Beranda / CEO / Istri Buat Om Duda / Bab 5 Kafe yang Sama, Hari yang Berbeda

Share

Bab 5 Kafe yang Sama, Hari yang Berbeda

Penulis: Herri novriandy p
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Musim hujan di Jakarta selalu membuat jalanan macet luar biasa. Lintang menggerutu di balik kemudi, melirik jam di dashboard mobilnya. 10:05. Ia sudah terlambat lima menit dari waktu yang dijanjikan.

"Sial," gumamnya, mengirim pesan cepat ke Arya.

"Lintang: Macet parah. Mungkin telat 15-20 menit. Maaf! 😖"

Balasan datang hampir seketika.

"Arya: Tidak apa-apa. Hati-hati menyetirnya. Aku dan Kayla menunggu di kafe."

Lintang tersenyum. Dua minggu sejak 'makan malam keluarga' pertama mereka, dan entah bagaimana, Arya dan Kayla sudah menjadi bagian rutin dari hidupnya. Setiap Selasa dan Kamis, mereka bertemu di kafe yang sama. Kadang hanya Lintang dan Arya, kadang bertiga dengan Kayla.

20 menit kemudian, Lintang akhirnya tiba di kafe. Rambutnya sedikit lembap karena hujan, blazernya ia lampirkan di lengan. Matanya langsung mencari sosok familiar di sudut kafe.

Di sana, di meja favorit mereka dekat jendela, duduk Arya dan Kayla. Arya sedang membantu Kayla dengan PR matematikanya, sementara gadis kecil itu mengerucutkan bibir dengan pensil tergenggam erat.

"Maaf terlambat," Lintang menghampiri mereka. "Macetnya gila."

"Tante Lintang!" Kayla melompat dari kursinya, memeluk pinggang Lintang erat. "Tante bau hujan!"

Lintang tertawa, mengacak rambut Kayla. "Iya dong, tadi Tante kehujanan sedikit."

Arya berdiri, matanya menyapu Lintang dari atas ke bawah dengan tatapan khawatir. "Kamu tidak apa-apa? Tidak masuk angin?"

"Tenang, aku baik-baik saja," Lintang meyakinkan, tapi hatinya menghangat melihat perhatian Arya. "Jadi, apa yang sedang kalian kerjakan?"

"PR matematika," Kayla cemberut. "Susah, Tante!"

"Coba Tante lihat," Lintang duduk, mendekatkan kertas PR Kayla. Soal perkalian dan pembagian dasar. "Oh, ini gampang kok. Mau Tante ajari trik?"

Mata Kayla berbinar. "Mau!"

Selama setengah jam berikutnya, Lintang dengan sabar mengajari Kayla. Arya memperhatikan mereka, senyum lembut tersungging di bibirnya. Sesekali, mata mereka bertemu, dan Lintang merasa jantungnya berdebar lebih cepat.

"Nah, selesai!" Kayla berseru gembira, memamerkan kertas PR-nya yang penuh dengan coretan dan lingkaran.

"Pintar!" Lintang mengacungkan jempol. "Nanti kalau dapat nilai bagus, kita rayakan ya."

"Es krim?" Kayla bertanya penuh harap.

"Tentu," Arya menyela, mengedipkan mata pada Lintang. "Tapi sekarang, bagaimana kalau kita pesan makanan? Tante Lintang pasti lapar setelah mengajar matematika."

Mereka memesan sandwich dan jus untuk Kayla, kopi dan pastry untuk orang dewasa. Selama makan, Kayla berceloteh tentang sekolahnya, tentang Lia yang sekarang jadi temannya ("Dia minta maaf sudah bilang aku aneh, Pa!"), dan tentang pertunjukan seni bulan depan di mana ia akan menari.

"Tante Lintang harus datang!" Kayla berseru.

Lintang tersedak kopinya. Ia melirik Arya, yang menatapnya dengan alis terangkat, seolah menantang.

"Umm, kita lihat nanti ya, sayang," Lintang menjawab ragu. "Tante kan sibuk..."

"Tapi kamu datang ke kafe ini dua kali seminggu," Arya menyela lembut. "Kurasa kamu bisa meluangkan satu malam untuk Kayla, kan?"

Lintang terdiam. Ya, kenapa ia ragu? Bukankah minggu-minggu belakangan ini ia memang meluangkan waktu untuk mereka? Tapi ini berbeda. Menonton pertunjukan Kayla... itu terasa seperti melangkah ke level yang lebih dalam. Lebih... keluarga.

