Home / CEO / Istri Buat Om Duda / bab 1 Pertemuan Di Kafe

Share

Istri Buat Om Duda
Istri Buat Om Duda
Author: Herri novriandy p

bab 1 Pertemuan Di Kafe

Author: Herri novriandy p
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Lintang mengetuk-ngetuk kan jarinya dengan tidak sabar di meja kafe. Matanya terus melirik jam tangan mahal pemberian orangtuanya untuk ulang tahunnya yang ke -25 tahun lalu. Sudah hampir 20 menit ia menunggu pesanannya: satu gelas latte dingin dan sepotong cheesecake blueberry, menu favoritnya setiap kali ia butuh menenangkan diri setelah rapat yang melelahkan.

"Maaf, Nona, pesanan Anda," seorang barista meletakkan nampan di mejanya. Lintang mengernyitkan dahi. Di atas nampan ada secangkir kopi hitam dan sepotong roti bakar salmon. Bukan pesanannya.

"Maaf, tapi ini bukan pesanan saya," ujar Lintang, berusaha menjaga nada suaranya tetap sopan meski kekesalan mulai terasa. "Saya pesan latte dingin dan cheesecake blueberry."

Barista itu terlihat bingung, lalu memeriksa struk pesanan. "Oh, astaga! Maafkan saya, sepertinya pesanan Anda tertukar. Saya akan segera mengambilkan yang benar."

Tepat saat barista itu berbalik, seorang pria berusia sekitar awal 40 an menghampiri meja Lintang. Ia mengenakan kemeja putih lengan panjang yang digulung hingga siku, dasi biru tua, dan celana hitam yang tampak mahal. Rambutnya hitam dengan sedikit uban di pelipis, memberikan kesan matang dan berwibawa.

"Permisi, sepertinya ini pesanan saya," ujar pria itu dengan suara bariton yang dalam. Matanya yang cokelat gelap menatap Lintang dengan senyum minta maaf.

Lintang mendongak, sedikit terkejut oleh penampilan pria itu. "Oh, ya. Maaf, tadi pesanan kita tertukar."

"Tidak apa-apa, kesalahan bisa terjadi," pria itu mengambil nampan dari meja Lintang. "Saya Arya, ngomong-ngomong."

"Lintang," balas Lintang singkat, masih sedikit kesal dengan situasi ini.

Arya tampak ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi barista tadi kembali dengan pesanan Lintang yang benar. "Ini pesanan Anda, Nona. Sekali lagi maaf atas ketidaknyamanannya. Kami akan memberikan diskon 20% untuk pesanan Anda hari ini."

Mood Lintang sedikit membaik. "Terima kasih, saya menghargai itu."

Arya, yang masih berdiri di samping meja, tersenyum. "Nah, setidaknya ada hikmahnya, kan? Diskon 20% tidak buruk."

Lintang, mau tidak mau, tersenyum kecil. "Ya, kurasa begitu."

"Baiklah, saya tidak mau mengganggu waktu Anda lebih lama. Selamat menikmati latte dan cheesecake Anda, Lintang," Arya mengangguk sopan sebelum berbalik menuju mejanya sendiri di sudut lain kafe.

Lintang menatap kepergiannya sejenak. Ada sesuatu yang berbeda dari pria itu. Caranya berbicara, sikapnya yang tenang meski terjadi kesalahan... Lintang menggelengkan kepala, berusaha mengusir pikiran itu. Ia punya banyak hal lain untuk dipikirkan, seperti presentasi besok pagi yang akan menentukan apakah ia akan dipromosikan menjadi manajer marketing termuda di perusahaannya.

Sambil menyesap latte dinginnya, Lintang kembali fokus pada laptop dan dokumen-dokumennya. Namun, sesekali, ia mendapati dirinya melirik ke arah Arya yang sedang serius membaca sesuatu di tabletnya. Lintang tidak tahu, pertemuan singkat ini adalah awal dari perubahan besar dalam hidupnya.

