Waktu sudah menunjukkan pukul 23.30, ketika Kirei baru pulang dari tempat kerjanya. Meskipun sebagai anak pengusaha, tetapi Kirei harus bekerja demi uang saku lebih, berhubung tak pernah mendapat perlakuan istimewa dari Sigit, sang ayah.
Malam itu, Kirei sengaja mengambil jalan pintas dengan tujuan ingin lebih cepat tiba di rumah. Namun, sialnya ada perbaikan di jalur yang akan dilewati. Kirei terpaksa harus memutar ke arah lain. “Ya, ampun. Seharusnya, aku lewat jalan utama saja,” keluh Kirei, seraya terus menjalankan sepeda motor. Harus diakui, dia mulai takut melewati jalan sepi, dengan deretan pabrik yang dibatasi benteng tinggi. Tepat saat akan melintas di depan salah satu pabrik paling ujung yang terbengkalai karena kebakaran, Kirei melihat dua pria menyeret kasar sesosok tubuh dari dalam pabrik tersebut, tanpa ada perlawanan. Sepertinya, orang yang diseret itu dalam kondisi pingsan, atau mungkin tidak bernyawa. Tak berselang lama, muncul pria lain melangkah gagah dari dalam pabrik. Pria itu mengenakan topi baseball, yang makin menyamarkan wajahnya. “Bos! Ada orang!” Salah satu dari dua pria yang menyeret tadi setengah berseru. Kirei yang sudah mendekat ke arah mereka, refleks membelokkan sepeda motor hendak berbalik arah. Namun, sialnya dia justru terjatuh. Kirei cukup kesulitan bangkit karena kakinya tertindih sepeda motor. Alhasil, seorang pria menghampiri dan langsung menamparnya dengan keras hingga pingsan. ............... “La Lechuza.” Sayup-sayup, Kirei mendengar perbincangan. Dia mencoba membuka mata, tetapi tak bisa karena tertutup kain. Begitu juga dengan kaki dan tangan yang sama-sama terikat. “Seseorang! Tolong aku!” teriak Kirei begitu nyaring. Terdengar derap langkah mendekat. Kirei beringsut mundur. Dia teringat pada kejadian sebelum pingsan. “Siapa di sana?” tanya Kirei, dengan suara tak selantang sebelumnya. “Apa yang kamu lihat tadi?” tanya seorang pria bersuara berat. “Tidak ada. Aku tidak melihat apa-apa,” jawab Kirei gugup. “Jangan bohong. Katakan sejujurnya. Apa yang kamu lihat?” tanya pria itu tenang, tapi penuh penekanan. “Sudah kukatakan. Tidak ada! Aku hanya kebetulan lewat di sana. Jadi, aku tidak melihat apa pun yang kalian lakukan di dalam pabrik,” bantah Kirei cukup tegas. “Baiklah. Kita lihat seberapa jujur dirimu,” ucap si pria lagi. Kirei terdiam sejenak, mencoba menerka yang akan pria itu lakukan. Namun, dia tak bisa membayangkan apa-apa dalam kondisi mata, tangan dan kaki terikat. “Tolong lepaskan aku. Biarkan aku pergi,” pinta Kirei. “Tidak semudah itu,” tolak si pria datar. “Tutup mulutmu, agar tetap aman.” “Apa lagi? Aku sudah mengatakan yang sebenarnya.” Kirei hampir putus asa. “Hm. Biarkan dia tetap di sini,” ucap pria itu. “Siap, Bos.” Tak berselang lama, terdengar suara pintu berderit. Suasana jadi sangat hening, pertanda tak ada siapa pun di sana selain Kirei. “Ya, Tuhan. Bagaimana ini?” Kirei jadi kian resah. Terlebih, saat mendengar suara cicitan hewan pengerat yang entah dari arah mana. Kirei menarik kaki, lalu menekuknya. Rasa tak nyaman mendera hebat, berhubung posisi tangan yang terikat ke belakang. Lama-kelamaan, tubuh Kirei merosot hingga akhirnya terbaring dalam posisi meringkuk di lantai. Lelah dan mengantuk. Kirei tak tahu apakah hari sudah berganti atau belum. Dia membuka mata perlahan. Samar, dilihatnya beberapa orang yang tengah mengerubungi dengan tatapan aneh. “Di-di mana