Lintang mengetuk-ngetuk kan jarinya dengan tidak sabar di meja kafe. Matanya terus melirik jam tangan mahal pemberian orangtuanya untuk ulang tahunnya yang ke -25 tahun lalu. Sudah hampir 20 menit ia menunggu pesanannya: satu gelas latte dingin dan sepotong cheesecake blueberry, menu favoritnya setiap kali ia butuh menenangkan diri setelah rapat yang melelahkan.
"Maaf, Nona, pesanan Anda," seorang barista meletakkan nampan di mejanya. Lintang mengernyitkan dahi. Di atas nampan ada secangkir kopi hitam dan sepotong roti bakar salmon. Bukan pesanannya. "Maaf, tapi ini bukan pesanan saya," ujar Lintang, berusaha menjaga nada suaranya tetap sopan meski kekesalan mulai terasa. "Saya pesan latte dingin dan cheesecake blueberry." Barista itu terlihat bingung, lalu memeriksa struk pesanan. "Oh, astaga! Maafkan saya, sepertinya pesanan Anda tertukar. Saya akan segera mengambilkan yang benar." Tepat saat barista itu berbalik, seorang pria berusia sekitar awal 40 an menghampiri meja Lintang. Ia mengenakan kemeja putih lengan panjang yang digulung hingga siku, dasi biru tua, dan celana hitam yang tampak mahal. Rambutnya hitam dengan sedikit uban di pelipis, memberikan kesan matang dan berwibawa. "Permisi, sepertinya ini pesanan saya," ujar pria itu dengan suara bariton yang dalam. Matanya yang cokelat gelap menatap Lintang dengan senyum minta maaf. Lintang mendongak, sedikit terkejut oleh penampilan pria itu. "Oh, ya. Maaf, tadi pesanan kita tertukar." "Tidak apa-apa, kesalahan bisa terjadi," pria itu mengambil nampan dari meja Lintang. "Saya Arya, ngomong-ngomong." "Lintang," balas Lintang singkat, masih sedikit kesal dengan situasi ini. Arya tampak ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi barista tadi kembali dengan pesanan Lintang yang benar. "Ini pesanan Anda, Nona. Sekali lagi maaf atas ketidaknyamanannya. Kami akan memberikan diskon 20% untuk pesanan Anda hari ini." Mood Lintang sedikit membaik. "Terima kasih, saya menghargai itu." Arya, yang masih berdiri di samping meja, tersenyum. "Nah, setidaknya ada hikmahnya, kan? Diskon 20% tidak buruk." Lintang, mau tidak mau, tersenyum kecil. "Ya, kurasa begitu." "Baiklah, saya tidak mau mengganggu waktu Anda lebih lama. Selamat menikmati latte dan cheesecake Anda, Lintang," Arya mengangguk sopan sebelum berbalik menuju mejanya sendiri di sudut lain kafe. Lintang menatap kepergiannya sejenak. Ada sesuatu yang berbeda dari pria itu. Caranya berbicara, sikapnya yang tenang meski terjadi kesalahan... Lintang menggelengkan kepala, berusaha mengusir pikiran itu. Ia punya banyak hal lain untuk dipikirkan, seperti presentasi besok pagi yang akan menentukan apakah ia akan dipromosikan menjadi manajer marketing termuda di perusahaannya. Sambil menyesap latte dinginnya, Lintang kembali fokus pada laptop dan dokumen-dokumennya. Namun, sesekali, ia mendapati dirinya melirik ke arah Arya yang sedang serius membaca sesuatu di tabletnya. Lintang tidak tahu, pertemuan singkat ini adalah awal dari perubahan besar dalam hidupnya. (◕‿◕) Satu jam berlalu dengan cepat. Lintang begitu tenggelam dalam pekerjaannya hingga tidak sadar bahwa kafe mulai ramai dengan orang-orang yang masuk untuk makan siang. Ia baru