"Tentu, Kayla," akhirnya Lintang menjawab. "Tante pasti datang."

Senyum lebar Kayla membuatnya lupa akan keraguannya.

Setelah makan, Kayla sibuk dengan buku gambarnya. Lintang dan Arya berbicara pelan, membahas pekerjaan dan hal-hal ringan lainnya. Tapi ada sesuatu yang mengganggu Lintang.

"Arya," ia memulai ragu. "Apa tidak apa-apa? Maksudku... aku dan Kayla... aku tidak mau dia bingung."

Arya menatapnya lama. "Maksudmu, kau takut dia menganggap mu sebagai... pengganti ibunya?"

Lintang mengangguk, tenggorokannya terasa kering.

Arya menghela nafas. "Lintang, aku sudah memikirkan ini. Hubungan kita memang... rumit. Tapi aku tidak pernah berbohong pada Kayla. Dia tahu kau temanku, teman spesial. Dan dia menyukaimu apa adanya."

"Tapi bagaimana kalau suatu hari..." Lintang tidak menyelesaikan kalimatnya. Bagaimana kalau suatu hari mereka putus? Bagaimana kalau Kayla terlanjur terikat padanya?

Seolah membaca pikirannya, Arya mengulurkan tangan, menggenggam tangan Lintang di atas meja. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Tapi aku tahu, setiap momen yang Kayla habiskan denganmu adalah momen berharga. Kau memberinya perhatian, kasih sayang. Itu tidak pernah salah."

Lintang menatap tangan mereka yang bertautan. Tangan Arya besar dan kasar, penuh garis-garis kehidupan. Tangannya sendiri lebih kecil, lembut tapi dengan kapalan kecil di jari telunjuk dan ibu jari—hasil dari jam-jam mengetik.

"Oke," akhirnya Lintang mengangguk. "Aku akan ada di baris depan saat pertunjukan Kayla."

Senyum Arya melebar, dan untuk sesaat, Lintang lupa cara bernafas.

"Ini dia, pesanan yang benar!" barista rambut hijau datang, meletakkan nampan dengan latte dingin dan cheesecake. "Sekali lagi maaf, ya. Ini ada tambahan croissant sebagai permintaan maaf."

"Terima kasih," Lintang tersenyum. Mungkin, pikirnya, kesalahan kecil seperti pesanan tertukar tidak selalu buruk. Terkadang, hal-hal kecil yang tidak direncanakan bisa membawa pada sesuatu yang luar biasa.

Seperti saat ini. Di kafe yang sama tempat mereka pertama bertemu, di hari yang berbeda, dengan perasaan yang terus berkembang. Lintang tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi saat ia melihat Arya membantu Kayla mewarnai, ia sadar. Apa pun yang terjadi, saat-saat seperti ini, saat-saat kecil penuh kehangatan, akan selalu ia hargai.

Dan mungkin, hanya mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar, jauh lebih indah, dari yang pernah ia bayangkan.

(◕‿◕)

Waktu berlalu dengan cepat di kafe itu. Sebelum Lintang sadari, jam di dinding sudah menunjukkan pukul 11:30. Ia tersentak.

"Astaga, aku harus kembali ke kantor!" Lintang buru-buru membereskan barangnya. "Ada rapat strategi jam 12."

"Rapat apa?" tanya Arya, membantu Kayla membereskan alat gambarnya.

"Strategi marketing untuk kuartal depan," Lintang menjelaskan sambil mengenakan blazernya. "Sebagai manajer baru, mereka ingin aku yang memimpin."

Arya mengangguk paham. "Kau pasti gugup."

"Sedikit," Lintang mengakui. "Tapi lebih banyak bersemangat. Aku punya banyak ide untuk revitalisasi brand."

"Tante Lintang pasti bisa!" Kayla berseru, mengacungkan kedua jempolnya. "Tante kan pintar, seperti Papa!"

Lintang tertegun. Ia menatap Kayla, lalu Arya yang tersenyum bangga pada putrinya. Rasa hangat menyebar di dadanya. Dukungan sederhana dari gadis kecil ini entah mengapa terasa lebih berarti daripada pujian dari para eksekutif.

"Terima kasih, sayang," Lintang berlutut, memeluk Kayla. "Doanya ya."

"Mau ku antar ke kantor?" tawar Arya. "Mobilku di parkiran depan."

Lintang menggeleng. "Tidak usah, aku bawa mobil. Tapi terima kasih."

Mereka berjalan keluar kafe bersama. Di trotoar, Lintang berhenti dan berbalik menghadap Arya dan Kayla. Entah mengapa, ia merasa berat berpisah, meski hanya untuk beberapa jam.