ini?” Kirei berusaha bangkit. Dia sudah dalam kondisi tidak terikat lagi. Namun, Kirei tertidur di pinggir jalan, dengan sepeda motor terparkir tak jauh dari tempatnya berada. “Astaga!” Kirei bergegas bangkit, seraya melihat sekeliling. “A-aku ….” Wanita muda itu jadi serba salah. Tak ingin terus jadi pusat perhatian, Kirei bergegas menaiki sepeda motor, lalu mengenakan helm. Dia pergi dari sana, dengan perasaan campur aduk. Kirei tak mengerti atas apa yang telah terjadi pada dirinya. Beberapa saat kemudian, Kirei sudah tiba di rumah. Wajah ketus Astrid menyambut di teras. Kebencian terlihat jelas dari sorot matanya. “Dari mana saja kamu? Papa menunggu sejak semalam,” tanya Astrid ketus. “Aku ….” Kirei terdiam, tak tahu harus berkata apa. “Sudah mulai bandel kamu, ya! angan sampai mengikuti jejak mama jadi wanita murahan.” “Jangan bicara seperti itu, Kak. Bagaimanapun juga, kita memiliki ibu yang sama,” tegur Kirei. “Najis! Aku tidak sudi memiliki ibu seorang wanita murahan,” cibir Astrid ketus, seraya memakai kacamata hitam. “Cepat masuk karena papa sudah menunggumu! Dia ingin bicara serius.” Setelah berkata demikian, Astrid berlalu dari hadapan Kirei, kemudian masuk ke mobil dan pergi dari sana. Kirei terpaku sejenak, sebelum masuk ke rumah. Dia langsung ke ruang makan karena sangat lapar dan haus. Namun, baru saja duduk di meja makan, telepon genggamnya berdering. Kirei memeriksa panggilan masuk, yang ternyata dari sang ayah. Wanita muda itu mengedarkan pandangan, sebelum menjawabnya. “Iya, Pa.” “Ke mana saja kamu? Semalam kamu tidak pulang?” Sigit, ayahanda Kirei langsung memberondong pertanyaan dengan nada tidak bersahabat. “Maaf, Pa. Aku harus lembur dan ___” “Banyak alasan!” sela Sigit. “Cepat ke ruang kerja Papa! Ada hal penting yang harus kita bicarakan,” titahnya. “Iya, Pa. Sebentar. Aku mau makan dulu.” “Sekarang!” tegas Sigit, kemudian menutup sambungan telepon. Kirei bergegas menuju ruang kerja Sigit. Dia mengabaikan rasa lapar. “Ada apa, Pa?” tanya Kirei, setelah masuk. “Bersiaplah. Nanti malam kamu akan menikah.” “A-apa? Menikah?”“Ya. Menikah.” Sigit menegaskan.“Ta-tapi, bagaimana bisa?” protes Kirei.“Apanya yang ‘bagaimana bisa?’ Menikah, ya menikah. Persiapkan dirimu dari sekarang.” “Tidak, Pa. Jangan bercanda.” Kirei mendekat ke meja kerja Sigit, berdiri di depannya dengan sorot tak mengerti.Sigit yang awalnya bicara sambil memeriksa beberapa berkas, mengalihkan perhatian sepenuhnya kepada Kirei. “Apa Papa pernah bercanda denganmu?” Nada serta tatapan pria paruh baya itu terdengar kurang bersahabat. Kirei menggeleng kencang, menolak tegas keputusan Sigit. “Papa tidak bisa mengambil keputusan sepihak! Ini tentang masa depanku, Pa!” protesnya cukup tegas. “Masa depanmu adalah menikah nanti malam! Keputusan sudah diambil dan tidak ada kata protes! Apalagi penolakan.” tegas Sigit. Kirei kembali menggeleng kencang. “Aku bahkan tidak tahu akan menikah dengan siapa.”“Jangan khawatir. Kamu tidak Papa nikahkan dengan pria sembarangan,” ucap Sigit. “Calon suamimu adalah pengusaha ternama, yang tentunya bisa m