mendongak ketika menyadari seseorang berdiri di samping mejanya lagi. "Maaf mengganggu," suara Arya membuat Lintang sedikit ter lonjak. "Boleh saya duduk di sini? Tempat lain sudah penuh." Lintang mengedarkan pandangan ke sekeliling kafe. Memang benar, semua meja sudah terisi. Ia menghela nafas pelan, "Ya, silakan." Arya duduk dengan senyum berterima kasih. "Terima kasih. Saya janji tidak akan mengganggu pekerjaan Anda." Lintang hanya mengangguk, kembali fokus pada laptopnya. Namun, konsentrasinya mulai terganggu. Ia bisa mencium aroma maskulin dari cologne Arya, campuran kayu cedar dan sedikit citrus. Tanpa sadar, matanya melirik ke tangan kiri Arya. Tidak ada cincin pernikahan. "Jadi," Arya tiba-tiba bersuara, membuat Lintang sedikit tersentak, "apa yang membuat seorang wanita muda seperti Anda bekerja begitu keras di kafe seperti ini? Biasanya orang ke sini untuk bersantai." Lintang menutup laptopnya perlahan. Jelas, pria ini tidak akan membiarkannya bekerja dengan tenang. "Saya punya presentasi penting besok. Kalau berhasil, saya bisa jadi manajer marketing termuda di perusahaan." Mata Arya berbinar dengan ketertarikan tulus. "Wow, itu pencapaian yang luar biasa. Di usia berapa, kalau boleh tahu?" "Dua puluh delapan," jawab Lintang, sedikit bangga. "Anda sendiri? Sepertinya punya pekerjaan yang cukup... serius." Ia melirik ke arah tablet Arya yang menampilkan grafik dan angka-angka rumit. Arya tertawa kecil. "Ah, ini. Saya konsultan finansial. Hari ini ada pertemuan dengan klien tentang strategi investasi jangka panjang mereka." "Kedengarannya menarik," komentar Lintang, tiba-tiba merasa tertarik. "Tapi pasti stres juga, kan? Mengatur uang orang lain?" "Kadang-kadang," Arya mengangguk. "Tapi saya suka tantangannya. Setiap klien punya cerita unik, tujuan berbeda. Membantu mereka mencapai tujuan itu... rasanya memuaskan." Lintang tertegun. Ada kilatan di mata Arya saat ia berbicara tentang pekerjaannya. Kilatan yang sama yang Lintang lihat setiap kali ia memandang cermin dan memikirkan karirnya. Tiba-tiba, ponsel Arya berdering. Ia melirik layarnya dan tersenyum minta maaf. "Maaf, ini dari putri saya. Saya harus mengangkatnya." Putri? Jadi Arya adalah seorang ayah. Dan dari ketiadaan cincin di jarinya... seorang duda? Lintang tidak tahu mengapa informasi itu membuatnya merasa... entahlah, tidak nyaman? Atau mungkin lebih tertarik? "Halo, sayang," suara Arya melembut saat berbicara di telepon. "Ya, Papa masih di kafe. Sebentar lagi pulang kok. Kamu sudah makan? ... Bagus. Jangan lupa kerjakan PR-nya ya. Papa sayang kamu." Arya menutup telepon dengan senyum lembut yang membuat wajahnya yang tampan semakin bercahaya. "Maaf soal itu. Kayla, putri saya. Dia baru tujuh tahun." "Tidak apa-apa," Lintang tersenyum, terkejut oleh kehangatan dalam suaranya sendiri. "Anda... sepertinya ayah yang baik." Untuk sesaat, wajah Arya menjadi sendu. "Saya berusaha. Sejak perceraian dua tahun lalu, tidak mudah. Tapi Kayla segalanya bagi saya." Atmosfer di antara mereka berubah. Bukan lagi obrolan santai antara dua orang asing, tapi sesuatu yang lebih dalam, lebih pribadi. Lintang merasa seolah ia baru saja diberi akses ke bagian Arya yang mungkin tidak