"Nah," Arya memulai, satu tangan di bahu Kayla, "selamat berjuang di rapat. Tunjukkan pada mereka kenapa kau layak jadi manajer termuda."

"Akan ku usahakan," Lintang tersenyum. Ia sudah akan berbalik saat Kayla menarik tangannya.

"Tante," gadis kecil itu berkata serius, "kalau rapatnya sukses, nanti kita rayakan lagi ya. Tapi kali ini Tante yang masak di rumah kami. Tante bisa masak kan?"

Lintang tertawa kecil, teringat malam beberapa hari lalu saat ia datang ke rumah Arya membawa bahan-bahan untuk membuat pasta. Malam yang diisi dengan tawa Kayla saat mencoba memotong tomat, celotehan Arya tentang klien-kliennya yang unik, dan perasaan hangat yang menyeruak di dada Lintang saat ia menyadari betapa nyamannya mereka bertiga bersama.

"Bisa dong," Lintang mengedipkan mata. "Pasta lagi?"

"Jangan!" Kayla mengerucutkan bibir. "Aku mau yang lain. Papa, aku mau apa ya?"

Arya tampak berpikir sejenak, matanya menatap Lintang dengan senyum jahil. "Hmm, bagaimana kalau nasi goreng? Tante Lintang pernah cerita dia bisa buat nasi goreng enak."

Lintang tersipu. Itu cerita yang ia bagi saat mereka makan siang berdua minggu lalu, saat Kayla di sekolah. Ia tidak menyangka Arya masih mengingatnya.

"Oke, nasi goreng!" Kayla berseru gembira. "Tapi Papa yang goreng telurnya ya. Papa jago bikin telur mata sapi!"

Melihat interaksi ayah-anak ini, Lintang merasa sesuatu dalam dirinya bergeser. Sebuah dinding yang tidak ia sadari ada, perlahan runtuh. Dinding yang ia bangun untuk melindungi diri dari emosi, dari keterlibatan yang terlalu dalam. Dinding yang memberinya fokus pada karir, tapi juga membuatnya kesepian.

"Baiklah," Lintang berkata lembut. "Kita buat kesepakatan. Kalau rapat siang ini sukses, aku akan buat nasi goreng terenak yang pernah kalian makan. Dan Arya, kau tanggung jawab atas telur mata sapinya."

"Deal!" Kayla menjabat tangan Lintang dengan semangat, membuat kedua orang dewasa tertawa.

"Tante Lintang," Kayla berkata lagi, matanya berbinar, "aku senang kita bisa main lagi. Aku suka main sama Tante."

Kata-kata polos itu menghantam Lintang dengan kekuatan yang tak terduga. Ia berlutut, memeluk Kayla erat. "Tante juga suka main sama kamu, Kayla," bisiknya, mati-matian menahan air mata.

Saat Lintang berdiri, ia melihat Arya menatapnya dengan tatapan yang membuat napasnya tercekat. Bukan kasihan atau simpati, tapi pengertian. Seolah ia tahu betapa kata-kata Kayla telah mengguncang Lintang sampai ke inti.

"Hati-hati di jalan," Arya berkata pelan, tangannya menyentuh siku Lintang sekilas. "Kirim pesan kalau sudah sampai kantor, ya."

Lintang hanya bisa mengangguk. Ia berbalik dan berjalan cepat ke arah mobilnya, detak jantungnya masih tidak karuan.

Di dalam mobil, Lintang bersandar pada setir, memejamkan mata. Apa yang terjadi padanya? Sejak kapan ia, Lintang si wanita karir ambisius, jadi begitu terikat pada seorang duda dan putrinya?

Tapi saat ia membuka mata dan melihat bungkusan croissant di jok penumpang, Lintang sadar bahwa mungkin, inilah yang selama ini ia butuhkan. Bukan hanya kesuksesan karir, tapi juga kehangatan keluarga. Kebahagiaan sederhana dari bermain dengan seorang anak, memasak bersama, dan tatapan lembut seorang pria yang mulai ia percayai.

Lintang menyalakan mesin mobil, tekad baru membara dalam dirinya. Ia akan memenangkan rapat ini. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk dua orang yang menunggunya dengan janji nasi goreng dan telur mata sapi.

Karena di kafe yang sama hari ini, Lintang menyadari sesuatu. Bahwa kadang-kadang, kebahagiaan datang dalam bentuk yang tidak terduga. Dalam bentuk seorang ayah tunggal yang cerdas dan lembut, dan seorang gadis kecil yang cerianya menular.

