Lintang membuka mata perlahan, silau cahaya pagi menerobos masuk melalui tirai kamarnya yang tidak tertutup sempurna. Ia menggapai ponsel di meja samping tempat tidur. Pukul 6:30. Masih ada waktu sebelum harus bersiap ke kantor.
Jarinya mengusap layar, membuka galeri foto. Berhenti pada satu gambar yang diambil dua malam lalu. Foto dirinya, Arya, dan Kayla, berpose di depan meja makan penuh sisa-sisa nasi goreng dan telur mata sapi. Wajah mereka berseri-seri, Kayla di tengah dengan senyum lebar, sementara tangan Arya melingkar lembut di pinggang Lintang. Lintang tersenyum, tapi senyum itu perlahan memudar. Ia teringat apa yang terjadi setelah foto itu diambil. Setelah Kayla tertidur. Ciuman itu. Ciuman lembut di teras belakang rumah Arya, di bawah langit berbintang. Ciuman itu seharusnya membuatnya bahagia. Tapi kenapa sekarang, saat sendirian di kamarnya yang sepi, ia justru merasa... takut? Ponselnya berdering. Pesan dari Arya: "Pagi, Lin. Mimpi indah? 😊" Lintang memandangi pesan itu lama. Jarinya bergetar di atas keyboard. "Pagi juga. Iya, tidurku nyenyak. Kamu?" Singkat, tanpa emoji. Lintang menghela napas. Kenapa ia jadi seperti ini? Bukankah ia yang selama ini menginginkan kedekatan, kehangatan, dan mungkin... cinta? Tapi cinta dengan seorang duda? Dengan anak? Lintang bangkit, berjalan mondar-mandir di kamar. Pikirannya kacau. Di kantor, Lintang memaksakan senyum saat menyapa rekan-rekannya. Ia masih dipuji atas kesuksesan rapat strategi kemarin. Tapi semua pujian itu terasa hambar. Ia terus memikirkan Arya dan Kayla. Terus menimbang-nimbang. Saat makan siang, Dewi, sahabatnya sejak kuliah, menyadari ada yang tidak beres. "Lin, kamu kenapa? Bukannya harusnya lagi happy? Rapat kemarin kan sukses besar." Lintang memainkan sedotan jus apelnya. "Dewi... kalau kamu jatuh cinta sama duda, gimana?" Dewi tersedak roti lapis tunanya. "Hah? Kamu... sama Arya?" Lintang mengangguk pelan. Dewi tahu tentang Arya. Lintang sering cerita, meski belum pernah mengaku ada perasaan khusus. "Terus masalahnya apa? Arya kan baik. Mapan. Ganteng lagi," Dewi mengerling. "Tapi dia duda, Wi. Punya anak. Kayla..." Lintang menatap kosong ke luar jendela kafe. "Aku... aku takut nggak bisa jadi ibu yang baik." Dewi meraih tangan Lintang. "Lin, kamu itu wanita terhebat yang pernah aku kenal. Kamu pikir kenapa kamu bisa jadi manajer termuda? Karena kamu nggak pernah nyerah. Kamu selalu belajar." "Tapi ini beda, Wi. Ini anak manusia. Kalau aku salah..." "Kamu nggak akan salah," Dewi memotong tegas. "Aku lihat gimana kamu sama Kayla. Kamu sayang dia. Dan dia sayang kamu. Itu yang penting." Lintang terdiam. Ia teringat senyum Kayla saat menerima buku "Putri dan Naga". Teringat tawa renyahnya saat memotong daun bawang untuk nasi goreng. Dan kata-katanya, "Tante kan udah jadi bagian dari keluarga kita." Keluarga. Kata yang dulu terasa asing bagi Lintang. Dulu, karirnya adalah segalanya. Tapi sekarang... "Wi, aku... aku rasa aku cinta sama Arya." Dewi tersenyum lebar. "Nah, akhirnya ngaku juga. Terus?" "Tapi aku takut," Lintang berbisik. "Kalau nanti nggak berhasil... Kalau nanti aku menyakiti Kayla..." "Lin," Dewi menatap serius, "hidup itu nggak ada jaminan. Tapi kita nggak bisa diem aja gara-gara takut. Cinta itu perlu keberanian." Sore itu, Lintang duduk di mobilnya di parkiran kantor. Ponselnya bergetar. Pesan dari Arya: "Kayla nanya, kapan Tante Lintang main