“Ya. Menikah.” Sigit menegaskan.
“Ta-tapi, bagaimana bisa?” protes Kirei. “Apanya yang ‘bagaimana bisa?’ Menikah, ya menikah. Persiapkan dirimu dari sekarang.” “Tidak, Pa. Jangan bercanda.” Kirei mendekat ke meja kerja Sigit, berdiri di depannya dengan sorot tak mengerti. Sigit yang awalnya bicara sambil memeriksa beberapa berkas, mengalihkan perhatian sepenuhnya kepada Kirei. “Apa Papa pernah bercanda denganmu?” Nada serta tatapan pria paruh baya itu terdengar kurang bersahabat. Kirei menggeleng kencang, menolak tegas keputusan Sigit. “Papa tidak bisa mengambil keputusan sepihak! Ini tentang masa depanku, Pa!” protesnya cukup tegas. “Masa depanmu adalah menikah nanti malam! Keputusan sudah diambil dan tidak ada kata protes! Apalagi penolakan.” tegas Sigit. Kirei kembali menggeleng kencang. “Aku bahkan tidak tahu akan menikah dengan siapa.” “Jangan khawatir. Kamu tidak Papa nikahkan dengan pria sembarangan,” ucap Sigit. “Calon suamimu adalah pengusaha ternama, yang tentunya bisa menopang masa depanmu dan masa depan kita.” “Yang benar saja.” Kirei menatap tak percaya. “Kenapa bukan Kak Astrid yang Papa nikahkan? Usianya jauh lebih matang dariku,” protes Kirei lagi. “Aku bahkan belum lulus kuliah, Pa!” tegasnya. “Alah! Kuliah!” cibir Sigit, seraya mengibaskan tangan. “Astrid sudah memiliki kekasih. Jadi, Papa tidak mungkin menikahkannya dengan pria lain.” “Tapi, kenapa harus menikah secara mendadak seperti ini? Papa bahkan tidak meminta pendapatku terlebih dulu.” Lagi-lagi, Kirei melayangkan protes keras.. “Bukankah sudah Papa tegaskan tadi? Tidak ada protes! Apalagi penolakan!” Sigit mulai jengkel karena Kirei terus membantah. Dia berdiri, kemudian beranjak dari meja kerja. Dihampirinya sang putri, yang menatap dengan sorot tak mengerti. Sigit menghadapkan Kirei padanya. Dia memandang penuh arti, wanita muda 22 tahun tersebut. “Mari bicara lebih serius, Nak,” ucap pria paruh baya itu. “Kenapa Papa tega sekali padaku?” Kirei menatap sendu. “Aku tahu Papa membenci dan tidak menginginkan kehadiranku di rumah ini. Namun, tolong jangan bersikap seperti itu. Aku selalu berusaha jadi anak baik, agar bisa disayangi seperti Kak Astrid.” Sigit tidak segera menanggapi. Dia hanya menatap lekat Kirei, yang mulai berkaca-kaca. “Apa yang harus kulakukan, agar Papa bisa menerimaku sepenuhnya?” “Lakukan apa yang Papa katakan tadi.” Kirei langsung mundur, diiringi gelengan kencang. “Tidak, Pa. Tolonglah.” Dia menangkupkan tangan, sebagai tanda permohonan. Namun, Sigit tetap pada pendiriannya. “Jangan lakukan itu padaku,” pinta Kirei. “Tidak ada cara lain, Nak. Hanya itu jalan yang bisa diambil saat ini. Kamu tahu kenapa?” Kirei menatap penuh tanda tanya. “Sebenarnya, kondisi perusahaan sedang tidak baik-baik saja. Papa membutuhkan sokongan dana yang sangat besar. Jalan satu-satunya adalah mencari pinjaman,” terang Sigit serius. “Lalu? Apa Papa mendapatkannya?” tanya Kirei. Sigit mengangguk. “Ya,” jawabnya. “Papa mendapatkan pinjaman sebanyak 350 miliar, untuk menutupi beberapa kerugian. Namun, pemberi pinjaman itu menginginkan jaminan. Terus terang, Papa tidak memiliki aset berharga lagi untuk saat ini.” “Kak Astrid masih bergaya hidup mewah. Aku tidak yakin dengan apa yang Papa katakan barusan,” ujar Kirei ragu. “Astaga. Astrid adalah Astrid! Apa hubungannya dengan aset berharga Papa?” “Papa selalu memanjakan Kak Astrid. Tidak seperti terhadapku.” Sigit menggeleng. “Jangan banyak