Dan mungkin, hanya mungkin, inilah awal dari kisah cinta yang tidak pernah ia bayangkan akan ia miliki. Kisah yang dimulai dengan pesanan kopi yang tertukar di kafe yang sama, tapi di hari yang sangat berbeda.

(◕‿◕)

Bab terkait

  • Istri Buat Om Duda   Bab 6 Kayla, Putri Kecil Arya

    Arya duduk di ruang kerjanya, mata terpaku pada layar laptop. Jari-jarinya menari di atas keyboard, mengedit proposal desain interior untuk sebuah kafe baru di pusat kota. Namun, pikirannya sesekali melayang ke percakapan di kafe tadi pagi. Lintang. Kayla. Nasi goreng dan telur mata sapi. Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. "Papa?" Arya tersenyum. "Masuk, sayang." Kayla melongok masuk, rambut hitamnya yang panjang diikat satu. Di tangannya, sebuah buku cerita bergambar. "Papa lagi apa?" "Kerja sedikit," Arya menyimpan filenya. "Kenapa? Kamu mau baca buku?" Kayla mengangguk, berlari kecil ke arah Arya. Dengan gesit, ia memanjat ke pangkuan ayahnya. Aroma sampo stroberi menguar dari rambutnya. "Ceritain yang ini dong, Pa," pintanya, membuka buku. "'Putri dan Naga'," Arya membaca judul buku. "Hmm, buku baru ya?" "Iya! Tante Lintang yang beliin waktu kita ke toko buku minggu lalu. Tante bilang, aku kayak putri di buku ini." Arya tertegun. Ia teringat hari itu. Lintang m

  • Istri Buat Om Duda   Bab 7 Keraguan Lintang

    Lintang membuka mata perlahan, silau cahaya pagi menerobos masuk melalui tirai kamarnya yang tidak tertutup sempurna. Ia menggapai ponsel di meja samping tempat tidur. Pukul 6:30. Masih ada waktu sebelum harus bersiap ke kantor. Jarinya mengusap layar, membuka galeri foto. Berhenti pada satu gambar yang diambil dua malam lalu. Foto dirinya, Arya, dan Kayla, berpose di depan meja makan penuh sisa-sisa nasi goreng dan telur mata sapi. Wajah mereka berseri-seri, Kayla di tengah dengan senyum lebar, sementara tangan Arya melingkar lembut di pinggang Lintang. Lintang tersenyum, tapi senyum itu perlahan memudar. Ia teringat apa yang terjadi setelah foto itu diambil. Setelah Kayla tertidur. Ciuman itu. Ciuman lembut di teras belakang rumah Arya, di bawah langit berbintang. Ciuman itu seharusnya membuatnya bahagia. Tapi kenapa sekarang, saat sendirian di kamarnya yang sepi, ia justru merasa... takut? Ponselnya berdering. Pesan dari Arya: "Pagi, Lin. Mimpi indah? 😊" Lintang memandang

  • Istri Buat Om Duda   bab 8 Makan Siang yang Canggung

    Lintang melirik jam di dinding kantornya. 11:45. Lima belas menit lagi sebelum makan siang dengan Arya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Ini pertama kalinya mereka bertemu berdua saja sejak... sejak malam itu. Malam di teras belakang, di bawah bintang.Ponselnya bergetar. Pesan dari Arya: "Aku sudah di lobi. Kau siap?"Lintang memandang bayangannya di cermin. Ia sengaja memilih blazer merah muda favoritnya hari ini. Warnanya cerah, kontras dengan kegundahan hatinya. Setelah memastikan riasannya sempurna, ia membalas pesan Arya."Iya, turun sekarang."Di lobi, Arya menunggu dengan kemeja biru langit yang membuatnya tampak lebih muda. Ia tersenyum lebar melihat Lintang. "Hai," sapanya lembut."Hai," balas Lintang, berusaha tersenyum senormal mungkin. "Kita mau makan di mana?""Ada restoran Italia baru di dekat sini. Kayla bilang kau suka pasta."Lintang tertegun. Arya ingat. Tentu saja ia ingat. Lintang pernah bercerita tentang kecintaannya