lagi. Dia kangen." Hati Lintang mencelos. Ia memejamkan mata, teringat malam di teras belakang. Ciuman itu. Lembut, tapi penuh janji. Janji akan hari-hari cerah, tawa Kayla, dan... keluarga. Tapi bagaimana jika ia gagal? Bagaimana jika, seperti orang tuanya dulu, ia dan Arya berakhir dengan pertengkaran dan air mata? Bagaimana jika Kayla harus melihat itu semua? Lintang teringat album foto lama di apartemennya. Album berisi foto-foto masa kecilnya. Foto-foto di mana ia tersenyum lebar, diapit kedua orang tuanya. Sebelum perceraian itu. Sebelum ia bersumpah untuk tidak pernah jatuh cinta, untuk tidak pernah membuat seorang anak merasakan apa yang ia rasakan. Tapi kemudian ia teringat kata-kata ibunya, setahun sebelum ibunya meninggal karena kanker. "Lintang, Ibu menyesal. Bukan karena bercerai dengan ayahmu. Tapi karena membiarkan kamu berpikir bahwa cinta itu hanya menyakitkan. Cinta itu indah, Nak. Berani mencinta lagi. Demi Ibu." Air mata Lintang menetes. Ia meraih ponselnya, mengetik pesan untuk Arya: "Aku juga kangen kalian. Besok Sabtu, aku ke sana ya. Kita piknik di taman kota. Bawa bekal nasi goreng?" Balasan Arya datang nyaris seketika: "Tentu! Kayla sudah loncat-loncat senang. Dan Lin... terima kasih. Untuk berani mencoba." Lintang tersenyum di antara air mata. Berani mencoba. Ya, mungkin itu yang ia butuhkan sekarang. Keberanian untuk membuka hati, untuk mengambil risiko, untuk percaya bahwa kadang, cinta bisa datang dalam bentuk seorang duda tampan dan putri kecilnya yang ceria. Ia menyalakan mesin mobil. Besok Sabtu. Besok, ia akan melangkah maju. Bukan sebagai Lintang si wanita karir yang takut terluka, tapi sebagai Lintang yang berani mencinta. Lintang yang mungkin, suatu hari nanti, akan dipanggil "Mama" oleh seorang gadis kecil bernama Kayla. Dan mungkin, hanya mungkin, kali ini cinta tidak akan menyakitkan. Kali ini, cinta akan terasa seperti piknik di taman kota, nasi goreng hangat, dan janji akan keluarga yang utuh. (◕‿◕) Malam itu, Lintang tidak bisa tidur. Ia terus membolak-balik tubuhnya di tempat tidur, pikirannya berkecamuk. Keputusan untuk piknik besok dengan Arya dan Kayla terasa benar, tapi juga menakutkan. Seolah dengan menerima ajakan itu, ia telah membuka pintu menuju sesuatu yang lebih besar, lebih serius. Akhirnya, frustasi, Lintang bangkit. Ia berjalan ke arah rak buku di sudut kamar. Tangannya menyusuri deretan novel dan buku bisnis, berhenti pada sebuah album tua. Album yang sama yang tadi siang membuatnya teringat akan janji pada ibunya untuk berani mencintai lagi. Lintang membawa album itu ke tempat tidur, membukanya perlahan. Halaman pertama: foto kelulusan SD-nya. Ia tersenyum melihat dirinya yang kecil, memegang piala dan sertifikat, diapit ayah dan ibunya yang tersenyum bangga. Tapi senyum itu memudar saat ia ingat, dua bulan setelah foto itu diambil, pertengkaran hebat pertama terjadi. Halaman berikutnya, foto ulang tahunnya yang ke-15. Hanya ada ibunya di sana. Ayahnya sudah pergi, memilih keluarga barunya di luar kota. Lintang ingat, malam itu ia bersumpah tidak akan pernah jatuh cinta. Tidak akan pernah membiarkan seorang pria membuatnya merasa ditinggalkan seperti ibunya. Lintang membalik halaman demi halaman. Foto-foto kelulusannya, wisudanya, bahkan pesta untuk jabatan manajernya. Semuanya hanya ada ibunya. Tapi di setiap foto, senyum ibunya tak pernah pudar. Meski sendiri, meski mungkin