Senin pagi, Lintang sudah berada di kantornya sejak pukul 7. Ia mematut diri di cermin kecil di mejanya, memastikan tidak ada noda kopi di blazer putihnya. Hari ini adalah hari penting: pengumuman resmi promosinya.
Lintang menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia telah bekerja keras untuk mencapai titik ini. Sejak lulus dengan predikat cumlaude dari universitas top di Jakarta lima tahun lalu, Lintang tidak pernah membiarkan dirinya bersantai. "Lintang?" suara lembut memanggilnya. Ia berbalik dan melihat Dian, salah satu rekan kerjanya, berdiri di pintu ruangannya dengan senyum lebar. "Sudah siap untuk hari besar mu?" Lintang tersenyum balik. "Siap tidak siap, hari ini tetap akan datang." "Kau pantas mendapatkannya," Dian mendekat, menyerahkan secangkir kopi. "Dari kafe favoritmu. Anggap saja hadiah awal." "Makasih, Dian," Lintang menyesap kopinya. Latte dingin, tapi bukan senikmat buatan kafe tempat ia bertemu Arya. Arya. Nama itu membuat jantungnya berdebar. Mereka terus bertukar pesan sepanjang akhir pekan, obrolan ringan yang entah bagaimana terasa begitu berarti. "Oke, aku kembali ke mejaku," Dian mengedipkan mata. "Jangan lupa, nanti sore kita rayakan!" Lintang mengangguk, tersenyum. Ia beruntung memiliki teman seperti Dian. Dalam dunia korporat yang sering kali kejam, menemukan teman sejati adalah harta karun. Tepat pukul 9, Lintang melangkah ke ruang rapat. Semua mata tertuju padanya saat ia masuk. Ada rasa bangga membuncah di dadanya. Ia telah membuktikan diri, mengalahkan stereotip bahwa wanita tidak bisa sukses di dunia marketing yang didominasi pria. "Selamat pagi semuanya," CEO mereka, Pak Hendra, memulai rapat. "Seperti yang kita tahu, hari ini adalah hari istimewa. Kita akan mengumumkan manajer marketing baru kita." Lintang menegakkan punggung. Ini dia. "Saya bangga mengumumkan, mulai bulan depan, posisi Manajer Marketing akan diisi oleh... Lintang Arianti!" Tepuk tangan memenuhi ruangan. Lintang berdiri, tersenyum lebar meski matanya terasa panas. Ia melihat Dian di ujung meja, memberikan dua jempol dan senyum bangga. "Terima kasih, Pak," Lintang berkata setelah tepuk tangan mereda. "Saya berjanji akan membawa divisi marketing kita ke level yang lebih tinggi. Kita akan menjadi yang terdepan dalam digital marketing, memfokuskan diri pada personalisasi dan analisis data real-time." Selama satu jam berikutnya, Lintang memaparkan visinya. Ia berbicara dengan semangat tentang kampanye yang akan menjangkau generasi milenial dan Z, tentang kolaborasi dengan influencer, dan tentang bagaimana mereka akan menggunakan AI untuk prediksi tren. Setelah rapat, Pak Hendra menghampirinya. "Kerja bagus, Lintang. Kau mengingatkanku pada diriku sendiri dulu. Ambisius, cerdas, dan tak kenal lelah." "Terima kasih, Pak," Lintang tersenyum. "Saya belajar dari yang terbaik." "Tapi ingat," Pak Hendra menambahkan, wajahnya serius, "jangan biarkan pekerjaan mengambil alih hidupmu. Aku pernah melakukan itu, dan akhirnya... yah, kau tahu sendiri." Lintang mengangguk pelan. Semua orang di kantor tahu cerita Pak Hendra. Dua kali bercerai, hampir tidak mengenal anak-anaknya. Harga yang ia bayar untuk kesuksesan. Siang itu, Lintang makan di mejanya, menyelesaikan beberapa email sambil menikmati salad dan jus apel. Ponselnya bergetar. "Arya (Kafe): Hari besar, kan? Bagaimana hasilnya?" Lintang tersenyum. Ia telah memberitahu Arya tentang pengumuman hari ini. "Lintang: Resmi! Bulan depan aku Manajer Marketing." "Arya (Kafe): Selamat! 