  • Istri Buat Om Duda   Bab 9 Arya dan Masalah Perceraiannya

    Arya terbangun lebih awal dari biasanya. Bukan karena alarm atau telepon dari klien, tapi karena mimpi. Mimpi yang telah lama tidak menghantuinya. Mimpi tentang malam itu, dua tahun lalu, saat Dian pergi.Ia duduk di tepi tempat tidur, memandang foto di meja samping. Foto pernikahannya dengan Dian, diambil lima tahun lalu. Mereka terlihat bahagia. Dian dengan gaun putihnya, tersenyum lebar. Arya memeluknya dari belakang, wajahnya penuh harap. Kayla kecil berdiri di depan mereka, memegang buket bunga, polos dan tidak mengerti apa-apa.Arya mengusap wajahnya kasar. Kenapa sekarang? Kenapa mimpi itu kembali sekarang, saat ia akhirnya menemukan keberanian untuk membuka hati lagi? Untuk Lintang?Suara ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. "Papa?" suara Kayla terdengar ragu. "Papa nggak apa-apa?"Arya cepat-cepat menyembunyikan foto itu ke laci. "Papa baik-baik aja, sayang. Ayo sarapan."Di meja makan, Kayla menyantap sereal cokelatnya dengan semangat. Arya hanya mengaduk-aduk kopi, pi

  • Istri Buat Om Duda   Bab 10 Lintang Bertemu Kayla

    Lintang memarkirkan mobilnya di depan TK Bunga Matahari. Ia melirik jam tangannya: 11.45. Masih ada waktu 15 menit sebelum bel pulang berbunyi. Ia mengeluarkan kotak makan berwarna merah muda dari tas belanjanya. Di dalamnya, sandwich tuna kesukaan Kayla.Ini bukan pertama kalinya Lintang menjemput Kayla. Tapi entah kenapa, hari ini terasa berbeda. Mungkin karena percakapan dengan Arya semalam. Atau mungkin karena hari ini, untuk pertama kalinya, Arya memintanya menjemput Kayla sendirian."Aku ada rapat mendadak," Arya menelepon pagi tadi, suaranya cemas. "Maaf, Lin. Aku tahu harusnya aku yang jemput. Tapi...""Nggak apa-apa," Lintang menenangkan. "Aku bisa kok. Kamu fokus aja rapatnya."Sekarang, duduk di mobil, Lintang merasa gugup. Ini pertama kalinya ia akan bersama Kayla tanpa Arya. Bagaimana kalau Kayla menangis mencari ayahnya? Bagaimana kalau...Lamunannya terpotong oleh bunyi bel. Seketika, halaman TK dipenuhi anak-anak berlarian. Lintang turun dari mobil, matanya mencari-car

  • Istri Buat Om Duda   Bab 11 Boneka untuk Kayla

    Siang itu, mal Grand Jakarta tampak ramai. Wajar, mengingat ini hari Sabtu dan musim liburan sekolah. Di antara kerumunan pengunjung, Lintang dan Kayla berjalan beriringan, tangan mereka bertautan erat."Tante, kita mau beli apa?" tanya Kayla, matanya berbinar melihat toko-toko yang berjajar.Lintang tersenyum. "Kita mau beli kado ulang tahun buat Aisyah, inget kan?"Kayla mengangguk antusias. Aisyah, sahabatnya di TK, akan berulang tahun minggu depan. "Aisyah suka boneka. Kita beli boneka ya, Tante?""Oke," Lintang menyetujui. "Tapi inget, nggak boleh terlalu mahal. Papa udah kasih uang pas."Mereka memasuki toko boneka di lantai dua. Mata Kayla langsung tertuju pada rak boneka beruang. Ada beruang cokelat dengan pita merah, beruang putih dengan baju ballerina, dan..."Tante! Lihat!" Kayla menunjuk ke atas. Di sana, di rak tertinggi, duduk sebuah boneka beruang panda besar. Matanya hitam mengkilap, perutnya gemuk dan lembut. "Panda! Aisyah pasti suka!"Lintang mengambil boneka itu, m

  • Istri Buat Om Duda   Bab 12 Orang Tua Lintang Curiga

    Bunyi dering telepon memecah keheningan Minggu pagi di apartemen Lintang. Ia melirik layar ponsel, mengerutkan dahi. "Papa?" gumamnya, sedikit heran. Ayahnya jarang menelepon sepagi ini."Halo, Pa?" Lintang menjawab, sambil berjalan ke dapur untuk membuat kopi."Lintang, kamu di mana?" suara ayahnya terdengar tegang.Lintang mengernyit. "Di apartemen, Pa. Kenapa? Ada apa?"Terdengar helaan napas panjang. "Nggak. Nggak apa-apa. Papa kira kamu... lupa.""Lupa?" Lintang bingung. Tapi kemudian ia tersadar. "Astaga! Makan siang keluarga! Pa, maaf banget, aku—""Udah, nggak apa-apa," potong ayahnya, tapi Lintang bisa mendengar kekecewaan dalam suaranya. "Kamu sibuk, Papa ngerti."Lintang menutup wajahnya. Makan siang keluarga. Tradisi bulanan yang sudah mereka jalankan sejak ibunya meninggal tiga tahun lalu. Bagaimana ia bisa lupa?"Pa, aku ke sana sekarang ya? Satu jam lagi aku—""Nggak usah," ayahnya memotong lagi. "Papa sama Kak Dimas udah mau keluar. Lain kali aja."Telepon ditutup. Lin