bicara, Kirei! Kalau kita sampai bangkrut, kamu tahu sendiri seperti apa dampaknya.” “Aku tidak akan merasakan dampak apa-apa, sebab tidak pernah menikmati kemewahan seperti yang Papa berikan kepada Kak Astrid! Jangankan materi. Papa bahkan tidak pernah peduli padaku!” Kirei mengembuskan napas pelan, saat tiba-tiba teringat pada kejadian mengerikan yang menimpanya semalam. Apalagi, pagi ini dia terbangun di pinggir jalan, bagai seorang gelandangan. Namun, Kirei tak berani mengatakan apa pun tentang kejadian itu kepada Sigit. Bisa saja, dia tengah diawasi saat ini karena tak mungkin orang-orang itu melepaskannya begitu saja. “Ah, sudahlah.” Lagi-lagi, Sigit bersikap tak peduli. “Persiapkan dirimu untuk nanti malam. Pak Dev akan datang kemari.” “Siapa?” Kirei mengernyitkan kening. “Dev Aydin Bahran.” Lemas. Kirei tak tahu harus bagaimana. Semua datang secara bersamaan. Belum habis rasa takut akibat disekap orang-orang asing, kali ini dirinya dipaksa menikah dengan pria tidak dikenal. Kirei berharap jarum jam berhenti berputar. Namun, itu sesuatu yang tidak mungkin. Terlebih, ketika ada seorang perias yang menemuinya. Waktu terus berjalan. Tanpa terasa, siang berlalu berganti malam. Kirei mulai gelisah di kamarnya. Dia sudah bersiap memakai dress sederhana, dengan riasan alakadarnya. “Sudah waktunya. Pak Dev dan para petugas telah menunggu di ruang tamu,” ucap Sigit, yang bermaksud menjemput Kirei. “Tidak, Papa. Kumohon, Jangan lakukan ini padaku,” pinta Kirei, setengah memelas. Namun, Sigit tak peduli. Dia menarik tangan Kirei, sedikit menyeretnya keluar kamar. “Tidak, Pa. Kumohon. Batalkan kegilaan ini,” pinta Kirei lagi. Sebisa mungkin, dia mempertahankan diri, meski Sigit terus menariknya kencang. “Jangan membuang waktu, atau kamu akan menerima akibatnya! Jika kamu ingin dianggap berguna oleh Papa, maka jangan membantah!" “Tapi, apa yang Papa lakukan ini tidak benar,” protes Kirei, tetap menolak. Dia berpegangan pada meja. “Ingat siapa dirimu. Dasar anak haram!” umpat Sigit. “Pembawa sial!” gerutunya. Mendengar sederet kata-kata kasar itu, akhirnya Kirei menurut. Dia mengikuti Sigit hingga ke ruang tamu. “Pak Dev. Ini Kirei.” “Hai, Kirei,” sapa Dev, diiringi tatapan aneh. Kirei terpaku dengan sorot penuh ketakutan. Dia masih ingat betul suara berat itu.Kirei hendak mundur. Namun, di belakangnya ada Sigit yang menghalangi. Alhasil, dia tidak bisa ke mana-mana.“Duduk,” suruh Sigit pelan, tapi bernada penuh intimidasi. Mau tak mau, Kirei menurut. Dia duduk di sebelah Dev, yang terlihat sangat tenang. “Bisa dimulai sekarang?” tanya petugas yang akan menikahkan Kirei dan Dev.Dev mengangguk penuh wibawa. Namun, tidak dengan Kirei. Dia justru sangat tegang. Prosesi pernikahan dimulai. Tak seperti upacara sakral biasa, Dev dan Kirei hanya diminta menandatangani beberapa lembar dokumen, yang entah apa isinya. Kirei tak sempat membaca seluruh isi yang tertera dalam dokumen itu. Dia langsung membubuhkan tanda tangannya. Wanita muda itu tidak tahu apa yang akan terjadi setelah diperistri Dev. Beberapa saat berlalu. Petugas yang tadi menikahkan Dev dan Kirei telah pergi. “Kirei akan kubawa sekarang juga,” ucap Dev datar.“Dia sudah menjadi milik Anda,” balas Sigit tanpa beban.“Papa!” sergah Kirei, melayangkan tatapan protes terhadap Si