(◕‿◕)

Satu jam berlalu dengan cepat. Lintang begitu tenggelam dalam pekerjaannya hingga tidak sadar bahwa kafe mulai ramai dengan orang-orang yang masuk untuk makan siang. Ia baru mendongak ketika menyadari seseorang berdiri di samping mejanya lagi.

"Maaf mengganggu," suara Arya membuat Lintang sedikit ter lonjak. "Boleh saya duduk di sini? Tempat lain sudah penuh."

Lintang mengedarkan pandangan ke sekeliling kafe. Memang benar, semua meja sudah terisi. Ia menghela nafas pelan, "Ya, silakan."

Arya duduk dengan senyum berterima kasih. "Terima kasih. Saya janji tidak akan mengganggu pekerjaan Anda."

Lintang hanya mengangguk, kembali fokus pada laptopnya. Namun, konsentrasinya mulai terganggu. Ia bisa mencium aroma maskulin dari cologne Arya, campuran kayu cedar dan sedikit citrus. Tanpa sadar, matanya melirik ke tangan kiri Arya. Tidak ada cincin pernikahan.

"Jadi," Arya tiba-tiba bersuara, membuat Lintang sedikit tersentak, "apa yang membuat seorang wanita muda seperti Anda bekerja begitu keras di kafe seperti ini? Biasanya orang ke sini untuk bersantai."

Lintang menutup laptopnya perlahan. Jelas, pria ini tidak akan membiarkannya bekerja dengan tenang. "Saya punya presentasi penting besok. Kalau berhasil, saya bisa jadi manajer marketing termuda di perusahaan."

Mata Arya berbinar dengan ketertarikan tulus. "Wow, itu pencapaian yang luar biasa. Di usia berapa, kalau boleh tahu?"

"Dua puluh delapan," jawab Lintang, sedikit bangga. "Anda sendiri? Sepertinya punya pekerjaan yang cukup... serius." Ia melirik ke arah tablet Arya yang menampilkan grafik dan angka-angka rumit.

Arya tertawa kecil. "Ah, ini. Saya konsultan finansial. Hari ini ada pertemuan dengan klien tentang strategi investasi jangka panjang mereka."

"Kedengarannya menarik," komentar Lintang, tiba-tiba merasa tertarik. "Tapi pasti stres juga, kan? Mengatur uang orang lain?"

"Kadang-kadang," Arya mengangguk. "Tapi saya suka tantangannya. Setiap klien punya cerita unik, tujuan berbeda. Membantu mereka mencapai tujuan itu... rasanya memuaskan."

Lintang tertegun. Ada kilatan di mata Arya saat ia berbicara tentang pekerjaannya. Kilatan yang sama yang Lintang lihat setiap kali ia memandang cermin dan memikirkan karirnya.

Tiba-tiba, ponsel Arya berdering. Ia melirik layarnya dan tersenyum minta maaf. "Maaf, ini dari putri saya. Saya harus mengangkatnya."

Putri? Jadi Arya adalah seorang ayah. Dan dari ketiadaan cincin di jarinya... seorang duda? Lintang tidak tahu mengapa informasi itu membuatnya merasa... entahlah, tidak nyaman? Atau mungkin lebih tertarik?

"Halo, sayang," suara Arya melembut saat berbicara di telepon. "Ya, Papa masih di kafe. Sebentar lagi pulang kok. Kamu sudah makan? ... Bagus. Jangan lupa kerjakan PR-nya ya. Papa sayang kamu."

Arya menutup telepon dengan senyum lembut yang membuat wajahnya yang tampan semakin bercahaya. "Maaf soal itu. Kayla, putri saya. Dia baru tujuh tahun."

"Tidak apa-apa," Lintang tersenyum, terkejut oleh kehangatan dalam suaranya sendiri. "Anda... sepertinya ayah yang baik."

Untuk sesaat, wajah Arya menjadi sendu. "Saya berusaha. Sejak perceraian dua tahun lalu, tidak mudah. Tapi Kayla segalanya bagi saya."