  • Istri Buat Om Duda   Bab 13 Makan Malam Keluarga yang Tegang

    Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Lintang mengecek penampilannya sekali lagi di cermin. Dress biru tua sederhana, anting mutiara hadiah dari Arya, dan rambut yang diikat rapi. Ia ingin tampil sempurna, bukan untuk memamerkan diri, tapi untuk menunjukkan keseriusannya.Arya masuk kamar, mengenakan kemeja putih dan celana bahan hitam. Ia membawa Kayla yang cantik dalam balutan gaun merah muda. "Kita siap," Arya tersenyum, tapi Lintang bisa melihat kegelisahan di matanya."Kalian sempurna," Lintang berlutut, memeluk Kayla. "Ingat ya, Kayla. Apapun yang terjadi nanti, Papa dan Tante sayang sekali sama Kayla."Perjalanan ke restoran Italia pilihan Mama terasa panjang. Kayla sibuk bernyanyi, tidak menyadari ketegangan di kursi depan. Lintang menggenggam tangan Arya, merasakan keringatnya."Kita pasti bisa," bisiknya.Sesampainya di restoran, mereka disambut oleh pelayan yang mengantar ke meja reservasi. Mama, Papa, dan Kak Dimas sudah menunggu. Lintang menarik napas dalam-dalam sebel

Bab terbaru

  • Istri Buat Om Duda   Bab 56

    Sementara karir Lintang melambung tinggi, Arya mulai merasakan keinginan untuk memiliki tantangan baru dalam hidupnya. Setelah bertahun-tahun bekerja di perusahaan konsultan, ia merasa sudah waktunya untuk mencoba sesuatu yang berbeda.Suatu malam, saat anak-anak sudah tidur, Arya membuka pembicaraan dengan Lintang."Sayang," ujarnya, "aku sedang memikirkan sesuatu."Lintang menoleh, penasaran. "Apa itu, Ar?""Aku... aku ingin mencoba memulai bisnis kecil sendiri," Arya mengungkapkan keinginannya.Lintang tersenyum, "Itu ide yang bagus! Bisnis apa yang kamu pikirkan?"Arya menghela napas, "Aku ingin membuka toko buku kecil, dengan kafe di dalamnya. Tempat dimana orang bisa membaca sambil menikmati kopi.""Wah, itu terdengar menarik!" Lintang berseru antusias. "Tapi, apa kamu yakin ingin meninggalkan pekerjaanmu yang sekarang?"Arya mengangguk, "Aku sudah memikirkannya matang-matang. Dengan posisimu sekarang, aku rasa ini saat yang tepat untuk mencoba sesuatu yang baru."Lintang mengge

  • Istri Buat Om Duda   Bab 55

    Lintang menemui Pak Hendra dan menerima tawaran tersebut. Ia memulai perannya sebagai Wakil Direktur Utama dengan semangat baru.Meskipun jadwalnya menjadi lebih padat, Lintang berusaha untuk tetap menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga. Ia selalu menyempatkan diri untuk sarapan bersama dan menghadiri acara-acara penting anak-anaknya.Suatu malam, saat Lintang sedang lembur di kantor, ia mendapat video call dari keluarganya. Mereka menunjukkan makan malam yang sudah mereka siapkan."Kami tahu Mama sedang sibuk, jadi kami buatkan makan malam spesial!" seru Rizki.Lintang tersenyum lebar, merasa beruntung memiliki keluarga yang begitu pengertian.Seiring berjalannya waktu, Lintang semakin mahir mengelola waktunya. Ia bahkan mulai mengajarkan Kayla tentang manajemen waktu dan kepemimpinan, berbagi pengalamannya sebagai wanita karir.Melalui perjuangannya menghadapi krisis dan tantangan barunya sebagai Wakil Direktur Utama, Lintang membuktikan bahwa dengan dukungan keluarga dan teka