🎉 Kau pantas mendapatkannya. Besok kita harus merayakannya." Lintang terdiam. Besok. Selasa. Pertemuan yang sudah mereka rencanakan. Mendadak, promosi dan karirnya terasa jauh. Yang ia pikirkan hanya bagaimana nanti ia akan duduk berhadapan dengan Arya, melihat senyumnya yang hangat, mendengar tawanya yang dalam. "Bukannya kau akan merayakannya dengan teman-teman kantor?" pesan Arya muncul lagi. "Lintang: Ya, nanti sore. Tapi besok... aku ingin merayakannya denganmu." Lintang mengirim pesan itu dengan jantung berdebar. Apakah terlalu berlebihan? Tapi balasan Arya membuatnya lega. "Arya (Kafe): Aku tersanjung. Kalau begitu, besok adalah perayaan spesial." Sore itu, Lintang dan rekan-rekannya pergi ke bar langganan mereka. Ada tawa, ada ucapan selamat, ada rencana-rencana ambisius untuk masa depan. Lintang menikmatinya, tapi sebagian pikirannya tetap melayang ke esok hari. Pukul 10 malam, Lintang tiba di apartemennya. Ia melepas high heels-nya, merasakan karpet lembut di kakinya yang lelah. Di dinding, terpajang foto wisudanya, dengan orang tuanya berdiri bangga di sisi kanan dan kiri. Ayahnya, pensiunan guru, dan ibunya, pemilik toko kue kecil di kampung. "Kita bangga padamu, Nak," kata ibunya waktu itu. "Tapi ingat, kesuksesan bukan cuma soal karir. Cari juga kebahagiaan." Lintang tersenyum lelah. Ia berhasil dalam karir, tapi kebahagiaan? Ia belum yakin. Setidaknya, sampai beberapa hari lalu, saat pesanan kopi tertukar dan ia bertemu seorang duda bernama Arya. Ponselnya bergetar lagi. "Arya (Kafe): Selamat beristirahat, Manajer. Sampai jumpa besok." Lintang merebahkan diri di tempat tidur, pesan Arya masih terbuka di layar. Ya, ia adalah Lintang si wanita karir. Tapi mungkin, hanya mungkin, bersama Arya, ia bisa menjadi lebih dari itu. Mungkin ia bisa menjadi Lintang yang bahagia. Dengan senyum di bibir dan harapan di hati, Lintang tertidur, memimpikan kopi, croissant, dan seorang pria dengan senyum hangat yang membuatnya merasa bahwa dalam hidupnya, masih ada ruang untuk sesuatu yang lebih dari sekadar karir. (◕‿◕) Lintang terbangun dengan suara alarm yang memekakkan telinga. Ia mengulurkan tangan, meraba-raba mencari ponselnya di meja samping tempat tidur. Pukul 5:30 pagi. Seperti biasa, ia harus bangun lebih awal untuk lari pagi, rutinitas yang ia pertahankan sejak kuliah. Sambil mengikat tali sepatu lari, mata Lintang tertuju pada medali yang tergantung di dinding. Medali emas dari maraton Jakarta tahun lalu. Ia tersenyum, teringat betapa kerasnya ia berlatih untuk itu. Sama kerasnya dengan usahanya dalam karir. "Disiplin adalah kunci," gumamnya, mengulang mantra yang diajarkan ayahnya sejak ia kecil. Lintang berlari menyusuri kompleks apartemen yang masih sepi. Udara pagi memenuhi paru-parunya, menyegarkan pikiran. Inilah saat-saat langka di mana ia bisa memikirkan hal lain selain pekerjaan. Tapi pagi ini, pikirannya dipenuhi oleh bayangan seorang pria. Arya. Hari ini mereka akan bertemu lagi. Bukan pertemuan tidak sengaja, tapi pertemuan yang direncanakan. Sebuah... kencan? Lintang hampir tersandung memikirkan kata itu. Kembali ke apartemen, Lintang menyalakan TV sambil bersiap-siap. Berita pagi membahas perkembangan ekonomi. Seorang analis menyebutkan nama perusahaannya, memuji strategi marketing agresif yang membuat mereka unggul dalam pasar yang kompetitif. "Itu strategi ku," Lintang bergumam bangga. Tapi kemudian ia terdiam. Apakah itu benar-benar strateginya? Atau strategi tim yang ia pimpin? Lintang menggelengkan kepala. Sejak kapan ia menjadi begitu haus pengakuan? Di kantor, Lintang disambut dengan ucapan selamat dari semua orang. Ia tersenyum, berterima kasih, tapi dalam hati merasa sedikit... kosong? Bukankah ini yang selalu ia impikan? "Lintang, ada yang ingin ku bicarakan," Dian muncul di pintu ruangannya, wajahnya