hatinya masih terluka, ibunya tetap tersenyum. Untuk Lintang. "Ibu," bisik Lintang, jarinya menyusuri wajah ibunya di foto terakhir, diambil sebulan sebelum ibunya meninggal. "Aku takut, Bu. Bagaimana kalau aku juga ditinggalkan? Bagaimana kalau aku juga menyakiti Kayla, seperti Ayah menyakitiku?" Seolah menjawab, ponselnya bergetar. Lintang mengambilnya, mengira pesan dari Arya. Tapi bukan. Itu notifikasi dari aplikasi jurnal digital yang ia gunakan. "Pengingat: 2 tahun yang lalu hari ini, Anda menulis..." Penasaran, Lintang membuka aplikasi itu. Entri yang muncul membuatnya tercekat: "10 Juni 2022. Ibu pergi hari ini. Tapi sebelumnya, ia memintaku berjanji. 'Berani mencinta lagi,' katanya. Aku tidak mengerti, Bu. Bukankah cinta itu yang membuatmu terluka? Yang membuatku terluka? Tapi Ibu bilang, 'Cinta bukan hanya tentang dipilih, Lintang. Tapi juga tentang memilih. Memilih untuk tetap mencintai meski sakit. Memilih untuk membuka hati lagi. Karena kadang, cinta datang dengan cara yang tak terduga.'" Air mata Lintang menetes. Ia teringat hari itu, hari terakhir ibunya. Bagaimana di tengah rasa sakitnya, ibunya masih memikirkan kebahagiaan Lintang. Masih percaya pada cinta. Lintang meraih ponselnya lagi, membuka galeri. Ada foto yang ia ambil diam-diam minggu lalu. Arya dan Kayla di taman bermain, duduk di ayunan. Arya mendorong ayunan Kayla pelan-pelan, wajahnya serius tapi matanya berbinar. Dan Kayla, tertawa lepas, rambutnya berkibar tertiup angin. "Memilih untuk tetap mencintai," Lintang berbisik, mengulang kata-kata ibunya. Ia sadar sekarang. Arya memilih untuk tetap mencintai Kayla meski pernikahannya hancur. Dan mungkin, mungkin Arya juga memilih untuk membuka hatinya lagi, untuk Lintang. Dan Lintang? Ia telah memilih untuk datang ke piknik besok. Untuk membawa nasi goreng. Untuk mencoba, meski takut. Tiba-tiba, Lintang teringat sesuatu. Ia melompat dari tempat tidur, menuju dapur. Di sana, di rak paling atas, tersembunyi di belakang toples-toples bumbu, ada sebuah buku. Buku resep peninggalan ibunya. Lintang membuka buku itu, halaman-halamannya menguning dan agak rapuh. Tapi resep nasi goreng ibunya masih terbaca jelas. Dengan tulisan tangan ibunya di tepi halaman: "Resep cinta. Buatlah dengan sepenuh hati." Lintang tersenyum. Besok, ia akan membuat nasi goreng ini. Bukan hanya untuk Arya dan Kayla, tapi juga untuk dirinya sendiri. Sebagai pengingat bahwa ia, Lintang, putri dari seorang wanita yang tetap percaya cinta meski terluka, kini berani memilih. Memilih untuk mencoba. Memilih untuk mencintai. Ia kembali ke kamar, memeluk album fotonya erat-erat. "Ibu," bisiknya, "besok aku akan membuktikan. Aku akan berani seperti Ibu. Aku akan mencintai lagi." Malam itu, Lintang akhirnya bisa tidur. Dan ia bermimpi. Mimpi tentang piknik di taman, tawa Kayla, senyum Arya, dan aroma nasi goreng. Mimpi tentang keluarga. Mimpi tentang cinta yang datang dengan cara yang tak terduga. Keesokan paginya, Lintang bangun dengan tekad baru. Rasa takutnya masih ada, tapi kini ada sesuatu yang lebih kuat. Keberanian. Keberanian yang diwariskan ibunya. Keberanian untuk memilih cinta. Di dapur, Lintang mulai meracik nasi goreng. Setiap bahan ia pilih dengan hati-hati. Setiap gerakan penggorengan ia lakukan dengan penuh perasaan. Dan saat aroma nasi goreng memenuhi apartemennya, Lintang tahu. Ia siap. Siap untuk piknik. Siap untuk Arya dan Kayla. (◕‿◕)Lintang melirik jam di dinding kantornya. 