  • Istri Buat Om Duda   Bab 54

    "Lintang Menghadapi Krisis Perusahaan" Lintang terbangun lebih awal dari biasanya. Matanya menatap langit-langit kamar, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Sudah seminggu ini perusahaan tempatnya bekerja sebagai Direktur Keuangan menghadapi krisis yang cukup serius.Arya, yang merasakan kegelisahan istrinya, membuka mata. "Ada apa, sayang?" tanyanya lembut.Lintang menghela napas panjang. "Aku khawatir tentang situasi di kantor, Ar. Kita kehilangan beberapa klien besar bulan ini, dan angka penjualan menurun drastis."Arya menggenggam tangan Lintang, memberikan dukungan tanpa kata. "Kamu pasti bisa mengatasinya. Kamu selalu punya solusi untuk setiap masalah."Lintang tersenyum lemah, "Terima kasih, Ar. Aku harap begitu."Saat sarapan, Kayla dan Rizki bisa merasakan ketegangan yang menyelimuti ibu mereka."Mama kenapa?" tanya Rizki polos.Lintang berusaha tersenyum, "Tidak apa-apa, sayang. Mama hanya sedang banyak pikiran tentang pekerjaan."Kayla, yang kini sudah lebih dewasa, mengerti

  • Istri Buat Om Duda   Bab 53

    Kayla mengangguk, tersenyum hangat, "Iya, Pa. Aku bersyukur kita semua bisa bersama sekarang."Sementara itu, di meja makan, Rizki sibuk menggambar dengan crayon warna-warninya. Lintang memperhatikan dengan penuh kasih sayang."Nah, sudah selesai!" seru Rizki bangga, mengangkat hasil karyanya.Lintang melihat gambar itu - lima sosok stick figure dengan ukuran berbeda-beda, berdiri bergandengan tangan dengan senyum lebar di wajah mereka."Ini Papa," Rizki menunjuk figur tertinggi, "ini Mama," ia menunjuk figur di sebelahnya, "ini Kak Kayla," figur yang sedikit lebih pendek, "ini aku," figur terkecil, "dan ini..." Rizki terdiam sejenak."Siapa itu, sayang?" tanya Lintang lembut.Rizki tersenyum malu-malu, "Ini adik bayi. Aku ingin punya adik, Ma."Lintang terkejut mendengar ini. Ia memeluk Rizki erat, "Oh, sayang. Kita lihat nanti ya. Yang penting sekarang, kita sudah punya keluarga yang sangat bahagia."Malam itu, setelah anak-anak tidur, Arya dan Lintang berbincang di kamar mereka."K

  • Istri Buat Om Duda   Bab 52

    Pagi itu, rumah keluarga Arya-Lintang dipenuhi kegaduhan yang menyenangkan. Hari ini adalah hari pertama Rizki, putra bungsu mereka yang berusia 6 tahun, masuk Sekolah Dasar."Rizki, ayo cepat makan sarapanmu," ujar Lintang, sambil merapikan dasi seragam putranya.Rizki, dengan mata berbinar penuh semangat, melahap roti isinya dengan cepat. "Sudah, Ma! Aku siap berangkat!"Arya tertawa melihat antusiasme putranya. "Pelan-pelan, jagoan. Kita masih punya waktu."Kayla, yang kini duduk di kelas 2 SMA, turun dari lantai atas dengan tas sekolahnya. "Wah, adikku sudah besar ya," godanya sambil mengacak rambut Rizki."Kak Kayla! Jangan mengacak rambutku," protes Rizki, tapi tetap tersenyum lebar.Lintang memandang ketiga orang yang dicintainya dengan haru. "Baiklah, ayo kita berangkat. Tidak ingin terlambat di hari pertama, kan?"Mereka semua naik ke mobil. Arya menyetir, sesekali melirik ke kursi belakang dimana Rizki duduk dengan gelisah, jemarinya memainkan tali tas barunya."Nervous, nak