Atmosfer di antara mereka berubah. Bukan lagi obrolan santai antara dua orang asing, tapi sesuatu yang lebih dalam, lebih pribadi. Lintang merasa seolah ia baru saja diberi akses ke bagian Arya yang mungkin tidak banyak orang tahu.

"Saya rasa," Lintang berkata pelan, "itu yang terpenting. Bahwa Anda berusaha."

Arya menatapnya, mata cokelatnya penuh rasa terima kasih. Untuk beberapa saat, mereka hanya saling memandang, sebuah koneksi tak terlihat terbentuk di antara denting cangkir dan dengungan obrolan di sekeliling mereka.

Akhirnya, Arya berdiam dan berdiri. "Saya harus pergi. Kayla menunggu, dan saya masih harus menyiapkan beberapa hal untuk pertemuan nanti."

"Ya, tentu," Lintang juga berdiri. "Saya juga harus kembali ke kantor."

"Semoga sukses dengan presentasi Anda besok," Arya mengulurkan tangan. Lintang menyambutnya, terkejut oleh kehangatan dan kekuatan genggaman Arya.

"Terima kasih. Semoga pertemuan Anda juga lancar."

Arya mengangguk, lalu seolah ragu-ragu sejenak sebelum berkata, "Mungkin... kita bisa bertemu lagi di sini? Saya biasanya ke kafe ini setiap Selasa dan Kamis."

Lintang terdiam sejenak. Haruskah ia? Arya jelas lebih tua, seorang duda dengan anak. Tapi ada sesuatu padanya... sesuatu yang membuat Lintang ingin tahu lebih banyak.

"Mungkin," akhirnya Lintang menjawab dengan senyum kecil. "Saya juga sering ke sini."

Dengan anggukan terakhir dan senyum yang membuat mata Arya berkerut di sudutnya, pria itu berbalik dan meninggalkan kafe. Lintang menatap kepergiannya, perasaan aneh berkecamuk di dadanya.

Ia menggelengkan kepala. Itu hanya obrolan kafe biasa, bukan? Tak perlu dipikirkan terlalu dalam. Sekarang, ia harus fokus pada presentasinya. Tapi saat Lintang melangkah keluar kafe, ia tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya-tanya, akankah ia benar-benar kembali ke sini hari Selasa atau Kamis?

(◕‿◕)

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Selvi Agnes
keren ceritax
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Istri Buat Om Duda   bab 2 Pesanan Yang Tertukar

    Dua hari berlalu sejak pertemuan di kafe, Presentasi Lintang berjalan luar biasa. Ia tidak hanya mendapat pujian dari jajaran direksi, tapi juga kepastian promosi yang akan diumumkan bulan depan. Seharusnya ia merasa di atas awan, tapi pikirannya terus melayang ke percakapan dengan pria bernama Arya itu.Hari ini Kamis, dan Lintang mendapati dirinya berdiri di depan kafe yang sama, ragu-ragu. Ia bahkan tidak yakin kenapa ia di sini. Untuk merayakan kesuksesannya? Atau... untuk sesuatu yang lain?"Hanya kopi," gumamnya pada diri sendiri, mendorong pintu kafe.Aroma kopi dan pastry hangat menyambutnya. Kafe tidak terlalu ramai, mungkin karena ini masih pukul 10 pagi. Lintang melangkah ke konter, mengantre di belakang seorang wanita yang sedang memesan."Satu latte dingin dan cheesecake blueberry," Lintang memberikan pesanannya pada barista yang berbeda dari kemarin. Seorang pemuda dengan rambut hijau cerah dan tindik di alis."Oke, satu latte dingin dan cheesecake blueberry," ulang si