Kirei langsung memasukkan kembali baju tidur seksi itu ke paper bag. “Kenapa?” Dev berdiri di hadapan Kirei. “Aku tidak mau,” tolak Kirei, seraya berbalik membelakangi. Dev menggumam pelan, kemudian menyentuh lengan Kirei. “Ganti bajumu,” ucapnya, setengah berbisik. “Kamu sudah jadi milikku. Itu artinya, aku bebas melakukan apa pun terhadapmu.”“Aku tidak mau,” tolak Kirei segera. “Aku tidak sudi bercinta dengan seorang penjahat!"Dev kembali menggumam pelan. “Penjahat? Memangnya, apa yang kamu ketahui tentangku?” “Jangan kira aku tidak mengenali suaramu, Pak Dev. Semua masih terekam jelas dalam ingatanku.”“Jangan mempersulit dirimu, Sayang," ucap Dev pelan. Kirei berbalik, lalu mundur perlahan. Memberi jarak antara dirinya dengan Dev. “Siapa kamu sebenarnya Dev Aydin Bahran?” Kirei menatap tajam pria tampan berperawakan tinggi tegap itu. “Aku? Silakan cari tahu sendiri.” Dev begitu tenang menghadapi Kirei, yang justru memperlihatkan sikap tak bersahabat. Dev mengalihkan perha
Kirei terbangun dan mendapati Dev sudah tidak ada di sebelahnya. “Ya, Tuhan,” desah wanita muda itu pelan, seraya menyentuh area kewanitaannya yang terasa tak nyaman. Kirei bangkit perlahan, lalu turun dari tempat tidur. Dia mengambil mini slip dress dari lantai, lalu kimono dari dalam paper bag. Tenggorokan Kirei terasa begitu kering setelah bercinta. Dia beranjak keluar kamar, bermaksud pergi ke dapur. Padahal, Kirei belum mengetahui seluk-beluk tempat itu. Cahaya temaram menerangi sepanjang koridor. Kirei terus melangkah dalam kesunyian. Dia tak tahu harus ke mana. Kirei hanya mengikuti insting. Sesaat kemudian, Kirei akhirnya menemukan dapur. Dia segera mengisi gelas hingga penuh, lalu meneguk sampai hanya tersisa setengahnya. Ketika Kirei akan menghabiskan sisa air putih itu, sayup-sayup terdengar seorang pria merintih pelan. Suaranya agak parau, bagai sedang kesakitan. “Siapa itu?” gumam Kirei, dengan wajah mulai tegang. Kembali terbayang dalam ingatan, kejadian kemarin mal
“Berhenti di sini,” pinta Kirei pada Rudi, sopir yang ditugaskan mengantarnya ke kampus. “Pak Dev memerintahkan saya untuk ____” “Dia tidak ada di sini. Jangan khawatir. Aku tidak akan melarikan diri,” sela Kirei meyakinkan. “Maaf, Mbak. Tapi ….” Rudi terdengar ragu. Dia terlihat serba salah. “Aku janji.” Kirei mengangkat dua jari, sebagai penegas ucapannya tadi. “Aku tidak mau jadi pusat perhatian. Itu saja,” kilahnya. Rudi tidak punya pilihan lain. Akhirnya, dia setuju menurunkan Kirei beberapa meter dari pintu gerbang universitas, tempat wanita muda itu menimba ilmu. Setelah Kirei turun dari kendaraan, Rudi segera menghubungi seseorang. “Tugasku selesai,” ucapnya, langsung menutup sambungan tanpa basa-basi lagi. Dia harus segera kembali ke kediaman Dev. Sementara itu, Kirei berjalan kaki menuju pintu gerbang. Tepat sebelum memasuki halaman kampus, sebuah jeruk melayang dan mendarat tepat di pelipisnya. Kirei langsung tertegun. Dia bisa menebak siapa pelaku dari tin
“Ini hanya kecelakaan kecil karena aku kurang hati-hati,” jawab Kirei. Lagi-lagi, dia berbohong. Kirei takut Dev marah dan melakukan sesuatu yang di luar batas. “Kecelakaan kecil katamu?” Dev menatap dengan sorot tajam. Rasa tak percaya tersirat jelas dari sepasang mata cokelat pria tampan itu. Kirei mengangguk pelan. “Jangan berbohong di hadapanku.” Nada bicara Dev terdengar aneh dan teramat menakutkan. “Ti-tidak. Bagaimana mungkin aku be-berani berbohong padamu.” Nyali Kirei selalu menciut ketika berhadapan langsung dengan Dev. Entah mengapa, aura pria berdarah Meksiko tersebut begitu menakutkan. “Kalau begitu, katakan siapa yang berani melakukan ini padamu?” “Sudah kukatakan tadi. Tidak ada!” tegas Kirei, seraya menepiskan tangan Dev dari wajahnya. “Sebaiknya, jangan ikut campur dengan urusan pribadiku!" Setelah berkata demikian, Kirei langsung berbalik. Tak ingin diinterogasi lebih jauh oleh Dev, wanita muda itu memilih berlari menuju kamar. Anehnya, Dev tidak