banyak orang tahu. "Saya rasa," Lintang berkata pelan, "itu yang terpenting. Bahwa Anda berusaha." Arya menatapnya, mata cokelatnya penuh rasa terima kasih. Untuk beberapa saat, mereka hanya saling memandang, sebuah koneksi tak terlihat terbentuk di antara denting cangkir dan dengungan obrolan di sekeliling mereka. Akhirnya, Arya berdiam dan berdiri. "Saya harus pergi. Kayla menunggu, dan saya masih harus menyiapkan beberapa hal untuk pertemuan nanti." "Ya, tentu," Lintang juga berdiri. "Saya juga harus kembali ke kantor." "Semoga sukses dengan presentasi Anda besok," Arya mengulurkan tangan. Lintang menyambutnya, terkejut oleh kehangatan dan kekuatan genggaman Arya. "Terima kasih. Semoga pertemuan Anda juga lancar." Arya mengangguk, lalu seolah ragu-ragu sejenak sebelum berkata, "Mungkin... kita bisa bertemu lagi di sini? Saya biasanya ke kafe ini setiap Selasa dan Kamis." Lintang terdiam sejenak. Haruskah ia? Arya jelas lebih tua, seorang duda dengan anak. Tapi ada sesuatu padanya... sesuatu yang membuat Lintang ingin tahu lebih banyak. "Mungkin," akhirnya Lintang menjawab dengan senyum kecil. "Saya juga sering ke sini." Dengan anggukan terakhir dan senyum yang membuat mata Arya berkerut di sudutnya, pria itu berbalik dan meninggalkan kafe. Lintang menatap kepergiannya, perasaan aneh berkecamuk di dadanya. Ia menggelengkan kepala. Itu hanya obrolan kafe biasa, bukan? Tak perlu dipikirkan terlalu dalam. Sekarang, ia harus fokus pada presentasinya. Tapi saat Lintang melangkah keluar kafe, ia tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya-tanya, akankah ia benar-benar kembali ke sini hari Selasa atau Kamis? (◕‿◕)Dua hari berlalu sejak pertemuan di kafe, Presentasi Lintang berjalan luar biasa. Ia tidak hanya mendapat pujian dari jajaran direksi, tapi juga kepastian promosi yang akan diumumkan bulan depan. Seharusnya ia merasa di atas awan, tapi pikirannya terus melayang ke percakapan dengan pria bernama Arya itu.Hari ini Kamis, dan Lintang mendapati dirinya berdiri di depan kafe yang sama, ragu-ragu. Ia bahkan tidak yakin kenapa ia di sini. Untuk merayakan kesuksesannya? Atau... untuk sesuatu yang lain?"Hanya kopi," gumamnya pada diri sendiri, mendorong pintu kafe.Aroma kopi dan pastry hangat menyambutnya. Kafe tidak terlalu ramai, mungkin karena ini masih pukul 10 pagi. Lintang melangkah ke konter, mengantre di belakang seorang wanita yang sedang memesan."Satu latte dingin dan cheesecake blueberry," Lintang memberikan pesanannya pada barista yang berbeda dari kemarin. Seorang pemuda dengan rambut hijau cerah dan tindik di alis."Oke, satu latte dingin dan cheesecake blueberry," ulang si
Senin pagi, Lintang sudah berada di kantornya sejak pukul 7. Ia mematut diri di cermin kecil di mejanya, memastikan tidak ada noda kopi di blazer putihnya. Hari ini adalah hari penting: pengumuman resmi promosinya.Lintang menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia telah bekerja keras untuk mencapai titik ini. Sejak lulus dengan predikat cumlaude dari universitas top di Jakarta lima tahun lalu, Lintang tidak pernah membiarkan dirinya bersantai."Lintang?" suara lembut memanggilnya. Ia berbalik dan melihat Dian, salah satu rekan kerjanya, berdiri di pintu ruangannya dengan senyum lebar. "Sudah siap untuk hari besar mu?"Lintang tersenyum balik. "Siap tidak siap, hari ini tetap akan datang.""Kau pantas mendapatkannya," Dian mendekat, menyerahkan secangkir kopi. "Dari kafe favoritmu. Anggap saja hadiah awal.""Makasih, Dian," Lintang menyesap kopinya. Latte dingin, tapi bukan senikmat buatan kafe tempat ia bertemu Arya. Arya. Nama itu membuat jantungnya berdebar. Mereka terus