serius. "Ada apa?" Lintang menegakkan diri, siap menghadapi masalah bisnis apa pun. Dian menutup pintu, lalu duduk di hadapan Lintang. "Ini bukan soal pekerjaan. Ini soal... kamu." Lintang mengernyit. "Aku? Ada apa denganku?" "Kamu berubah, Lin," Dian menatapnya lurus. "Sejak promosi ini diumumkan, kamu jadi... berbeda. Lebih dingin. Kemarin saat kita merayakan, kamu seperti tidak benar-benar ada di sana." Kata-kata Dian menghantam Lintang seperti air es. "A-aku tidak bermaksud... Aku hanya..." "Fokus pada karir. Ya, aku tahu," Dian memotong, suaranya melembut. "Tapi Lin, kita sudah berteman sejak orientasi kampus. Aku tahu kamu. Dan ini... ini bukan kamu." Lintang terdiam. Ia teringat saat-saat kuliah dulu. Bagaimana ia dan Dian menghabiskan malam-malam dengan diskusi seru tentang impian mereka. Bagaimana mereka bersumpah akan sukses bersama, tanpa kehilangan diri mereka. "Maaf, Di," Lintang berbisik, matanya terasa panas. "Aku... aku tidak sadar." Dian meraih tangan Lintang, meremasnya lembut. "Kamu tahu aku selalu mendukungmu. Tapi aku juga tidak mau kamu kehilangan apa yang membuatmu... kamu. Jangan sampai karirmu mengambil alih hidupmu." Kata-kata Dian bergema di telinga Lintang. Kata-kata yang sama yang diucapkan Pak Hendra kemarin. Kata-kata yang mirip dengan pesan ibunya saat wisuda. Lintang menelan ludah, menahan air mata. "Trim's, Di," Lintang meremas balik tangan Dian. "Aku janji akan lebih baik." Dian tersenyum, lalu berdiri. "Oh, dan satu lagi," ia mengedipkan mata. "Siapa 'Arya (Kafe)' ini? Kau terus tersenyum setiap kali ponselmu bergetar." Wajah Lintang memerah. "Bukan siapa-siapa," gumamnya, tapi senyum kecil mengkhianatinya. "Hmm," Dian tertawa. "Yah, siapa pun dia, dia membuatmu tersenyum. Itu yang penting." Setelah Dian pergi, Lintang menatap keluar jendela kantornya. Langit Jakarta tampak kelabu, pertanda hujan. Tapi entah mengapa, hari ini terasa lebih cerah dari kemarin. Ia membuka laci, mengambil bungkusan croissant dari Arya. Pesan yang ditulisnya masih ada di sana: "Untuk merayakan kesuksesanmu. Semoga croissant ini semanis senyummu." Lintang tersenyum. Ya, ia seorang wanita karir. Ia ambisius, cerdas, dan pekerja keras. Tapi ia juga Lintang yang suka lari pagi, yang punya sahabat seperti Dian, yang punya orang tua yang selalu mengingatkannya tentang kebahagiaan. Dan sekarang, ia juga Lintang yang akan bertemu dengan seorang pria bernama Arya di kafe sore nanti. Lintang yang akan merayakan kesuksesannya, bukan hanya dengan angka-angka dan grafik, tapi dengan senyum dan tawa. Mungkin, pikirnya sambil menggigit croissant, inilah arti sebenarnya dari sukses. Bukan hanya mencapai puncak karir, tapi juga menemukan keseimbangan. Antara ambisi dan kebahagiaan. Antara disiplin dan kelembutan. Antara menjadi wanita karir dan tetap menjadi dirinya sendiri. Dengan tekad baru, Lintang mulai bekerja. Hari ini, ia bukan hanya Manajer Marketing. Ia adalah Lintang, dalam semua dimensinya. Dan itu, mungkin, adalah pencapaian terbesarnya. (◕‿◕)Sementara Lintang sibuk di kantornya di pusat Jakarta, Arya sedang berkutat dengan masalah yang jauh berbeda di rumahnya yang nyaman di pinggiran kota. Kayla, putrinya yang berusia 7 tahun, sedang menangis di kamarnya."Sayang, Papa di sini," Arya berlutut di samping tempat tidur Kayla, tangannya dengan lembut membelai rambut hitam putrinya yang tergerai di bantal. "Mau cerita kenapa menangis?"Kayla terisak, memeluk boneka beruang pemberian Arya saat ulang tahunnya yang kelima. "Tadi... tadi di sekolah, Lia bilang aku aneh karena tidak punya mama. Dia bilang... semua anak normal punya mama dan papa."Arya merasakan hatinya seperti diremas. Sudah dua tahun sejak perceraiannya dengan Dian, mantan istrinya. Dua tahun ia berusaha menjadi ayah dan ibu bagi Kayla. Tapi saat-saat seperti ini, ia merasa gagal."Dengar, sayang," Arya mengangkat dagu Kayla lembut, menatap mata cokelatnya yang basah, "kamu tidak aneh. Kamu istimewa. Dan kamu punya Papa yang sangat menyayangimu. Itu yang terpent