11:45. Lima belas menit lagi sebelum makan siang dengan Arya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Ini pertama kalinya mereka bertemu berdua saja sejak... sejak malam itu. Malam di teras belakang, di bawah bintang.Ponselnya bergetar. Pesan dari Arya: "Aku sudah di lobi. Kau siap?"Lintang memandang bayangannya di cermin. Ia sengaja memilih blazer merah muda favoritnya hari ini. Warnanya cerah, kontras dengan kegundahan hatinya. Setelah memastikan riasannya sempurna, ia membalas pesan Arya."Iya, turun sekarang."Di lobi, Arya menunggu dengan kemeja biru langit yang membuatnya tampak lebih muda. Ia tersenyum lebar melihat Lintang. "Hai," sapanya lembut."Hai," balas Lintang, berusaha tersenyum senormal mungkin. "Kita mau makan di mana?""Ada restoran Italia baru di dekat sini. Kayla bilang kau suka pasta."Lintang tertegun. Arya ingat. Tentu saja ia ingat. Lintang pernah bercerita tentang kecintaannya
Arya terbangun lebih awal dari biasanya. Bukan karena alarm atau telepon dari klien, tapi karena mimpi. Mimpi yang telah lama tidak menghantuinya. Mimpi tentang malam itu, dua tahun lalu, saat Dian pergi.Ia duduk di tepi tempat tidur, memandang foto di meja samping. Foto pernikahannya dengan Dian, diambil lima tahun lalu. Mereka terlihat bahagia. Dian dengan gaun putihnya, tersenyum lebar. Arya memeluknya dari belakang, wajahnya penuh harap. Kayla kecil berdiri di depan mereka, memegang buket bunga, polos dan tidak mengerti apa-apa.Arya mengusap wajahnya kasar. Kenapa sekarang? Kenapa mimpi itu kembali sekarang, saat ia akhirnya menemukan keberanian untuk membuka hati lagi? Untuk Lintang?Suara ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. "Papa?" suara Kayla terdengar ragu. "Papa nggak apa-apa?"Arya cepat-cepat menyembunyikan foto itu ke laci. "Papa baik-baik aja, sayang. Ayo sarapan."Di meja makan, Kayla menyantap sereal cokelatnya dengan semangat. Arya hanya mengaduk-aduk kopi, pi
Lintang memarkirkan mobilnya di depan TK Bunga Matahari. Ia melirik jam tangannya: 11.45. Masih ada waktu 15 menit sebelum bel pulang berbunyi. Ia mengeluarkan kotak makan berwarna merah muda dari tas belanjanya. Di dalamnya, sandwich tuna kesukaan Kayla.Ini bukan pertama kalinya Lintang menjemput Kayla. Tapi entah kenapa, hari ini terasa berbeda. Mungkin karena percakapan dengan Arya semalam. Atau mungkin karena hari ini, untuk pertama kalinya, Arya memintanya menjemput Kayla sendirian."Aku ada rapat mendadak," Arya menelepon pagi tadi, suaranya cemas. "Maaf, Lin. Aku tahu harusnya aku yang jemput. Tapi...""Nggak apa-apa," Lintang menenangkan. "Aku bisa kok. Kamu fokus aja rapatnya."Sekarang, duduk di mobil, Lintang merasa gugup. Ini pertama kalinya ia akan bersama Kayla tanpa Arya. Bagaimana kalau Kayla menangis mencari ayahnya? Bagaimana kalau...Lamunannya terpotong oleh bunyi bel. Seketika, halaman TK dipenuhi anak-anak berlarian. Lintang turun dari mobil, matanya mencari-car