Kirei hendak mundur. Namun, di belakangnya ada Sigit yang menghalangi. Alhasil, dia tidak bisa ke mana-mana.“Duduk,” suruh Sigit pelan, tapi bernada penuh intimidasi. Mau tak mau, Kirei menurut. Dia duduk di sebelah Dev, yang terlihat sangat tenang. “Bisa dimulai sekarang?” tanya petugas yang akan menikahkan Kirei dan Dev.Dev mengangguk penuh wibawa. Namun, tidak dengan Kirei. Dia justru sangat tegang. Prosesi pernikahan dimulai. Tak seperti upacara sakral biasa, Dev dan Kirei hanya diminta menandatangani beberapa lembar dokumen, yang entah apa isinya. Kirei tak sempat membaca seluruh isi yang tertera dalam dokumen itu. Dia langsung membubuhkan tanda tangannya. Wanita muda itu tidak tahu apa yang akan terjadi setelah diperistri Dev. Beberapa saat berlalu. Petugas yang tadi menikahkan Dev dan Kirei telah pergi. “Kirei akan kubawa sekarang juga,” ucap Dev datar.“Dia sudah menjadi milik Anda,” balas Sigit tanpa beban.“Papa!” sergah Kirei, melayangkan tatapan protes terhadap Si
Kirei langsung memasukkan kembali baju tidur seksi itu ke paper bag. “Kenapa?” Dev berdiri di hadapan Kirei. “Aku tidak mau,” tolak Kirei, seraya berbalik membelakangi. Dev menggumam pelan, kemudian menyentuh lengan Kirei. “Ganti bajumu,” ucapnya, setengah berbisik. “Kamu sudah jadi milikku. Itu artinya, aku bebas melakukan apa pun terhadapmu.”“Aku tidak mau,” tolak Kirei segera. “Aku tidak sudi bercinta dengan seorang penjahat!"Dev kembali menggumam pelan. “Penjahat? Memangnya, apa yang kamu ketahui tentangku?” “Jangan kira aku tidak mengenali suaramu, Pak Dev. Semua masih terekam jelas dalam ingatanku.”“Jangan mempersulit dirimu, Sayang," ucap Dev pelan. Kirei berbalik, lalu mundur perlahan. Memberi jarak antara dirinya dengan Dev. “Siapa kamu sebenarnya Dev Aydin Bahran?” Kirei menatap tajam pria tampan berperawakan tinggi tegap itu. “Aku? Silakan cari tahu sendiri.” Dev begitu tenang menghadapi Kirei, yang justru memperlihatkan sikap tak bersahabat. Dev mengalihkan perha
Kirei terbangun dan mendapati Dev sudah tidak ada di sebelahnya. “Ya, Tuhan,” desah wanita muda itu pelan, seraya menyentuh area kewanitaannya yang terasa tak nyaman. Kirei bangkit perlahan, lalu turun dari tempat tidur. Dia mengambil mini slip dress dari lantai, lalu kimono dari dalam paper bag. Tenggorokan Kirei terasa begitu kering setelah bercinta. Dia beranjak keluar kamar, bermaksud pergi ke dapur. Padahal, Kirei belum mengetahui seluk-beluk tempat itu. Cahaya temaram menerangi sepanjang koridor. Kirei terus melangkah dalam kesunyian. Dia tak tahu harus ke mana. Kirei hanya mengikuti insting. Sesaat kemudian, Kirei akhirnya menemukan dapur. Dia segera mengisi gelas hingga penuh, lalu meneguk sampai hanya tersisa setengahnya. Ketika Kirei akan menghabiskan sisa air putih itu, sayup-sayup terdengar seorang pria merintih pelan. Suaranya agak parau, bagai sedang kesakitan. “Siapa itu?” gumam Kirei, dengan wajah mulai tegang. Kembali terbayang dalam ingatan, kejadian kemarin mal
“Berhenti di sini,” pinta Kirei pada Rudi, sopir yang ditugaskan mengantarnya ke kampus. “Pak Dev memerintahkan saya untuk ____” “Dia tidak ada di sini. Jangan khawatir. Aku tidak akan melarikan diri,” sela Kirei meyakinkan. “Maaf, Mbak. Tapi ….” Rudi terdengar ragu. Dia terlihat serba salah. “Aku janji.” Kirei mengangkat dua jari, sebagai penegas ucapannya tadi. “Aku tidak mau jadi pusat perhatian. Itu saja,” kilahnya. Rudi tidak punya pilihan lain. Akhirnya, dia setuju menurunkan Kirei beberapa meter dari pintu gerbang universitas, tempat wanita muda itu menimba ilmu. Setelah Kirei turun dari kendaraan, Rudi segera menghubungi seseorang. “Tugasku selesai,” ucapnya, langsung menutup sambungan tanpa basa-basi lagi. Dia harus segera kembali ke kediaman Dev. Sementara itu, Kirei berjalan kaki menuju pintu gerbang. Tepat sebelum memasuki halaman kampus, sebuah jeruk melayang dan mendarat tepat di pelipisnya. Kirei langsung tertegun. Dia bisa menebak siapa pelaku dari tin