  • Istri Buat Om Duda   bab 3 Lintang, Si Wanita Karir

    Senin pagi, Lintang sudah berada di kantornya sejak pukul 7. Ia mematut diri di cermin kecil di mejanya, memastikan tidak ada noda kopi di blazer putihnya. Hari ini adalah hari penting: pengumuman resmi promosinya.Lintang menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia telah bekerja keras untuk mencapai titik ini. Sejak lulus dengan predikat cumlaude dari universitas top di Jakarta lima tahun lalu, Lintang tidak pernah membiarkan dirinya bersantai."Lintang?" suara lembut memanggilnya. Ia berbalik dan melihat Dian, salah satu rekan kerjanya, berdiri di pintu ruangannya dengan senyum lebar. "Sudah siap untuk hari besar mu?"Lintang tersenyum balik. "Siap tidak siap, hari ini tetap akan datang.""Kau pantas mendapatkannya," Dian mendekat, menyerahkan secangkir kopi. "Dari kafe favoritmu. Anggap saja hadiah awal.""Makasih, Dian," Lintang menyesap kopinya. Latte dingin, tapi bukan senikmat buatan kafe tempat ia bertemu Arya. Arya. Nama itu membuat jantungnya berdebar. Mereka terus

  • Istri Buat Om Duda   Bab 4 Arya, Duda dengan Satu Putri

    Sementara Lintang sibuk di kantornya di pusat Jakarta, Arya sedang berkutat dengan masalah yang jauh berbeda di rumahnya yang nyaman di pinggiran kota. Kayla, putrinya yang berusia 7 tahun, sedang menangis di kamarnya."Sayang, Papa di sini," Arya berlutut di samping tempat tidur Kayla, tangannya dengan lembut membelai rambut hitam putrinya yang tergerai di bantal. "Mau cerita kenapa menangis?"Kayla terisak, memeluk boneka beruang pemberian Arya saat ulang tahunnya yang kelima. "Tadi... tadi di sekolah, Lia bilang aku aneh karena tidak punya mama. Dia bilang... semua anak normal punya mama dan papa."Arya merasakan hatinya seperti diremas. Sudah dua tahun sejak perceraiannya dengan Dian, mantan istrinya. Dua tahun ia berusaha menjadi ayah dan ibu bagi Kayla. Tapi saat-saat seperti ini, ia merasa gagal."Dengar, sayang," Arya mengangkat dagu Kayla lembut, menatap mata cokelatnya yang basah, "kamu tidak aneh. Kamu istimewa. Dan kamu punya Papa yang sangat menyayangimu. Itu yang terpent

  • Istri Buat Om Duda   Bab 5 Kafe yang Sama, Hari yang Berbeda

    Musim hujan di Jakarta selalu membuat jalanan macet luar biasa. Lintang menggerutu di balik kemudi, melirik jam di dashboard mobilnya. 10:05. Ia sudah terlambat lima menit dari waktu yang dijanjikan."Sial," gumamnya, mengirim pesan cepat ke Arya."Lintang: Macet parah. Mungkin telat 15-20 menit. Maaf! 😖"Balasan datang hampir seketika."Arya: Tidak apa-apa. Hati-hati menyetirnya. Aku dan Kayla menunggu di kafe."Lintang tersenyum. Dua minggu sejak 'makan malam keluarga' pertama mereka, dan entah bagaimana, Arya dan Kayla sudah menjadi bagian rutin dari hidupnya. Setiap Selasa dan Kamis, mereka bertemu di kafe yang sama. Kadang hanya Lintang dan Arya, kadang bertiga dengan Kayla.20 menit kemudian, Lintang akhirnya tiba di kafe. Rambutnya sedikit lembap karena hujan, blazernya ia lampirkan di lengan. Matanya langsung mencari sosok familiar di sudut kafe.Di sana, di meja favorit mereka dekat jendela, duduk Arya dan Kayla. Arya sedang membantu Kayla dengan PR matematikanya, sementara