Musim hujan di Jakarta selalu membuat jalanan macet luar biasa. Lintang menggerutu di balik kemudi, melirik jam di dashboard mobilnya. 10:05. Ia sudah terlambat lima menit dari waktu yang dijanjikan."Sial," gumamnya, mengirim pesan cepat ke Arya."Lintang: Macet parah. Mungkin telat 15-20 menit. Maaf! 😖"Balasan datang hampir seketika."Arya: Tidak apa-apa. Hati-hati menyetirnya. Aku dan Kayla menunggu di kafe."Lintang tersenyum. Dua minggu sejak 'makan malam keluarga' pertama mereka, dan entah bagaimana, Arya dan Kayla sudah menjadi bagian rutin dari hidupnya. Setiap Selasa dan Kamis, mereka bertemu di kafe yang sama. Kadang hanya Lintang dan Arya, kadang bertiga dengan Kayla.20 menit kemudian, Lintang akhirnya tiba di kafe. Rambutnya sedikit lembap karena hujan, blazernya ia lampirkan di lengan. Matanya langsung mencari sosok familiar di sudut kafe.Di sana, di meja favorit mereka dekat jendela, duduk Arya dan Kayla. Arya sedang membantu Kayla dengan PR matematikanya, sementara
Arya duduk di ruang kerjanya, mata terpaku pada layar laptop. Jari-jarinya menari di atas keyboard, mengedit proposal desain interior untuk sebuah kafe baru di pusat kota. Namun, pikirannya sesekali melayang ke percakapan di kafe tadi pagi. Lintang. Kayla. Nasi goreng dan telur mata sapi. Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. "Papa?" Arya tersenyum. "Masuk, sayang." Kayla melongok masuk, rambut hitamnya yang panjang diikat satu. Di tangannya, sebuah buku cerita bergambar. "Papa lagi apa?" "Kerja sedikit," Arya menyimpan filenya. "Kenapa? Kamu mau baca buku?" Kayla mengangguk, berlari kecil ke arah Arya. Dengan gesit, ia memanjat ke pangkuan ayahnya. Aroma sampo stroberi menguar dari rambutnya. "Ceritain yang ini dong, Pa," pintanya, membuka buku. "'Putri dan Naga'," Arya membaca judul buku. "Hmm, buku baru ya?" "Iya! Tante Lintang yang beliin waktu kita ke toko buku minggu lalu. Tante bilang, aku kayak putri di buku ini." Arya tertegun. Ia teringat hari itu. Lintang m
Lintang membuka mata perlahan, silau cahaya pagi menerobos masuk melalui tirai kamarnya yang tidak tertutup sempurna. Ia menggapai ponsel di meja samping tempat tidur. Pukul 6:30. Masih ada waktu sebelum harus bersiap ke kantor. Jarinya mengusap layar, membuka galeri foto. Berhenti pada satu gambar yang diambil dua malam lalu. Foto dirinya, Arya, dan Kayla, berpose di depan meja makan penuh sisa-sisa nasi goreng dan telur mata sapi. Wajah mereka berseri-seri, Kayla di tengah dengan senyum lebar, sementara tangan Arya melingkar lembut di pinggang Lintang. Lintang tersenyum, tapi senyum itu perlahan memudar. Ia teringat apa yang terjadi setelah foto itu diambil. Setelah Kayla tertidur. Ciuman itu. Ciuman lembut di teras belakang rumah Arya, di bawah langit berbintang. Ciuman itu seharusnya membuatnya bahagia. Tapi kenapa sekarang, saat sendirian di kamarnya yang sepi, ia justru merasa... takut? Ponselnya berdering. Pesan dari Arya: "Pagi, Lin. Mimpi indah? 😊" Lintang memandang