Siang itu, mal Grand Jakarta tampak ramai. Wajar, mengingat ini hari Sabtu dan musim liburan sekolah. Di antara kerumunan pengunjung, Lintang dan Kayla berjalan beriringan, tangan mereka bertautan erat."Tante, kita mau beli apa?" tanya Kayla, matanya berbinar melihat toko-toko yang berjajar.Lintang tersenyum. "Kita mau beli kado ulang tahun buat Aisyah, inget kan?"Kayla mengangguk antusias. Aisyah, sahabatnya di TK, akan berulang tahun minggu depan. "Aisyah suka boneka. Kita beli boneka ya, Tante?""Oke," Lintang menyetujui. "Tapi inget, nggak boleh terlalu mahal. Papa udah kasih uang pas."Mereka memasuki toko boneka di lantai dua. Mata Kayla langsung tertuju pada rak boneka beruang. Ada beruang cokelat dengan pita merah, beruang putih dengan baju ballerina, dan..."Tante! Lihat!" Kayla menunjuk ke atas. Di sana, di rak tertinggi, duduk sebuah boneka beruang panda besar. Matanya hitam mengkilap, perutnya gemuk dan lembut. "Panda! Aisyah pasti suka!"Lintang mengambil boneka itu, m
Bunyi dering telepon memecah keheningan Minggu pagi di apartemen Lintang. Ia melirik layar ponsel, mengerutkan dahi. "Papa?" gumamnya, sedikit heran. Ayahnya jarang menelepon sepagi ini."Halo, Pa?" Lintang menjawab, sambil berjalan ke dapur untuk membuat kopi."Lintang, kamu di mana?" suara ayahnya terdengar tegang.Lintang mengernyit. "Di apartemen, Pa. Kenapa? Ada apa?"Terdengar helaan napas panjang. "Nggak. Nggak apa-apa. Papa kira kamu... lupa.""Lupa?" Lintang bingung. Tapi kemudian ia tersadar. "Astaga! Makan siang keluarga! Pa, maaf banget, aku—""Udah, nggak apa-apa," potong ayahnya, tapi Lintang bisa mendengar kekecewaan dalam suaranya. "Kamu sibuk, Papa ngerti."Lintang menutup wajahnya. Makan siang keluarga. Tradisi bulanan yang sudah mereka jalankan sejak ibunya meninggal tiga tahun lalu. Bagaimana ia bisa lupa?"Pa, aku ke sana sekarang ya? Satu jam lagi aku—""Nggak usah," ayahnya memotong lagi. "Papa sama Kak Dimas udah mau keluar. Lain kali aja."Telepon ditutup. Lin
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Lintang mengecek penampilannya sekali lagi di cermin. Dress biru tua sederhana, anting mutiara hadiah dari Arya, dan rambut yang diikat rapi. Ia ingin tampil sempurna, bukan untuk memamerkan diri, tapi untuk menunjukkan keseriusannya.Arya masuk kamar, mengenakan kemeja putih dan celana bahan hitam. Ia membawa Kayla yang cantik dalam balutan gaun merah muda. "Kita siap," Arya tersenyum, tapi Lintang bisa melihat kegelisahan di matanya."Kalian sempurna," Lintang berlutut, memeluk Kayla. "Ingat ya, Kayla. Apapun yang terjadi nanti, Papa dan Tante sayang sekali sama Kayla."Perjalanan ke restoran Italia pilihan Mama terasa panjang. Kayla sibuk bernyanyi, tidak menyadari ketegangan di kursi depan. Lintang menggenggam tangan Arya, merasakan keringatnya."Kita pasti bisa," bisiknya.Sesampainya di restoran, mereka disambut oleh pelayan yang mengantar ke meja reservasi. Mama, Papa, dan Kak Dimas sudah menunggu. Lintang menarik napas dalam-dalam sebel
Seminggu setelah makan malam keluarga yang mencekam, hidup berjalan seperti biasa bagi Lintang, Arya, dan Kayla. Namun, Lintang tahu ayahnya belum sepenuhnya menerima hubungan mereka. Maka dari itu, ia tidak terkejut ketika suatu sore, ayahnya mengundang mereka untuk makan malam... tanpa ibu atau kakaknya."Aku tak yakin ini ide bagus," gumam Arya di mobil, matanya awas memandang jalanan.Lintang menepuk paha Arya menenangkan. "Akan baik-baik saja. Papa hanya ingin bicara empat mata. Mungkin dia masih punya beberapa pertanyaan untukmu.""Atau lebih tepatnya, diinterogasi," Arya meringis.Di restoran, Lintang dan keluarga kecilnya disambut oleh ayahnya yang sudah menunggu dengan tampang tenang. Senyumnya sedikit dipaksakan, tapi dia menyambut mereka dengan sopan."Arya, Lintang, Kayla. Silakan duduk," ayahnya mempersilakan.Seperti minggu lalu, mereka duduk berdampingan. Kayla dengan riang menceritakan hari di sekolahnya pada sang kakek, tidak menyadari atmosfer tegang.Setelah memesan