“Ini hanya kecelakaan kecil karena aku kurang hati-hati,” jawab Kirei. Lagi-lagi, dia berbohong. Kirei takut Dev marah dan melakukan sesuatu yang di luar batas. “Kecelakaan kecil katamu?” Dev menatap dengan sorot tajam. Rasa tak percaya tersirat jelas dari sepasang mata cokelat pria tampan itu. Kirei mengangguk pelan. “Jangan berbohong di hadapanku.” Nada bicara Dev terdengar aneh dan teramat menakutkan. “Ti-tidak. Bagaimana mungkin aku be-berani berbohong padamu.” Nyali Kirei selalu menciut ketika berhadapan langsung dengan Dev. Entah mengapa, aura pria berdarah Meksiko tersebut begitu menakutkan. “Kalau begitu, katakan siapa yang berani melakukan ini padamu?” “Sudah kukatakan tadi. Tidak ada!” tegas Kirei, seraya menepiskan tangan Dev dari wajahnya. “Sebaiknya, jangan ikut campur dengan urusan pribadiku!" Setelah berkata demikian, Kirei langsung berbalik. Tak ingin diinterogasi lebih jauh oleh Dev, wanita muda itu memilih berlari menuju kamar. Anehnya, Dev tidak
“Jangan pura-pura tidak tahu!” Kirei menatap tajam.“Aku memang tidak tahu dan tidak mengerti dengan maksud pertanyaanmu tadi,” balas Dev tenang, seraya meletakkan buku di meja. Dia beranjak dari duduk, lalu mendekat ke hadapan Kirei. “Bagaimana kabarmu hari ini?” tanyanya, diiringi tatapan penuh arti.Namun, Kirei justru tak menyukai dengan cara Dev menatapnya. Dia langsung memalingkan wajah. “Hari-harimu akan jauh lebih tenang sekarang. Kupastikan tak ada yang berani mengganggumu lagi,” ucap Dev, pelan dan dalam. Kirei sontak menoleh, menatap tajam pria tampan di hadapannya. “Jadi, benar dugaanku? Kamu yang telah melenyapkan Natasha dan teman-temannya?”“Lebih tepatnya adalah anak buahku. Aku hanya memberi perintah,” ujar Dev tenang. “Bagaimana kamu bisa mengetahui semua itu?” Kirei menatap penuh selidik. “Kamu mengawasiku?” “Sudah kukatakan bahwa ini akan jadi lebih mudah untukku,” balas Dev tetap tenang. “Dari mana? Siapa? Bagaimana caranya kamu mengawasiku, Dev?” “Aku tidak
Kirei terdiam. Namun, dia tak mau ambil pusing dan bergegas ke pintu. “Temani aku malam ini,” ucap Dev, bersamaan dengan Kirei yang hendak memutar gagang pintu. Kirei langsung menoleh. “Ke mana?” tanyanya pelan.“Nanti juga kamu akan tahu,” jawab Dev singkat. Dari nada bicara serta bahasa tubuhnya, tampak jelas bahwa dia tak berniat melanjutkan perbincangan. Apalagi, Dev kembali pada buku yang sedang dibacanya tadi. Melihat itu, Kirei juga tak ingin banyak bertanya. Dia bergegas keluar kamar. Kirei melangkah tergesa-gesa, membawa kemarahan yang tak dapat dilampiaskan sepenuhnya. Kirei masuk ke kamar dan langsung menutup pintu. Dia bersandar beberapa saat sambil memejamkan mata. Dadanya terasa begitu sesak, mengingat nasib sial yang harus dijalani saat ini. “Mama … kenapa? Kenapa harus aku yang menanggung semua kesalahanmu?” Kirei membuka mata, menatap sekeliling kamar yang ditempatinya. Penyesalan Kirei tak pernah habis, meskipun selalu berusaha menerima semua yang terjadi. Sesu