  • Istri Buat Om Duda   Bab 6 Kayla, Putri Kecil Arya

    Arya duduk di ruang kerjanya, mata terpaku pada layar laptop. Jari-jarinya menari di atas keyboard, mengedit proposal desain interior untuk sebuah kafe baru di pusat kota. Namun, pikirannya sesekali melayang ke percakapan di kafe tadi pagi. Lintang. Kayla. Nasi goreng dan telur mata sapi. Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. "Papa?" Arya tersenyum. "Masuk, sayang." Kayla melongok masuk, rambut hitamnya yang panjang diikat satu. Di tangannya, sebuah buku cerita bergambar. "Papa lagi apa?" "Kerja sedikit," Arya menyimpan filenya. "Kenapa? Kamu mau baca buku?" Kayla mengangguk, berlari kecil ke arah Arya. Dengan gesit, ia memanjat ke pangkuan ayahnya. Aroma sampo stroberi menguar dari rambutnya. "Ceritain yang ini dong, Pa," pintanya, membuka buku. "'Putri dan Naga'," Arya membaca judul buku. "Hmm, buku baru ya?" "Iya! Tante Lintang yang beliin waktu kita ke toko buku minggu lalu. Tante bilang, aku kayak putri di buku ini." Arya tertegun. Ia teringat hari itu. Lintang m

  • Istri Buat Om Duda   Bab 7 Keraguan Lintang

    Lintang membuka mata perlahan, silau cahaya pagi menerobos masuk melalui tirai kamarnya yang tidak tertutup sempurna. Ia menggapai ponsel di meja samping tempat tidur. Pukul 6:30. Masih ada waktu sebelum harus bersiap ke kantor. Jarinya mengusap layar, membuka galeri foto. Berhenti pada satu gambar yang diambil dua malam lalu. Foto dirinya, Arya, dan Kayla, berpose di depan meja makan penuh sisa-sisa nasi goreng dan telur mata sapi. Wajah mereka berseri-seri, Kayla di tengah dengan senyum lebar, sementara tangan Arya melingkar lembut di pinggang Lintang. Lintang tersenyum, tapi senyum itu perlahan memudar. Ia teringat apa yang terjadi setelah foto itu diambil. Setelah Kayla tertidur. Ciuman itu. Ciuman lembut di teras belakang rumah Arya, di bawah langit berbintang. Ciuman itu seharusnya membuatnya bahagia. Tapi kenapa sekarang, saat sendirian di kamarnya yang sepi, ia justru merasa... takut? Ponselnya berdering. Pesan dari Arya: "Pagi, Lin. Mimpi indah? 😊" Lintang memandang

  • Istri Buat Om Duda   bab 8 Makan Siang yang Canggung

    Lintang melirik jam di dinding kantornya. 11:45. Lima belas menit lagi sebelum makan siang dengan Arya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Ini pertama kalinya mereka bertemu berdua saja sejak... sejak malam itu. Malam di teras belakang, di bawah bintang.Ponselnya bergetar. Pesan dari Arya: "Aku sudah di lobi. Kau siap?"Lintang memandang bayangannya di cermin. Ia sengaja memilih blazer merah muda favoritnya hari ini. Warnanya cerah, kontras dengan kegundahan hatinya. Setelah memastikan riasannya sempurna, ia membalas pesan Arya."Iya, turun sekarang."Di lobi, Arya menunggu dengan kemeja biru langit yang membuatnya tampak lebih muda. Ia tersenyum lebar melihat Lintang. "Hai," sapanya lembut."Hai," balas Lintang, berusaha tersenyum senormal mungkin. "Kita mau makan di mana?""Ada restoran Italia baru di dekat sini. Kayla bilang kau suka pasta."Lintang tertegun. Arya ingat. Tentu saja ia ingat. Lintang pernah bercerita tentang kecintaannya

  • Istri Buat Om Duda   Bab 9 Arya dan Masalah Perceraiannya

    Arya terbangun lebih awal dari biasanya. Bukan karena alarm atau telepon dari klien, tapi karena mimpi. Mimpi yang telah lama tidak menghantuinya. Mimpi tentang malam itu, dua tahun lalu, saat Dian pergi.Ia duduk di tepi tempat tidur, memandang foto di meja samping. Foto pernikahannya dengan Dian, diambil lima tahun lalu. Mereka terlihat bahagia. Dian dengan gaun putihnya, tersenyum lebar. Arya memeluknya dari belakang, wajahnya penuh harap. Kayla kecil berdiri di depan mereka, memegang buket bunga, polos dan tidak mengerti apa-apa.Arya mengusap wajahnya kasar. Kenapa sekarang? Kenapa mimpi itu kembali sekarang, saat ia akhirnya menemukan keberanian untuk membuka hati lagi? Untuk Lintang?Suara ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. "Papa?" suara Kayla terdengar ragu. "Papa nggak apa-apa?"Arya cepat-cepat menyembunyikan foto itu ke laci. "Papa baik-baik aja, sayang. Ayo sarapan."Di meja makan, Kayla menyantap sereal cokelatnya dengan semangat. Arya hanya mengaduk-aduk kopi, pi