  • Istri Buat Om Duda   Bab 51

    Minggu pertama Kayla di SMA berlalu dengan cepat. Setiap hari ia pulang dengan cerita baru, membuat Arya dan Lintang semakin penasaran dengan kehidupan SMA putri mereka.Saat makan malam keluarga, Kayla tiba-tiba berkata, "Pa, Ma, besok ada pertemuan orangtua murid."Arya dan Lintang saling pandang. "Oh ya? Kenapa baru memberitahu sekarang, sayang?" tanya Lintang.Kayla mengangkat bahu, "Maaf, Ma. Aku lupa. Tapi... bisakah kalian datang?""Tentu saja," jawab Arya. "Papa dan Mama akan mengatur jadwal kami."Keesokan harinya, Arya dan Lintang duduk di aula sekolah bersama orangtua murid lainnya. Mereka mendengarkan penjelasan kepala sekolah tentang kurikulum dan kegiatan sekolah.Tiba-tiba, Lintang menyenggol Arya pelan. "Lihat," bisiknya, menunjuk ke arah seorang pria yang duduk beberapa baris di depan mereka. "Bukankah itu ayah Rafi?"Arya memicingkan mata, lalu mengangguk. "Sepertinya iya."Setelah pertemuan selesai, Arya dan Lintang memutuskan untuk mendekati ayah Rafi."Permisi," s

  • Istri Buat Om Duda   Bab 50

    Kayla Masuk SMAPagi itu, rumah keluarga Arya-Lintang dipenuhi aroma roti panggang dan kopi. Kayla, kini berusia 14 tahun, duduk di meja makan dengan seragam SMA barunya. Jemarinya tak berhenti memainkan ujung dasi, menandakan kegugupan yang ia rasakan."Kamu sudah siap, sayang?" tanya Lintang, sambil meletakkan sepiring roti isi di hadapan Kayla.Kayla mengangguk pelan, "Iya, Ma. Tapi... aku sedikit nervous."Arya, yang baru bergabung di meja makan, tersenyum menenangkan. "Wajar kok, Nak. Papa dulu juga gugup di hari pertama SMA.""Benarkah, Pa?" tanya Kayla, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.Arya mengangguk, "Tentu. Tapi ingat, kamu anak yang pintar dan mudah bergaul. Pasti akan baik-baik saja."Lintang menambahkan, "Betul. Dan jangan lupa, kamu punya Bibi Sarah di sekolah. Kalau ada apa-apa, kamu bisa menemuinya."Kayla tersenyum. Bibi Sarah, adik Lintang, adalah guru Bahasa Inggris di SMA barunya.Selesai sarapan, mereka bersiap berangkat. Di mobil, Kayla memeluk tas barunya

  • Istri Buat Om Duda   Bab 49

    Setahun berlalu sejak Arya memutuskan untuk pensiun dini dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga. Kini, giliran Lintang yang menghadapi babak baru dalam karirnya. Setelah bertahun-tahun bekerja keras dan menunjukkan dedikasi yang luar biasa, Lintang ditawari posisi CEO di perusahaan tempatnya bekerja.Awalnya, Lintang merasa ragu untuk menerima tawaran tersebut. Ia khawatir tanggung jawab sebagai CEO akan menyita waktunya bersama keluarga. Namun, Arya mendukungnya sepenuhnya, meyakinkan Lintang bahwa ia dan anak-anak akan selalu ada untuk mendukungnya."Lintang, ini adalah kesempatan yang luar biasa untukmu. Kau telah bekerja keras selama ini, dan kau pantas mendapatkan posisi ini. Kami semua mendukungmu," ucap Arya dengan penuh pengertian.Kayla, Ananda, dan Aisha juga memberikan dukungan mereka. Mereka tahu betapa berbakat dan luar biasanya ibu mereka dalam pekerjaannya.Dengan dukungan penuh dari keluarga, Lintang akhirnya menerima tawaran tersebut. Ia bertekad untuk m

  • Istri Buat Om Duda   Bab 48

    Keluarga kecil Arya dan Lintang semakin dipenuhi dengan kebahagiaan dan kesuksesan. Kayla yang kini menjadi dokter muda yang berbakat, Ananda yang sedang berjuang menyelesaikan studinya di fakultas teknik, dan Aisha yang baru saja lulus SMA dengan nilai gemilang.Namun di balik semua kebahagiaan itu, Arya menyimpan sebuah keinginan yang sudah lama ia pendam. Sebuah keinginan untuk bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga tercintanya.Suatu malam, setelah makan malam bersama, Arya mengumpulkan istri dan anak-anaknya di ruang keluarga. Dengan senyum penuh arti, ia pun memulai pembicaraan."Lintang, Kayla, Ananda, Aisha... Ada sesuatu yang ingin Papa sampaikan pada kalian," ucap Arya dengan nada serius namun lembut.Lintang menatap suaminya dengan tatapan penuh tanya, sementara anak-anak mereka saling berpandangan dengan penasaran."Ada apa, Pa? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Kayla, sedikit khawatir.Arya tersenyum menenangkan, menggeleng pelan. "Tidak ada yang perlu d

DMCA.com Protection Status