Setelah makan malam yang emosional di rumah orang tua Lintang, hubungan mereka dengan keluarga Lintang perlahan membaik. Khususnya sikap Papa yang semula keras dan sangat menentang, kini mulai melunak. Pria separuh baya itu melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa Arya layak menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab.Namun, cobaan masih terus datang dari sudut yang tak terduga. Suatu hari, saat mereka tengah bersantai di kafe langganan, Lintang dan Arya dikejutkan oleh kehadiran seorang wanita cantik berpenampilan mewah yang tiba-tiba berdiri di hadapan meja mereka."Halo, Arya. Sudah lama tidak bertemu," wanita itu menyapa dengan senyum sinis.Arya membeku untuk sesaat, lalu bangkit dari kursinya dengan gerak protektif di depan Lintang dan Kayla. "Dian? Sedang apa kau di sini?"Dian, yang tak lain adalah mantan istri Arya, tertawa mengejek. "Tentu saja untuk melihat kekasih barumu ini. Dan Oh... apalagi ini? Kau membawa anak kita juga? Sungguh tidak tahu malu."Lintang meras
Sementara karir Lintang melambung tinggi, Arya mulai merasakan keinginan untuk memiliki tantangan baru dalam hidupnya. Setelah bertahun-tahun bekerja di perusahaan konsultan, ia merasa sudah waktunya untuk mencoba sesuatu yang berbeda.Suatu malam, saat anak-anak sudah tidur, Arya membuka pembicaraan dengan Lintang."Sayang," ujarnya, "aku sedang memikirkan sesuatu."Lintang menoleh, penasaran. "Apa itu, Ar?""Aku... aku ingin mencoba memulai bisnis kecil sendiri," Arya mengungkapkan keinginannya.Lintang tersenyum, "Itu ide yang bagus! Bisnis apa yang kamu pikirkan?"Arya menghela napas, "Aku ingin membuka toko buku kecil, dengan kafe di dalamnya. Tempat dimana orang bisa membaca sambil menikmati kopi.""Wah, itu terdengar menarik!" Lintang berseru antusias. "Tapi, apa kamu yakin ingin meninggalkan pekerjaanmu yang sekarang?"Arya mengangguk, "Aku sudah memikirkannya matang-matang. Dengan posisimu sekarang, aku rasa ini saat yang tepat untuk mencoba sesuatu yang baru."Lintang mengge
Lintang menemui Pak Hendra dan menerima tawaran tersebut. Ia memulai perannya sebagai Wakil Direktur Utama dengan semangat baru.Meskipun jadwalnya menjadi lebih padat, Lintang berusaha untuk tetap menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga. Ia selalu menyempatkan diri untuk sarapan bersama dan menghadiri acara-acara penting anak-anaknya.Suatu malam, saat Lintang sedang lembur di kantor, ia mendapat video call dari keluarganya. Mereka menunjukkan makan malam yang sudah mereka siapkan."Kami tahu Mama sedang sibuk, jadi kami buatkan makan malam spesial!" seru Rizki.Lintang tersenyum lebar, merasa beruntung memiliki keluarga yang begitu pengertian.Seiring berjalannya waktu, Lintang semakin mahir mengelola waktunya. Ia bahkan mulai mengajarkan Kayla tentang manajemen waktu dan kepemimpinan, berbagi pengalamannya sebagai wanita karir.Melalui perjuangannya menghadapi krisis dan tantangan barunya sebagai Wakil Direktur Utama, Lintang membuktikan bahwa dengan dukungan keluarga dan teka