“New York?” Kirei menatap tajam Owen yang langsung mengangguk. “Kenapa? Kenapa kau ingin membawaku ke sana?” tanya Kirei penuh selidik.“Bukankah kau tidak ingin kembali pada Dev Aydin? Pria itu ada di kota ini. Jika kau juga masih di sini, bukan tak mungkin dia akan menemukanmu dalam waktu dekat,” jelas Owen.Namun, Kirei langsung menggeleng kencang. “Tidak!” tolaknya tegas, seraya berdiri dan menjauh dari Owen. “Aku tidak akan mengulangi kebodohan yang sama, dengan langsung percaya pada pria yang belum kukenal baik.”“Apa yang salah dariku? Aku tidak punya niat buruk padamu. Aku justru ….” Owen yang sudah beranjak dari duduk, berjalan ke hadapan Kirei. “Kau sangat menarik,” ucapnya, seraya menyentuh pipi wanita itu.“Jangan merayuku!” Kirei menepiskan kasar tangan Owen dari wajahnya. “Aku tidak mengenalmu dan tak tahu apa yang kau inginkan.”“Jika aku punya niat buruk, aku pasti sudah memberitahukan keberadaanmu sejak awal kepada Dev Aydin. Aku juga tidak akan mengakui telah ditugas
Kirei tersenyum lebar, diiringi gelengan tak percaya. “Kupikir, kau tidak selucu ini, Tuan Wyatt.”“Aku serius.”Perlahan, senyuman Kirei memudar. Raut wajahnya berubah aneh.“Kenapa?”“Seharusnya, aku yang bertanya kenapa.”Owen tidak menjawab. Dia berbalik, menghadapkan tubuh sepenuhnya kepada Kirei. Pria tampan berambut cokelat gelap itu makin mendekat. “Anggap saja sebagai salam pertemuan dan perpisahan.”“Maksudmu?” Kirei menatap tak mengerti.“Aku tak tahu apakah kita akan bertemu lagi atau tidak. Kau wanita yang sangat menarik, Helena.&rdqu
Kirei duduk di hadapan Owen, yang menatapnya dengan sorot tak dapat diartikan. “Sejak kapan kau ada di sini?” “Aku baru masuk.” “Aku tidak percaya.” Kirei menatap ragu.“Sungguh menyedihkan jadi Owen Wyatt. Kenapa sulit sekali mendapat kepercayaan dari orang lain?” Owen menggeleng tak mengerti, lalu berdecak pelan. “Ya, ampun. Apakah kata-kataku telah menyinggung perasaanmu?” Kirei menatap tak enak. “Aku tidak bermaksud begitu, mengingat semalam kau ….” Kirei tak melanjutkan kalimatnya.Owen justru tersenyum kalem menanggapi ekspresi tak enak yang Kirei tunjukkan. “Aku hanya sedang membutuhkan teman bicara,” ucapnya. “Kau pikir, aku adalah orang yang tepat untuk dijadikan teman bicara?”Owen kembali tersenyum kalem. “Ayo. Temani aku jalan-jalan. Anggap saja sebagai balas budi atas pertolonganku kemarin malam,” ujarnya enteng. Kirei mengembuskan napas pelan bernada keluhan. Wanita muda berkulit eksotis itu menatap aneh.“Ayolah, Nona.” Owen beranjak dari duduk, seakan tak menerima
Kirei tak langsung menyetujui ajakan Owen. Dia terpaku menatap pria tampan bermata biru itu. Kali ini, dirinya harus lebih berhati-hati. Jangan sampai kejadian seperti terhadap Hernan terulang kembali.“Aku bisa pulang sendiri,” tolak Kirei halus.“Kenapa?” Owen tersenyum kalem. “Jangan khawatir. Aku bukan penjahat yang akan menculikmu,” candanya, meskipun terdengar tidak lucu.Namun, Kirei tetap menanggapi dengan senyuman. Ucapan Owen cukup menghibur, walau tak tahu apakah itu murni candaan atau bukan.Owen melangkah makin dekat ke hadapan Kirei. “Aku tahu siapa kau sebenarnya,” ucap pria itu pelan dan dalam.“Maksudmu?” Kirei menautkan
“Apa maksudmu, Tuan?” Kirei menatap tak mengerti.“Kami akan memberikan uang tips sesuai yang kau inginkan. Bagaimana?” Si pria tersenyum culas. “Kau tidak akan terlalu kewalahan melayani kami bertiga secara bersamaan ____”“Maaf. Aku tidak bisa,” tolak Kirei segera. Dia langsung berbalik, tak ingin meladeni para pria gila yang sedang berahi.“Hey, Sayang. Tunggu sebentar.” Pria itu meraih tangan Kirei, menahannya agar tidak pergi.Kirei yang merasa terancam, langsung berbalik. Tanpa segan, dia memukulkan nampan stainless yang dipegangnya ke kepala si pria hingga melepaskan cengkraman dan mundur beberapa langkah.Melihat temannya diperlakukan