Sementara Lintang sibuk di kantornya di pusat Jakarta, Arya sedang berkutat dengan masalah yang jauh berbeda di rumahnya yang nyaman di pinggiran kota. Kayla, putrinya yang berusia 7 tahun, sedang menangis di kamarnya."Sayang, Papa di sini," Arya berlutut di samping tempat tidur Kayla, tangannya dengan lembut membelai rambut hitam putrinya yang tergerai di bantal. "Mau cerita kenapa menangis?"Kayla terisak, memeluk boneka beruang pemberian Arya saat ulang tahunnya yang kelima. "Tadi... tadi di sekolah, Lia bilang aku aneh karena tidak punya mama. Dia bilang... semua anak normal punya mama dan papa."Arya merasakan hatinya seperti diremas. Sudah dua tahun sejak perceraiannya dengan Dian, mantan istrinya. Dua tahun ia berusaha menjadi ayah dan ibu bagi Kayla. Tapi saat-saat seperti ini, ia merasa gagal."Dengar, sayang," Arya mengangkat dagu Kayla lembut, menatap mata cokelatnya yang basah, "kamu tidak aneh. Kamu istimewa. Dan kamu punya Papa yang sangat menyayangimu. Itu yang terpent
Musim hujan di Jakarta selalu membuat jalanan macet luar biasa. Lintang menggerutu di balik kemudi, melirik jam di dashboard mobilnya. 10:05. Ia sudah terlambat lima menit dari waktu yang dijanjikan."Sial," gumamnya, mengirim pesan cepat ke Arya."Lintang: Macet parah. Mungkin telat 15-20 menit. Maaf! 😖"Balasan datang hampir seketika."Arya: Tidak apa-apa. Hati-hati menyetirnya. Aku dan Kayla menunggu di kafe."Lintang tersenyum. Dua minggu sejak 'makan malam keluarga' pertama mereka, dan entah bagaimana, Arya dan Kayla sudah menjadi bagian rutin dari hidupnya. Setiap Selasa dan Kamis, mereka bertemu di kafe yang sama. Kadang hanya Lintang dan Arya, kadang bertiga dengan Kayla.20 menit kemudian, Lintang akhirnya tiba di kafe. Rambutnya sedikit lembap karena hujan, blazernya ia lampirkan di lengan. Matanya langsung mencari sosok familiar di sudut kafe.Di sana, di meja favorit mereka dekat jendela, duduk Arya dan Kayla. Arya sedang membantu Kayla dengan PR matematikanya, sementara
Arya duduk di ruang kerjanya, mata terpaku pada layar laptop. Jari-jarinya menari di atas keyboard, mengedit proposal desain interior untuk sebuah kafe baru di pusat kota. Namun, pikirannya sesekali melayang ke percakapan di kafe tadi pagi. Lintang. Kayla. Nasi goreng dan telur mata sapi. Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. "Papa?" Arya tersenyum. "Masuk, sayang." Kayla melongok masuk, rambut hitamnya yang panjang diikat satu. Di tangannya, sebuah buku cerita bergambar. "Papa lagi apa?" "Kerja sedikit," Arya menyimpan filenya. "Kenapa? Kamu mau baca buku?" Kayla mengangguk, berlari kecil ke arah Arya. Dengan gesit, ia memanjat ke pangkuan ayahnya. Aroma sampo stroberi menguar dari rambutnya. "Ceritain yang ini dong, Pa," pintanya, membuka buku. "'Putri dan Naga'," Arya membaca judul buku. "Hmm, buku baru ya?" "Iya! Tante Lintang yang beliin waktu kita ke toko buku minggu lalu. Tante bilang, aku kayak putri di buku ini." Arya tertegun. Ia teringat hari itu. Lintang m