"Lintang Menghadapi Krisis Perusahaan" Lintang terbangun lebih awal dari biasanya. Matanya menatap langit-langit kamar, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. Sudah seminggu ini perusahaan tempatnya bekerja sebagai Direktur Keuangan menghadapi krisis yang cukup serius.Arya, yang merasakan kegelisahan istrinya, membuka mata. "Ada apa, sayang?" tanyanya lembut.Lintang menghela napas panjang. "Aku khawatir tentang situasi di kantor, Ar. Kita kehilangan beberapa klien besar bulan ini, dan angka penjualan menurun drastis."Arya menggenggam tangan Lintang, memberikan dukungan tanpa kata. "Kamu pasti bisa mengatasinya. Kamu selalu punya solusi untuk setiap masalah."Lintang tersenyum lemah, "Terima kasih, Ar. Aku harap begitu."Saat sarapan, Kayla dan Rizki bisa merasakan ketegangan yang menyelimuti ibu mereka."Mama kenapa?" tanya Rizki polos.Lintang berusaha tersenyum, "Tidak apa-apa, sayang. Mama hanya sedang banyak pikiran tentang pekerjaan."Kayla, yang kini sudah lebih dewasa, mengerti
Kayla mengangguk, tersenyum hangat, "Iya, Pa. Aku bersyukur kita semua bisa bersama sekarang."Sementara itu, di meja makan, Rizki sibuk menggambar dengan crayon warna-warninya. Lintang memperhatikan dengan penuh kasih sayang."Nah, sudah selesai!" seru Rizki bangga, mengangkat hasil karyanya.Lintang melihat gambar itu - lima sosok stick figure dengan ukuran berbeda-beda, berdiri bergandengan tangan dengan senyum lebar di wajah mereka."Ini Papa," Rizki menunjuk figur tertinggi, "ini Mama," ia menunjuk figur di sebelahnya, "ini Kak Kayla," figur yang sedikit lebih pendek, "ini aku," figur terkecil, "dan ini..." Rizki terdiam sejenak."Siapa itu, sayang?" tanya Lintang lembut.Rizki tersenyum malu-malu, "Ini adik bayi. Aku ingin punya adik, Ma."Lintang terkejut mendengar ini. Ia memeluk Rizki erat, "Oh, sayang. Kita lihat nanti ya. Yang penting sekarang, kita sudah punya keluarga yang sangat bahagia."Malam itu, setelah anak-anak tidur, Arya dan Lintang berbincang di kamar mereka."K
Pagi itu, rumah keluarga Arya-Lintang dipenuhi kegaduhan yang menyenangkan. Hari ini adalah hari pertama Rizki, putra bungsu mereka yang berusia 6 tahun, masuk Sekolah Dasar."Rizki, ayo cepat makan sarapanmu," ujar Lintang, sambil merapikan dasi seragam putranya.Rizki, dengan mata berbinar penuh semangat, melahap roti isinya dengan cepat. "Sudah, Ma! Aku siap berangkat!"Arya tertawa melihat antusiasme putranya. "Pelan-pelan, jagoan. Kita masih punya waktu."Kayla, yang kini duduk di kelas 2 SMA, turun dari lantai atas dengan tas sekolahnya. "Wah, adikku sudah besar ya," godanya sambil mengacak rambut Rizki."Kak Kayla! Jangan mengacak rambutku," protes Rizki, tapi tetap tersenyum lebar.Lintang memandang ketiga orang yang dicintainya dengan haru. "Baiklah, ayo kita berangkat. Tidak ingin terlambat di hari pertama, kan?"Mereka semua naik ke mobil. Arya menyetir, sesekali melirik ke kursi belakang dimana Rizki duduk dengan gelisah, jemarinya memainkan tali tas barunya."Nervous, nak
Minggu pertama Kayla di SMA berlalu dengan cepat. Setiap hari ia pulang dengan cerita baru, membuat Arya dan Lintang semakin penasaran dengan kehidupan SMA putri mereka.Saat makan malam keluarga, Kayla tiba-tiba berkata, "Pa, Ma, besok ada pertemuan orangtua murid."Arya dan Lintang saling pandang. "Oh ya? Kenapa baru memberitahu sekarang, sayang?" tanya Lintang.Kayla mengangkat bahu, "Maaf, Ma. Aku lupa. Tapi... bisakah kalian datang?""Tentu saja," jawab Arya. "Papa dan Mama akan mengatur jadwal kami."Keesokan harinya, Arya dan Lintang duduk di aula sekolah bersama orangtua murid lainnya. Mereka mendengarkan penjelasan kepala sekolah tentang kurikulum dan kegiatan sekolah.Tiba-tiba, Lintang menyenggol Arya pelan. "Lihat," bisiknya, menunjuk ke arah seorang pria yang duduk beberapa baris di depan mereka. "Bukankah itu ayah Rafi?"Arya memicingkan mata, lalu mengangguk. "Sepertinya iya."Setelah pertemuan selesai, Arya dan Lintang memutuskan untuk mendekati ayah Rafi."Permisi," s