Latest chapter

  • Istri Buat Om Duda   Bab 56

    Sementara karir Lintang melambung tinggi, Arya mulai merasakan keinginan untuk memiliki tantangan baru dalam hidupnya. Setelah bertahun-tahun bekerja di perusahaan konsultan, ia merasa sudah waktunya untuk mencoba sesuatu yang berbeda.Suatu malam, saat anak-anak sudah tidur, Arya membuka pembicaraan dengan Lintang."Sayang," ujarnya, "aku sedang memikirkan sesuatu."Lintang menoleh, penasaran. "Apa itu, Ar?""Aku... aku ingin mencoba memulai bisnis kecil sendiri," Arya mengungkapkan keinginannya.Lintang tersenyum, "Itu ide yang bagus! Bisnis apa yang kamu pikirkan?"Arya menghela napas, "Aku ingin membuka toko buku kecil, dengan kafe di dalamnya. Tempat dimana orang bisa membaca sambil menikmati kopi.""Wah, itu terdengar menarik!" Lintang berseru antusias. "Tapi, apa kamu yakin ingin meninggalkan pekerjaanmu yang sekarang?"Arya mengangguk, "Aku sudah memikirkannya matang-matang. Dengan posisimu sekarang, aku rasa ini saat yang tepat untuk mencoba sesuatu yang baru."Lintang mengge

  • Istri Buat Om Duda   Bab 55

    Lintang menemui Pak Hendra dan menerima tawaran tersebut. Ia memulai perannya sebagai Wakil Direktur Utama dengan semangat baru.Meskipun jadwalnya menjadi lebih padat, Lintang berusaha untuk tetap menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga. Ia selalu menyempatkan diri untuk sarapan bersama dan menghadiri acara-acara penting anak-anaknya.Suatu malam, saat Lintang sedang lembur di kantor, ia mendapat video call dari keluarganya. Mereka menunjukkan makan malam yang sudah mereka siapkan."Kami tahu Mama sedang sibuk, jadi kami buatkan makan malam spesial!" seru Rizki.Lintang tersenyum lebar, merasa beruntung memiliki keluarga yang begitu pengertian.Seiring berjalannya waktu, Lintang semakin mahir mengelola waktunya. Ia bahkan mulai mengajarkan Kayla tentang manajemen waktu dan kepemimpinan, berbagi pengalamannya sebagai wanita karir.Melalui perjuangannya menghadapi krisis dan tantangan barunya sebagai Wakil Direktur Utama, Lintang membuktikan bahwa dengan dukungan keluarga dan teka

  • Istri Buat Om Duda   Bab 54

    "Lintang Menghadapi Krisis Perusahaan" Lintang terbangun lebih awal dari biasanya. Matanya menatap langit-langit kamar, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Sudah seminggu ini perusahaan tempatnya bekerja sebagai Direktur Keuangan menghadapi krisis yang cukup serius.Arya, yang merasakan kegelisahan istrinya, membuka mata. "Ada apa, sayang?" tanyanya lembut.Lintang menghela napas panjang. "Aku khawatir tentang situasi di kantor, Ar. Kita kehilangan beberapa klien besar bulan ini, dan angka penjualan menurun drastis."Arya menggenggam tangan Lintang, memberikan dukungan tanpa kata. "Kamu pasti bisa mengatasinya. Kamu selalu punya solusi untuk setiap masalah."Lintang tersenyum lemah, "Terima kasih, Ar. Aku harap begitu."Saat sarapan, Kayla dan Rizki bisa merasakan ketegangan yang menyelimuti ibu mereka."Mama kenapa?" tanya Rizki polos.Lintang berusaha tersenyum, "Tidak apa-apa, sayang. Mama hanya sedang banyak pikiran tentang pekerjaan."Kayla, yang kini sudah lebih dewasa, mengerti