“Jangan pura-pura tidak tahu!” Kirei menatap tajam.“Aku memang tidak tahu dan tidak mengerti dengan maksud pertanyaanmu tadi,” balas Dev tenang, seraya meletakkan buku di meja. Dia beranjak dari duduk, lalu mendekat ke hadapan Kirei. “Bagaimana kabarmu hari ini?” tanyanya, diiringi tatapan penuh arti.Namun, Kirei justru tak menyukai dengan cara Dev menatapnya. Dia langsung memalingkan wajah. “Hari-harimu akan jauh lebih tenang sekarang. Kupastikan tak ada yang berani mengganggumu lagi,” ucap Dev, pelan dan dalam. Kirei sontak menoleh, menatap tajam pria tampan di hadapannya. “Jadi, benar dugaanku? Kamu yang telah melenyapkan Natasha dan teman-temannya?”“Lebih tepatnya adalah anak buahku. Aku hanya memberi perintah,” ujar Dev tenang. “Bagaimana kamu bisa mengetahui semua itu?” Kirei menatap penuh selidik. “Kamu mengawasiku?” “Sudah kukatakan bahwa ini akan jadi lebih mudah untukku,” balas Dev tetap tenang. “Dari mana? Siapa? Bagaimana caranya kamu mengawasiku, Dev?” “Aku tidak
Kirei terdiam. Namun, dia tak mau ambil pusing dan bergegas ke pintu. “Temani aku malam ini,” ucap Dev, bersamaan dengan Kirei yang hendak memutar gagang pintu. Kirei langsung menoleh. “Ke mana?” tanyanya pelan.“Nanti juga kamu akan tahu,” jawab Dev singkat. Dari nada bicara serta bahasa tubuhnya, tampak jelas bahwa dia tak berniat melanjutkan perbincangan. Apalagi, Dev kembali pada buku yang sedang dibacanya tadi. Melihat itu, Kirei juga tak ingin banyak bertanya. Dia bergegas keluar kamar. Kirei melangkah tergesa-gesa, membawa kemarahan yang tak dapat dilampiaskan sepenuhnya. Kirei masuk ke kamar dan langsung menutup pintu. Dia bersandar beberapa saat sambil memejamkan mata. Dadanya terasa begitu sesak, mengingat nasib sial yang harus dijalani saat ini. “Mama … kenapa? Kenapa harus aku yang menanggung semua kesalahanmu?” Kirei membuka mata, menatap sekeliling kamar yang ditempatinya. Penyesalan Kirei tak pernah habis, meskipun selalu berusaha menerima semua yang terjadi. Sesu
Tampaknya, Dev keberatan memenuhi keinginan Xander untuk berkenalan dengan Kirei. Dia punya alasan tersendiri bersikap begitu. Dev juga tidak merasa bersalah atau sekadar tak enak hati.“Bukankah kamu mengundangku untuk makan malam?” Nada pertanyaan Dev bagai sindiran halus, berhubung belum ada satu menu pun yang dihidangkan.“Oh, astaga. Aku terlalu fokus pada pembahasan tanah,” ujar Xander, yang segera menekan tombol merah di kaki meja.Tak berselang lama, tiga pelayan masuk ke ruangan itu. Masing-masing dari mereka membawa satu menu. Sesaat kemudian, muncul seorang lagi membawa troli dengan botol minuman keluaran brand luar negeri.“Aku sengaja hanya memsan sedikit makanan. Kamu jarang makan banyak jika kutraktir,” ucap