Kayla Masuk SMAPagi itu, rumah keluarga Arya-Lintang dipenuhi aroma roti panggang dan kopi. Kayla, kini berusia 14 tahun, duduk di meja makan dengan seragam SMA barunya. Jemarinya tak berhenti memainkan ujung dasi, menandakan kegugupan yang ia rasakan."Kamu sudah siap, sayang?" tanya Lintang, sambil meletakkan sepiring roti isi di hadapan Kayla.Kayla mengangguk pelan, "Iya, Ma. Tapi... aku sedikit nervous."Arya, yang baru bergabung di meja makan, tersenyum menenangkan. "Wajar kok, Nak. Papa dulu juga gugup di hari pertama SMA.""Benarkah, Pa?" tanya Kayla, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.Arya mengangguk, "Tentu. Tapi ingat, kamu anak yang pintar dan mudah bergaul. Pasti akan baik-baik saja."Lintang menambahkan, "Betul. Dan jangan lupa, kamu punya Bibi Sarah di sekolah. Kalau ada apa-apa, kamu bisa menemuinya."Kayla tersenyum. Bibi Sarah, adik Lintang, adalah guru Bahasa Inggris di SMA barunya.Selesai sarapan, mereka bersiap berangkat. Di mobil, Kayla memeluk tas barunya
Setahun berlalu sejak Arya memutuskan untuk pensiun dini dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama keluarga. Kini, giliran Lintang yang menghadapi babak baru dalam karirnya. Setelah bertahun-tahun bekerja keras dan menunjukkan dedikasi yang luar biasa, Lintang ditawari posisi CEO di perusahaan tempatnya bekerja.Awalnya, Lintang merasa ragu untuk menerima tawaran tersebut. Ia khawatir tanggung jawab sebagai CEO akan menyita waktunya bersama keluarga. Namun, Arya mendukungnya sepenuhnya, meyakinkan Lintang bahwa ia dan anak-anak akan selalu ada untuk mendukungnya."Lintang, ini adalah kesempatan yang luar biasa untukmu. Kau telah bekerja keras selama ini, dan kau pantas mendapatkan posisi ini. Kami semua mendukungmu," ucap Arya dengan penuh pengertian.Kayla, Ananda, dan Aisha juga memberikan dukungan mereka. Mereka tahu betapa berbakat dan luar biasanya ibu mereka dalam pekerjaannya.Dengan dukungan penuh dari keluarga, Lintang akhirnya menerima tawaran tersebut. Ia bertekad untuk m
Keluarga kecil Arya dan Lintang semakin dipenuhi dengan kebahagiaan dan kesuksesan. Kayla yang kini menjadi dokter muda yang berbakat, Ananda yang sedang berjuang menyelesaikan studinya di fakultas teknik, dan Aisha yang baru saja lulus SMA dengan nilai gemilang.Namun di balik semua kebahagiaan itu, Arya menyimpan sebuah keinginan yang sudah lama ia pendam. Sebuah keinginan untuk bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersama keluarga tercintanya.Suatu malam, setelah makan malam bersama, Arya mengumpulkan istri dan anak-anaknya di ruang keluarga. Dengan senyum penuh arti, ia pun memulai pembicaraan."Lintang, Kayla, Ananda, Aisha... Ada sesuatu yang ingin Papa sampaikan pada kalian," ucap Arya dengan nada serius namun lembut.Lintang menatap suaminya dengan tatapan penuh tanya, sementara anak-anak mereka saling berpandangan dengan penasaran."Ada apa, Pa? Apa ada sesuatu yang terjadi?" tanya Kayla, sedikit khawatir.Arya tersenyum menenangkan, menggeleng pelan. "Tidak ada yang perlu d