Share

Bab 2. Mama baru

“Erlan, apa yang terjadi dengan Gempi?” Pria itu langsung mendapatkan cercaan dari mamanya begitu ia pulang karena melihat wajah Gempi yang sembab. Terlebih gadis manis itu memilih langsung ke kamar tanpa mempedulikan orang sekitar. 

“Dia sedang merindukan mamanya, Mam.”

Terdengar embusan napas kasar dari Gian–mama Erlan. “Sudah mama bilang, kau harus segera mencari pasangan!”  

Satu sudut bibir Erlan tertarik karenanya. Ia lantas menjatuhkan tubuhnya di sofa dengan punggung yang bersandar. Tatapannya lurus menatap Gian lalu mengembuskan napas kasar. “Aku tidak mau.”

“Erlan, ini sudah lima tahun. Pasti berat bagi Gempi melewati hari-hari tanpa seorang ibu.” Gian masih mencoba membujuk anaknya, tetapi hasilnya tetap nihil.

Erlan bahkan memilih bangkit lalu mengambil kunci mobilnya yang ia simpan di atas meja sebelumnya. “Aku harus menghadiri rapat.”

“Apa kau tidak akan mengganti baju?” 

“Aku bisa telat,” sahut Erlan yang sudah keluar dari rumah orang tuanya. 

Lagi-lagi Gian hanya mampu mengembuskan napasnya dengan berat. Wanita paruh baya itu memilih menemui cucu semata wayangnya yang kini sedang tidur.

Sepertinya menangis sepanjang hari membuat Gempi kelelahan dan berakhir tidur dengan posisi tengkurap. Jelas Gian yang melihatnya merasa iba karena dari bayi merah cucunya itu tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari sang ibu. 

Mengusap rambutnya yang berkeringat, Gian lantas membenarkan posisi tidur Gempi. Setelahnya ia mengecup kening sang cucu lalu berbisik, “Jangan khawatir, Nak. Nenek akan carikan ibu untukmu.”

Setelah itu, Gian pergi dari kamar untuk menghubungi seseorang. Sementara di tempat lain, lebih tepatnya di rumah Alyn. Wanita itu baru saja tiba yang langsung disambut oleh ibunya. 

“Alyn, kau pasti lelah. Sebaiknya segera bersih-bersih, ibu sudah buatkan masakan kesukaanmu.” 

“Iya, Ibu.”

Alyn ke kamarnya untuk membersihkan diri kemudian ke dapur untuk menemui ibunya. “Waaah, ini yang membuatku teringat terus dengan rumah. Masakan ibu yang paling enak,” ujarnya sambil memeluk Serin–mamanya dari belakang. 

Sontak Serin terkekeh ringan. Ia menoleh lalu mengusap pipi anaknya dengan lembut. “Sudah, jangan banyak bicara. Lebih baik kau makan sekarang.”  

“Iya, Bu.” Dengan patuh Alyn segera menikmati makanan tersebut.

“Alyn, apa besok malam kau memiliki jadwal penerbangan?” tanya Erin di sela-sela makan mereka.

Alyn langsung menegakkan kepalanya lalu menatap ibunya dengan bingung. “Besok malam aku tidak memiliki jadwal, tapi nanti sore aku memilikinya.”

“Oh, Alyn. Kau bahkan baru pulang. Kenapa nanti sore harus kembali bekerja?” Erin menatap anaknya dengan iba karena jadwal putrinya yang padat.

Wanita kecil itu hanya meringis kecil kemudian kembali melanjutkan makan. Memang seharusnya ia pulang ke hotel seperti temannya yang lain, tetapi Alyn yang merindukan ibunya pun memilih untuk menyempatkan diri pulang.

“Ibu bahkan sudah tahu bagaimana jadwalku. Lalu kenapa Ibu malah bertanya?” Alyn kembali menegakkan kepalanya demi menghargai lawan bicaranya. Terlebih itu ibunya sendiri.

“Sejujurnya tadi ibu mendapatkan telepon dari teman lama dan dia mengajak ibu untuk makan malam. Dan ibu mau … kau ikut dengan ibu.”  

Wanita itu lantas tersenyum mendengar penjelasan dari Erin. “Aku pikir ada apa. Besok aku usahakan untuk datang menemani, Ibu.” 

“Benarkah?” Erin tampak berbinar. 

“Iya, Ibu.” 

“Ah … syukurlah. Kalau begitu kau habiskan makan. Setelahnya beristirahatlah.”