“Hai, Kawan. Apa kabar?” sapa Luis, seraya menyalami Owen.“Seperti yang kau lihat,” jawab Owen kalem, kemudian mengalihkan perhatian kepada Dev.“Ini Tuan Dev Aydin,” ucap Luis memperkenalkan.“Apa kabar, Tuan Dev,” sapa Owen, seraya mengulurkan tangan mengajak bersalaman.“Baik,” balas Dev datar. “Langsung saja ke inti dari pertemuan ini,” ucapnya tanpa basa-basi.Owen mempersilakan duduk, lalu memanggil pramusaji untuk memesan minuman. “Jadi, bagaimana? Apa yang bisa kubantu?” tanyanya.Dev tidak langsung menjawab. Dia mengeluarkan selembar foto dari dalam saku jake
“Malam ini?” ulang Kirei tak percaya. “Ya. Kenapa? Apa kau belum siap?” Alicia menatap keheranan. “Bar ini baru dibuka beberapa bulan yang lalu. Kami membutuhkan sekitar tiga sampai lima pegawai lagi. Setiap malam, kami selalu kewalahan melayani pengunjung,” terang Alicia. “Um, iya. Aku … aku hanya belum tahu apa yang harus dilakukan. Maksudku, tugasku di sini.”“Aku akan menjelaskan padamu,” ucap Alicia. Sementara itu, Dev dan Luis terus mencari Kirei dengan menyusuri jalanan kota. Namun, mereka tak juga menemukan wanita muda itu. “Aku heran. Kirei sangat pandai melarikan diri. Jejaknya selalu hilang dengan cepat,” ucap Dev, saat berhenti di sebuah kedai kopi untuk beristirahat. “Tenang saja, Tuan. Kita masih memiliki banyak waktu di sini.” Luis menanggapi tenang ucapan Dev, sebelum meneguk kopinya. Luis merasa ada sesuatu yang berbeda dengan Dev. Dia belum pernah melihat sang majikan diresahkan oleh seorang wanita. Kali ini, sang ketua La Lechuza tersebut tampak sangat berbeda
Sandra kembali tersenyum. “Siapa namamu?” tanyanya.“Ki … Helena. Helena Aguilera,” jawab Kirei yakin.“Apa kau gadis Latin? Hm ….” Sandra memperhatikan Kirei dengan sorot aneh penuh selidik. “Agak berbeda, tapi … maksudku, aku punya teman seorang gadis Latin. Dia tidak terlihat sepertimu, meskipun …. Ah, sudahlah. Lupakan.” Sandra mengibaskan tangan di depan wajah, tak peduli dengan apa yang ada dalam pikirannya.“Ayahku berasal dari Indonesia,” ucap Kirei. Dia mengatakan yang sebenarnya, tetapi mengesankan bahwa dirinya berdarah campuran.Sandra manggut-manggut. “Baiklah, Helena. Apa kau mau ikut denganku?” tawarnya.
Entah sudah berapa jauh Kirei berlari. Satu yang pasti, kakinya terasa begitu sakit karena hanya mengenakan kaos kaki. Kirei tertegun, lalu mengedarkan pandangan ke sekitar. Di sekelilingnya terdapat banyak gedung megah yang menjulang. Kekaguman hadir di hati Kirei. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, dia bisa menjelajahi dua negara, meskipun dengan cara tidak biasa. Kirei mengembuskan napas pelan. Lelah dan lapar mendera hebat. Dia memilih menepi, sambil memikirkan apa yang harus dilakukan, tanpa uang serta bekal apa pun. Entah bagaimana dirinya bisa bertahan. Terlebih, ini adalah Kanada, bukan Indonesia. “Bantu aku, Tuhan,” gumam Kirei. Ditatapnya orang yang berlalu-lalang tanpa peduli.Kirei terduduk di emperan sebuah toko. Dia bersandar di sana, sekadar melepas lelah. Tanpa terasa, kantuk datang. Kirei tertidur dengan kepala terkulai ke depan. Beberapa saat berlalu. Entah berapa lama Kirei tertidur. Dia membuka mata perlahan. Tanpa diduga, di pangkuannya ada beberapa lembar