Dev mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mencari Kirei ke seluruh penjuru kota. Dia menekankan kepada mereka agar tidak kembali ke markas, sebelum benar-benar yakin bahwa Kirei tidak ditemukan di manapun. Tiga hari pencarian besar-besaran dilakukan. Seakan tak ada rasa lelah, mereka memeriksa ke seluruh tempat. Namun, Kirei tak ada di mana-mana. Seperti sebelumnya, wanita itu sangat pandai menyembunyikan diri agar tak mudah ditemukan. “Kami sudah memeriksa setiap tempat dan …. Nona Kirei tidak ada di wilayah yang menjadi area pencarian kami,” lapor Mathias, yang bertugas memimpin kelompok 15. Rasa takut tersirat jelas dari parasnya, berhubung laporannya barusan pasti akan membuat Dev marah besar. “Kau yakin sudah mencari Kirei ke berbagai penjuru kota?” Dev menatap tajam Mathias yang berdiri dengan ekspresi cukup tegang.Mathias mengangguk tegas, berusaha menutupi ketakutan akan kemarahan sang tuan besar. “Aku membagi kelompok 15 jadi beberapa bagian, Tuan. Kami berpencar dan mel
“Nyonya!” Beto segera menghampiri Maitea. “Apa yang terjadi?” tanyanya sekali lagi, seraya menurunkan tubuh di sebelah ibunda Dev tersebut.“Ki-Kirei …. Di-dia … dia menyerangku …,” ucap Maitea terbata karena sambil menahan sakit di lengannya.“Ya, ampun. Tuan Dev pasti akan marah besar karena ini,” ujar Beto. “Apa Anda bisa bangun?”Maitea mengangguk. “Panggilkan Dokter Maldonado sekarang juga. Setelah itu, bawa rekan-rekanmu mencari Kirei,” titah Maitea.“Tuan Dev hanya menempatkan sepuluh orang di depan, dan sepuluh orang di belakang,” ucap Beto, seraya menghubungi Dokter Maldonado. Sesaat kemudian, panggilannya tersambung. Beto meminta sang dokter agar segera datang ke sana.“Dokter Maldonado akan segera kemari, Nyonya. Aku harus menghubungi Tuan Luis terlebih dulu.”Beto memanggil seorang pelayan, yang langsung membantu Maitea ke kamarnya. Setelah itu, dia bergegas menghubungi Luis sambil berjalan keluar rumah."Nyonya Maitea terluka. Nona Kirei menyerangnya, sebelum melarikan di
“Tidak, Nak! Apa yang kau lakukan?” Maitea berusaha meminta pisau yang Kirei pegang. “Berikan padaku,” bujuknya lembut, menyembunyikan rasa gugup dan khawatir yang tiba-tiba hadir. “Jika aku tidak bisa keluar dalam keadaan hidup, maka tak apa dalam kondisi tidak bernyawa. Hidupku sudah hancur. Semua angan indah tentang masa depan dan cita-cita, sirna seketika saat aku harus berurusan dengan Dev.”“Semua bisa dibicarakan baik-baik.”Kirei menggeleng kencang, membantah ucapan Maitea. “Dev memberikan kesempatan besar. Namun, dia telah memangkas habis kebebasanku. Lambat laun, napasku pun pasti harus sesuai dengan keinginannya.”“Tidak, Nak. Putraku pasti memiliki alasan kuat melakukan itu. Dia tidak pernah bertindak sembarangan tanpa perhitungan matang,” bantah Maitea.“Mama tidak tahu apa yang telah Dev lakukan. Dia kerap bersikap kasar dengan memberikan hukuman padaku,” tutur Kirei cukup tegas. “Aku pernah dihukum di ruang bawah tanah selama dua hari, dengan tiga ekor anjing buas yang
“Tidak ada hukuman lagi?”“Aku akan tetap memberikan hukuman, andai kau melanggar aturanku,” tegas Dev.“Kamu memberikan hukuman untuk kesalahan yang tidak jelas. Apakah itu adil?” Setelah lebih banyak memilih diam, Kirei akhirnya bersuara. “Aku sudah sering mengatakan ini padamu. Namun, kamu tetap egois dan hanya melihat dari satu sudut pandang, yaitu sudut pandangmu."Dev tidak menanggapi.“Apa yang bisa kulakukan, Dev? Apakah aku harus memasang papan di depan dada, yang bertuliskan ‘Dilarang menatapku’? Itu yang kamu mau?”“Aku hanya takut kehilanganmu.”“Pria yang menatapku, belum t