  • Istri Buat Om Duda   Bab 53

    Kayla mengangguk, tersenyum hangat, "Iya, Pa. Aku bersyukur kita semua bisa bersama sekarang."Sementara itu, di meja makan, Rizki sibuk menggambar dengan crayon warna-warninya. Lintang memperhatikan dengan penuh kasih sayang."Nah, sudah selesai!" seru Rizki bangga, mengangkat hasil karyanya.Lintang melihat gambar itu - lima sosok stick figure dengan ukuran berbeda-beda, berdiri bergandengan tangan dengan senyum lebar di wajah mereka."Ini Papa," Rizki menunjuk figur tertinggi, "ini Mama," ia menunjuk figur di sebelahnya, "ini Kak Kayla," figur yang sedikit lebih pendek, "ini aku," figur terkecil, "dan ini..." Rizki terdiam sejenak."Siapa itu, sayang?" tanya Lintang lembut.Rizki tersenyum malu-malu, "Ini adik bayi. Aku ingin punya adik, Ma."Lintang terkejut mendengar ini. Ia memeluk Rizki erat, "Oh, sayang. Kita lihat nanti ya. Yang penting sekarang, kita sudah punya keluarga yang sangat bahagia."Malam itu, setelah anak-anak tidur, Arya dan Lintang berbincang di kamar mereka."K

  • Istri Buat Om Duda   Bab 52

    Pagi itu, rumah keluarga Arya-Lintang dipenuhi kegaduhan yang menyenangkan. Hari ini adalah hari pertama Rizki, putra bungsu mereka yang berusia 6 tahun, masuk Sekolah Dasar."Rizki, ayo cepat makan sarapanmu," ujar Lintang, sambil merapikan dasi seragam putranya.Rizki, dengan mata berbinar penuh semangat, melahap roti isinya dengan cepat. "Sudah, Ma! Aku siap berangkat!"Arya tertawa melihat antusiasme putranya. "Pelan-pelan, jagoan. Kita masih punya waktu."Kayla, yang kini duduk di kelas 2 SMA, turun dari lantai atas dengan tas sekolahnya. "Wah, adikku sudah besar ya," godanya sambil mengacak rambut Rizki."Kak Kayla! Jangan mengacak rambutku," protes Rizki, tapi tetap tersenyum lebar.Lintang memandang ketiga orang yang dicintainya dengan haru. "Baiklah, ayo kita berangkat. Tidak ingin terlambat di hari pertama, kan?"Mereka semua naik ke mobil. Arya menyetir, sesekali melirik ke kursi belakang dimana Rizki duduk dengan gelisah, jemarinya memainkan tali tas barunya."Nervous, nak

  • Istri Buat Om Duda   Bab 51

    Minggu pertama Kayla di SMA berlalu dengan cepat. Setiap hari ia pulang dengan cerita baru, membuat Arya dan Lintang semakin penasaran dengan kehidupan SMA putri mereka.Saat makan malam keluarga, Kayla tiba-tiba berkata, "Pa, Ma, besok ada pertemuan orangtua murid."Arya dan Lintang saling pandang. "Oh ya? Kenapa baru memberitahu sekarang, sayang?" tanya Lintang.Kayla mengangkat bahu, "Maaf, Ma. Aku lupa. Tapi... bisakah kalian datang?""Tentu saja," jawab Arya. "Papa dan Mama akan mengatur jadwal kami."Keesokan harinya, Arya dan Lintang duduk di aula sekolah bersama orangtua murid lainnya. Mereka mendengarkan penjelasan kepala sekolah tentang kurikulum dan kegiatan sekolah.Tiba-tiba, Lintang menyenggol Arya pelan. "Lihat," bisiknya, menunjuk ke arah seorang pria yang duduk beberapa baris di depan mereka. "Bukankah itu ayah Rafi?"Arya memicingkan mata, lalu mengangguk. "Sepertinya iya."Setelah pertemuan selesai, Arya dan Lintang memutuskan untuk mendekati ayah Rafi."Permisi," s