Alyn mengangguk kemudian melanjutkan makan. Selesai makan, Alyn langsung istirahat di kamarnya seperti yang tadi dikatakan Erin.   

Setelah merasa cukup dengan istirahatnya, Alyn lantas kembali bersiap. “Ibu, aku harus berangkat sekarang.”  

“Oh, Alyn. Ibu selalu khawatir jika kau akan terbang,” ujar Erin yang tengah menyapu rumah.

“Jangan terlalu khawatir. Ada bagusnya Ibu doakan aku saja.”

“Itu sudah pasti!”

Wanita itu terkekeh lalu mencium pipi ibunya sebelum berangkat. 

Tiba di bandara ia langsung bergabung dengan teman sejawatnya. Sementara di tempat lain, lebih tepatnya di sebuah perusahaan ternama. Ada Erlan yang masih berkutat dengan pekerjaannya.

Pria itu baru saja menghadari rapat penting, tetapi tidak bisa langsung pulang karena masih ada pekerjaan lain di kantor. Hingga tiba-tiba sebuah ketukan pintu membuat Erlan mengalihkan perhatiannya layar monitor ke arah pintu.

“Masuk!” serunya. 

Tampak seorang wanita dengan pakaian minim membuka pintu kemudian menghampiri Erlan. “Selamat sore, Pak. Mohon maaf, ini sudah mau malam. Apa Anda tidak akan pulang?” 

Pertanyaan dari sekretaris Erlan pun membuat pria itu melirik ke arah arloji mewah yang melingkar di lengannya. Benar, jika hari sudah mau malam. Namun, pria itu masih betah di sana. 

“Kau bisa pulang, saya akan tetap tinggal di sini.”

“Tapi, Pak—”

“Sudah, lebih baik kau pergi.” 

Tidak bisa membantah, wanita itu pun pamit undur diri. Sehingga Erlan kembali larut dengan pekerjaannya. Pria pulang ketika malam sudah larut, membuat dirinya tidak mendapatkan sambutan dari putri kecilnya yang kini sudah tertidur.

Erlan masuk ke kamar Gempi lalu duduk sisi ranjang. Ia tatap wajah lugu itu lalu mengembuskan napasnya dengan pelan. “Maafkan papa, Nak.”

*** 

“Erlan, luangkan waktu untuk nanti malam.” 

Ucapan Gian membuat Erlan mendongak. Pria itu lantas menatap ibunya dengan satu alis yang terangkat. “Untuk apa, Mam?”

“Mama ingin ajak kamu makan malam dengan teman mama.”  

Refleks Erlan memutar bola matanya. “Mama, apa tidak lelah menjodohkanku dengan banyak wanita?”  

Gian meringis kecil karena rencananya sudah bisa Erlan tebak. 

Ya, bukan hanya sekali Gian melakukan ini. Wanita paruh baya itu sering memperkenalkan wanita yang siap menjadi istri juga ibu bagi Gempi. Sayang … semuanya berakhir dengan penolakan dari Erlan dan Gempi.

Lantas, apa kali ini Gian akan berhasil?

“Nenek, apa kita akan bertemu lagi dengan calon mamaku?” tanya Gemi yang memang sedang berkumpul di ruang makan. Gadis manis itu terlihat lucu menatap Gian dengan mata yang terbuka lebar. 

“Ya, kali ini pasti kau akan menyukainya.”

Tiba-tiba saja Gempi mengembuskan napasnya dengan kasar. “Aku tidak ingin mama cerewet, seperti yang kita temui minggu lalu.” 

Gian terkekeh ringan mendengar keluhan Gempi. Sementara Erlan refleks mengusap ujung kepala anaknya dengan lembut. 

“Kau tenang saja, Sayang. Kali ini nenek membawa mama yang baik.” 

Gadis kecil itu menggeleng. Menunjukan jika ia tidak suka dengan ide neneknya. Sehingga Gian yang melihatnya merasa heran. Karena pasalnya gadis manis itu paling semangat jika ia akan memperkenalkan calon mamanya, meski sering kali berakhir dengan tangisan lantaran Gempi yang tidak suka dengan wanita yang dijodohkan dengan papanya.

“Gempi, apa kau sudah tidak ingin mama?” tanya Gian membuat Erlan menghela napas.  

“Mam—” 

“Gempi sudah punya mama baru!”

Sontak pengakuan Gempi membuat Gian langsung menatap anaknya. “Erlan, jadi kau sudah memiliki kekasih?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status