Kirei menoleh, menatap dengan sorot tak dapat diartikan. Namun, dia tak tahu harus berkata apa untuk menanggapi ucapan Dev. Akhirnya, dia lebih memilih diam, lalu memalingkan muka.Beberapa saat kemudian, mobil yang Dev dan Kirei tumpangi sudah tiba di halaman parkir belakang rumah perkebunan milik Maitea. Kedatangan mereka disambut senyum hangat ibunda Dev tersebut.Bahasa tubuh Maitea masih terlihat sama. Dia tidak menunjukkan kemarahan atau semacamnya, meskipun Kirei sudah melakukan kesalahan dengan melarikan dari sang putra. Entah kesalahan atau bukan yang Kirei lakukan. Namun, sepertinya Maitea berusaha memahami situasi yang dihadapi wanita muda itu.“Apa kabar, Nak? Selamat datang kembali di rumah ini,” sambut Maitea hangat dan penuh kasih. Dipeluk serta diciumnya kening Kirei, bagai seorang ibu te
Dev mengepalkan tangan mendengar ucapan Kirei. Tanpa banyak bicara, dia berlalu keluar kamar. Dev mengunci pintu, agar Kirei tidak bisa melarikan diri.Dengan langkah gagah penuh percaya diri, dia menuju kamar Luis.“Ada yang bisa kubantu, Tuan?” tanya Luis.Dev tidak segera menjawab. Dia menatap sang ajudan, dengan sorot tajam penuh makna. Namun, hanya lewat tatapan seperti itu, Luis sudah mengetahui apa yang akan Dev katakan.“Owen Wyatt,” ucap Dev dingin.Luis mengangguk. “Siap, Tuan.”“Ingat. Jangan meninggalkan jejak sedikit pun.”
Kirei terbelalak lebar, lalu mundur. Namun, Owen langsung pindah ke belakang sehingga dia tak bisa ke mana-mana. “Owen … kau ….” Suara Kirei begitu lirih. Bibirnya pun bergetar menahan kemarahan yang bisa dilampiaskan.“Luis akan memberikan bayaranmu,” ucap seseorang, yang tak lain adalah Dev. Pria tampan berkemeja putih itu tersenyum kalem, dengan sorot tak dapat diartikan yang terus tertuju kepada Kirei.“Terima kasih, Tuan Dev,” sahut Owen tanpa beban.“Ayo, pulang,” ajak Dev, seraya maju ke hadapan Kirei yang menatap ketakutan. “Kita akan kembali ke Meksiko.”Kirei menggeleng kencang, menolak keras ajakan Dev. Namun, dia tidak bisa melarikan diri, berhubung Owen menahannya dari bela
“New York?” Kirei menatap tajam Owen yang langsung mengangguk. “Kenapa? Kenapa kau ingin membawaku ke sana?” tanya Kirei penuh selidik.“Bukankah kau tidak ingin kembali pada Dev Aydin? Pria itu ada di kota ini. Jika kau juga masih di sini, bukan tak mungkin dia akan menemukanmu dalam waktu dekat,” jelas Owen.Namun, Kirei langsung menggeleng kencang. “Tidak!” tolaknya tegas, seraya berdiri dan menjauh dari Owen. “Aku tidak akan mengulangi kebodohan yang sama, dengan langsung percaya pada pria yang belum kukenal baik.”“Apa yang salah dariku? Aku tidak punya niat buruk padamu. Aku justru ….” Owen yang sudah beranjak dari duduk, berjalan ke hadapan Kirei. “Kau sangat menarik,” ucapnya, seraya menyentuh pipi wanita itu.“Jangan merayuku!” Kirei menepiskan kasar tangan Owen dari wajahnya. “Aku tidak mengenalmu dan tak tahu apa yang kau inginkan.”“Jika aku punya niat buruk, aku pasti sudah memberitahukan keberadaanmu sejak awal kepada Dev Aydin. Aku juga tidak akan mengakui telah ditugas
Kirei tersenyum lebar, diiringi gelengan tak percaya. “Kupikir, kau tidak selucu ini, Tuan Wyatt.”“Aku serius.”Perlahan, senyuman Kirei memudar. Raut wajahnya berubah aneh.“Kenapa?”“Seharusnya, aku yang bertanya kenapa.”Owen tidak menjawab. Dia berbalik, menghadapkan tubuh sepenuhnya kepada Kirei. Pria tampan berambut cokelat gelap itu makin mendekat. “Anggap saja sebagai salam pertemuan dan perpisahan.”“Maksudmu?” Kirei menatap tak mengerti.“Aku tak tahu apakah kita akan bertemu lagi atau tidak. Kau wanita yang sangat menarik, Helena.&rdqu