  • Istri Buat Om Duda   Bab 50

    Kayla Masuk SMAPagi itu, rumah keluarga Arya-Lintang dipenuhi aroma roti panggang dan kopi. Kayla, kini berusia 14 tahun, duduk di meja makan dengan seragam SMA barunya. Jemarinya tak berhenti memainkan ujung dasi, menandakan kegugupan yang ia rasakan."Kamu sudah siap, sayang?" tanya Lintang, sambil meletakkan sepiring roti isi di hadapan Kayla.Kayla mengangguk pelan, "Iya, Ma. Tapi... aku sedikit nervous."Arya, yang baru bergabung di meja makan, tersenyum menenangkan. "Wajar kok, Nak. Papa dulu juga gugup di hari pertama SMA.""Benarkah, Pa?" tanya Kayla, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.Arya mengangguk, "Tentu. Tapi ingat, kamu anak yang pintar dan mudah bergaul. Pasti akan baik-baik saja."Lintang menambahkan, "Betul. Dan jangan lupa, kamu punya Bibi Sarah di sekolah. Kalau ada apa-apa, kamu bisa menemuinya."Kayla tersenyum. Bibi Sarah, adik Lintang, adalah guru Bahasa Inggris di SMA barunya.Selesai sarapan, mereka bersiap berangkat. Di mobil, Kayla memeluk tas barunya

  • Istri Buat Om Duda   Bab 49

    Setahun berlalu sejak Arya memutuskan untuk pensiun dini dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga. Kini, giliran Lintang yang menghadapi babak baru dalam karirnya. Setelah bertahun-tahun bekerja keras dan menunjukkan dedikasi yang luar biasa, Lintang ditawari posisi CEO di perusahaan tempatnya bekerja.Awalnya, Lintang merasa ragu untuk menerima tawaran tersebut. Ia khawatir tanggung jawab sebagai CEO akan menyita waktunya bersama keluarga. Namun, Arya mendukungnya sepenuhnya, meyakinkan Lintang bahwa ia dan anak-anak akan selalu ada untuk mendukungnya."Lintang, ini adalah kesempatan yang luar biasa untukmu. Kau telah bekerja keras selama ini, dan kau pantas mendapatkan posisi ini. Kami semua mendukungmu," ucap Arya dengan penuh pengertian.Kayla, Ananda, dan Aisha juga memberikan dukungan mereka. Mereka tahu betapa berbakat dan luar biasanya ibu mereka dalam pekerjaannya.Dengan dukungan penuh dari keluarga, Lintang akhirnya menerima tawaran tersebut. Ia bertekad untuk m

  • Istri Buat Om Duda   Bab 48

    Keluarga kecil Arya dan Lintang semakin dipenuhi dengan kebahagiaan dan kesuksesan. Kayla yang kini menjadi dokter muda yang berbakat, Ananda yang sedang berjuang menyelesaikan studinya di fakultas teknik, dan Aisha yang baru saja lulus SMA dengan nilai gemilang.Namun di balik semua kebahagiaan itu, Arya menyimpan sebuah keinginan yang sudah lama ia pendam. Sebuah keinginan untuk bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga tercintanya.Suatu malam, setelah makan malam bersama, Arya mengumpulkan istri dan anak-anaknya di ruang keluarga. Dengan senyum penuh arti, ia pun memulai pembicaraan."Lintang, Kayla, Ananda, Aisha... Ada sesuatu yang ingin Papa sampaikan pada kalian," ucap Arya dengan nada serius namun lembut.Lintang menatap suaminya dengan tatapan penuh tanya, sementara anak-anak mereka saling berpandangan dengan penasaran."Ada apa, Pa? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Kayla, sedikit khawatir.Arya tersenyum menenangkan, menggeleng pelan. "Tidak ada yang perlu d

DMCA.com Protection Status