Lintang melirik jam di dinding kantornya. 11:45. Lima belas menit lagi sebelum makan siang dengan Arya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Ini pertama kalinya mereka bertemu berdua saja sejak... sejak malam itu. Malam di teras belakang, di bawah bintang.Ponselnya bergetar. Pesan dari Arya: "Aku sudah di lobi. Kau siap?"Lintang memandang bayangannya di cermin. Ia sengaja memilih blazer merah muda favoritnya hari ini. Warnanya cerah, kontras dengan kegundahan hatinya. Setelah memastikan riasannya sempurna, ia membalas pesan Arya."Iya, turun sekarang."Di lobi, Arya menunggu dengan kemeja biru langit yang membuatnya tampak lebih muda. Ia tersenyum lebar melihat Lintang. "Hai," sapanya lembut."Hai," balas Lintang, berusaha tersenyum senormal mungkin. "Kita mau makan di mana?""Ada restoran Italia baru di dekat sini. Kayla bilang kau suka pasta."Lintang tertegun. Arya ingat. Tentu saja ia ingat. Lintang pernah bercerita tentang kecintaannya
Arya terbangun lebih awal dari biasanya. Bukan karena alarm atau telepon dari klien, tapi karena mimpi. Mimpi yang telah lama tidak menghantuinya. Mimpi tentang malam itu, dua tahun lalu, saat Dian pergi.Ia duduk di tepi tempat tidur, memandang foto di meja samping. Foto pernikahannya dengan Dian, diambil lima tahun lalu. Mereka terlihat bahagia. Dian dengan gaun putihnya, tersenyum lebar. Arya memeluknya dari belakang, wajahnya penuh harap. Kayla kecil berdiri di depan mereka, memegang buket bunga, polos dan tidak mengerti apa-apa.Arya mengusap wajahnya kasar. Kenapa sekarang? Kenapa mimpi itu kembali sekarang, saat ia akhirnya menemukan keberanian untuk membuka hati lagi? Untuk Lintang?Suara ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. "Papa?" suara Kayla terdengar ragu. "Papa nggak apa-apa?"Arya cepat-cepat menyembunyikan foto itu ke laci. "Papa baik-baik aja, sayang. Ayo sarapan."Di meja makan, Kayla menyantap sereal cokelatnya dengan semangat. Arya hanya mengaduk-aduk kopi, pi
Lintang memarkirkan mobilnya di depan TK Bunga Matahari. Ia melirik jam tangannya: 11.45. Masih ada waktu 15 menit sebelum bel pulang berbunyi. Ia mengeluarkan kotak makan berwarna merah muda dari tas belanjanya. Di dalamnya, sandwich tuna kesukaan Kayla.Ini bukan pertama kalinya Lintang menjemput Kayla. Tapi entah kenapa, hari ini terasa berbeda. Mungkin karena percakapan dengan Arya semalam. Atau mungkin karena hari ini, untuk pertama kalinya, Arya memintanya menjemput Kayla sendirian."Aku ada rapat mendadak," Arya menelepon pagi tadi, suaranya cemas. "Maaf, Lin. Aku tahu harusnya aku yang jemput. Tapi...""Nggak apa-apa," Lintang menenangkan. "Aku bisa kok. Kamu fokus aja rapatnya."Sekarang, duduk di mobil, Lintang merasa gugup. Ini pertama kalinya ia akan bersama Kayla tanpa Arya. Bagaimana kalau Kayla menangis mencari ayahnya? Bagaimana kalau...Lamunannya terpotong oleh bunyi bel. Seketika, halaman TK dipenuhi anak-anak berlarian. Lintang turun dari mobil, matanya mencari-car
Siang itu, mal Grand Jakarta tampak ramai. Wajar, mengingat ini hari Sabtu dan musim liburan sekolah. Di antara kerumunan pengunjung, Lintang dan Kayla berjalan beriringan, tangan mereka bertautan erat."Tante, kita mau beli apa?" tanya Kayla, matanya berbinar melihat toko-toko yang berjajar.Lintang tersenyum. "Kita mau beli kado ulang tahun buat Aisyah, inget kan?"Kayla mengangguk antusias. Aisyah, sahabatnya di TK, akan berulang tahun minggu depan. "Aisyah suka boneka. Kita beli boneka ya, Tante?""Oke," Lintang menyetujui. "Tapi inget, nggak boleh terlalu mahal. Papa udah kasih uang pas."Mereka memasuki toko boneka di lantai dua. Mata Kayla langsung tertuju pada rak boneka beruang. Ada beruang cokelat dengan pita merah, beruang putih dengan baju ballerina, dan..."Tante! Lihat!" Kayla menunjuk ke atas. Di sana, di rak tertinggi, duduk sebuah boneka beruang panda besar. Matanya hitam mengkilap, perutnya gemuk dan lembut. "Panda! Aisyah pasti suka!"Lintang mengambil boneka itu, m