Lintang membuka mata perlahan, silau cahaya pagi menerobos masuk melalui tirai kamarnya yang tidak tertutup sempurna. Ia menggapai ponsel di meja samping tempat tidur. Pukul 6:30. Masih ada waktu sebelum harus bersiap ke kantor. Jarinya mengusap layar, membuka galeri foto. Berhenti pada satu gambar yang diambil dua malam lalu. Foto dirinya, Arya, dan Kayla, berpose di depan meja makan penuh sisa-sisa nasi goreng dan telur mata sapi. Wajah mereka berseri-seri, Kayla di tengah dengan senyum lebar, sementara tangan Arya melingkar lembut di pinggang Lintang. Lintang tersenyum, tapi senyum itu perlahan memudar. Ia teringat apa yang terjadi setelah foto itu diambil. Setelah Kayla tertidur. Ciuman itu. Ciuman lembut di teras belakang rumah Arya, di bawah langit berbintang. Ciuman itu seharusnya membuatnya bahagia. Tapi kenapa sekarang, saat sendirian di kamarnya yang sepi, ia justru merasa... takut? Ponselnya berdering. Pesan dari Arya: "Pagi, Lin. Mimpi indah? 😊" Lintang memandang
Lintang melirik jam di dinding kantornya. 11:45. Lima belas menit lagi sebelum makan siang dengan Arya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Ini pertama kalinya mereka bertemu berdua saja sejak... sejak malam itu. Malam di teras belakang, di bawah bintang.Ponselnya bergetar. Pesan dari Arya: "Aku sudah di lobi. Kau siap?"Lintang memandang bayangannya di cermin. Ia sengaja memilih blazer merah muda favoritnya hari ini. Warnanya cerah, kontras dengan kegundahan hatinya. Setelah memastikan riasannya sempurna, ia membalas pesan Arya."Iya, turun sekarang."Di lobi, Arya menunggu dengan kemeja biru langit yang membuatnya tampak lebih muda. Ia tersenyum lebar melihat Lintang. "Hai," sapanya lembut."Hai," balas Lintang, berusaha tersenyum senormal mungkin. "Kita mau makan di mana?""Ada restoran Italia baru di dekat sini. Kayla bilang kau suka pasta."Lintang tertegun. Arya ingat. Tentu saja ia ingat. Lintang pernah bercerita tentang kecintaannya
Arya terbangun lebih awal dari biasanya. Bukan karena alarm atau telepon dari klien, tapi karena mimpi. Mimpi yang telah lama tidak menghantuinya. Mimpi tentang malam itu, dua tahun lalu, saat Dian pergi.Ia duduk di tepi tempat tidur, memandang foto di meja samping. Foto pernikahannya dengan Dian, diambil lima tahun lalu. Mereka terlihat bahagia. Dian dengan gaun putihnya, tersenyum lebar. Arya memeluknya dari belakang, wajahnya penuh harap. Kayla kecil berdiri di depan mereka, memegang buket bunga, polos dan tidak mengerti apa-apa.Arya mengusap wajahnya kasar. Kenapa sekarang? Kenapa mimpi itu kembali sekarang, saat ia akhirnya menemukan keberanian untuk membuka hati lagi? Untuk Lintang?Suara ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. "Papa?" suara Kayla terdengar ragu. "Papa nggak apa-apa?"Arya cepat-cepat menyembunyikan foto itu ke laci. "Papa baik-baik aja, sayang. Ayo sarapan."Di meja makan, Kayla menyantap sereal cokelatnya dengan semangat. Arya hanya mengaduk-aduk kopi, pi