi Naysila. Panggilan langsung tersambung.“Hallo, sayangku, cintaku…” sapa Naysila renyah membuat sudut bibir Ardhan tertarik ke atas karena senyum terkembang.“Hallo juga, sayang! Apa kabarmu?”“Buruk! Aku sepanjang hari ini merindukanmu, do you miss me too?”“Of course, I miss you so much!” balas Ardhan.“Hmm, aku jadi pengen terbang ke indonesia dan peluk cium kamu”“Kelarin dulu semuanya, aku akan merasa berdosa jika hanya karena kau merindukanku kuliah